First Meet
“Mana pacar kamu? Katanya mau dikenalin ke aku?”
“Ada kok, belum datang aja dia.”
Pemuda di depannya itu tersenyum meremehkan, lalu melipat tangannya ke dada dengan wajah menyebalkan khasnya. “Bohong kan? Ini pasti cuma alibi kamu doang biar bisa putus dari aku. Shakila, kamu itu cintanya cuma sama aku. Aku tau itu.”
“Nggak usah kepedean deh lo!”
Gadis yang baru saja dipanggil Shakila itu merotasikan bola mata, mulai jengah dengan sifat super narsis mantan pacarnya tersebut. Terlebih saat memandang ekspresi meremehkannya, jika saja saat ini kafe tempat mereka berada sedang sepi, Kila tidak akan berpikir dua kali untuk memukul kepalanya.
Nama pemuda itu Juanda Veylano atau yang akrabnya disapa Juan, mantan pacar terngeselin dan ternarsis yang pernah Kila miliki. Sok paling ganteng, sok paling oke, sok kaya, sok keren, dan sok-sok lainnya. Dan dia dengan percaya diri yang tinggi selalu beranggapan bahwa Kila masih dan selalu mencintainya, padahal aslinya tidak sama sekali. Sudah sejak lama malah Kila ingin putus dengan Juan, dan saat ia sudah berhasil mengucap kata itu, Juan justru tidak terima. Padahal Kila memutuskan Juan karena pemuda itu ketahuan selingkuh dengan teman sekelasnya, tapi malah Juan sendiri yang ngotot ingin mempertahakan hubungan mereka. Konyol sekali memang, dikira Kila bodoh atau apa?
Seharusnya urusan di antara mereka ini sudah selesai seminggu yang lalu, tapi Juan terus saja menerornya dengan kalimat andalan 'aku nggak mau putus sama kamu'. Jadi selama seminggu itu Juan setiap hari mengiriminya pesan, menelpon, bahkan mengirim DM ke semua akun sosial medianya. Juan juga pernah nekat datang ke kosannya yang mana membuat teman sekosnya jadi pada risih karena dia benar-benar mengganggu. Tidak tahan dengan semua itu, Kila berbohong pada Juan kalau sekarang dia sudah punya pacar. Kebetulan ia juga sudah meminta bantuan pada Vano, teman akrabnya untuk pura-pura jadi pacarnya hari ini. Dan pemuda itu menyanggupi permintaannya tanpa banyak berpikir, hanya saja sampai sekarang tidak kelihatan batang hidungnya.
Sementara di hadapannya sekarang, ada Juan yang menyeruput lemon tea di gelas dengan tawa mengejek. Benar-benar menyebalkan, tolong tahan Kila untuk tidak memukulnya sekarang.
“Aku tau kamu bohong, Kila. Udah ya bercandaannya, mending sekarang kita balikan aja. Bukan apa-apa nih, tapi aku takut suatu saat nanti kamu menyesal karena mutusin cowok kayak aku. Tau sendiri kan yang naksir aku banyak? Aku ini incaran cewek-cewek di kampus loh, kamu termasuk beruntung bisa diajak balikan sama seorang Juanda Veylano.”
Rasanya Kila mau muntah mendengarnya. Lihat kan tadi bagaimana narsisnya Juan? Sepertinya Kila kesurupan dulu sewaktu mau-mau saja diajak pacaran sama dia, bahkan hubungan mereka sampai berjalan tiga bulan lamanya. Bener-benar tiga bulan yang membuang waktu saja.
“Dari pada ngajak gue balikan, lebih baik lo periksa kejiwaan lo aja sana. Makin hari kadar kenarsisan lo makin parah aja gue liat-liat, cewek mana coba yang tahan pacaran lama sama lo?”
“Nggak usah sok jual mahal begitu sama gue. Ingat ya, Kila, lo nggak secantik itu. Maaf nih kalau gue harus jujur, tapi dibanding mantan gue yang lain lo yang standarnya paling bawah. Badan lo juga biasa-biasa aja, modal cantik doang.”
“Oh, berarti lo mengakui dong kalau gue cantik?”
“Nggak lebih cantik dari mantan gue yang lain, tentu saja.”
“Ya udah, ajak aja sana mantan lo yang lain balikan. Kenapa masih ngerecokin gue?”
“Shakila, tolong jangan mengalihkan pembicaraan!”
Dasar aneh, bukan kah dari awal Juan sendiri yang bicaranya melantur kemana-mana? Memuji diri sendiri dan mantan-mantannya, juga merendahkannya, kenapa sekarang justru Kila yang dibentak?
Suara Juan yang cukup nyaring itu rupanya sukses membuat pengunjung kafe menoleh ke arah mereka dengan berbagai tatapan. Ada yang merasa terganggu, heran, penasaran, dan berbagai ekspresi lainnya. Jujur saja Kila malu, tapi Juan malah kelihatan santai-santai aja. Dia senang karena berhasil menarik perhatian orang, karena itu memang hobinya.
“Dengar ya, Juanda Veylano yang katanya ganteng itu. Gue ini udah punya pacar baru, jadi stop ngejar-ngejar gue seperti orang bodoh. Terlebih kalau gue yang kata lo standarnya paling rendah, emangnya nggak malu?”
“Tapi gue maunya sama lo!”
“GUE YANG NGGAK MAU SAMA LO!”
Seruan Kila yang mulai tersulut emosi itu kembali memancing perhatian orang, biar saja lah lagipula ia juga sudah terlanjur malu karena ulah Juan. Oh iya, Juan. Pemuda itu sekarang kelihatan kaget sehabis dibentak Kila, mungkin tidak menyangka juga akan dibentak begitu. Dan tindakan Kila barusan berhasil membuat Juan semakin marah.
“Nggak, lo nggak boleh pacaran sama cowok lain. Lo cuma boleh pacaran sama gue!”
“Stres ya lo?” Kila menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Gadis itu mengambil sling bag-nya dan berniat cepat-cepat pergi karena sudah muak dengan Juan, ditambah lagi Vano tak kunjung datang. Namun mantan gilanya ini justru menahan pergelangan tangan Kila. “Juanda!”
“Urusan kita belum selesai, Shakila!”
“Tapi gue udah selesai sama lo!”
“Ya nggak bisa gitu dong, lo harus nurut sama gue!”
“Dih, emang lo siapa anjing?!”
“SHAKILA!”
Bersamaan dengan seruan Juan yang lebih pas disebut bentakan, suara lonceng yang berbunyi saat pintu dibuka berhasil membuat Kila refleks menolehkan kepala. Saat ia pikir yang datang adalah Vano, Kila hanya bisa mendesah kecewa begitu tau yang baru saja masuk ke kafe bukanlah dia. Melainkan seorang pemuda berpakaian super rapi dengan jas kantoran dan sepatu mengkilap, di tangan kanannya tergenggam sebuah ponsel sedangkan tangan kirinya membawa tas kerja. Dia kelihatan celingukkan seperti mencari seseorang dan mencoba untuk menelpon, dan di saat yang bersamaan sebuah ide gila langsung muncul di kepala Kila. Tanpa rasa malu, mungkin sudah sejak tadi urat malunya putus akibat ulah Juan, Kila melambaikan tangannya seraya berseru.
“SAYANG, AKU DI SINI!”
Bukan hanya si pemuda yang menolehkan kepala ke arahnya dengan wajah bingung, tapi pengunjung yang lain pun sama. Dan lagi-lagi mereka jadi pusat perhatian, setelah ini Kila bertekat untuk tidak akan pernah datang ke kafe ini lagi. Ya karena semua kejadian hari ini begitu memalukan!
Pemuda yang barusan ia panggil itu tidak kunjung bergerak dari posisinya, malah memandangi Kila seperti orang bodoh, maka dari itu ia sendiri yang berinisiatif untuk menghampiri. Dihempaskannya cekalan tangan Juan dengan satu hentakan kasar, membuat si pemuda memandanginya tidak terima, namun berakhir membiarkan Kila berlari menghampiri pemuda lain di depan pintu kafe.
Kila meringis malu menatap wajah pemuda yang tadi dipanggilnya 'sayang' itu, terlebih saat dia memandangi Kila seperti 'Orang gila dari mana nih?' dengan ekspresinya itu. Tapi karena sudah terlanjur malu di awal, jadi ya diteruskan saja biar nggak nanggung.
“Gue emang nggak kenal lo siapa, tapi bisa bantu gue sebentar nggak? Sebentar aja kok beneran, cuma sampai cowok di sana pergi.”
Awan, pemuda yang sedang diajak bicara oleh Kila itu tidak langsung menjawab, malah balik memandanginya dengan ekspresi aneh. Matanya bergulir ke arah Juan yang masih berdiri dengan wajah kesal, bahkan kini nampak melipat tangannya ke dada, lalu kembali memusatkan perhatiannya lagi pada Kila.
“Maaf ya tapi saya nggak bisa, saya juga ada urusan.”
“Sebentar aja kok, please.”
“Nggak bisa, mbak. Saya buru-buru, lagi pula itu urusan situ bukan urusan saya.”
“Kok gitu sih?”
“Ya emang begitu.”
Astaga, Kila kesal sekali sampai rasanya mau menangis. Terus ini gimana, Kila harus apa. Masa iya kabur sih, yang ada ditertawakan orang dan berujung diejek sama Juan. Kila tidak bisa membiarkan hal itu sampai terjadi, bisa jatuh harga dirinya di depan si mantan gila.
“Kenapa, La?”
Kila memejamkan matanya guna menahan gejolak emosi di dada saat suara Juan terdengar begitu dekat. Pemuda itu berdiri di sebelah Kila, memandang penuh selidik pada sosok laki-laki lain yang tadi dipanggil 'sayang' oleh Kila.
“Ini ya pacar baru kamu?” tanya Juan sangsi. Matanya menatap Awan dari ujung kepala sampai ujung kaki, menilai. Lalu mengangguk paham, “nggak jelek-jelek banget sih, meski masih cakepan aku.”
“Oh, please, Juan. Gue muak sama kenarsisan lo.”
Juan mengedikkan bahunya tak peduli, “Itu faktanya kok.” Lalu atensinya berpindah lagi pada Awan yang memandang keduanya dengan wajah bingung. “Udah berapa lama pacaran sama Kila?”
“Saya—–”
“Baru lima hari kok,” dengan segera Kila memotong ucapan Awan dan menggenggam tangannya sebelum semuanya terbongkar. “Maaf ya, sayang. Aku tau kamu sibuk, tapi aku malah minta kamu buat datang kemari.”
“Sa—–”
“Masnya udah kerja?”
Ucapan Awan dipotong lagi.
“Iya, ta—–”
“Kerja di mana? Umurnya berapa? Kelihatannya lebih tua ya dari Kila?”
“Juan!” seru Kila saat Awan mulai kelihatan risih pada pertanyaan Juan. Apalagi kelihatannya Awan ini lebih tua dari mereka, agaknya ini memang sudah keterlaluan.
“Lo sekarang sukanya sama yang modelan Om-om kantoran gini ya, La?” Juan tertawa meledek, membuat Awan tersulut emosi dan Kila yang bertambah kesal. “lo kalau bercanda gini banget deh. Gue tau selera lo bukan yang begini, Shakila. Ini pasti Om-om random yang lo temui di club terus lo suruh buat pura-pura jadi pacar lo kan?”
“Saya nggak setua itu untuk dipanggil, Om!” Awan berseru kesal, membuat urat lehernya terlihat semakin jelas. Jujur saja, Kila agak ngeri melihatnya.
“Terserah kalau lo nggak percaya, tapi dia beneran pacar gue kok.” sahut Kila memberanikan diri, ia bahkan mengabaikan bagaimana tatapan Awan menjurus ke arahnya dengan ekspresi ingin menyangkal. Tapi sebelum Awan sempat membuka mulutnya, Kila sudah lebih dulu berkata. “lo mau bukti?”
Juan yang merasa tertantang tentu saja mengangguk. Dagunya terangkat tinggi, begitu pongah dan menyebalkan. “Coba aja.”
Maka yang Kila lakukan selanjutnya benar-benar di luar akal sehat Awan, sampai-sampai ia pikir gadis itu sudah tidak waras. Sebab Kila justru menarik tengkuknya dan mendaratkan ciuman pada bibirnya, sontak saja kejadian itu menarik banyak perhatian pelanggan kafe. Tidak terkecuali Juan yang hanya bisa ternganga di tempatnya berdiri.
Bibir keduanya hanya sekedar menempel memang, itupun tidak berlangsung lama sebab Kila buru-buru menjauhkan wajahnya sementara Awan membeku di tempat. Ini memang bukan ciuman pertamanya, tapi tetap saja Awan kaget karena yang menciumnya barusan adalah gadis asing yang bahkan namanya saja ia tidak tau!
“Lo percaya sekarang?”
“Lo udah gila, Shakila!”
Awan mengangguk tanpa sadar, menyetujui ucapan Juan pada si gadis gila. Tidak lama setelah itu dia memutuskan untuk pergi dari kafe, entah malu, entah kesal atau apa Awan juga sulit menebak ekspresinya tadi. Sekarang yang tersisa hanya dirinya, si gadis gila, dan pengunjung kafe yang masih memusatkan perhatiannya pada mereka.
Malu karena jadi tontonan banyak orang, Awan memutuskan untuk membawa pergi gadis itu ke tempat lain yang lebih sepi. Walau bagaimana pun juga ini harus segera diluruskan, Awan tidak terima dipermalukan seperti itu di depan orang banyak.
“Saya perlu bicara sama kamu.” katanya, lalu membawa Kila masuk ke mobilnya yang terparkir.
Gadis itu tidak protes, mungkin sadar bahwa apa yang ia lakukan barusan memanglah salah dan tidak seharusnya terjadi. Terlebih mereka hanya dua orang asing yang bahkan baru pertama kali bertemu.
“Anu, ngomong-ngomong itu tadi mantan saya. Emang nyebelin banget orangnya, udah diputusin berulang kali tapi tetap aja ngeyel! ngajak balikan!”
Sebentar, Awan malah jadi salah fokus pada hal lain. “Apa? Barusan kamu panggil saya apa tadi?”
“Om. Eh, salah ya? Maaf kalau gitu, Pak.” jawab Kila dengan wajah super polosnya, karena ia pikir Awan memang jauh lebih tua darinya. Ya meskipun nggak setua itu juga untuk dipanggil 'Pak', plusnya lagi Awan terlihat tampan dan awet muda.
“Saya bukan bapak kamu!”
“Ya emang iya, yang bilang saya anak Om juga siapa?”
“Saya nggak setua itu untuk dipanggil, Om. Mau kemana sih kamu? Urusan kita belum selesai!” Awan buru-buru mencekal pergelangan tangan Shakila yang sudah berniat membuka pintu mobilnya.
Sebenarnya bukan berniat mau pergi sih, Kila cuma agak takut saja berada di mobil tertutup bersama laki-laki asing. Kalau dia diapa-apai gimana, bisa ribet urusannya nanti. Jadi untuk berjaga-jaga lebih baik pintunya dibuka saja, tapi Awan justru berpikir hal lain.
“Om, saya mau pulang.”
“Ya tanggung jawab dulu dong, kan kamu udah nyium saya tadi!”
“Tanggung jawab gimana? Om mau saya nikahin gitu?”
“Berhenti panggil saya, Om! Nama saya itu Awan. Dan lagi, saya cuma butuh permintaan maaf dari kamu sebagai bentuk pertanggung jawaban!”
“Oh, ya udah kalau gitu. Saya minta maaf. Dah kan? selesai kan urusan? Kalau gitu saya mau pu—– Haduh, apa lagi sih, Om!” Kila kembali dibuat berdecak kesal saat lagi-lagi pergelangan tangannya ditahan oleh tangan besar Awan.
“Nama.”
“Apa?”
“Saya perlu tau nama lengkap kamu.”
“Ck, Shakila Azalea. Udah kan? Sekarang lepasin tangan saya.”
Shakila Azalea?
Kenapa nama itu terdengar tidak asing di telinga Awan?