awesomeyoit

“Nggak bisa, Kila. Masa malam pertama pernikahan kalian kamu mau tidur sama Mami Papi sih?”

“Kali ini aja, Mi. Kan besok-besok nggak lagi. Lagian malu tau masa tidur sama si Awan?”

“Ya kan Awan suami kamu, ngapain malu?”

Ih, tetap malu, Mi.”

Pukul setengah dua belas malam, Kila berdebat dengan Maminya di depan pintu kamar orang tuanya. Berhubung ia maupun Awan sama-sama lelah dan belum sempat pindahan, jadi untuk malam ini mereka akan menginap dulu di rumah orang tua Kila. Rencananya besok siang bakalan pindah ke apartemen Awan, barang-barang Kila di kosan juga belum semuanya di packing sih.

“Udah sana balik ke kamar kamu, Awan pasti udah nungguin tuh.”

“Justru itu, Mami. Please, izinin aku buat tidur di sini.”

“Nggak, nggak boleh gitu. Pokoknya tidur sama Awan malam ini.”

Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Mami yang mengunci pintu kamarnya dari dalam dan sama sekali tidak membiarkan anaknya untuk masuk. Gadis itu mendengus frustasi, lututnya lemas hingga akhirnya terduduk di lantai keramik yang dingin. Tangannya mengetuk-ngetuk pelan pintu kamar, namun Papinya justru berseru dari dalam.

“Nggak usah banyak drama, Shakila. Buruan tidur sana!”

Yang kemudian membuatnya tidak punya pilihan lain selain tidur dengan Awan malam ini.


“Habis dari mana?”

Awan bertanya saat Kila baru saja masuk ke kamarnya dengan wajah cemberut. Gadis itu mendengus keras disertai tatapan tajam, mungkin sengaja untuk menunjukkan kekesalannya pada pemuda itu. Sebenarnya bukan salah Awan juga sih, tapi karena Kila bingung mau melampiaskannya ke siapa jadi Awan lah sasarannya.

Pemuda dengan kaos putih dan celana pendek selutut yang kini duduk menyandar di headboard ranjang Kila menatap sang istri kebingungan, dalam hati turut bertanya-tanya apakah dia buat salah barusan?

“Shakila—–”

“Bisa nggak ... jangan tidur di ranjang gue.”

Dibanding pertanyaan, nada bicara Kila lebih terdengar seperti perintah. Tapi Awan tidak tersinggung kok, dari awal ia sudah menduga hal tersebut akan keluar dari bibir Kila. Gadis itu mana mau tidur seranjang dengannya. Meski mereka berdua sudah resmi menjadi suami istri sekalipun, Awan masih belum berhasil mendapatkan hati gadis itu.

Tidak masalah, Awan akan berusaha lebih keras lagi ke depannya. Toh, mau seberapa keras pun Kila menolak, berdasarkan hukum dan agama mereka sudah terlanjur terikat.

“Saya udah duga kalau kamu bakal keberatan,” Awan tersenyum sambil beranjak dari ranjang Kila yang sebenarnya muat untuk ditempati dua orang dewasa seperti mereka. “Maka dari itu saya udah minta asisten saya buat bawain kasur lipat.”

Awan menunjuk sebuah kasur lipat yang tersandar di pojokan kamar, sebelum kemudian tersenyum pada Kila.

“Kalau saya tidur di samping ranjang kamu nggak apa-apa kan? Jaga-jaga kalau kamu jatuh dari ranjang pas lagi tidur. Saya juga nggak mungkin kan tidur di luar? Nanti orang tua kamu bakalan mikir macam-macam.”

Kila memandangi pergerakan Awan yang mengambil kasur lipat bawaannya dan betulan menggelarnya di samping ranjang, pemuda itu juga membawa selimut tambahan sendiri. Benar-benar sudah dipersiapkan secara matang, atau pikiran Kila saja yang mudah ditebak?

Ah, terserah saja lah. Kila tidak akan peduli!

“Boleh minjam bantalnya nggak, Kila? Asisten saya lupa bawa bantal tambahan tadi,” katanya sambil nyengir.

Sejenak, Kila merasa tidak tega. Dia sadar sih apa yang ia lakukan saat ini sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin ia membiarkan suaminya tidur di tempat terpisah saat malam pertama pernikahan mereka, ditambah lagi usia Awan itu lebih tua darinya. Tapi dibanding perasaan tidak tega, rasa gengsinya jauh lebih tinggi dari itu.

Jadi, ia serahkan salah satu bantalnya pada Awan yang langsung diterimanya dengan senang hati. Gadis itu kembali mendengus kasar seraya rebahan di atas kasur, serta memasukkan tubuhnya ke dalam selimut hingga sebatas dada.

“Shakila, jangan tidur dulu ya. Saya mau bicara sebentar.”

Kila menolehkan kepala pada sosok Awan yang kini juga sudah rebahan di atas kasur lipat serta berlapiskan selimut. Kemudian gadis itu kembali menatap langit kamarnya yang berwarna cokelat seraya membalas, “Bicara apa?”

“Tentang kita sebagai suami istri.”

Awan ikut menatap langit kamar Kila dengan senyum di wajah. Sepanjang hari ini dia memang banyak tersenyum, agaknya wajar saja karena hari ini merupakan hari pertamanya berganti status dari lajang menjadi menikah. Awan sudah jadi suami Kila sekarang, secara sah berdasarkan agama dan hukum negara.

“Waktu saya bilang nggak akan membebankan kamu dengan tanggung jawab sebagai seorang istri, saya serius, Shakila. Saya nggak akan maksa kamu buat masakin saya setiap hari, karena saya juga bisa kok ngelakuin itu sendiri. Saya juga nggak akan nyuruh kamu nyuci ataupun nyetrikain baju saya, karena saya juga bisa melakukan itu kok, kadang kalau sibuk saya antar aja ke laundry. Untuk masalah kebersihan apartemen, saya biasanya minta ART di rumah buat bersih-bersih juga di apart saya. Jadi kamu nggak perlu repot melakukan semua itu, Shakila.”

Ada jeda sejenak dari ucapan Awan, mungkin dia sedang berpikir dan merasa ragu untuk mengatakannya. Jadi Kila sengaja menunggu untuk beberapa saat sampai akhirnya suara Awan kembali terdengar.

“Masalah itu ... kamu tau? Anak? Saya nggak akan maksa kamu. Beberapa kesempatan mungkin Mama saya bakalan nanya dan bikin kamu merasa terganggu. Tapi tenang aja, saya bakal kasih tau mama buat nggak menyinggung masalah itu di depan kamu.” Awan menarik napasnya dalam-dalam sebelum kemudian lanjut bicara. “Kamu masih boleh kok main sama teman-teman kamu, kalau mau nonton atau shopping di mall juga silakan. Saya nggak akan larang kamu, Kila. Asal masih dalam batas wajar.”

“Saya menghargai kamu sebagai perempuan juga sebagai istri saya. Dari awal kamu juga udah bilang kok kalau menikah dengan saya hanya karena terpaksa. Jadi saya nggak akan menuntut kamu macam-macam dalam pernikahan ini, setidaknya sampai kamu siap dan mau menerima saya sebagai suami kamu. Saya mungkin bakalan cerewet dalam beberapa hal, tapi yang harus kamu tau adalah kalau saya melakukan itu tandanya saya sayang dan peduli sama kamu. Tolong jangan diartikan buruk ya?”

Masih tidak ada balasan dari sang istri, tapi Awan tau kalau gadis itu belum tidur. Dia bisa melirik mata Kila yang berkedip dalam beberapa detik, jadi ia kembali meneruskan.

“Kalau boleh jujur, sebelum menikah sama kamu saya punya banyak sekali impian yang ingin saya capai. Tapi setelah menikah sama kamu, saya pikir impian-impian itu akhirnya tergeser karena yang menjadi fokus utamanya sekarang adalah kamu. Tentang gimana saya bisa bikin kamu merasa lebih bahagia setelah menikah dengan saya nantinya. Saya nggak akan membuat kamu menyesali pernikahan ini, Shakila. Itu impian saya.”

Karena sejak tadi tidak ada jawaban langsung dari Kila, Awan sampai harus mengecek sekali lagi ke atas ranjang siapa tau sang istri ketiduran. Tapi ternyata tidak, Kila belum tidur dan mendengarkannya dengan seksama saat Awan bicara. Bohong kalau dia tidak tersentuh dengan ucapan Awan. Kila juga sadar kok kalau ia menikahi orang yang baik, orang yang akan memastikan dirinya merasa aman sekaligus nyaman. Tapi sifat keras kepala Kila juga tidak mau kalah, ia tetap pada pendiriannya untuk tidak akan jatuh cinta pada pemuda itu.

Tapi, bisa kah?

“Udah, diem, nggak usah ngomong lagi. Gue ngantuk.”

Akhirnya, hanya itu saja kalimat yang keluar dari bibir Kila.

Mendengar suara sang istri membuat senyum Awan kembali mengembang, membuat matanya kian menyipit dan yang tersisa hanyalah lengkungan bulan sabit yang menawan.

Dia berkata dengan suara lirih, “Ya udah kalau gitu tidur aja, Kila. Kalau bisa nggak usah mimpi ya, tidur aja yang nyenyak. Saya bakal jaga kamu dari sini.”

“Nggak bisa, Kila. Masa malam pertama pernikahan kalian kamu mau tidur sama Mami Papi sih?”

“Kali ini aja, Mi. Kan besok-besok nggak lagi. Lagian malu tau masa tidur sama si Awan?”

“Ya kan Awan suami kamu, ngapain malu?”

Ih, tetap malu, Mi.”

Pukul setengah dua belas malam, Kila berdebat dengan Maminya di depan pintu kamar orang tuanya. Berhubung ia maupun Awan sama-sama lelah dan belum sempat pindahan, jadi untuk malam ini mereka akan menginap dulu di rumah orang tua Kila. Rencananya besok siang bakalan pindah ke apartemen Awan, barang-barang Kila di kosan juga belum semuanya di packing sih.

“Udah sana balik ke kamar kamu, Awan pasti udah nungguin tuh.”

“Justru itu, Mami. Please, izinin aku buat tidur di sini.”

“Nggak, nggak boleh gitu. Pokoknya tidur sama Awan malam ini.”

Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Mami yang mengunci pintu kamarnya dari dalam dan sama sekali tidak membiarkan anaknya untuk masuk. Gadis itu mendengus frustasi, lututnya lemas hingga akhirnya terduduk di lantai keramik yang dingin. Tangannya mengetuk-ngetuk pelan pintu kamar, namun Papinya justru berseru dari dalam.

“Nggak usah banyak drama, Shakila. Buruan tidur sana!”

Yang kemudian membuatnya tidak punya pilihan lain selain tidur dengan Awan malam ini.


“Habis dari mana?”

Awan bertanya saat Kila baru saja masuk ke kamarnya dengan wajah cemberut. Gadis itu mendengus keras disertai tatapan tajam, mungkin sengaja untuk menunjukkan kekesalannya pada pemuda itu. Sebenarnya bukan salah Awan juga sih, tapi karena Kila bingung mau melampiaskannya ke siapa jadi Awan lah sasarannya.

Pemuda dengan kaos putih dan celana pendek selutut yang kini duduk menyandar di headboard ranjang Kila menatap sang istri kebingungan, dalam hati turut bertanya-tanya apakah dia buat salah barusan?

“Shakila—–”

“Bisa nggak ... jangan tidur di ranjang gue.”

Dibanding pertanyaan, nada bicara Kila lebih terdengar seperti perintah. Tapi Awan tidak tersinggung kok, dari awal ia sudah menduga hal tersebut akan keluar dari bibir Kila. Gadis itu mana mau tidur seranjang dengannya. Meski mereka berdua sudah resmi menjadi suami istri sekalipun, Awan masih belum berhasil mendapatkan hati gadis itu.

Tidak masalah, Awan akan berusaha lebih keras lagi ke depannya. Toh, mau seberapa keras pun Kila menolak, berdasarkan hukum dan agama mereka sudah terlanjur terikat.

“Saya udah duga kalau kamu bakal keberatan,” Awan tersenyum sambil beranjak dari ranjang Kila yang sebenarnya muat untuk ditempati dua orang dewasa seperti mereka. “Maka dari itu saya udah minta asisten saya buat bawain kasur lipat.”

Awan menunjuk sebuah kasur lipat yang tersandar di pojokan kamar, sebelum kemudian tersenyum pada Kila.

“Kalau saya tidur di samping ranjang kamu nggak apa-apa kan? Jaga-jaga kalau kamu jatuh dari ranjang pas lagi tidur. Saya juga nggak mungkin kan tidur di luar? Nanti orang tua kamu bakalan mikir macam-macam.”

Kila memandangi pergerakan Awan yang mengambil kasur lipat bawaannya dan betulan menggelarnya di samping ranjang, pemuda itu juga membawa selimut tambahan sendiri. Benar-benar sudah dipersiapkan secara matang, atau pikiran Kila saja yang mudah ditebak?

Ah, terserah saja lah. Kila tidak akan peduli!

“Boleh minjam bantalnya nggak, Kila? Asisten saya lupa bawa bantal tambahan tadi,” katanya sambil nyengir.

Sejenak, Kila merasa tidak tega. Dia sadar sih apa yang ia lakukan saat ini sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin ia membiarkan suaminya tidur di tempat terpisah saat malam pertama pernikahan mereka, ditambah lagi usia Awan itu lebih tua darinya. Tapi dibanding perasaan tidak tega, rasa gengsinya jauh lebih tinggi dari itu.

Jadi, ia serahkan salah satu bantalnya pada Awan yang langsung diterimanya dengan senang hati. Gadis itu kembali mendengus kasar seraya rebahan di atas kasur, serta memasukkan tubuhnya ke dalam selimut hingga sebatas dada.

“Shakila, jangan tidur dulu ya. Saya mau bicara sebentar.”

Kila menolehkan kepala pada sosok Awan yang kini juga sudah rebahan di atas kasur lipat serta berlapiskan selimut. Kemudian gadis itu kembali menatap langit kamarnya yang berwarna cokelat seraya membalas, “Bicara apa?”

“Tentang kita sebagai suami istri.”

Awan ikut menatap langit kamar Kila dengan senyum di wajah. Sepanjang hari ini dia memang banyak tersenyum, agaknya wajar saja karena hari ini merupakan hari pertamanya berganti status dari lajang menjadi menikah. Awan sudah jadi suami Kila sekarang, secara sah berdasarkan agama dan hukum negara.

“Waktu saya bilang nggak akan membebankan kamu dengan tanggung jawab sebagai seorang istri, saya serius, Shakila. Saya nggak akan maksa kamu buat masakin saya setiap hari, karena saya juga bisa kok ngelakuin itu sendiri. Saya juga nggak akan nyuruh kamu nyuci ataupun nyetrikain baju saya, karena saya juga bisa melakukan itu kok, kadang kalau sibuk saya antar aja ke laundry. Untuk masalah kebersihan apartemen, saya biasanya minta ART di rumah buat bersih-bersih juga di apart saya. Jadi kamu nggak perlu repot melakukan semua itu, Shakila.”

Ada jeda sejenak dari ucapan Awan, mungkin dia sedang berpikir dan merasa ragu untuk mengatakannya. Jadi Kila sengaja menunggu untuk beberapa saat sampai akhirnya suara Awan kembali terdengar.

“Masalah itu ... kamu tau? Anak? Saya nggak akan maksa kamu. Beberapa kesempatan mungkin Mama saya bakalan nanya dan bikin kamu merasa terganggu. Tapi tenang aja, saya bakal kasih tau mama buat nggak menyinggung masalah itu di depan kamu.” Awan menarik napasnya dalam-dalam sebelum kemudian lanjut bicara. “Kamu masih boleh kok main sama teman-teman kamu, kalau mau nonton atau shopping di mall juga silakan. Saya nggak akan larang kamu, Kila. Asal masih dalam batas wajar.”

“Saya menghargai kamu sebagai perempuan juga sebagai istri saya. Dari awal kamu juga udah bilang kok kalau menikah dengan saya hanya karena terpaksa. Jadi saya nggak akan menuntut kamu macam-macam dalam pernikahan ini, setidaknya sampai kamu siap dan mau menerima saya sebagai suami kamu. Saya mungkin bakalan cerewet dalam beberapa hal, tapi yang harus kamu tau adalah kalau saya melakukan itu tandanya saya sayang dan peduli sama kamu. Tolong jangan diartikan buruk ya?”

Masih tidak ada balasan dari sang istri, tapi Awan tau kalau gadis itu belum tidur. Dia bisa melirik mata Kila yang berkedip dalam beberapa detik, jadi ia kembali meneruskan.

“Kalau boleh jujur, sebelum menikah sama kamu saya punya banyak sekali impian yang ingin saya capai. Tapi setelah menikah sama kamu, saya pikir impian-impian itu akhirnya tergeser karena yang menjadi fokus utamanya sekarang adalah kamu. Tentang gimana saya bisa bikin kamu merasa lebih bahagia setelah menikah dengan saya nantinya. Saya nggak akan membuat kamu menyesali pernikahan ini, Shakila. Itu impian saya.”

Karena sejak tadi tidak ada jawaban langsung dari Kila, Awan sampai harus mengecek sekali lagi ke atas ranjang siapa tau sang istri ketiduran. Tapi ternyata tidak, Kila belum tidur dan mendengarkannya dengan seksama saat Awan bicara. Bohong kalau dia tidak tersentuh dengan ucapan Awan. Kila juga sadar kok kalau ia menikahi orang yang baik, orang yang akan memastikan dirinya merasa aman sekaligus nyaman. Tapi sifat keras kepala Kila juga tidak mau kalah, ia tetap pada pendiriannya untuk tidak akan jatuh cinta pada pemuda itu.

Tapi, bisa kah?

“Udah, diem, nggak usah ngomong lagi. Gue ngantuk.”

Akhirnya, hanya itu saja kalimat yang keluar dari bibir Kila.

Mendengar suara sang istri membuat senyum Awan kembali mengembang, membuat matanya kian menyipit dan yang tersisa hanyalah lengkungan bulan sabit yang menawan.

Dia berkata dengan suara lirih, “Ya udah kalau gitu tidur aja, Kila. Kalau bisa nggak usah mimpi ya, tidur aja yang nyenyak. Aku bakal jaga kamu dari sini.”

Sesuai janji mereka tadi pagi, sekitar jam dua siang setelah kelasnya selesai Kila langung bergegas menuju Limitless Kafe yang merupakan tempat janjian mereka.

Sejujurnya ia sudah terlambat lima belas menit akibat macet di perjalanan, dan begitu sampai di kafe matanya langsung menemukan sosok pemuda berjas warna navy yang tengah duduk sendiri bertemankan iPad dan segelas ice americano. Kila berjalan mendekat ke arah si pemuda, lalu tanpa merasa bersalah duduk di hadapannya dengan wajah pongah dan tangan kanan terulur.

“Mana gelangnya?”

Awan mendongak, mengalihkan sejenak perhatiannya dari layar iPad dengan alis terangkat satu. Sejurus kemudian atensinya terpusat pada arloji bermerk Rolex di pergelangan tangan kirinya.

“Kamu baru aja terlambat lima belas menit, Shakila.”

“Iya tau, Om pasti sibuk kan?” Kila berdehem sejenak saat mata Awan menatapnya tajam, gadis itu buru-buru meralat. “Lo pasti orang sibuk kan dan nggak punya banyak waktu buat nemuin gue, makanya kita to the point aja langsung. Kembalikan gelang gue sekarang biar setelah itu lo bisa balik lagi ke kantor.”

Pemuda itu tersenyum saat Kila berucap demikian, tangannya kemudian beralih pada gelas americano-nya dan meminumnya dengan wajah santai. “Saya udah ngeluangin waktu saya khusus buat kamu kok.”

'Dih, apa banget deh?' Shakila membatin dengan wajah sangsi.

Di depannya, Awan merogoh saku bagian dalam jas untuk mengeluarkan sebuah gelang dan menaruhnya di depan Kila. Gadis itu langsung mengambilnya dan menyimpannya ke dalam sling bag. Tadinya setelah itu ia berniat untuk segera pergi karena urusan mereka juga sudah selesai, tapi Awan justru kembali mengajaknya bicara.

“Kekanakan sekali gelang kamu.” komentar Awan tidak sama sekali membuat Kila tersinggung, karena ya bukan hanya dia saja yang beranggapan begitu tapi teman-temannya yang lain juga. Dengan kata lain, Kila sudah terbiasa dengan komentar semacam itu.

Jadi gadis itu hanya mengangguk santai sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Namanya juga gelang waktu kecil.”

“Selalu kamu pakai sampai sekarang?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Ya nggak apa-apa, pengen aja. Lagi pula itu gelang pemberian dari seseorang.”

Awan mengangguk mengerti, dalam hati juga merasa senang begitu tau Kila masih menyimpan bahkan memakai gelang pemberiannya dulu. Padahal itu sudah lama sekali.

“Tapi begitu gue liat-liat lagi, kayaknya gelang itu udah seharusnya dibuang.”

Lanjutan kalimat yang keluar dari mulut Kila membuat Awan mengernyitkan dahi. “Kenapa gitu?”

Kila tidak langsung menjawab, matanya terfokus pada gelang perak yang kini sudah berada di dalam tasnya. Gadis itu tersenyum miris, sebelum kemudian menggeleng.

“Itu udah lama banget, gelangnya keliatan udah tua. Mana sering putus lagi, nggak kehitung udah berapa kali gue benerinnya. Udah seharusnya dibuang lalu diganti dengan yang baru kan?” tanya Kila seolah meminta persetujuan dari Awan.

Jujur saja Awan bingung harus menjawab apa. Entah alasan yang diungkapkan Kila memang benar adanya, atau justru ada alasan lain yang mendasarinya hingga berpikir untuk membuang pemberiannya tersebut. Tidak bohong, hati Awan merasa terluka saat mendengar Kila berucap begitu. Apa sekarang Shakila sudah benar-benar melupakannya?

Eh, Shakila. Itu minuman saya!” peringat Awan saat si gadis dengan santainya meminum ice americano miliknya yang ada di atas meja tanpa rasa canggung.

Kila meletakkan kembali gelas kopi tersebut setelah meminumnya beberapa tegukan. “Bagi dikit lah, gue haus tapi nggak mau buang duit buat sekedar beli minuman. Lagian kartu gue juga masih diblokir sama Papi.”

“Diblokir? Kenapa?”

“Ya gitu deh, katanya gue boros. Perasaan biasa aja deh!”

Awan terkekeh tanpa sadar saat Kila menggerutu dengan wajah lucu, benar-benar mengingatkannya pada sosok Kila kecil. Memang tidak banyak yang berubah dari gadis itu selain wajahnya yang semakin cantik dan dewasa, juga tinggi badannya tentu saja. Kila semakin tinggi sekarang, kira-kira sebahu Awan lah.

“Bujuk dong Papi kamu buat batalin blokirannya.”

“Udah, tapi Papi malah ngajuin persyaratan yang nggak masuk di akal. Mau tau nggak apa syaratnya?”

Sepertinya obrolan mereka ini semakin menarik saja. Jadi Awan menyingkirkan sejenak iPad di tangannya dan menaruh kedua lengannya di atas meja, menatap antusias pada wajah Kila yang masih memberengut kesal.

“Papi malah mau jodohin gue sama anak temannya yang gue aja nggak kenal dia siapa. Gila banget nggak sih? Gue nggak habis pikir kok masih ada aja orang tua modelan Papi ini, harusnya udah di museumkan nggak sih?”

Ah, rupanya Om Dimas juga sudah membicarakan perihal perjodohan itu pada Shakila. Awan tersenyum senang, namun buru-buru merubah ekspresinya menjadi biasa saja untuk menghargai kekesalan Kila saat ini.

“Kenapa nggak mau dijodohin? Siapa tau anak temen Papi kamu ganteng, baik, terus mapan. Nggak rugi kali kalau nikah sama dia.”

Kila langsung memandangnya tak percaya. “Loh, Papi juga ngedeskripsikan anak temannya begitu. Lo cenayang ya?”

“Hah?” Sejenak Awan merasakan kepanikan, tapi sebisa mungkin mengontrol mimik wajahnya agar terlihat normal. “Hng, cuma asal nebak kok.”

Ah, tetap aja gue nggak mau dijodoh-jodohin!”

“Kamu udah punya pacar ya?”

“Nggak, belum. Gue—– AH, IYA PACAR!”

Seruan tiba-tiba Kila tak gagal membuat Awan tersentak di tempatnya. Pemuda itu refleks menjauh saat mendadak Kila mendekatkan wajahnya dengan ekspresi penuh harap.

“Lo mau nggak jadi pacar bohongan gue? Sehari ini aja kok, ketemuan sama Papi terus ngaku jadi pacar gue.”

“Biar apa?”

“Biar gue nggak dijodohin sama anak teman Papi.”

Bukan jawaban ataupun penolakan yang keluar dari bibir Awan, melainkan semburan tawa lepas yang entah sudah berapa lama tidak ia tunjukkan. Mereka baru bertemu beberapa menit saja tapi Kila sudah berhasil membuat Awan seterhibur ini. Di saat pemuda itu sibuk dengan tawanya, ada Kila yang memandanginya dengan wajah aneh sekaligus kesal.

“Kenapa lo ketawa?”

“Nggak, cuma lucu aja.” Awan masih berusaha meredam tawa, namun gagal sebab kekehannya masih saja keluar. Dia bahkan sampai harus mengusap sudut matanya yang sedikit berair. “Tapi ini beneran kamu pengen saya jadi pacar kamu?”

“Ya beneran lah, sehari aja kok. Nanti malam ketemu sama Papi gue.”

Lalu Awan mengangguk, senyuman misterius itu tampil di wajahnya yang tampan. Hanya saja Kila tidak menyadari hal itu.

“Baik, saya bersedia jadi pacar bohongan kamu.”

Shakila tidak tau saja kalau senjatanya untuk membuat Papi berhenti menjodohkannya, justru akan berbalik menyerangnya.

“Mana pacar kamu? Katanya mau dikenalin ke aku?”

“Ada kok, belum datang aja dia.”

Pemuda di depannya itu tersenyum meremehkan, lalu melipat tangannya ke dada dengan wajah menyebalkan khasnya. “Bohong kan? Ini pasti cuma alibi kamu doang biar bisa putus dari aku. Shakila, kamu itu cintanya cuma sama aku. Aku tau itu.”

“Nggak usah kepedean deh lo!”

Gadis yang baru saja dipanggil Shakila itu merotasikan bola mata, mulai jengah dengan sifat super narsis mantan pacarnya tersebut. Terlebih saat memandang ekspresi meremehkannya, jika saja saat ini kafe tempat mereka berada sedang sepi, Kila tidak akan berpikir dua kali untuk memukul kepalanya.

Nama pemuda itu Juanda Veylano atau yang akrabnya disapa Juan, mantan pacar terngeselin dan ternarsis yang pernah Kila miliki. Sok paling ganteng, sok paling oke, sok kaya, sok keren, dan sok-sok lainnya. Dan dia dengan percaya diri yang tinggi selalu beranggapan bahwa Kila masih dan selalu mencintainya, padahal aslinya tidak sama sekali. Sudah sejak lama malah Kila ingin putus dengan Juan, dan saat ia sudah berhasil mengucap kata itu, Juan justru tidak terima. Padahal Kila memutuskan Juan karena pemuda itu ketahuan selingkuh dengan teman sekelasnya, tapi malah Juan sendiri yang ngotot ingin mempertahakan hubungan mereka. Konyol sekali memang, dikira Kila bodoh atau apa?

Seharusnya urusan di antara mereka ini sudah selesai seminggu yang lalu, tapi Juan terus saja menerornya dengan kalimat andalan 'aku nggak mau putus sama kamu'. Jadi selama seminggu itu Juan setiap hari mengiriminya pesan, menelpon, bahkan mengirim DM ke semua akun sosial medianya. Juan juga pernah nekat datang ke kosannya yang mana membuat teman sekosnya jadi pada risih karena dia benar-benar mengganggu. Tidak tahan dengan semua itu, Kila berbohong pada Juan kalau sekarang dia sudah punya pacar. Kebetulan ia juga sudah meminta bantuan pada Vano, teman akrabnya untuk pura-pura jadi pacarnya hari ini. Dan pemuda itu menyanggupi permintaannya tanpa banyak berpikir, hanya saja sampai sekarang tidak kelihatan batang hidungnya.

Sementara di hadapannya sekarang, ada Juan yang menyeruput lemon tea di gelas dengan tawa mengejek. Benar-benar menyebalkan, tolong tahan Kila untuk tidak memukulnya sekarang.

“Aku tau kamu bohong, Kila. Udah ya bercandaannya, mending sekarang kita balikan aja. Bukan apa-apa nih, tapi aku takut suatu saat nanti kamu menyesal karena mutusin cowok kayak aku. Tau sendiri kan yang naksir aku banyak? Aku ini incaran cewek-cewek di kampus loh, kamu termasuk beruntung bisa diajak balikan sama seorang Juanda Veylano.”

Rasanya Kila mau muntah mendengarnya. Lihat kan tadi bagaimana narsisnya Juan? Sepertinya Kila kesurupan dulu sewaktu mau-mau saja diajak pacaran sama dia, bahkan hubungan mereka sampai berjalan tiga bulan lamanya. Bener-benar tiga bulan yang membuang waktu saja.

“Dari pada ngajak gue balikan, lebih baik lo periksa kejiwaan lo aja sana. Makin hari kadar kenarsisan lo makin parah aja gue liat-liat, cewek mana coba yang tahan pacaran lama sama lo?”

“Nggak usah sok jual mahal begitu sama gue. Ingat ya, Kila, lo nggak secantik itu. Maaf nih kalau gue harus jujur, tapi dibanding mantan gue yang lain lo yang standarnya paling bawah. Badan lo juga biasa-biasa aja, modal cantik doang.”

“Oh, berarti lo mengakui dong kalau gue cantik?”

“Nggak lebih cantik dari mantan gue yang lain, tentu saja.”

“Ya udah, ajak aja sana mantan lo yang lain balikan. Kenapa masih ngerecokin gue?”

“Shakila, tolong jangan mengalihkan pembicaraan!”

Dasar aneh, bukan kah dari awal Juan sendiri yang bicaranya melantur kemana-mana? Memuji diri sendiri dan mantan-mantannya, juga merendahkannya, kenapa sekarang justru Kila yang dibentak?

Suara Juan yang cukup nyaring itu rupanya sukses membuat pengunjung kafe menoleh ke arah mereka dengan berbagai tatapan. Ada yang merasa terganggu, heran, penasaran, dan berbagai ekspresi lainnya. Jujur saja Kila malu, tapi Juan malah kelihatan santai-santai aja. Dia senang karena berhasil menarik perhatian orang, karena itu memang hobinya.

“Dengar ya, Juanda Veylano yang katanya ganteng itu. Gue ini udah punya pacar baru, jadi stop ngejar-ngejar gue seperti orang bodoh. Terlebih kalau gue yang kata lo standarnya paling rendah, emangnya nggak malu?”

“Tapi gue maunya sama lo!”

“GUE YANG NGGAK MAU SAMA LO!”

Seruan Kila yang mulai tersulut emosi itu kembali memancing perhatian orang, biar saja lah lagipula ia juga sudah terlanjur malu karena ulah Juan. Oh iya, Juan. Pemuda itu sekarang kelihatan kaget sehabis dibentak Kila, mungkin tidak menyangka juga akan dibentak begitu. Dan tindakan Kila barusan berhasil membuat Juan semakin marah.

“Nggak, lo nggak boleh pacaran sama cowok lain. Lo cuma boleh pacaran sama gue!”

“Stres ya lo?” Kila menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Gadis itu mengambil sling bag-nya dan berniat cepat-cepat pergi karena sudah muak dengan Juan, ditambah lagi Vano tak kunjung datang. Namun mantan gilanya ini justru menahan pergelangan tangan Kila. “Juanda!”

“Urusan kita belum selesai, Shakila!”

“Tapi gue udah selesai sama lo!”

“Ya nggak bisa gitu dong, lo harus nurut sama gue!”

Dih, emang lo siapa anjing?!”

“SHAKILA!”

Bersamaan dengan seruan Juan yang lebih pas disebut bentakan, suara lonceng yang berbunyi saat pintu dibuka berhasil membuat Kila refleks menolehkan kepala. Saat ia pikir yang datang adalah Vano, Kila hanya bisa mendesah kecewa begitu tau yang baru saja masuk ke kafe bukanlah dia. Melainkan seorang pemuda berpakaian super rapi dengan jas kantoran dan sepatu mengkilap, di tangan kanannya tergenggam sebuah ponsel sedangkan tangan kirinya membawa tas kerja. Dia kelihatan celingukkan seperti mencari seseorang dan mencoba untuk menelpon, dan di saat yang bersamaan sebuah ide gila langsung muncul di kepala Kila. Tanpa rasa malu, mungkin sudah sejak tadi urat malunya putus akibat ulah Juan, Kila melambaikan tangannya seraya berseru.

“SAYANG, AKU DI SINI!”

Bukan hanya si pemuda yang menolehkan kepala ke arahnya dengan wajah bingung, tapi pengunjung yang lain pun sama. Dan lagi-lagi mereka jadi pusat perhatian, setelah ini Kila bertekat untuk tidak akan pernah datang ke kafe ini lagi. Ya karena semua kejadian hari ini begitu memalukan!

Pemuda yang barusan ia panggil itu tidak kunjung bergerak dari posisinya, malah memandangi Kila seperti orang bodoh, maka dari itu ia sendiri yang berinisiatif untuk menghampiri. Dihempaskannya cekalan tangan Juan dengan satu hentakan kasar, membuat si pemuda memandanginya tidak terima, namun berakhir membiarkan Kila berlari menghampiri pemuda lain di depan pintu kafe.

Kila meringis malu menatap wajah pemuda yang tadi dipanggilnya 'sayang' itu, terlebih saat dia memandangi Kila seperti 'Orang gila dari mana nih?' dengan ekspresinya itu. Tapi karena sudah terlanjur malu di awal, jadi ya diteruskan saja biar nggak nanggung.

“Gue emang nggak kenal lo siapa, tapi bisa bantu gue sebentar nggak? Sebentar aja kok beneran, cuma sampai cowok di sana pergi.”

Awan, pemuda yang sedang diajak bicara oleh Kila itu tidak langsung menjawab, malah balik memandanginya dengan ekspresi aneh. Matanya bergulir ke arah Juan yang masih berdiri dengan wajah kesal, bahkan kini nampak melipat tangannya ke dada, lalu kembali memusatkan perhatiannya lagi pada Kila.

“Maaf ya tapi saya nggak bisa, saya juga ada urusan.”

“Sebentar aja kok, please.”

“Nggak bisa, mbak. Saya buru-buru, lagi pula itu urusan situ bukan urusan saya.”

“Kok gitu sih?”

“Ya emang begitu.”

Astaga, Kila kesal sekali sampai rasanya mau menangis. Terus ini gimana, Kila harus apa. Masa iya kabur sih, yang ada ditertawakan orang dan berujung diejek sama Juan. Kila tidak bisa membiarkan hal itu sampai terjadi, bisa jatuh harga dirinya di depan si mantan gila.

“Kenapa, La?”

Kila memejamkan matanya guna menahan gejolak emosi di dada saat suara Juan terdengar begitu dekat. Pemuda itu berdiri di sebelah Kila, memandang penuh selidik pada sosok laki-laki lain yang tadi dipanggil 'sayang' oleh Kila.

“Ini ya pacar baru kamu?” tanya Juan sangsi. Matanya menatap Awan dari ujung kepala sampai ujung kaki, menilai. Lalu mengangguk paham, “nggak jelek-jelek banget sih, meski masih cakepan aku.”

Oh, please, Juan. Gue muak sama kenarsisan lo.”

Juan mengedikkan bahunya tak peduli, “Itu faktanya kok.” Lalu atensinya berpindah lagi pada Awan yang memandang keduanya dengan wajah bingung. “Udah berapa lama pacaran sama Kila?”

“Saya—–”

“Baru lima hari kok,” dengan segera Kila memotong ucapan Awan dan menggenggam tangannya sebelum semuanya terbongkar. “Maaf ya, sayang. Aku tau kamu sibuk, tapi aku malah minta kamu buat datang kemari.”

“Sa—–”

“Masnya udah kerja?”

Ucapan Awan dipotong lagi.

“Iya, ta—–”

“Kerja di mana? Umurnya berapa? Kelihatannya lebih tua ya dari Kila?”

“Juan!” seru Kila saat Awan mulai kelihatan risih pada pertanyaan Juan. Apalagi kelihatannya Awan ini lebih tua dari mereka, agaknya ini memang sudah keterlaluan.

“Lo sekarang sukanya sama yang modelan Om-om kantoran gini ya, La?” Juan tertawa meledek, membuat Awan tersulut emosi dan Kila yang bertambah kesal. “lo kalau bercanda gini banget deh. Gue tau selera lo bukan yang begini, Shakila. Ini pasti Om-om random yang lo temui di club terus lo suruh buat pura-pura jadi pacar lo kan?”

“Saya nggak setua itu untuk dipanggil, Om!” Awan berseru kesal, membuat urat lehernya terlihat semakin jelas. Jujur saja, Kila agak ngeri melihatnya.

“Terserah kalau lo nggak percaya, tapi dia beneran pacar gue kok.” sahut Kila memberanikan diri, ia bahkan mengabaikan bagaimana tatapan Awan menjurus ke arahnya dengan ekspresi ingin menyangkal. Tapi sebelum Awan sempat membuka mulutnya, Kila sudah lebih dulu berkata. “lo mau bukti?”

Juan yang merasa tertantang tentu saja mengangguk. Dagunya terangkat tinggi, begitu pongah dan menyebalkan. “Coba aja.”

Maka yang Kila lakukan selanjutnya benar-benar di luar akal sehat Awan, sampai-sampai ia pikir gadis itu sudah tidak waras. Sebab Kila justru menarik tengkuknya dan mendaratkan ciuman pada bibirnya, sontak saja kejadian itu menarik banyak perhatian pelanggan kafe. Tidak terkecuali Juan yang hanya bisa ternganga di tempatnya berdiri.

Bibir keduanya hanya sekedar menempel memang, itupun tidak berlangsung lama sebab Kila buru-buru menjauhkan wajahnya sementara Awan membeku di tempat. Ini memang bukan ciuman pertamanya, tapi tetap saja Awan kaget karena yang menciumnya barusan adalah gadis asing yang bahkan namanya saja ia tidak tau!

“Lo percaya sekarang?”

“Lo udah gila, Shakila!”

Awan mengangguk tanpa sadar, menyetujui ucapan Juan pada si gadis gila. Tidak lama setelah itu dia memutuskan untuk pergi dari kafe, entah malu, entah kesal atau apa Awan juga sulit menebak ekspresinya tadi. Sekarang yang tersisa hanya dirinya, si gadis gila, dan pengunjung kafe yang masih memusatkan perhatiannya pada mereka.

Malu karena jadi tontonan banyak orang, Awan memutuskan untuk membawa pergi gadis itu ke tempat lain yang lebih sepi. Walau bagaimana pun juga ini harus segera diluruskan, Awan tidak terima dipermalukan seperti itu di depan orang banyak.

“Saya perlu bicara sama kamu.” katanya, lalu membawa Kila masuk ke mobilnya yang terparkir.

Gadis itu tidak protes, mungkin sadar bahwa apa yang ia lakukan barusan memanglah salah dan tidak seharusnya terjadi. Terlebih mereka hanya dua orang asing yang bahkan baru pertama kali bertemu.

Anu, ngomong-ngomong itu tadi mantan saya. Emang nyebelin banget orangnya, udah diputusin berulang kali tapi tetap aja ngeyel! ngajak balikan!”

Sebentar, Awan malah jadi salah fokus pada hal lain. “Apa? Barusan kamu panggil saya apa tadi?”

“Om. Eh, salah ya? Maaf kalau gitu, Pak.” jawab Kila dengan wajah super polosnya, karena ia pikir Awan memang jauh lebih tua darinya. Ya meskipun nggak setua itu juga untuk dipanggil 'Pak', plusnya lagi Awan terlihat tampan dan awet muda.

“Saya bukan bapak kamu!”

“Ya emang iya, yang bilang saya anak Om juga siapa?”

“Saya nggak setua itu untuk dipanggil, Om. Mau kemana sih kamu? Urusan kita belum selesai!” Awan buru-buru mencekal pergelangan tangan Shakila yang sudah berniat membuka pintu mobilnya.

Sebenarnya bukan berniat mau pergi sih, Kila cuma agak takut saja berada di mobil tertutup bersama laki-laki asing. Kalau dia diapa-apai gimana, bisa ribet urusannya nanti. Jadi untuk berjaga-jaga lebih baik pintunya dibuka saja, tapi Awan justru berpikir hal lain.

“Om, saya mau pulang.”

“Ya tanggung jawab dulu dong, kan kamu udah nyium saya tadi!”

“Tanggung jawab gimana? Om mau saya nikahin gitu?”

“Berhenti panggil saya, Om! Nama saya itu Awan. Dan lagi, saya cuma butuh permintaan maaf dari kamu sebagai bentuk pertanggung jawaban!”

“Oh, ya udah kalau gitu. Saya minta maaf. Dah kan? selesai kan urusan? Kalau gitu saya mau pu—– Haduh, apa lagi sih, Om!” Kila kembali dibuat berdecak kesal saat lagi-lagi pergelangan tangannya ditahan oleh tangan besar Awan.

“Nama.”

“Apa?”

“Saya perlu tau nama lengkap kamu.”

Ck, Shakila Azalea. Udah kan? Sekarang lepasin tangan saya.”

Shakila Azalea?

Kenapa nama itu terdengar tidak asing di telinga Awan?

Amel tersenyum memandangi motor Cetta dari dinding kaca yang mengarah keluar kafe, mendadak teringat kembali kecerobohannya saat tidak sengaja menabrak motor itu dan membuat takdir mempertemukan keduanya.

Rasanya seperti sudah berlalu cukup lama, padahal kenyataannya baru sekitar tiga bulanan. Dan selama rentang waktu itu, ada banyak sekali hal yang terjadi. Awal pertemuan mereka yang tidak terlalu menyenangkan, masa-masa saling mengenal, berpacaran, hingga akhirnya putus dan kini sudah memiliki pasangan masing-masing. Dalam waktu tiga bulan mereka telah melewati semua masa itu.

Sekarang yang tersisa hanyalah kenangannya saja, sebab mereka tidak lagi mengukir kisah kasih bersama.

“Udah lama?”

Seorang pemuda dengan hoodie hitam datang menghampirinya sambil tersenyum, Amel membalas senyumannya lalu menyuruhnya untuk duduk.

“Baru aja sih, kayaknya gue datang kecepatan.”

Cetta kembali menarik sudut bibirnya, mencoba tersenyum walau terpaksa saat mendengar bagaimana cara bicara Amel yang kini telah berubah. Sekarang panggilan aku-kamu sudah tidak berlaku lagi di antara mereka, dan entah kenapa Cetta jadi merasa asing dengan semua ini.

“Ngomong-ngomong, lo mau ngomong apa?”

“Boleh pesan minum dulu nggak?”

Ah, iya. Lupa.”

Maka keduanya pun memesan dua gelas minuman yang berbeda pada pelayan kafe, mereka tidak saling bicara hingga pesanan mereka datang dan Cetta menikmati ice americano kesukaannya dengan nikmat.

“Yang nabrak lo waktu itu, lo udah tau siapa orangnya?”

Amel berhenti menyedot jus alpukatnya saat Cetta bertanya tiba-tiba. “Nggak, belum. Lebih tepatnya gue nggak terlalu perduli juga sih.”

“Kenapa?”

“Ya nggak apa-apa. Toh, sekarang gue baik-baik aja kan? Waktu itu juga gue nggak ada luka apa gimana, jadi biarin aja lah. Udah lewat juga.”

Amel memang begitu, dia aslinya paling malas terlibat konflik dengan siapa pun. Jadi kalau dirasa masalah itu bisa dia abaikan, maka ia akan mengabaikannya begitu saja. Tapi Cetta berbeda, ia tidak bisa hanya diam saja di saat ia sendiri tau siapa pelakunya. Maka tujuan ia mengajak Amel bertemu adalah karena ia ingin mengatakan semuanya, jujur pada Amel bahwa Rena lah yang melakukan itu.

Tapi saat ia sudah berniat untuk mengatakannya, lidah Cetta justru mendadak kelu. Di otaknya mulai terpikir tentang harus kah ia mengatakan yang sejujurnya?

Dan jawabannya tentu saja harus.

“Rena.”

“Hah?”

Kepala Cetta yang semula tertunduk memandangi gelasnya di atas meja mulai mendongak agar dapat menatap ekspresi Amel yang kelihatan bingung. Paham bahwa si gadis meminta penjelasan lebih lanjut atas maksud ucapannya yang ambigu, Cetta kembali berkata.

“Rena yang hampir mencelakakan lo waktu itu, Mel.”

“Astaga....” Amel menggelengkan kepalanya tak habis pikir, sejauh itu kah Rena akan bertindak?

“Lo yakin nggak salah orang, Ta?”

“Gue udah coba konfirmasi sama Rena, dan dia ngaku kalau emang dia pelakunya. Maafin gue ya, Mel. Semua emang salah gue.”

“Kenapa jadi lo yang minta maaf?”

“Sehari sebelumnya gue sama Rena sempat bertengkar, dia nyalahin lo karena nganggap Mami lebih sayang sama lo ketimbang dia. Gue coba kasih pengertian ke Rena tapi dia nangkapnya kalau gue lagi belain lo. Makanya dia marah, dan berakhir nekat mencelakakan lo.”

Ah, itu.” Amel tersenyum miris seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, “di hari gue makan siang sama Tante Bunga kan? Dia juga sempat nyalahin gue saat itu, terus ngirim kata-kata yang mungkin maksudnya ancaman? Nggak secara jelas memang, makanya waktu itu gue nggak sadar.”

“Maaf.”

Kepala Cetta kembali tertunduk lesu, membuat Amel jadi tak enak hati padanya. Padahal Cetta sama sekali tak bersalah, keegoisan Rena lah yang membuat semua ini terjadi.

“Gue baik-baik aja, nggak masalah kok. Lagian lo juga yang udah nyelametin gue waktu itu, jadi jangan merasa bersalah.”

“Mulai sekarang, gue janji hal yang sama nggak bakal terulang kembali. Gue nggak akan biarin Rena gangguin hidup lo lagi, Mel. Dan gue pun sama ... gue nggak bakal gangguin lo lagi.”

“Ta....”

“Sekarang lo udah bahagia kan sama Naka? Gue ikut senang kalau lo ketemu sama laki-laki baik. Tetap bahagia ya, Mel, biar gue juga bisa bahagia tanpa lo.”

Tak nyaman dengan situasi sekarang yang berubah sendu, Amel iseng menendang kaki Cetta di bawah meja, membuat si empunya meringis menahan sakit. Namun tidak lama setelah itu justru ikut tertawa bersama Amel.

“Omongan lo seolah bakal pergi jauh aja, Ta.” Si gadis bergurau.

“Secara teknis itu nggak bakal bisa sih, karena kita kan masih satu kampus. Gedung kita juga sebelahan, secara nggak sengaja pasti bakalan tetap ketemu. Tapi kalau itu sampai terjadi, lo bisa pura-pura nggak lihat gue. Lo bisa abaikan gue, lo juga bisa benci gue kalau lo mau. Apapun itu asal bisa bikin lo merasa lebih tenang dan bahagia. Intinya, gue bakal menjauh dari lo, Amelia.”

“Harus sampai segitunya ya?”

“Bukannya itu yang lo mau? Kata lo, mulai sekarang kita masing-masing aja. Kita nggak usah saling sapa, pura-pura nggak kenal aja kalau ketemu. Jadi, ayo kita lakukan itu. Bersikap seolah kita nggak pernah saling kenal sebelumnya.”

Memang benar ia sempat mengatakan itu pada Cetta, tapi saat pemuda itu menyanggupi permintaannya juga mengatakannya secara langsung seperti ini justru membuat Amel jadi serba salah. Amel senang kalau Cetta berniat untuk tidak mengganggunya lagi, tapi kalau caranya harus saling menjauh begini Amel rasa ia seperti telah berbuat jahat pada Cetta.

Apa kata-katanya waktu itu memang sudah keterlaluan ya?. Amel bertanya-tanya dalam hati.

“Gue nggak akan membenci lo, karena di sini kesalahan sepenuhnya bukan ada di lo. Gue emang risih kalau lo selalu ngerusuhin gue, terlebih lagi kalau Renata ikut campur. Tapi cukup sampai di situ, cukup sampai kita urus masalah kita masing-masing, nggak saling ganggu ataupun merecoki, nggak perlu saling membenci.”

Telapak tangan Amel mendarat pada punggung tangan Cetta yang berada di atas meja. Gadis itu menggenggamnya, membuat pandangan si pemuda turut pergi ke arah sana.

“Gue pernah bahagia sama lo, Cetta. Dan alasan kita putus juga bukan sepenuhnya salah lo, di sini juga gue salah kok. Jadi jangan saling membenci satu sama lain ya?”

Perlahan kedua sudut bibir Cetta tertarik melawan gravitasi, membentuk satu senyuman tulus juga air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Cetta membalik tangannya, membuat kedua telapak tangan mereka saling bertemu, lalu menggenggam erat tangan si gadis yang kini tidak lagi menjadi kekasihnya.

“Sejujurnya, gue juga nggak akan sanggup dibenci sama lo.” ucapnya diselingi kekehan kecil, Amel sendiri hanya menatapnya dengan pandangan nanar. Tidak tau kenapa tapi rasanya seperti ingin menangis. “Makasih karena udah jadi bagian dari kenangan indah di hidup gue.”

“Gue juga mau bilang makasih sama lo.”

Cetta mengangguk, sorot matanya menatap lurus bola mata Amel yang berwarna cokelat gelap di hadapannya saat ini. “Jadi ini akhir dari kita?”

Si gadis membuang pandangannya ke arah lain, suasana sendu di antara keduanya semakin menguat seiring dengan berjalannya waktu. Jika ia nekat menatap wajah Cetta sekarang, niscaya Amel akan menangis saat ini juga.

“Meski sedih, gue tetap bakal bilang iya. Ini akhir dari kita, Cetta.”

Amel mengeratkan genggamannya pada tangan si pemuda. “Jangan lupa bahagia ya, lo pantes dapetin itu. Jadi ayo kita bahagia sama-sama, dengan siapapun pasangan kita saat ini ataupun nanti. Oke?”

“Di mana?”

Amel menjepit ponselnya di antara telinga dan bahu kanan, sebab kedua tangannya sibuk memegang dua plastik makanan ringan untuk stok ngemil di rumah. Dia juga sengaja membeli banyak cemilan karena Gabriel suka ikutan menghabiskan cemilan yang sudah ia sembunyikan sedemikian rupa.

“Minimarket yang dekat kampus, kenapa?”

“Gue mau ngajakin pulang bareng padahal, lo mau pulang sendiri?”

“Bareng aja sini, tapi gue mau ke toko kue dulu bentar. Mama nitip brownies di tempat biasa.”

“Oke, tunggu lima belas menitan lagi ya. Gue lagi antri minjem buku di perpus.”

“Iya. Nggak usah buru-buru, Ka, gue bisa nunggu kok.”

Setelah mendapat balasan kata 'oke' dari Naka, Amel mematikan sambungan telpon lebih dulu lalu memasukkannya ke dalam tas. Cuaca panas siang ini mampu membuat mata Amel menyipit, gadis itu memandang toko roti yang berada di seberang jalan di hadapannya sekarang, sebelum kemudian menghela napas lelah. Di dekat sini tidak ada zebra cross, jembatan penyeberangn orang pun kejauhan, jadi terpaksa Amel harus berusaha sendiri menyebrang. Ini bagian paling merepotkan memang.

Setelah menengok ke kanan dan kiri jalan untuk memastikan perjalanannya aman, Amel mulai melangkahkan kaki dari trotoar ke jalan beraspal hitam. Beruntung kendaraan yang berlalu lalang siang ini tidak seberapa ramai, jadi Amel bisa melewati jalan dengan tenang. Hanya saja baru beberapa meter melangkah, tepat di pertengahan jalan Amel sukses dibuat terbeliak kala sebuah sedan melaju kencang ke arahnya. Entah apa yang sedang dipikirkan pengendaranya saat ini, Amel yakin orang itu melihatnya menyebrang tapi kenapa tidak menurunkan laju mobilnya?

Otak Amel mendadak blank, ia kesulitan berpikir dan kakinya jadi ikutan membeku. Alih-alih melangkahkan kakinya untuk menghindar, ia justru berdiri mematung di tempatnya seperti orang bodoh. Adegan saat ini sama persis seperti sinetron murahan yang sering ia tonton di televisi bersama Mama, ia sering kesal pada si aktris yang seringkali berdiri bengong saat hendak ditabrak mobil. Namun saat ia berada di posisi yang sama, Amel mengerti kenapa si aktris mendadak bodoh seperti itu. Bukan tidak mau menghindar, tapi tubuhnya mendadak kaku saat bahaya datang menghampiri.

Dan saat mobil hanya tinggal berjarak beberapa senti dari tubuhnya, seseorang langsung menarik lengan Amel dan yang ia lihat selanjutnya hanyalah gelap dan suara detak jantung yang terdengar cepat. Amel memejamkan matanya di pelukan orang itu, tubuhnya bergetar hebat dan entah jantung siapa yang detakannya lebih keras sekarang.

Suara klakson kendaraan mulai bersahutan, mengutuk siapa saja yang mengganggu jalan lewat mereka sekarang. Namun di saat yang bersamaan Amel jadi sadar, mereka masih berdiri di tengah jalan. Masih dengan wajah pucat dan bibir yang mendadak kering, Amel mendongak untuk melihat siapa orang yang baru saja menyelamatkannya tadi. Bersamaan dengan itu, orang tersebut ikut menunduk dengan wajah tak kalah pucatnya.

“Mel, kamu baik-baik aja?”

“Cetta?”

Pemuda itu tidak menjawab, pandangannya mengarah pada sebuah sedan hitam yang hampir menabraknya tadi terparkir asal di bahu jalan. Keadaan si pengendara kelihatannya baik-baik saja, sebab tidak lama setelah itu mesin mobilnya kembali menyala lalu pergi begitu saja tanpa rasa bersalah. Orang itu bahkan tidak keluar dari mobil untuk sekedar bertanya apa Amel baik-baik saja, walau bagaimana pun juga ia hampir mati konyol tadi.

“Kita ke rumah sakit sekarang ya? Aku takut kamu kenapa-napa.”


“Amel!”

Keduanya sontak menoleh bersamaan saat Naka berlari tergesa menghampiri Amel yang terduduk di ranjang pasien. Pemuda itu langsung memeluknya dengan erat, menyembunyikan wajah si gadis pada dekapnya dan membuat Cetta mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jujur saja, hatinya memanas melihat permandangan romantis barusan.

“Lo nggak apa-apa? Ada yang luka nggak? Sakit nggak?” Naka mengecek keadaan tubuh Amel, membalik dan memutarinya untuk memastikan gadisnya baik-baik saja.

“Sebentar, Naka. Lo tau dari mana gue ada di sini?”

Naka melirik sekilas ke arah Cetta sebelum kemudian mengalihkan pandangannya lagi pada Amel. “Cetta yang ngasih tau, dia juga cerita semuanya sama gue. Maaf seharusnya gue datang lebih awal dan nggak ngebiarin lo nyebrang sendirian.”

“Kok jadi lo yang minta maaf sih, kan lo nggak salah.”

“Tetap aja, Amel....”

No, no, no, jangan gitu. Lagian gue baik-baik aja kok, cuma rada shock aja tadi jadi badan gue masih agak lemas.”

“Bisa jalan nggak? Mau digendong?”

“Heh!” Amel memukul bahu Naka dengan kasar, membuat si empunya meringis menahan sakit. Meski sebenarnya tidak sesakit itu juga. “Gue nggak lumpuh ya, Ka. Masih bisa jalan!”

“Kirain.” pemuda itu terkekeh pelan, atensinya berpindah pada Cetta yang berdiri kaku di samping ranjang Amel. “Thanks, udah nolongin Amel tadi dan ngasih tau gue keadaannya.”

Cetta tersenyum meski agak terpaksa, matanya melirik pada Amel yang menatapnya lebih ramah dari biasanya.

“Bukan apa-apa, tapi karena sekarang lo pacarnya jadi gue pikir kewajiban gue buat ngasih tau lo.”

Tepukan pelan di bahu kiri ia dapatkan, Naka tersenyum tulus pada Cetta sebagai ungkapan rasa senang sekaligus syukur karena pacarnya selamat berkat pemuda itu.

“Yuk, Mel, gue antar pulang.”

Amel mengangguk, dibantu oleh Naka untuk berdiri karena kakinya masih agak lemas, tangannya juga melingkar pada lengan si pemuda. Gadis itu kemudian berdiri menghadap Cetta, menepuk bahunya pelan seperti yang Naka lakukan beberapa menit lalu, sebelum kemudian berucap,

“Makasih ya, karena udah nolongin gue tadi.”

Si pemuda terdiam, menatap nanar ke arah Amel yang kini tersenyum tulus padanya. Senyum itu selalu Amel berikan saat mereka masih berpacaran dulu. Tapi semenjak putus, seringkali Amel hanya menatapnya dengan wajah datar.

“Sama-sama.”

Setelahnya, yang Cetta lihat hanyalah punggung Amel dan Naka yang berjalan menjauh meninggalkannya sendiri masih di tempat yang sama. Tubuhnya merosot turun, terduduk pada salah satu kursi sebelum kemudian mengacak rambutnya frustasi. Orang-orang yang berlalu lalang memandanginya bingung, tapi Cetta bersikap seolah tak perduli.

Pikirannya terbawa pada kejadian beberapa menit lalu yang hampir saja mencelakakan Amel. Sebelum ia berhasil menarik tangan Amel menjauhi mobil yang hendak menabrak gadis itu, sekilas Cetta bisa melihat seseorang dibalik kursi kemudi. Seseorang yang tentu saja ia kenali dengan baik.

Renata Laurentina.

Hari-hari setelahnya pun tetap sama, Cetta masih sering mengirim pesan pada Amel meski gadis itu menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan.

Apa yang dikatakan Cetta memang benar, Amel sengaja menghindari pemuda itu saat tidak sengaja bertemu di kampus, ia juga sengaja mengabaikan pesan yang dikirim padanya. Bukan karena Amel takut tidak bisa move on dari Cetta, bahkan kalau boleh jujur sedikit demi sedikit ia sudah mulai melupakan pemuda itu, hanya saja Amel merasa risih.

Mungkin kedengarannya memang jahat, tapi begitulah kenyataannya. Amel sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Cetta, selain kata brengsek, sepertinya kata tidak tau diri juga pantas disematkan padanya.

Kala itu, sewaktu kata putus terucap, sebenarnya Amel tidak benar-benar menginginkannya. Yang ia harapkan adalah Cetta akan membujuknya, berusaha sekeras mungkin untuk meyakinkannya, membuat Amel yang hampir di titik kehilangan kepercayaan itu perlahan akan membaik. Amel hanya ingin melihat usaha Cetta dalam memperjuangkannya sekaligus membuat pemuda itu memilih siapa yang patut dia cintai, tapi nyatanya semua justru berbanding terbalik.

Cetta tidak berusaha, dia tidak meyakinkannya, dia terlalu mudah menyerah pada keadaan yang mana membuat Amel semakin yakin kalau pemuda itu memang tidak serius padanya. Karena jika Cetta benar-benar serius mencintainya, mau sesulit apapun Amel diyakinkan ia akan tetap berusaha. Tapi Cetta tidak begitu, pemuda itu malah menghancurkan perasaannya dengan balikan dengan sang mantan.

Pada akhirnya putus memang pilihan terbaik yang bisa diambil, berpisah sudah seharusnya dilakukan agar masing-masing dari mereka tidak saling menyakiti ataupun tersakiti. Toh, Amel yakin mereka masih bisa berbahagia di jalan masing-masing. Dan ia harap Cetta juga berpikir hal yang sama, ia ingin pemuda itu fokus pada hubungan yang dia jalani saat ini tanpa bayang-bayang Amel di kepalanya.

Amel tidak sepenuhnya menyalahkan Cetta kok, karena dia pun sadar di sini dia juga salah. Amel yang terlalu cemburuan, terlalu overthinking, dan seringkali bertindak tanpa memikirkan apa risiko ke depannya. Bahkan Amel pula yang meminta putus pada Cetta pertama kali. Jadi, berakhirnya hubungan mereka saat ini bukan sepenuhnya salah Cetta.

Mereka hanya belum terlalu dewasa dalam menyikapi permasalahan, terlalu mengandalkan emosi yang kemudian berujung pada penyesalan. Tapi Amel belajar dari kesalahannya itu agar nantinya tidak melakukan hal yang sama pada Naka dan fokus pada hubungannya sekarang, bukan pada masa lalunya.

Sebab hidup masih harus berjalan, waktu juga tidak akan mau berhenti hanya karena kamu sedang patah hati saat ini.


“Kak, pacar lo nunggu di depan tuh.”

Gabriel berjalan menghampiri Amel yang sedang duduk menonton televisi bersama kedua orang tua mereka. Dengan mata yang berfokus pada layar ponsel yang dimiringkan, anak itu menjatuhkan tubuhnya di salah satu ruang kosong di sofa yang Amel tempati.

“Ngapain dia ke sini?” Amel malah balik bertanya.

“Ya nggak tau lah, gue nggak nanya tadi.”

“Bawa motor nggak?”

“Nggak, kayaknya jalan kaki aja orang deket kok.”

Setelahnya, Amel bangkit dari sofa untuk keluar menghampiri Naka. Sekilas ia bisa merasakan Mama memperhatikannya sejak Gabriel berkata 'pacar lo nunggu di depan tuh', dengan pandangan tidak biasa. Mama tau kalau Amel sudah putus dari Cetta, dia juga tau kalau Amel sekarang pacaran dengan Naka, hanya saja wanita itu memilih untuk tetap diam. Hal yang kemudian patut ia syukuri karena Amel malas diinterogasi ini dan itu. Beda lagi dengan sang Ayah yang memang dari awal tidak terlalu tertarik dengan kisah percintaannya, yang paling sering kepo ya cuma Gabriel.

“Ka, kenapa?” tanya Amel saat menemukan Naka yang berdiri di depan pagar rumah yang dibiarkan terbuka oleh Gabriel.

“Sibuk nggak? Gue mau ngajak lo jalan nih.”

“Nggak sibuk sih, malam ini cuma leha-leha aja kerjaan gue dari tadi. Emang mau jalan kemana?”

“Sini-sini aja, kita jalan kaki sambil menikmati malam berdua. Jiakhh, bahasa gue.” Kemudian Naka tertawa, membuat Amel jadi ikutan tertawa karena keanehannya.

Gadis itu mengangguk, mengiyakan ajakan sang pacar sebelum kemudian menutup pintu pagar. Jalan-jalan mereka tidak ada tujuan sebenarnya, ya pokoknya jalan aja gitu yang penting berdua. Selain itu juga sebenarnya ada sesuatu yang mau Naka bicarakan pada Amel.

“Naka/Amel.”

Keduanya terdiam, saling menatap, lalu tertawa bersama. Tidak tau kenapa saat sedang bersama pemuda itu Amel jadi sering tertawa, seringnya sih menertawai tingkahnya, terlebih lagi Naka semenjak jadi pacar tidak begitu menyebalkan lagi. Masih rada tengil sih kadang, tapi di saat yang sama juga terasa lebih hangat dibanding sebelumnya.

“Mau ngomong apa? Lo duluan aja.”

“Nggak-nggak. Lo aja yang duluan, Mel.”

“Oke,” Amel mengusap hidungnya yang agak dingin akibat terkena angin malam, sebelum kemudian lanjut bicara. “Sampai saat ini Cetta masih sering ngehubungin gue, Ka. Awalnya sih gue nggak begitu memperdulikan ya, seringnya nggak gue balas malah. Tapi lama kelamaan gue jadi risih, mau gue block tapi kasihan. Nggak tau kenapa gitu nggak tega aja padahal dulu pas pacaran gue sering ngancam mau block imessnya dia.”

“Gitu ya?”

“Iya. Eh, sorry banget ya ini nggak penting emang tapi gue rasa lo harus tau. Karena kita pacaran dan Cetta itu, eum, mantan gue. Jadi—–”

“Iya, gue ngerti kok.” Naka terkekeh di sebelahnya, satu tangannya merangkul bahu kiri Amel lalu mengusapkan perlahan. Mungkin sadar kalau gadisnya itu sedang kedinginan sekarang. “Lo ingat nggak dulu gue pernah ngomong sama lo kalau ada sesuatu yang mau lo ceritain ke gue, cerita aja. Apapun itu pasti gue dengerin kok, seenggak penting apapun itu menurut lo, gue senang kalau lo mau berbagi sama gue.”

Dibalik wajahnya yang sering Amel katai tengil, mulut Naka cukup manis saat bicara. Sesuatu yang sebenarnya sudah sejak lama ia ketahui, tapi anehnya justru tidak ia anggap istimewa saat itu. Tapi sekarang, rasanya hati Amel berbunga-bunga hanya karena serentetan kalimat sederhana yang keluar dari mulut Naka.

Gadis itu melingkarkan lengannya pada pinggang Naka, lalu mendongak ke atas karena pemuda itu bertubuh lebih tinggi darinya. “Lo sendiri mau ngomong apa tadi?”

“Nggak terlalu penting juga sih sebenarnya, cuma cukup jadi beban pikiran gue beberapa hari ini.”

Waah, apa tuh?”

“Kita pacaran udah berapa lama sih, Mel?”

“Berapa ya?” Amel mencoba mengingat-ingat lagi, sebelum kemudian berucap dengan nada tidak yakin. “Tiga mingguan nggak sih? Gue lupa kapan tepatnya.”

“Hampir sebulan lah ya, terus gimana?”

“Apanya?”

“Perasaan lo ke gue, ada perubahan nggak? Kira-kira ... lo berhasil nggak mencintai gue?”

Pertanyaan Naka membuat kaki Amel berhenti melangkah. Gadis itu terdiam sejenak di tempatnya, membuat Naka ikutan berhenti berjalan untuk sekedar menatap raut wajah Amel yang mendadak berubah. Naka jadi merasa bersalah. Sejak tadi mood Amel kelihatan cukup baik, karena ucapannya barusan Naka takut menghancurkan mood gadis itu.

“Mel, kenapa?” Tangan Naka mendarat di pundak Amel, membuat si gadis mendongak menatapnya.

“Udah berapa lama lo kepikiran hal itu?”

“Hah?” Naka nge-bug sebentar, sebelum kemudian ia paham apa maksud ucapan Amel barusan. “Gue rasa ... dari awal kita pacaran? Jujur aja gue selalu merasa khawatir kalau ternyata lo nggak berhasil mencintai gue, seringkali gue terpikir kalau gimana lo ngucapin kata putus ke gue dengan alasan perasaan lo nggak bisa berubah. Gue takut lo bakal menjauh dari gue karena merasa nggak enak hati, atau menjauh karena alasan nggak mau menyakiti gue lagi. Kemungkinan-kemungkinan itu bikin gue ngerasa nggak tenang akhir-akhir ini.”

“Maaf, seharusnya gue menunjukkan kasih sayang gue secara terang-terangan. Gue baru sadar kalau selama ini perlakuan gue ke lo masih sama kayak pas kita masih temanan, kayak mau kita pacaran ataupun nggak seolah nggak ada bedanya. Kita bahkan masih ngobrol pakai gue-lo sampai sekarang.”

“Nggak, gue nggak mempermasalahkan panggilan gue-lo kok. Selama itu bisa bikin lo ngerasa nyaman ya udah, gue nggak masalah.”

Naka memang begini, dia selalu baik dan pengertian. Sifatnya yang satu itu tidak pernah berubah sejak dulu, dan karena itulah entah sejak kapan Amel rasa ia mulai jatuh hati pada Naka. Tidak sepenuhnya memang, karena ia masih butuh waktu entah sampai seberapa lama untuk meyakinkan diri.

Ujung sandal Amel mengenai milik Naka saat gadis itu berdiri menghadap si pemuda. Naka awalnya kaget, sudah refleks hendak menjauh namun tangan Amel sudah lebih dulu menangkup kedua wajahnya.

“Mel—–”

Setelahnya yang terjadi adalah Amel yang menarik wajah Naka mendekat, lalu mendaratkan satu kecupan singkat di bibirnya.

“Bertahan ya, Ka. Gue masih perlu waktu buat mastiin kalau gue benar-benar cinta sama lo. Lo mau nunggu kan?”

Naka yang masih cukup shock dengan apa yang barusan terjadi tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Pemuda itu hanya berdiri mematung dengan wajah bengong, membuat Amel harus menepuk pipinya agar dia kembali sadar.

Eh, iya.” katanya, agak salah tingkah. Naka mengusap lehernya dengan wajah memerah yang tidak begitu ketara akibat lampu jalan yang remang-remang.

“Ngomong-ngomong, boleh cium lagi nggak, Mel? Yang barusan nggak berasa.”

Idih, dia malah ketagihan.

Dasar Naka!

Sesampainya Cetta di studio foto yang dimaksud Renata, pemuda itu langsung mengirim pesan pada sang pacar untuk mengabari bahwa ia sudah sampai dan menunggu di depan.

Tak berselang lama kemudian, seorang gadis dengan high heels tujuh senti tersebut langsung keluar dari studio lalu menghampirinya. Senyum Renata langsung mengembang ceria saat ia telah masuk ke mobil, menemukan Cetta yang balas tersenyum ke arahnya dengan wajah agak lelah.

Satu tangan si gadis terulur untuk mengusap sisi wajah sang pacar. “Kamu keliatan kurang tidur, Ta.”

“Kamu bisa bilang itu ke diri kamu sendiri, Ren.”

Renata terkekeh seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Sebuah jaket abu-abu pun langsung ia terima saat si empunya menyerahkannya, Cetta memberikan jaket ukuran besar sekaligus tebal tersebut agar sang pacar tidak merasa kedinginan. Sejak pacaran dengan Amel, ia jadi punya kebiasaan seperti itu.

Cetta buru-buru menggelengkan kepalanya saat lagi-lagi teringat kenangannya dengan sang mantan pacar, ia rasa mulai sekarang ia harus belajar untuk melupakan Amel. Meskipun itu sulit, sangat sulit.

“Maaf ya, aku ngerepotin kamu pasti.” celetuk Renata memecah keheningan di dalam mobil.

Masih dengan tangan yang berada di stir kemudi, Cetta menoleh sekilas ke arah Renata seraya tersenyum. “Nggak sama sekali kok, aku malah senang kalau bisa jadi seseorang yang kamu butuhkan.”

Renata melingkarkan tangannya ke lengan Cetta sembari menyandar ke bahu si pemuda. Masih dengan senyum manis di wajahnya, ia menatap jalanan malam kota yang agak lengang di jam satu dini hari. Sejujurnya ia sangat lelah dan mengantuk sekarang, terpikir mau langsung tidur saja kalau bisa. Akan tetapi membiarkan Cetta tetap terjaga dan menyetir mobil sendirian juga tidak terdengar bagus, pemuda itu sudah meluangkan waktu untuk menjemputnya, setidaknya Renata harus mengajaknya mengobrol agar tidak kesepian.

Akan tetapi baru juga berniat membuka mulut untuk melontarkan obrolan lain, suara Cetta sudah lebih dulu menginterupsinya.

“Aku tau kamu capek, Ren. Tidur aja sana, nanti kalau udah sampai aku bangunin.”

“Nggak, kalau aku tidur nanti siapa yang nemenin kamu ngobrol?”

“Aku nggak masalah kok. Udah tidur aja, besok pagi kamu ada photoshoot lagi kan?”

Si gadis mengangguk pelan, ekspresinya masih terlihat keberatan. “Beneran nggak apa-apa?”

“Iya.”

“Ya udah, aku tidur kalau gitu.”

Setelahnya, Renata langsung mengubah kembali posisinya menjadi menyandar ke sandaran kursi. Jaket milik Cetta yang melekat di tubuhnya ia rapatkan lagi, sebelum kemudian perlahan mulai memejamkan mata. Entah mungkin saking lelahnya karena sudah bekerja dari siang hari, hanya butuh waktu lima menit Renata sudah jatuh terlelap. Membuat Cetta tersenyum ke arahnya sambil mengusap lembut kepala Renata.

Gadis itu sudah bekerja sangat keras selama ini. Cetta ingat tempo hari Renata bilang kalau lusa adalah jadwal pengobatan sang Ayah, jadi ia harus bekerja sangat keras untuk membayar biaya rumah sakitnya. Sebagai pacar, Cetta tidak bisa banyak membantu. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengantar jemput Renata saat ke studio ataupun lokasi foto yang kadang bisa sampai ke luar kota, menyempatkan waktu membalas pesan yang dikirim sang gadis, atau kadang video call-an jika gadis itu merindukannya namun mereka tidak bisa saling bertemu. Hanya sekedar perhatian-perhatian kecil yang bisa ia berikan agar Renata tidak merasa kesepian.

Berhubung letak studio tadi tidak seberapa jauh dari apartemen Renata, tidak butuh waktu lama mereka sudah sampai di sana. Cetta memarkirkan mobilnya di depan gedung apartemen, mematikan mesinnya, lalu menepuk pelan bahu sang gadis hingga berhasil mengusik tidur lelapnya.

“Bangun, kita udah sampai nih.”

Tidak langsung menjawab, Renata menyipitkan mata terlebih dahulu guna menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke retina. Matanya yang agak sayu menatap lurus pada Cetta lalu tersenyum, kedua tangannya terangkat ke arah sang pacar yang langsung paham apa maksudnya.

Cetta membawa Renata ke dalam pelukan hangatnya, menepuk pelan punggung si gadis, lalu meninggalkan beberapa kecupan di puncak kepalanya. Ini sudah menjadi rutinitas mereka sebelum berpisah.

“Besok mau aku antar lagi nggak ke studio?”

“Emangnya kamu nggak ada kelas?”

“Kamu jadwalnya jam berapa emang?”

“Sebelas.”

“Masih sempat, aku kelasnya jam setengah dua belas.”

Renata tersenyum, kemudian mengangguk. Betapa ia merasa beruntung memiliki pacar seperhatian Cetta, sifatnya sejak dulu sampai sekarang juga tidak pernah berubah. Pemuda itu selalu lembut dan perhatian padanya, selalu paham apa yang ia inginkan, tau apa yang ia rasakan, dan mengerti bagaimana keadaannya. Cetta seolah terlahir untuk melengkapi hidupnya yang serba kekurangan.

Kemudian, pelukan mereka terlepas. Renata mencondongkan tubuhnya ke arah Cetta, menatap wajah sang pacar dengan jarak super dekat, sebelum kemudian mendaratkan bibir terpoles lipgloos miliknya ke bibir Cetta. Si pemuda nampak menegang sesaat, mencoba mengerti situasinya, sebelum kemudian membalas ciuman sang pacar saat telah berhasil menguasai diri.

Secara impulsif kedua lengan Renata melingkar ke leher Cetta, mempersempit jarak di antara mereka, juga sekaligus memperdalam ciumannya. Sementara itu, lengan kekar Cetta pun turut melingkar di pinggang sang gadis. Napas keduanya nampak memburu saat lumatan demi lumatan itu terjalin, saling bertukar saliva dengan penuh cinta, hingga baru berhenti saat Renata mulai kehabisan napasnya.

Thank you, Cetta.” ucap Renata sembari memeluk Cetta sekali lagi, lalu keluar dari mobil dengan wajah yang memerah.

Ngomong-ngomong, itu ciuman kedua mereka. Pertama kali mereka berciuman itu sewaktu SMA, Cetta ingat kala itu ia dan Renata hanya berdua saja di rumahnya saat sedang mengerjakan tugas kelompok bersama. Beruntung tidak ada Mami yang memergokinya saat itu.

Cetta tersenyum saat kenangannya bersama Renata kembali hadir, bahkan terulang lagi dengan situasi yang berbeda. Hanya saja senyumnya tidak berlangsung lama, sebab entah kenapa ingatannya justru terputar kembali saat ia tengah menunggu hujan reda di halte bersama Amel. Kala itu, ia juga hampir mencium Amel seandainya saja gadis itu tidak bersin. Cetta tertawa tanpa sadar, itu momen yang lucu.

Ah, bahkan sampai sekarang pun ia masih memikirkan Amel.


“Sial!”

Cetta memukul stir kemudi saat mobilnya berhenti di depan sebuah rumah dua lantai di sisi kanannya. Tidak tau kenapa ia justru datang kemari, tadi di perjalanan ia memang sempat melamun dan begitu sadar ia sudah ada di depan rumah Amel. Konyol sekali memang.

Pandangan matanya kemudian tertuju pada kamar Amel yang masih kelihatan jelas dari tempatnya berada sekarang, lampunya menyala terang, mudah bagi Cetta menyimpulkan bahwa si gadis pasti belum tidur. Amel terbiasa tidur dengan lampu mati, entah apa yang sedang dia lakukan di jam dua dini hari ini sampai-sampai belum tidur juga.

Cetta meraih ponselnya di atas dashboard mobil, tadinya ia berniat mengirim pesan pada Amel. Beberapa kata sudah ia ketik di ponselnya, namun pada akhirnya ia merasa ragu apakah kira-kira ia masih pantas mengirimi Amel pesan saat hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Saat sudah putus begini pun, Cetta rasa Amel berusaha keras menjauhi dirinya terutama saat tidak sengaja bertemu di kampus.

Frustasi, Cetta mengacak rambutnya sendiri. Dia tidak bisa membohongi diri kalau ia merindukan Amel, Cetta rindu momen kebersamaannya dengan sang gadis. Cetta rindu senyumnya, perhatiannya, tawanya, tingkahnya, manjanya, Cetta rindu semua yang ada pada diri Amel. Tapi di sisi lain ia juga sadar kalau itu bukanlah hal yang benar. Sekarang ia sudah berpacaran dengan Renata, sudah seharusnya dia fokus pada hubungannya saat ini, bukan malah terus-terusan menggalaukan Amel seperti orang bodoh.

Akan tetapi sisi egois Cetta ternyata jauh lebih kuat dibanding akal sehatnya. Meski tau ini adalah perbuatan yang salah, pada akhirnya ia tetap mengirim pesan pada Amel. Entah akan dibalas ataupun tidak, Cetta tidak perduli. Ia melempar ponselnya ke jok penumpang di samping sebelum kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan area perumahan Amel.

Yang Cetta tidak ketahui adalah berselang beberapa detik saat ia mengirim pesan, ada Amel yang langsung mengintip dibalik tirai kamarnya, mendapati mobil hitam Cetta yang menyala sebelum kemudian pergi begitu saja.

“Apa yang lo lakuin sekarang, Cetta?”

Naka sudah duduk di atas jok motor scoopy-nya saat Amel membuka pagar rumah. Pemuda itu lantas tersenyum saat pandangan mata mereka bertemu, hanya saja sesaat kemudian senyumnya langsung memudar kala menyadari sesuatu.

“Pakai jaket yang benar, nanti masuk angin.” peringat Naka saat Amel memakai helm yang telah ia sediakan sebelumnya.

“Ini udah benar kok.”

“Benar apanya? Liat tuh jaketnya aja nggak diresleting. Sini!”

Tau-tau Naka sudah menarik pergelangan tangan Amel secara mendadak, membuat si gadis yang belum siap secara refleks tertarik mendekat hingga menubruk tubuh Naka yang duduk menyamping di atas motor. Sadar jaraknya terlalu dekat, Amel berniat menjauhkan diri. Akan tetapi Naka justru menahan jaketnya agar ia tetap berdiri di posisi yang sama.

Si gadis tak berkutik dibuatnya, ia biarkan saja Naka membetulkan resleting jaketnya yang terbuka dengan jantung yang entah kenapa mendadak berdebar. Dari jarak sedekat ini, Amel jadi salah fokus dengan rahang tegas milik Naka yang baru ia sadari terlihat begitu indah. Wajahnya bersih, tidak ada sedikitpun bulu-bulu halus di sekitar atas bibir ataupun dagu karena setau Amel pemuda itu memang rajin bercukur.

Aroma tubuh Naka juga enak, dia wangi sekali malam ini, namun wanginya tidak yang membuat pusing. Singkatnya sih, Amel suka dengan aromanya. Entah sejak kapan ia terlalu fokus pada Naka, Amel sampai terkesiap saat pemuda itu menggoyangkan tangannya di depan wajah bermaksud untuk menyadarkan.

Gadis itu berdehem sejenak. “Oh, udah ya?” katanya sedikit gagap, Amel bahkan baru sadar resleting jaketnya sudah Naka tarik hingga ke dagunya.

“Ya udah yuk, berangkat.”

Amel mengangguk, lalu naik ke atas motor si pemuda. Saat motor tersebut menyala, tangan Amel yang semula bertumpu di atas paha justru ditarik mendekat oleh Naka dan dibawa ke dalam saku jaketnya. Amel berkedip dengan ekspresi bingung.

“Kenapa?”

“Di sini aja, biar tangan lo nggak dingin.” kata Naka.

“Oh, o-oke.”

Setelah itu mereka tidak bicara lagi karena Amel sibuk menenangkan detak jantungnya yang menggila, sedangkan Naka fokus menyetir dengan senyum yang diam-diam tersembunyi di balik helm hitamnya.


“Lo sering makan di sini ya?”

Amel bertanya sekembalinya Naka dari memesan dua porsi mie ayam pada si penjual, pemuda itu kemudian duduk di bangku sebelahnya sebelum kemudian menjawab.

“Nggak juga, baru tiga kali ini.”

“Biasanya ke sini sendirian?”

Hm, ini pertama kalinya gue ngajak orang lain ke sini.”

Si gadis mengangguk paham. Tangannya sibuk memainkan kotak tisu, mengeluarkan isinya, lalu merobek tisunya menjadi ukuran kecil-kecil. Tidak tau kenapa tapi Amel punya kebiasaan seperti itu jika sedang gabut, Naka sendiri hanya memperhatikannya tanpa berniat menegur.

“Lo nggak bawa ikat rambut ya? Susah tau makan rambut tergerai gitu.”

“Hah?” Seolah baru menyadari sesuatu, Amel refleks memegangi rambutnya yang memang tergerai saat ini. “Perasaan tadi gue pakai ikat rambut deh, apa mungkin putus ya pas di jalan?”

“Bisa jadi, sebentar.”

Eh, mau kemana?” Amel menahan pergelangan tangan Naka saat pemuda itu berniat bangkit dari duduknya.

“Minta karet rambut.”

Setelah itu cengkraman tangan Amel terlepas dari Naka. Pemuda itu kembali menghampiri si penjual mie ayam, mereka tampak berbicara sesuatu sebelum kemudian Naka tersenyum saat menerima karet rambut dari laki-laki paruh baya tersebut.

“Ada nih satu, mau gue ikatkan nggak rambutnya?”

Amel menggeleng atas tawaran Naka dan lebih memilih untuk mengikat rambutnya sendiri. Naka kembali duduk di bangkunya, sambil memperhatikan Amel yang sedang merapihkan rambut. Sisi wajah sang gadis yang semula terhalangi oleh helaian rambut kini sudah terlihat jelas, membuat Naka tersenyum tanpa sadar saat menatapnya. Amel yang malam ini mengenakan piyama panjang bermotif beruang yang bagian atasnya ditutupi dengan jaket kedodoran, jika dilihat dari ukurannya sih sepertinya milik Gabriel, terlihat begitu cantik malam ini. Ditambah lagi oleh bare face-nya yang memukau, rambutnya yang terikat satu, juga poni yang menutupi kening Amel membuatnya terlihat begitu manis.

“Ngapain?” tanya Amel yang merasa heran dipandangi sejak tadi oleh si pemuda.

Naka terkekeh, menggeleng kecil, sebelum kemudian mengacak pelan poni lucu Amel yang membuatnya terlihat imut seperti anak kecil. Naka tidak bisa berhenti gemas pada gadis itu, entah sudah berapa kali ia dibuat jatuh cinta pada orang yang sama.

“Muka lo lucu.” komentar Naka yang kemudian mengundang ekspresi bingung dari Amel.

Baru juga berniat protes, bibir Amel kembali tertutup kala si penjual mengantarkan mie ayam pesanan mereka beserta teh hangat yang tadi juga dipesan Naka.

“Jangan pakai sambal ya, ini pedas.” peringat Naka saat Amel berniat mengambil wadah sambal di sisi kanannya.

“Namanya juga sambal di mana-mana ya pedas kali, Ka.” Amel merebut sambal yang semula berniat Naka jauhkan darinya, tapi karena tidak mau mengalah pada akhirnya sambalnya pun berhasil Amel dapatkan.

“Jangan banyak-banyak tapi, nanti diare.”

“I—– IH, NAKA!”

Naka terbeliak kaget, begitu juga dengan Amel yang memandang mie ayamnya yang kini berubah warna menjadi agak kemerahan. Tadi itu niatnya Naka mau mengambil kecap yang ada di sebelah Amel, namun lengannya malah tidak sengaja menyenggol tangan Amel yang tengah menuangkan sambal. Alhasil, sambalnya jadi tumpah terlalu banyak ke mangkuk. Naka memandang horror ke arah si gadis yang memandangnya seolah ingin menangis.

“Mel, sorry.”

“Naka, ini gimana caranya gue makan?”

Si pemuda menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung juga harus bagaimana. Mau dibuang sayang, mau dimakan ya tidak mungkin juga bisa-bisa Amel langsung masuk rumah sakit besok karena diare. Jadi ya sudah, karena ini kesalahannya, jadi Naka mengambil mangkuk mie ayam penuh sambal milik Amel dan menukarnya dengan miliknya sendiri.

Amel langsung menatapnya tak percaya. “Ka?”

“Udah, lo makan aja punya gue. Punya lo biar gue yang habisin.”

Ih, jangan. Nanti lo bisa sakit perut, itu sambalnya banyak banget loh!”

“Nggak apa-apa, Mel. Gue doyan pedas kok.”

“Ya nggak bi—–”

Husst, udah ya lo makan aja sekarang. Nggak usah ribut.”

Kalau sambalnya sebanyak ini sih, biar kata doyan juga Naka yakin besok bakalan sakit perut. Tapi ya sudah lah, dibanding Amel lebih baik dia saja yang mengorbankan diri. Kan ini juga karena kecerobohannya sendiri tadi.

Si gadis menyuap mie ayamnya dengan mata yang terus saja memandangi Naka. Hanya dengan sekali lihat pun Amel bisa membaca raut tidak enak Naka sekarang, hal itu membuatnya jadi tidak tega.

“Nggak usah dimakan lagi deh, Ka, ganti aja sama yang baru. Gue pesenin ya?”

“Nggak, nggak usah, Mel.”

“Beneran?” tanya Amel khawatir, terlebih sekarang wajah Naka mulai memerah dan berkeringat. Tapi dia terus saja makan seolah tidak terjadi apa-apa. “Lo keringatan gitu loh, Ka!”

“Namanya juga pedas, Mel. Tapi gue kuat kok, gue kan nggak kayak lo.”

Ck, terserah lo deh. Kalau besok lo diare bukan salah gue loh ya, tapi lo sendiri yang ngeyel!”

“Iya, iya. Bawel banget sih, Mel.” ucap Naka yang kemudian diakhiri oleh kekehan ringan darinya.

Lima hari yang lalu, sejak kata putus itu terucap di antara keduanya, baik Cetta maupun Amel tidak lagi saling bertemu.

Cetta tidak lagi mencoba menghubunginya, Amel pun tidak sama sekali menyesali keputusannya untuk mengakhiri hubungan mereka. Semua sudah berakhir, hubungan mereka berhenti terjalin dalam waktu kurang lebih satu bulan.

Sebuah hubungan yang singkat memang, sesingkat kedekatan mereka, dan sesimple cara awal pacaran mereka. Sudah Amel katakan bukan, hubungan mereka ini terkesan main-main?

Pada dasarnya Cetta memang sudah lelah menghadapi kecemburuan Amel pada Renata, lelah jika terus-terusan bertengkar hanya karena masalah yang sama. Mungkin putus memang pilihan yang terbaik, ini jelas lebih baik ketimbang mempertahankan hubungan dan membuat luka di antara mereka semakin dalam. Cetta hanya takut jika tanpa sadar ia justru menyakiti gadis itu.

Namun kabar putusnya mereka belum sampai ke telinga orang tua keduanya, bahkan teman-temannya saja banyak yang tidak tau. Mami hanya sempat berkata agar Cetta menyuruh Amel main ke rumah, tapi Cetta dengan wajah datarnya justru membalas kalau Amel sedang sibuk. Jadi Mami pun tidak banyak mendebat.

Sebenarnya tidak sepenuhnya bohong juga sih, sebentar lagi menjelang Ujian Tengah Semester, belum lagi tugas yang kian bertumpuk, Amel sibuk dengan itu semua. Apalagi gadis itu tergolong anak yang pintar, dibanding main dan bersenang-senang ia lebih memilih mengerjakan semua tugasnya hingga tuntas dan belajar jika belum merasa lelah. Sibuk adalah salah satu cara Amel agar ia tidak terus-terusan merasa sedih.

Tapi ya kadang ada saja yang suka mengungkit-ungkit masalah itu, salah satunya gadis yang tumben sekali duduk di sebelahnya hari ini. Ratissa Mikaila.

“Gue perhatikan kok lo jarang sih bareng sama Cetta? Biasanya dia suka nungguin lo di depan gedung buat ngajak makan siang bareng, atau kalian upload foto berdua di twitter.” Tissa memiringkan tubuhnya menghadap Amel saat gadis itu baru saja kembali dari mengumpul print-an tugas kelompok mereka ke meja dosen.

Amel hanya mengedipkan matanya malas, agak mengantuk juga sebenarnya karena tadi malam begadang mengerjakan tugas. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sebelum kemudian menjawab dengan nada malas.

“Udah putus.”

Mata Tissa kontan terbeliak. Begitu pula dengan Naka yang selalu duduk di sisi kanannya, diam-diam mulai pasang telinga untuk menguping obrolan dua gadis di sebelahnya itu.

“Putus? Maksudnya lo sama Cetta putus?” Tissa bertanya ulang, takut salah dengar.

Pandangan Amel tertuju pada Bu Asti (dosen mereka) yang kini mulai sibuk menerangkan materi di depan kelas, memastikan wanita itu tidak sampai mendengar obrolan mereka. Untungnya Tissa bertanya dengan suara pelan.

“Iya,” jawab Amel seadanya.

Di sebelahnya, Naka mencolek lengan Amel. “Mel, lo serius? Sejak kapan?”

Idih, nguping!” cela Tissa dengan wajah meledek, Naka tak abai padanya.

“Udah dari beberapa hari yang lalu.”

“Biar gue tebak!” Tissa meletakkan jari telunjuknya di antara dua alis, memasang ekspresi layaknya orang yang sedang berpikir keras sebelum kemudian menjentikkan jari, “pasti karena cewek itu kan? Yang sempat gue liat di kafe Hotsa?”

Kali ini tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Amel, gadis itu memilih untuk diam. Membiarkan saja Tissa berasumsi sebebasnya dia, juga Naka yang diam-diam mulai kepikiran sesuatu.

'Ini berita buruk atau justru berita baik?'


“Abis ini mau ke mana?”

Naka bertanya saat mereka berjalan beriringan di koridor sehabis kelas Perencanaan Bisnis berakhir. Sebenarnya mereka masih ada kelas jam empat sore ini, tapi berhubung sekarang masih jam satu siang, Amel memutuskan untuk pulang dulu.

“Balik ke rumah deh. Kalau lo?”

“Sama, mau bareng nggak?”

“Boleh.”

Pemuda itu tersenyum simpul sambil membenarkan letak tali ranselnya yang melorot di bahu kanan. Keduanya kemudian berjalan menuju parkiran gedung sebelah, lebih tepatnya parkiran gedung B tempat di mana Cetta biasa memarkirkan motor. Sepertinya tadi pagi Naka tidak kebaikan tempat parkir di gedung kelas mereka, makanya parkir ke gedung sebelah.

Jujur saja sekarang Amel jadi mendadak flashback, teringat awal hubungannya dengan Cetta adalah dari sini, parkiran gedung B. Amel bahkan bisa langsung menemukan motor merah Cetta di salah satu slot parkir, bagian belakangnya yang dulu lecet karena sempat Amel tabrak kini sudah tidak kelihatan lagi. Cetta merawat motornya dengan baik, tapi tidak dengan perasaannya.

“Mel,” Naka menyerahkan helm cadangan yang berada di jok motornya pada Amel, gadis itu pun menerimanya dan mulai memakai helm pemberian Naka tersebut. “Buruan naik!”

Amel menurut, gadis itu berpegang pada salah satu bahu Naka sambil naik ke motor scoopy pemuda itu. Saat ia tengah membetulkan pengait helm, tanpa sengaja mata Amel justru bertemu pandang dengan Cetta yang sepertinya baru keluar dari gedung. Bersama dengan Darrel yang ada di sampingnya, keduanya berdiri diam di sana sambil memperhatikannya juga Naka yang rupanya tidak menyadari keberadaan dua temannya tersebut.

Cetta menatapnya dengan tatapan tajam meski wajahnya tidak berekspresi apa-apa, namun tidak juga sekali pun pemuda itu berkedip sejak di detik pertama mata mereka bertemu.

“Udah belum?” tanya Naka sambil sedikit menoleh ke belakang, memastikan Amel telah duduk dengan benar.

“Iya, udah.”

Naka mengangguk, lalu mulai menstater motornya meninggalkan area parkiran gedung B. Juga meninggalkan Cetta dan Darrel yang masih menatap kepergian mereka dengan ekspresi berbeda. Cetta dengan wajah yang sebisa mungkin dibuat datar, dan Darrel yang nampak sekali kebingungan.

“Pacar lo dibawa Naka tuh,” senggol Darrel sesaat setelah motor Naka menghilang di tikungan jalan.

Cetta hanya mendengus, lalu berjalan ke arah motornya.

“Biarin aja,” jawabnya dingin.