awesomeyoit

Seandainya saja ia bukan teman yang baik, mana mau Amel bela-belain pergi berkendara di jam dua pagi hanya untuk menjemput Naka pulang dari club.

Bahkan ia sampai mencuri kunci mobil milik Papanya yang terletak di laci dekat TV, secara diam-diam tentunya agar tidak sampai ketahuan. Amel memang sudah pernah diajari mengendarai mobil sebelumnya, hanya saja ia tidak begitu lihai. Tapi karena di jam-jam seperti ini jalanan tidak seberapa ramai, Amel rasa aman-aman saja mengendarai mobil asal dengan kecepatan pelan.

Sesampainya di Universe Club, Amel yang hanya memakai piyama yang dilapisi jaket serta sandal jepit rumahan langsung jadi pusat perhatian. Di tengah kerumunan orang dengan pakaian super seksi dan asap rokok yang mengepul kuat, penampilan Amel seperti orang yang salah alamat. Tempatnya memang seharusnya tidak di sini, seandainya bukan untuk menjemput Naka mana mau Amel datang ke tempat berisik dan super sesak seperti ini.

Setelah bersusah payah melewati kerumunan orang yang baunya bercampur menjadi satu dan membuatnya pusing, akhirnya Amel berhasil menuntun Naka keluar dari sana. Lengan pemuda itu ia sampirkan ke pundaknya, kemudian memaksa Naka untuk menggunakan kakinya meski agak sempoyongan menuju mobil Amel berada.

Naka benar-benar menaruh beban tubuhnya pada Amel, membuat gadis itu kewalahan bahkan sampai berkeringat di suhu dingin dini hari. Gadis itu mendengus kasar setelah berhasil mendudukkan Naka di kursi penumpang dan memasangkannya sabuk pengaman.

“Nyusahin banget sih lo!” dumel Amel sambil memandang sinis Naka yang terpejam dengan wajahnya yang memerah. “Lain kali kalau mabuk jangan sampai teler!”

“Amel.”

Saat hendak menarik tubuhnya keluar dari mobil, tangan Naka justru menahan lengan Amel agar tetap berada di posisi itu. Pandangan keduanya langsung bertemu sesaat setelah mata sayu Naka terbuka, pemuda itu langsung tersenyum saat wajah Amel berjarak dekat dengan wajahnya.

“Kok bisa di sini?” tanyanya dengan suara serak.

Pertanyaan bodoh memang, tapi apa yang bisa diharapkan dari orang mabuk. Masih nyambung saat diajak ngobrol aja udah syukur.

“Ya buat jemput lo lah, apalagi?!”

“Cetta udah pergi, sama Renata.”

“Udah tau!”

Saking kesalnya saat nama Renata disebut-sebut, Amel sampai tidak sadar sudah meninggikan nada suaranya. Naka terkekeh pelan mendengar itu, matanya agak terpejam namun dia paksakan untuk tetap terbuka agar bisa terus menatap wajah Amel di depannya.

“Kenapa pacaran sama Cetta sih, lo nggak tau secinta apa dulu Cetta sama Renata? Dan sekarang Renata kembali buat Cetta.”

“Ka, gue lagi nggak mau ngomongin ini. Sekarang lepasin tangan gue biar gue bisa antar lo pulang.”

Untuk ukuran orang yang sedang mabuk, kekuatan Naka ternyata cukup besar. Lengan Amel bahkan sampai sakit saat ia memaksa untuk melepaskan diri dari cekalan pemuda itu.

“Amel, jadi pacar gue aja yuk?”

“Apa sih, lo tuh mabuk! Omongannya jadi ngelantur!”

Namun Naka bersikeras untuk menggeleng, masih dengan mata sayu dan suara serak khasnya. “Gue nggak mabuk, gue masih sadar!”

“Nggak mabuk apaan mata sama muka lo merah semua gitu!”

Pemuda itu cengengesan, kelihatan aneh tapi juga lucu sebenarnya. Ini kali pertama Amel melihat Naka dalam keadaan mabuk begini.

“Amel bodoh banget! Gue suka sama lo udah dari awal masuk kuliah, gue duluan yang suka sama lo tapi kenapa malah Cetta yang lo pacarin?!”

“Naka, berhenti meracau nggak jelas gini.”

“Gue serius, gue nggak lagi meracau. Gue serius cinta sama lo!”

“Lo mabuk, Naka!”

“Lo nggak percaya sama gue?”

Amel mengerutkan keningnya, mendadak bingung dengan perubahan ekspresi Naka yang mendadak serius. Terlebih lagi cekalan Naka di lengannya semakin menguat, tidak memberikan sedikit pun celah bagi Amel untuk meloloskan diri.

“Ka, lengan gue sa—-hmphh.”

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, Naka sudah lebih dulu membungkam bibir Amel dengan bibir miliknya. Si gadis tentu saja terkejut, matanya membulat hingga kebukaan maksimal, namun tubuhnya seolah kaku hingga tak bergerak seinci pun. Otaknya sibuk memproses akan apa yang baru saja terjadi, namun Amel seketika blank, napasnya tercekat bahkan sekedar berkedip pun tidak.

Selama beberapa detik, bibir Naka hanya sekedar menempel pada milik Amel. Hingga tidak lama kemudian, pemuda itu menjauhkan wajahnya dan tersenyum di depan Amel yang masih blank.

“Gue nggak bakal cium cewek sembarangan kalau gue nggak cinta sama cewek itu, Mel.”

PLAK

Tidak tau kenapa tapi tangan Amel secara refleks menampar pipi Naka. Tamparannya lumayan keras ternyata, saking kerasnya bahkan sampai membuat Naka kehilangan kesadaran. Entah efek tamparannya atau justru efek alkohol di tubuhnya, yang jelas sekarang Naka pingsan. Menyisakan Amel yang masih luar biasa kaget dengan apa yang barusan terjadi.

Amel pikir, Naka benar-benar sudah gila!

Eh, eh, itu Cetta bukan sih?”

Hah? Mana? Lah iya, ngapain dia di depan toilet cewek gitu?”

Dih, mana gue tau?”

Sosok yang sejak tadi jadi pusat perhatian dan omongan dari beberapa mahasiswa Ekonomi itu hanya melirik sekilas dua gadis yang tadi membicarakannya, lalu kembali menunduk sambil pura-pura bermain ponsel.

Sebenarnya tidak mengherankan juga sih mengingat sebagian besar orang tau dirinya adalah anak Ilmu Komunikasi, untuk apa juga ada di departemen Ekonomi Bisnis gitu. Terlebih lagi berdiri layaknya pengawal yang berjaga di depan pintu toilet wanita, pasti Cetta kelihatan aneh di mata banyak orang.

“Cetta.”

Si pemuda sontak menoleh saat suara Amel terdengar dari pintu toilet yang sedikit terbuka, gadis itu tidak membiarkan pintunya terbuka lebar. Amel meringis sambil tersenyum paksa ke arah Cetta yang lantas mengerutkan kening kebingungan.

“Udah, Mel?”

“Udah, Ta. Tapi....”

“Kenapa?”

Amel menggaruk pelipisnya, agak malu juga kalau harus bicara jujur. Tapi ya sudah lah, dia juga sudah kepalang malu minta tolong Cetta untuk membelikannya pembalut.

“Bocornya parah ternyata, nembus sampai celana.”

Si pemuda mengangguk paham. Sesaat kemudian langsung membuka tas ransel yang sejak tadi ia sampirkan di salah satu bahu, lalu mengeluarkan sebuah kemeja flanel dari dalam sana.

“Pakai nih, panjang kok itu. Kalau kamu yang makai sih kayaknya lebih dari setengah paha.”

Amel memandangi kemeja yang disodorkan Cetta padanya, kemejanya terlihat familiar memang. Amel ingat tadi pagi saat mereka berangkat ke kampus bersama pemuda itu memakai kemeja, tapi sekarang sudah berganti dengan jaket jeans berwarna sandwash blue. Kemejanya justru diberikan pada Amel.

“Bukannya tadi pagi kamu pakai kemeja ini ya? Kok tau-tau ganti jaket?” tanya Amel, penasaran saja sebenarnya sembari melapisi kaosnya dengan kemeja Cetta. Benar ternyata, panjangnya sampai setengah paha. Cukup untuk menutupi noda di bagian belakang celananya.

“Aku emang biasa ninggal jaket di jok, jaga-jaga kalau pulang kuliah kemalaman. Eh, tapi kemeja aku nggak bau kan? Aku lupa nyemprotin parfum lagi soalnya.”

“Masih wangi kok,” kekeh Amel yang mana setelah itu membuat Cetta tersenyum salah tingkah. “Udah makan siang belum? Aku laper nih.”

“Belum, ya udah yuk makan. Mau di kantin biasa?”

Kantin biasa yang disebut Cetta barusan pasti kantin samping gedung F, jadi Amel buru-buru menggelengkan kepalanya. Takut kejadian tempo hari terulang kembali.

“Nggak usah, kita makannya di kantin FEB aja.”

Loh, tumben? Nggak mau makan siomay?”

“Nggak, maunya ayam geprek!”


“Naka!”

Saat mereka memasuki area kantin, mata Amel langsung bisa menemukan sosok laki-laki berambut agak gondrong berada di salah satu meja kantin. Dia sendirian di sana, sibuk bermain ponsel, sepertinya menunggu pesanannya selesai dibuat.

“Hei, Amel!” Naka membalas sapaan temannya itu lalu tersenyum ke arah Cetta yang mengekor Amel di belakang.

“Tumben makan di sini?” tanya pemuda itu pada Cetta.

“Nih, dia yang ngajak.”

Saat jemari Cetta tertuju ke arahnya, Amel hanya membalas dengan kekehan kecil. Gadis itu mengambil duduk di salah satu kursi di depan Naka, sementara Cetta ada di sebelah kanannya.

“Oh iya, belum pesan!” Amel menoleh ke arah sang pacar sembari menepuk keningnya. “Aku atau kamu aja nih yang pesan, Ta?”

“Aku aja, ayam geprek kan?”

“Iya, thanks Cetta.”

Pemuda itu mengangguk, lalu beranjak dari kursinya untuk memesan makanan mereka. Naka mengikuti arah kepergian temannya itu sebelum kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Amel yang sibuk bermain ponsel.

“Udah baikan lo sama dia? Nggak bete lagi?”

Amel menjawab dengan anggukan dan seulas senyum. “Emang kayaknya gue nggak bisa marah lama-lama deh.”

“Bagus kalau gitu.”

“Oh iya,” Amel ikut memajukan sedikit tubuhnya ke arah Naka, membuat si pemuda terbelalak lalu refleks memundurkan kepalanya agar wajah mereka tidak terlalu dekat. “Tugas kelompok perencanaan bisnis lo gimana? Udah selesai?”

Tidak langsung menjawab, Naka berdehem sejenak. “Hampir. Tinggal bikin cover, sama penutupnya aja sih. Punya kalian gimana?”

“Baru 80% lah kira-kira. Kami baru bab dua sama tiga doang yang udah diketik, sisanya belum sama sekali. Kesel banget anak-anak grup pada slow respon, kalau diajak kerkom banyak banget alasannya. Nanti ujung-ujungnya pasti gue juga yang ngerjain,” keluh Amel sambil melipat tangannya ke dada. “Giliran ngejulidin gue aja gercep banget!”

“Tissa and friends? Sabarin aja lah, mereka emang gitu.”

“Ya, sabarin aja. Toh, seminggu lagi juga udah deadline dan itu artinya gue bakal terlepas dari mereka.”

Tidak lama setelah itu Cetta kembali dengan nampan di tangannya, membawa dua porsi ayam gerpek dan nasi tidak lupa minumannya juga. Pemuda itu memberitahu Naka kalau pesanan dia juga sudah selesai, jadi pemuda itu buru-buru pergi untuk mengambilnya.

“Antri banget ya?” tanya Amel saat Cetta memberikan ayam geprek dengan cabai ulek melimpah di atasnya.

“Lumayan lah, ngobrolin apa aja tadi sama Naka? Kayaknya seru banget.”

“Cuma masalah tugas kok.”

“Oh.”

Buset. Itu cabenya apa nggak kebanyakan, Mel?” komentar Naka begitu kembali ke meja mereka, dia membawa seporsi mie ayam dengan beberapa butir baso di atasnya.

“Nggak kok, pas aja ini.”

Naka menoleh ke arah Cetta yang terlihat bingung. “Ta, kurangin itu cabenya si Amel. Takutnya nanti diare kayak waktu SD dulu.”

“Waktu SD?”

“Iya, gara-gara nge-sok makan bakso pakai banyak sambal dianya jadi diare di sekolah. Udah tau nggak bisa makan yang pedes-pedes masih aja ngeyel! Gue satu sekolah sama dia pas SD dulu.”

Entah kenapa mendengar bagaimana Naka lebih tau tentang Amel ketimbang dirinya sendiri membuat perasaan Cetta jadi agak kesal. Tau sih ini mungkin terlalu kekanakan gitu, tapi ya gimana dia nggak suka aja. Kesannya seperti dia kalah satu langkah dari Naka, padahal kan mereka tidak sedang berlomba sekarang.

“Ya itu kan dulu, sekarang gue udah dewasa dan bisa makan yang pedas-pedas. Nggak bakal diare kok cuma segini do—– Ta, kok cabenya diambilin sih?!” protes Amel.

Namun Cetta yang masih diliputi perasaan kesal itu justru tanpa sadar menyahut dengan suara ketus. “Biar nggak diare!”

Naka terdiam mengamati reaksi temannya tersebut. Perasaan tadi biasa saja, sekarang wajah Cetta justru berubah jutek dan suaranya pun jadi agak ketus begitu. Selain pernah jadi teman Amel sewaktu SD, Naka juga pernah jadi teman Cetta saat SMA. Jadi ia cukup memahami dengan baik setiap reaksi yang temannya itu tunjukkan.

Cetta sedang cemburu.

“Cetta, ada pesan tuh.”

“Hah?”

“Dari Renata,” lanjut Amel yang tadi tanpa sengaja membawa notifikasi imess yang baru saja masuk di ponsel Cetta.

Pemuda itu langsung sadar lalu mengambil ponselnya. Ternyata benar Renata mengiriminya pesan, jadi Cetta dengan cepat membalas pesannya.

“Kenapa dia?” tanya Amel penasaran, agak kesal juga sih sebenarnya.

Pokoknya kalau sudah bersangkutan dengan yang namanya Renata, Amel auto sensi. Bawaannya pengen marah-marah juga, mungkin juga efek haid emosi Amel jadi tidak terkontrol dengan baik.

“Renata mau minta tolong sama aku.”

“Oh.”

'Lagi-lagi Renata, menyebalkan!'. Batinnya menggerutu.

Amel sengaja tidak bertanya lebih lanjut minta tolong apa yang dimaksud, ya karena malas saja mendengarnya saat nama Renata diucapkan langsung oleh Cetta.

Naka yang sejak tadi hanya jadi saksi memilih untuk tidak berucap satu patah kata pun, namun matanya tak lepas memandangi kedua temannya itu.

'Sepertinya akhir-akhir ini hubungan keduanya sedang tidak berjalan baik. Maksudnya, mereka jadi sering sensi pada satu sama lain dan tidak jarang terlibat cekcok meski tidak berlangsung lama. Terlebih, sejak ada Renata.'

Eh, eh, itu Cetta bukan sih?”

Hah? Mana? Lah iya, ngapain dia di depan toilet cewek gitu?”

Dih, mana gue tau?”

Sosok yang sejak tadi jadi pusat perhatian dan omongan dari beberapa mahasiswa Ekonomi itu hanya melirik sekilas dua gadis yang tadi membicarakannya, lalu kembali menunduk sambil pura-pura bermain ponsel.

Sebenarnya tidak mengherankan juga sih mengingat sebagian besar orang tau dirinya adalah anak Ilmu Komunikasi, untuk apa juga ada di departemen Ekonomi Bisnis gitu. Terlebih lagi berdiri layaknya pengawal yang berjaga di depan pintu toilet wanita, pasti Cetta kelihatan aneh di mata banyak orang.

“Cetta.”

Si pemuda sontak menoleh saat suara Amel terdengar dari pintu toilet yang sedikit terbuka, gadis itu tidak membiarkan pintunya terbuka lebar. Amel meringis sambil tersenyum paksa ke arah Cetta yang lantas mengerutkan kening kebingungan.

“Udah, Mel?”

“Udah, Ta. Tapi....”

“Kenapa?”

Amel menggaruk pelipisnya, agak malu juga kalau harus bicara jujur. Tapi ya sudah lah, dia juga sudah kepalang malu minta tolong Cetta untuk membelikannya pembalut.

“Bocornya parah ternyata, nembus sampai celana.”

Si pemuda mengangguk paham. Sesaat kemudian langsung membuka tas ransel yang sejak tadi ia sampirkan di salah satu bahu, lalu mengeluarkan sebuah kemeja flanel dari dalam sana.

“Pakai nih, panjang kok itu. Kalau kamu yang makai sih kayaknya lebih dari setengah paha.”

Amel memandangi kemeja yang disodorkan Cetta padanya, kemejanya terlihat familiar memang. Amel ingat tadi pagi saat mereka berangkat ke kampus bersama pemuda itu memakai kemeja, tapi sekarang sudah berganti dengan jaket jeans berwarna sandwash blue. Kemejanya justru diberikan pada Amel.

“Bukannya tadi pagi kamu pakai kemeja ini ya? Kok tau-tau ganti jaket?” tanya Amel, penasaran saja sebenarnya sembari melapisi kaosnya dengan kemeja Cetta. Benar ternyata, panjangnya sampai setengah paha. Cukup untuk menutupi noda di bagian belakang celananya.

“Aku emang biasa ninggal jaket di jok, jaga-jaga kalau pulang kuliah kemalaman. Eh, tapi kemeja aku nggak bau kan? Aku lupa nyemprotin parfum lagi soalnya.”

“Masih wangi kok,” kekeh Amel yang mana setelah itu membuat Cetta tersenyum salah tingkah. “Udah makan siang belum? Aku laper nih.”

“Belum, ya udah yuk makan. Mau di kantin biasa?”

Kantin biasa yang disebut Cetta barusan pasti kantin samping gedung F, jadi Amel buru-buru menggelengkan kepalanya. Takut kejadian tempo hari terulang kembali.

“Nggak usah, kita makannya di kantin FEB aja.”

Loh, tumben? Nggak mau makan siomay?”

“Nggak, maunya ayam geprek!”


“Naka!”

Saat mereka memasuki area kantin, mata Amel langsung bisa menemukan sosok laki-laki berambut agak gondrong berada di salah satu meja kantin. Dia sendirian di sana, sibuk bermain ponsel, sepertinya menunggu pesanannya selesai dibuat.

“Hei, Amel!” Naka membalas sapaan temannya itu lalu tersenyum ke arah Cetta yang mengekor Amel di belakang.

“Tumben makan di sini?” tanya pemuda itu pada Cetta.

“Nih, dia yang ngajak.”

Saat jemari Cetta tertuju ke arahnya, Amel hanya membalas dengan kekehan kecil. Gadis itu mengambil duduk di salah satu kursi di depan Naka, sementara Cetta ada di sebelah kanannya.

“Oh iya, belum pesan!” Amel menoleh ke arah sang pacar sembari menepuk keningnya. “Aku atau kamu aja nih yang pesan, Ta?”

“Aku aja, ayam geprek kan?”

“Iya, thanks Cetta.”

Pemuda itu mengangguk, lalu beranjak dari kursinya untuk memesan makanan mereka. Naka mengikuti arah kepergian temannya itu sebelum kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Amel yang sibuk bermain ponsel.

“Udah baikan lo sama dia? Nggak bete lagi?”

Amel menjawab dengan anggukan dan seulas senyum. “Emang kayaknya gue nggak bisa marah lama-lama deh.”

“Bagus kalau gitu.”

“Oh iya,” Amel ikut memajukan sedikit tubuhnya ke arah Naka, membuat si pemuda terbelalak lalu refleks memundurkan kepalanya agar wajah mereka tidak terlalu dekat. “Tugas kelompok perencanaan bisnis lo gimana? Udah selesai?”

Tidak langsung menjawab, Naka berdehem sejenak. “Hampir. Tinggal bikin cover, sama penutupnya aja sih. Punya kalian gimana?”

“Baru 80% lah kira-kira. Kami baru bab dua sama tiga doang yang udah diketik, sisanya belum sama sekali. Kesel banget anak-anak grup pada slow respon, kalau diajak kerkom banyak banget alasannya. Nanti ujung-ujungnya pasti gue juga yang ngerjain,” keluh Amel sambil melipat tangannya ke dada. “Giliran ngejulidin gue aja gercep banget!”

“Tissa and friends? Sabarin aja lah, mereka emang gitu.”

“Ya, sabarin aja. Toh, seminggu lagi juga udah deadline dan itu artinya gue bakal terlepas dari mereka.”

Tidak lama setelah itu Cetta kembali dengan nampan di tangannya, membawa dua porsi ayam gerpek dan nasi tidak lupa minumannya juga. Pemuda itu memberitahu Naka kalau pesanan dia juga sudah selesai, jadi pemuda itu buru-buru pergi untuk mengambilnya.

“Antri banget ya?” tanya Amel saat Cetta memberikan ayam geprek dengan cabai ulek melimpah di atasnya.

“Lumayan lah, ngobrolin apa aja tadi sama Naka? Kayaknya seru banget.”

“Cuma masalah tugas kok.”

“Oh.”

Buset. Itu cabenya apa nggak kebanyakan, Mel?” komentar Naka begitu kembali ke meja mereka, dia membawa seporsi mie ayam dengan beberapa butir baso di atasnya.

“Nggak kok, pas aja ini.”

Naka menoleh ke arah Cetta yang terlihat bingung. “Ta, kurangin itu cabenya si Amel. Takutnya nanti diare kayak waktu SD dulu.”

“Waktu SD?”

“Iya, gara-gara nge-sok makan bakso pakai banyak sambal dianya jadi diare di sekolah. Udah tau nggak bisa makan yang pedes-pedes masih aja ngeyel! Gue satu sekolah sama dia pas SD dulu.”

Entah kenapa mendengar bagaimana Naka lebih tau tentang Amel ketimbang dirinya sendiri membuat perasaan Cetta jadi agak kesal. Tau sih ini mungkin terlalu kekanakan gitu, tapi ya gimana dia nggak suka aja. Kesannya seperti dia kalah satu langkah dari Naka, padahal kan mereka tidak sedang berlomba sekarang.

“Ya itu kan dulu, sekarang gue udah dewasa dan bisa makan yang pedas-pedas. Nggak bakal diare kok cuma segini do—– Ta, kok cabenya diambilin sih?!” protes Amel.

Namun Cetta yang masih diliputi perasaan kesal itu justru tanpa sadar menyahut dengan suara ketus. “Biar nggak diare!”

Naka terdiam mengamati reaksi temannya tersebut. Perasaan tadi biasa saja, sekarang wajah Cetta justru berubah jutek dan suaranya pun jadi agak ketus begitu. Selain pernah jadi teman Amel sewaktu SD, Naka juga pernah jadi teman Cetta saat SMA. Jadi ia cukup memahami dengan baik setiap reaksi yang temannya itu tunjukkan.

Cetta sedang cemburu.

“Cetta, ada pesan tuh.”

“Hah?”

“Dari Renata,” lanjut Amel yang tadi tanpa sengaja membawa notifikasi imess yang baru saja masuk di ponsel Cetta.

Pemuda itu langsung sadar lalu mengambil ponselnya. Ternyata benar Renata mengiriminya pesan, jadi Cetta dengan cepat membalas pesannya.

“Kenapa dia?” tanya Amel penasaran, agak kesal juga sih sebenarnya.

Pokoknya kalau sudah bersangkutan dengan yang namanya Renata, Amel auto sensi. Bawaannya pengen marah-marah juga, mungkin juga efek haid emosi Amel jadi tidak terkontrol dengan baik.

“Renata mau minta tolong sama aku.”

“Oh.”

'Lagi-lagi Renata, menyebalkan!'. Batinnya menggerutu.

Amel sengaja tidak bertanya lebih lanjut minta tolong apa yang dimaksud, ya karena malas saja mendengarnya saat nama Renata diucapkan langsung oleh Cetta.

Naka yang sejak tadi hanya jadi saksi memilih untuk tidak berucap satu patah kata pun, namun matanya tak lepas memandangi kedua temannya itu.

'Sepertinya akhir-akhir ini hubungan keduanya sedang tidak berjalan baik. Maksudnya, mereka jadi sering sensi pada satu sama lain dan tidak jarang terlibat cekcok meski tidak berlangsung lama. Terlebih, sejak ada Renata.'

“Amel, browniesnya nggak enak ya?”

Bunga bertanya karena sejak tadi Amel hanya duduk diam memandangi layar ponselnya di ruang tamu. Dilihat dari potongan kue di piring Amel pun, Bunga sudah bisa memastikan gadis itu hanya sempat memakan kuenya sekali.

Eh, enak kok Tante. Enak banget malah.” Gadis itu tersenyum paksa sembari diam-diam menyembunyikan ponselnya ke bawah bantalan sofa.

“Kalau enak kok nggak dihabisin sih?”

“Ini mau dihabisin kok, Tan. Hehe.”

Sebenarnya Bunga merasa aneh dengan ekspresi anak itu sekarang. Amel kelihatan sekali sedang menyembunyikan sesuatu, mata gadis itu bahkan agak berkaca-kaca seperti ingin menangis. Tapi Bunga memutuskan untuk tidak bertanya, takut Amel justru merasa tidak nyaman kalau terlalu banyak ditanya-tanya.

“Amel, rasa-rasanya Tante pernah cerita kan kalau Cetta punya banyak tanaman mawar?”

Hng, aku agak lupa-lupa ingat sebenarnya. Tapi kayaknya ada deh Tante cerita. Emangnya kenapa, Tan?”

“Mau liat nggak? Ada di halaman belakang nih. Sebenarnya di halaman depan juga ada sih, kayaknya kamu juga udah liat tadi pas kesini. Tapi di halaman belakang lebih banyak lagi loh, kayak toko bunga versi mini.”

“Oh ya?” Mendengar cerita Bunga membuat Amel mulai tertarik dan melupakan sejenak foto Cetta yang tadi di upload oleh user bernama Rena tersebut. “Aku mau liat dong, Tan.”


Waah, ini sih udah bukan toko bunga lagi. Tapi perkebunan mawar!”

Mata Amel kontan berbinar dengan bibir yang tak hentinya berdecak kagum, permandangan di depan matanya saat ini benar-benar indah. Membuat Amel secara impulsif berjalan mendekat dan menyentuh beberapa kelopak bunga mawar dengan gemasnya.

Kesukaan Bunga dan Cetta terhadap bunga mawar ternyata tidak main-main. Mereka punya banyak sekali jenis dan warna bunga mawar di halaman belakang rumah, jumlahnya bahkan di luar dugaan Amel sebelumnya. Benar-benar seperti perkebunan mawar versi mini.

Di pojokan rak ada banyak sekali bibit bunga mawar yang ditaruh ke dalam polybag yang tersusun rapi, Amel ingat Bunga pernah memberinya dua polybag bibit bunga mawar itu yang kini ia tanam di depan rumahnya.

“Udah berapa tahun Tante punya perkebunan mawar ini?” tanya Amel sambil berjongkok di depan salah satu tanaman.

“Berapa ya, kayaknya udah lama banget. Almarhum Papi Cetta aja masih hidup waktu itu. Banyaknya sih Cetta yang tanam, tapi kita rawatnya bareng-bareng.”

“Ini keren banget loh, Tan!”

“Kamu suka?”

Amel mengangguk cepat dengan wajah antusias, nyaris sepenuhnya lupa dengan apa yang ia liat beberapa saat lalu di twitter.

“Suka banget! Seandainya aja aku telaten ngurusnya, pengen deh coba tanam-tanam gini. Cuma masalahnya aku aja nggak begitu telaten, Tan. Orang rumah juga bukan tipe yang suka berkebun.”

“Ya udah kalau gitu kamu sering-sering aja main ke sini biar bisa liat bunga mawar sepuas kamu.”

“Emang boleh?”

“Boleh dong, kamu mau tinggal di sini juga Tante izinin kok.”

Eh?”

Bunga terkekeh geli menyaksikan ekspresi kaget Amel barusan. “Bercanda. Pokoknya kalau mau main ya main aja, Mel.”

“Mi, Mami!”

Baik Amel maupun Bunga secara serempak menoleh ke arah pintu dapur, pintu yang merupakan akses mereka menuju halaman belakang. Bunga tersenyum ke arah Amel dan mengajak gadis itu kembali masuk ke rumah.

“Cetta pulang tuh, yuk masuk!”

Amel hanya tersenyum kikuk ke arah Bunga dan pasrah saja bahunya dirangkul oleh wanita itu. Mendengar nama Cetta disebut membuat dada Amel mendadak sesak, teringat pada kebohongan yang Cetta lakukan tadi siang membuat batinnya terluka.

“Nah, ini Mami. Mi, liat deh ini ada—– Loh, Amel? Kamu di sini?!”

Tidak mengabaikan keterkejutan Cetta, mata Amel justru terpusat sepenuhnya pada sosok gadis yang terlihat familiar di matanya. Itu gadis minimarket yang ia temui kemarin, ternyata sekarang mereka bertemu lagi. Dengan cara yang tidak disangka-sangka tentunya.

“Loh, ini kan—–”

Bukan hanya Amel, Bunga saja terkejut dengan kehadiran Renata di rumah itu. Apalagi datangnya bersama Cetta, yang itu artinya Cetta sendiri yang mengundangnya ke rumah.

“Tante Bunga apa kabar? Aku Rena, mantan pacarnya Cetta waktu SMA. Masih ingat aku kan, Tan?”

Renata tersenyum manis di sisi Cetta, berbanding terbalik dengan si pemuda yang tak hentinya memandangi Amel dengan wajah terkejut. Saking kagetnya dia mungkin tidak sadar Renata sejak tadi melingkarkan lengannya pada lengan Cetta, dan pemuda itu tidak kelihatan terganggu sama sekali.

Loh, lo yang kemarin di minimarket itu kan?” seru Renata sembari menunjuk ke arah Amel. “Kok bisa ada di sini?”

Tidak tahan dengan suasana yang mendadak awkward ini, Amel memutuskan untuk pamit pulang saja pada Bunga. Wanita itu terlihat keberatan awalnya, namun juga tidak mau memaksa Amel tetap tinggal dan membuatnya merasa tidak nyaman. Maka dari itu ia membiarkan saja gadis itu pergi sambil memberi kode agar Cetta mengantarnya ke luar.

“Amel!” seru Cetta, cukup nyaring sebenarnya. Tapi tidak cukup untuk membuat Amel berhenti berjalan.

“Amel!”

Kali ini Cetta berhasil meraih pergelangan tangan Amel. Namun tanpa ia sangka sebelumnya, secara cepat gadis itu justru menepisnya, membuat Cetta yang tidak siap refleks melepaskam pegangannya pada gadis itu.

Amel hanya menoleh sekilas ke arahnya, dengan wajah memerah dan mata yang berkaca-kaca, gadis itu pergi tanpa berucap sepatah katapun. Perlakuan dinginnya tersebut sukses membuat Cetta terdiam di tempatnya berdiri.

Ini kali pertama Cetta menyaksikan Amel menangis, dan itu karena dirinya?

#Meet Her Again

“Amel, browniesnya nggak enak ya?”

Bunga bertanya karena sejak tadi Amel hanya duduk diam memandangi layar ponselnya di ruang tamu. Dilihat dari potongan kue di piring Amel pun, Bunga sudah bisa memastikan gadis itu hanya sempat memakan kuenya sekali.

Eh, enak kok Tante. Enak banget malah.” Gadis itu tersenyum paksa sembari diam-diam menyembunyikan ponselnya ke bawah bantalan sofa.

“Kalau enak kok nggak dihabisin sih?”

“Ini mau dihabisin kok, Tan. Hehe.”

Sebenarnya Bunga merasa aneh dengan ekspresi anak itu sekarang. Amel kelihatan sekali sedang menyembunyikan sesuatu, mata gadis itu bahkan agak berkaca-kaca seperti ingin menangis. Tapi Bunga memutuskan untuk tidak bertanya, takut Amel justru merasa tidak nyaman kalau terlalu banyak ditanya-tanya.

“Amel, rasa-rasanya Tante pernah cerita kan kalau Cetta punya banyak tanaman mawar?”

Hng, aku agak lupa-lupa ingat sebenarnya. Tapi kayaknya ada deh Tante cerita. Emangnya kenapa, Tan?”

“Mau liat nggak? Ada di halaman belakang nih. Sebenarnya di halaman depan juga ada sih, kayaknya kamu juga udah liat tadi pas kesini. Tapi di halaman belakang lebih banyak lagi loh, kayak toko bunga versi mini.”

“Oh ya?” Mendengar cerita Bunga membuat Amel mulai tertarik dan melupakan sejenak foto Cetta yang tadi di upload oleh user bernama Rena tersebut. “Aku mau liat dong, Tan.”


Waah, ini sih udah bukan toko bunga lagi. Tapi perkebunan mawar!”

Mata Amel kontan berbinar dengan bibir yang tak hentinya berdecak kagum, permandangan di depan matanya saat ini benar-benar indah. Membuat Amel secara impulsif berjalan mendekat dan menyentuh beberapa kelopak bunga mawar dengan gemasnya.

Kesukaan Bunga dan Cetta terhadap bunga mawar ternyata tidak main-main. Mereka punya banyak sekali jenis dan warna bunga mawar di halaman belakang rumah, jumlahnya bahkan di luar dugaan Amel sebelumnya. Benar-benar seperti perkebunan mawar versi mini.

Di pojokan rak ada banyak sekali bibit bunga mawar yang ditaruh ke dalam polybag yang tersusun rapi, Amel ingat Bunga pernah memberinya dua polybag bibit bunga mawar itu yang kini ia tanam di depan rumahnya.

“Udah berapa tahun Tante punya perkebunan mawar ini?” tanya Amel sambil berjongkok di depan salah satu tanaman.

“Berapa ya, kayaknya udah lama banget. Almarhum Papi Cetta aja masih hidup waktu itu. Banyaknya sih Cetta yang tanam, tapi kita rawatnya bareng-bareng.”

“Ini keren banget loh, Tan!”

“Kamu suka?”

Amel mengangguk cepat dengan wajah antusias, nyaris sepenuhnya lupa dengan apa yang ia liat beberapa saat lalu di twitter.

“Suka banget! Seandainya aja aku telaten ngurusnya, pengen deh coba tanam-tanam gini. Cuma masalahnya aku aja nggak begitu telaten, Tan. Orang rumah juga bukan tipe yang suka berkebun.”

“Ya udah kalau gitu kamu sering-sering aja main ke sini biar bisa liat bunga mawar sepuas kamu.”

“Emang boleh?”

“Boleh dong, kamu mau tinggal di sini juga Tante izinin kok.”

Eh?”

Bunga terkekeh geli menyaksikan ekspresi kaget Amel barusan. “Bercanda. Pokoknya kalau mau main ya main aja, Mel.”

“Mi, Mami!”

Baik Amel maupun Bunga secara serempak menoleh ke arah pintu dapur, pintu yang merupakan akses mereka menuju halaman belakang. Bunga tersenyum ke arah Amel dan mengajak gadis itu kembali masuk ke rumah.

“Cetta pulang tuh, yuk masuk!”

Amel hanya tersenyum kikuk ke arah Bunga dan pasrah saja bahunya dirangkul oleh wanita itu. Mendengar nama Cetta disebut membuat dada Amel mendadak sesak, teringat pada kebohongan yang Cetta lakukan tadi siang membuat batinnya terluka.

“Nah, ini Mami. Mi, liat deh ini ada—– Loh, Amel? Kamu di sini?!”

Tidak mengabaikan keterkejutan Cetta, mata Amel justru terpusat sepenuhnya pada sosok gadis yang terlihat familiar di matanya. Itu gadis minimarket yang ia temui kemarin, ternyata sekarang mereka bertemu lagi. Dengan cara yang tidak disangka-sangka tentunya.

“Loh, ini kan—–”

Bukan hanya Amel, Bunga saja terkejut dengan kehadiran Renata di rumah itu. Apalagi datangnya bersama Cetta, yang itu artinya Cetta sendiri yang mengundangnya ke rumah.

“Tante Bunga apa kabar? Aku Rena, mantan pacarnya Cetta waktu SMA. Masih ingat aku kan, Tan?”

Renata tersenyum manis di sisi Cetta, berbanding terbalik dengan si pemuda yang tak hentinya memandangi Amel dengan wajah terkejut. Saking kagetnya dia mungkin tidak sadar Renata sejak tadi melingkarkan lengannya pada lengan Cetta, dan pemuda itu tidak kelihatan terganggu sama sekali.

Loh, lo yang kemarin di minimarket itu kan?” seru Renata sembari menunjuk ke arah Amel. “Kok bisa ada di sini?”

Tidak tahan dengan suasana yang mendadak awkward ini, Amel memutuskan untuk pamit pulang saja pada Bunga. Wanita itu terlihat keberatan awalnya, namun juga tidak mau memaksa Amel tetap tinggal dan membuatnya merasa tidak nyaman. Maka dari itu ia membiarkan saja gadis itu pergi sambil memberi kode agar Cetta mengantarnya ke luar.

“Amel!” seru Cetta, cukup nyaring sebenarnya. Tapi tidak cukup untuk membuat Amel berhenti berjalan.

“Amel!”

Kali ini Cetta berhasil meraih pergelangan tangan Amel. Namun tanpa ia sangka sebelumnya, secara cepat gadis itu justru menepisnya, membuat Cetta yang tidak siap refleks melepaskam pegangannya pada gadis itu.

Amel hanya menoleh sekilas ke arahnya, dengan wajah memerah dan mata yang berkaca-kaca, gadis itu pergi tanpa berucap sepatah katapun. Perlakuan dinginnya tersebut sukses membuat Cetta terdiam di tempatnya berdiri.

Ini kali pertama Cetta menyaksikan Amel menangis, dan itu karena dirinya?

Cetta punya kebiasaan datang tepat waktu saat ada janji bertemu, kadang malah datang lebih awal dari itu.

Terbukti saat Cetta sampai di kafe tempat janjiannya dengan Renata, gadis itu masih belum kelihatan juga. Pemuda itu mengambil tempat di pojokan meja, bersebelahan dengan dinding kaca yang membuat pandangannya terarah langsung pada sekolahnya yang berada di seberang jalan.

Matanya kemudian bergulir ke arah kanan, tepatnya pada halte bus yang ditempati oleh beberapa anak sekolahan yang baru pulang. Masih dengan seragam putih abu-abu, wajah kusut karena lelah juga bosan, permandangan anak-anak sekolah itu membuat ingatan Cetta terbawa ke empat tahun lalu.

Dulu saat Cetta belum diperbolehkan naik kendaraan sendiri sama Mami, dia selalu naik bus ketika berangkat dan pulang sekolah. Tentu saja tidak sendiri, karena ada Renata yang setia menemani. Komplek perumahan mereka memang tidak sama, tapi seringnya mereka bertemu saat sudah berada di dalam bus, membuat keduanya terbiasa pulang dan pergi ke sekolah bersama. Itu momen yang menyenangkan, sekaligus tak terlupakan.

Namun sejak Renata pindah sekolah secara mendadak, meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, dan pergi begitu saja, naik bus tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan bagi Cetta. Yang ada justru rasa hampa yang menghantamnya setiap kali kursi yang biasa mereka tempati berdua kini hanya Cetta saja yang mengisi.

Cetta tersenyum pedih saat rasa aneh di dadanya kembali terasa. Dari awal Cetta tidak pernah membenci kepergian mendadak Renata, ia hanya merasa kecewa. Saking kecewanya bahkan dia sampai bingung harus melakukan apa saat itu. Dia tentu saja sedih, tapi anehnya dia tidak mampu menangis. Dadanya hanya terasa ... hampa.

Tapi sepertinya mulai sekarang tidak lagi, sebab gadis yang selama ini menghilang telah kembali. Renata kembali, tersenyum cantik di hadapannya kini. Cetta balas tersenyum, bangkit dari kursinya yang mana sepersekian detik kemudian disambut pelukan hangat oleh gadis itu.

Long time no see, Cetta. I miss you,” katanya tepat di telinga si pemuda.

Lagi-lagi Cetta bingung harus bereaksi bagaimana. Dia memang senang Renata kembali, tapi dilain sisi ia juga berpikir bukankah ini saat yang tepat untuk marah pada gadis itu. Tapi nyatanya Cetta tidak bisa marah, Cetta tidak pernah bisa marah pada gadis itu. Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang berubah.

Pada akhirnya Cetta hanya diam, selagi tangannya bergerak perlahan ke punggung Renata dan memeluk balik gadis itu.

Cetta tidak bohong, dia juga merindukan Renata.


“Kamu kemana aja, Rena? Kenapa waktu itu pergi mendadak? Bukan cuma aku yang ngerasa bingung, satu kelas juga ikutan bingung sama kepergian kamu.”

Tentu saja hal yang paling utama saat bertemu dengan Renata adalah meminta penjelasan dari gadis itu, walau bagaimana pun juga Cetta harus tau alasan kenapa Renata pergi kala itu.

Renata juga sudah bisa menebak kalau Cetta akan bertanya perihal itu, makanya ia tidak keberatan sama sekali untuk menjawabnya meski makanan yang telah tersaji di atas meja belum sempat tersentuh sama sekali. Renata hanya sempat menyeruput lemon tea-nya sekali sebelum kemudian memusatkan perhatiannya pada Cetta.

“Sejujurnya aku malu buat cerita.”

“Malu?” Cetta mengernyitkan keningnya, tak mengerti maksud ucapan Renata barusan. “Kenapa?”

“Waktu kita kelas sebelas, perusahaan milik Papa aku bangkrut. Dia juga punya utang hingga ratusan juta, belum lagi dituduh melakukan tindak korupsi meski pada akhirnya itu nggak terbukti benar.”

Renata mendongak, menatap tepat pada mata Cetta yang nampak membulat karena kaget dengan ceritanya.

“Aku nggak mau jadi bahan olokan di sekolah, Cetta. Jadi sebelum semua orang tau masalah ini aku mutusin buat pindah sekolah ke tempat yang jauh dari sini, juga bohong ke kamu dengan bilang kalau aku selingkuh. Padahal kenyataannya nggak sama sekali, aku cuma cinta sama kamu.”

“Rena, seharusnya kamu nggak melakukan itu.”

“Aku tau, dan aku sadar kalau aku udah nyakitin kamu. Aku takut dicampakkan sama kamu begitu kamu tau yang sebenarnya, aku takut kamu malu punya pacar kayak aku. Maka dari itu aku mencampakkan kamu lebih dulu dan pergi tanpa pamit. Maafin aku ya, Cetta. Maaf karena aku udah nyakitin dan bohongin kamu selama ini. Juga maaf karena baru sekarang aku berani ngehubungin kamu lagi, selama ini aku nggak punya cukup keberanian.”

Gadis itu memilin jemarinya yang bergetar di bawah meja, kepalanya tertunduk malu, perlahan namun pasti air matanya mulai turun, disusul oleh bahunya yang bergetar. Meski sebagian besar wajahnya tertutupi rambut, Cetta tau kalau gadis itu menangis tanpa suara. Maka dari itu Cetta berdiri, berpindah posisi ke sebelah Renata agar bisa membawa gadis itu ke pelukannya.

“Maaf,” ucap Renata yang mulai terisak di pelukan Cetta, lengan gadis itu pun melingkar di pinggang si pemuda.

“Nggak apa-apa, bukan sepenuhnya salah kamu kok. Seharusnya dari awal aku peka, tapi aku terlalu fokus sama perasaan aku sendiri sampai nggak memperhatikan kalau kondisi kamu juga lagi buruk saat itu.”

“Nggak, bukan salah kamu. Dari awal ini salah aku karena nggak mampu jujur sama kamu. Kalau aja aku jujur, jadinya nggak mungkin seperti ini kan?”

Cetta tidak bisa mengelak kalau apa yang diucapkan Renata memang ada benarnya. Kalau saja dari awal Renata jujur padanya, Cetta tidak akan menghabiskan waktunya untuk merindukan gadis itu dan menyalahkan keadaan. Seandainya saja Renata mau jujur, mungkin hubungan mereka masih terjalin hingga sekarang.

“Udah, jangan nangis lagi. Kamu udah capek-capek dandan buat nemuin aku, nanti make up-nya rusak,” gurau Cetta dengan kekehan khasnya.

Hal itu tak gagal membuat Renata ikut terkekeh, sejenak membuatnya teringat masa lalu, saat-saat di mana mereka masih berpacaran. Biasanya ketika sedang kencan, Renata akan melarang keras pemuda itu untuk menyentuh apalagi mencubit pipinya, alasannya karena takut make up-nya rusak. Padahal sebenarnya itu hanya alibinya saja, aslinya ia memang tidak suka dicubit di pipi apalagi Cetta biasa mencubitnya pakai tenaga. Kan pipi Renata jadi sakit, makanya dia selalu pakai alasan 'nanti make up-nya rusak'.

“Cetta,” panggil Renata saat pelukan mereka sudah terlepas dan Cetta yang sibuk mengusap jejak air matanya di wajah dengan tisu. “Aku kangen Mami kamu juga nih, bisa nggak kamu pertemukan aku sama dia?”

“Sekarang?”

Gadis itu mengangguk. “Habis makan siang ini lebih tepatnya.”

“Oke, nanti kita ketemu Mami ya?”

Cetta punya kebiasaan datang tepat waktu saat ada janji bertemu, kadang malah datang lebih awal dari itu.

Terbukti saat Cetta sampai di kafe tempat janjiannya dengan Renata, gadis itu masih belum kelihatan juga. Pemuda itu mengambil tempat di pojokan meja, bersebelahan dengan dinding kaca yang membuat pandangannya terarah langsung pada sekolahnya yang berada di seberang jalan.

Matanya kemudian bergulir ke arah kanan, tepatnya pada halte bus yang ditempati oleh beberapa anak sekolahan yang baru pulang. Masih dengan seragam putih abu-abu, wajah kusut karena lelah juga bosan, permandangan anak-anak sekolah itu membuat ingatan Cetta terbawa ke empat tahun lalu.

Dulu saat Cetta belum diperbolehkan naik kendaraan sendiri sama Mami, dia selalu naik bus ketika berangkat dan pulang sekolah. Tentu saja tidak sendiri, karena ada Renata yang setia menemani. Komplek perumahan mereka memang tidak sama, tapi seringnya mereka bertemu saat sudah berada di dalam bus, membuat keduanya terbiasa pulang dan pergi ke sekolah bersama. Itu momen yang menyenangkan, sekaligus tak terlupakan.

Namun sejak Renata pindah sekolah secara mendadak, meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, dan pergi begitu saja, naik bus tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan bagi Cetta. Yang ada justru rasa hampa yang menghantamnya setiap kali kursi yang biasa mereka tempati berdua kini hanya Cetta saja yang mengisi.

Cetta tersenyum pedih saat rasa aneh di dadanya kembali terasa. Dari awal Cetta tidak pernah membenci kepergian mendadak Renata, ia hanya merasa kecewa. Saking kecewanya bahkan dia sampai bingung harus melakukan apa saat itu. Dia tentu saja sedih, tapi anehnya dia tidak mampu menangis. Dadanya hanya terasa ... hampa.

Tapi sepertinya mulai sekarang tidak lagi, sebab gadis yang selama ini menghilang telah kembali. Renata kembali, tersenyum cantik di hadapannya kini. Cetta balas tersenyum, bangkit dari kursinya yang mana sepersekian detik kemudian disambut pelukan hangat oleh gadis itu.

Long time no see, Cetta. I miss you,” katanya tepat di telinga si pemuda.

Lagi-lagi Cetta bingung harus bereaksi bagaimana. Dia memang senang Renata kembali, tapi dilain sisi ia juga berpikir bukankah ini saat yang tepat untuk marah pada gadis itu. Tapi nyatanya Cetta tidak bisa marah, Cetta tidak pernah bisa marah pada gadis itu. Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang berubah.

Pada akhirnya Cetta hanya diam, selagi tangannya bergerak perlahan ke punggung Renata dan memeluk balik gadis itu.

Cetta tidak bohong, dia juga merindukan Renata.

•—– Aksesoris

“Kamu kemana aja, Rena? Kenapa waktu itu pergi mendadak? Bukan cuma aku yang ngerasa bingung, satu kelas juga ikutan bingung sama kepergian kamu.”

Tentu saja hal yang paling utama saat bertemu dengan Renata adalah meminta penjelasan dari gadis itu, walau bagaimana pun juga Cetta harus tau alasan kenapa Renata pergi kala itu.

Renata juga sudah bisa menebak kalau Cetta akan bertanya perihal itu, makanya ia tidak keberatan sama sekali untuk menjawabnya meski makanan yang telah tersaji di atas meja belum sempat tersentuh sama sekali. Renata hanya sempat menyeruput lemon tea-nya sekali sebelum kemudian memusatkan perhatiannya pada Cetta.

“Sejujurnya aku malu buat cerita.”

“Malu?” Cetta mengernyitkan keningnya, tak mengerti maksud ucapan Renata barusan. “Kenapa?”

“Waktu kita kelas sebelas, perusahaan milik Papa aku bangkrut. Dia juga punya utang hingga ratusan juta, belum lagi dituduh melakukan tindak korupsi meski pada akhirnya itu nggak terbukti benar.”

Renata mendongak, menatap tepat pada mata Cetta yang nampak membulat karena kaget dengan ceritanya.

“Aku nggak mau jadi bahan olokan di sekolah, Cetta. Jadi sebelum semua orang tau masalah ini aku mutusin buat pindah sekolah ke tempat yang jauh dari sini, juga bohong ke kamu dengan bilang kalau aku selingkuh. Padahal kenyataannya nggak sama sekali, aku cuma cinta sama kamu.”

“Rena, seharusnya kamu nggak melakukan itu.”

“Aku tau, dan aku sadar kalau aku udah nyakitin kamu. Aku takut dicampakkan sama kamu begitu kamu tau yang sebenarnya, aku takut kamu malu punya pacar kayak aku. Maka dari itu aku mencampakkan kamu lebih dulu dan pergi tanpa pamit. Maafin aku ya, Cetta. Maaf karena aku udah nyakitin dan bohongin kamu selama ini. Juga maaf karena baru sekarang aku berani ngehubungin kamu lagi, selama ini aku nggak punya cukup keberanian.”

Gadis itu memilin jemarinya yang bergetar di bawah meja, kepalanya tertunduk malu, perlahan namun pasti air matanya mulai turun, disusul oleh bahunya yang bergetar. Meski sebagian besar wajahnya tertutupi rambut, Cetta tau kalau gadis itu menangis tanpa suara. Maka dari itu Cetta berdiri, berpindah posisi ke sebelah Renata agar bisa membawa gadis itu ke pelukannya.

“Maaf,” ucap Renata yang mulai terisak di pelukan Cetta, lengan gadis itu pun melingkar di pinggang si pemuda.

“Nggak apa-apa, bukan sepenuhnya salah kamu kok. Seharusnya dari awal aku peka, tapi aku terlalu fokus sama perasaan aku sendiri sampai nggak memperhatikan kalau kondisi kamu juga lagi buruk saat itu.”

“Nggak, bukan salah kamu. Dari awal ini salah aku karena nggak mampu jujur sama kamu. Kalau aja aku jujur, jadinya nggak mungkin seperti ini kan?”

Cetta tidak bisa mengelak kalau apa yang diucapkan Renata memang ada benarnya. Kalau saja dari awal Renata jujur padanya, Cetta tidak akan menghabiskan waktunya untuk merindukan gadis itu dan menyalahkan keadaan. Seandainya saja Renata mau jujur, mungkin hubungan mereka masih terjalin hingga sekarang.

“Udah, jangan nangis lagi. Kamu udah capek-capek dandan buat nemuin aku, nanti make up-nya rusak,” gurau Cetta dengan kekehan khasnya.

Hal itu tak gagal membuat Renata ikut terkekeh, sejenak membuatnya teringat masa lalu, saat-saat di mana mereka masih berpacaran. Biasanya ketika sedang kencan, Renata akan melarang keras pemuda itu untuk menyentuh apalagi mencubit pipinya, alasannya karena takut make up-nya rusak. Padahal sebenarnya itu hanya alibinya saja, aslinya ia memang tidak suka dicubit di pipi apalagi Cetta biasa mencubitnya pakai tenaga. Kan pipi Renata jadi sakit, makanya dia selalu pakai alasan 'nanti make up-nya rusak'.

“Cetta,” panggil Renata saat pelukan mereka sudah terlepas dan Cetta yang sibuk mengusap jejak air matanya di wajah dengan tisu. “Aku kangen Mami kamu juga nih, bisa nggak kamu pertemukan aku sama dia?”

“Sekarang?”

Gadis itu mengangguk. “Habis makan siang ini lebih tepatnya.”

“Oke, nanti kita ketemu Mami ya?”

Cetta punya kebiasaan datang tepat waktu saat ada janji bertemu, kadang malah datang lebih awal dari itu.

Terbukti saat Cetta sampai di kafe tempat janjiannya dengan Renata, gadis itu masih belum kelihatan juga. Pemuda itu mengambil tempat di pojokan meja, bersebelahan dengan dinding kaca yang membuat pandangannya terarah langsung pada sekolahnya yang berada di seberang jalan.

Matanya kemudian bergulir ke arah kanan, tepatnya pada halte bus yang ditempati oleh beberapa anak sekolahan yang baru pulang. Masih dengan seragam putih abu-abu, wajah kusut karena lelah juga bosan, permandangan anak-anak sekolah itu membuat ingatan Cetta terbawa ke empat tahun lalu.

Dulu saat Cetta belum diperbolehkan naik kendaraan sendiri sama Mami, dia selalu naik bus ketika berangkat dan pulang sekolah. Tentu saja tidak sendiri, karena ada Renata yang setia menemani. Komplek perumahan mereka memang tidak sama, tapi seringnya mereka bertemu saat sudah berada di dalam bus, membuat keduanya terbiasa pulang dan pergi ke sekolah bersama. Itu momen yang menyenangkan, sekaligus tak terlupakan.

Namun sejak Renata pindah sekolah secara mendadak, meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, dan pergi begitu saja, naik bus tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan bagi Cetta. Yang ada justru rasa hampa yang menghantamnya setiap kali kursi yang biasa mereka tempati berdua kini hanya Cetta saja yang mengisi.

Cetta tersenyum pedih saat rasa aneh di dadanya kembali terasa. Dari awal Cetta tidak pernah membenci kepergian mendadak Renata, ia hanya merasa kecewa. Saking kecewanya bahkan dia sampai bingung harus melakukan apa saat itu. Dia tentu saja sedih, tapi anehnya dia tidak mampu menangis. Dadanya hanya terasa ... hampa.

Tapi sepertinya mulai sekarang tidak lagi, sebab gadis yang selama ini menghilang telah kembali. Renata kembali, tersenyum cantik di hadapannya kini. Cetta balas tersenyum, bangkit dari kursinya yang mana sepersekian detik kemudian disambut pelukan hangat oleh gadis itu.

Long time no see, Cetta. I miss you,” katanya tepat di telinga si pemuda.

Lagi-lagi Cetta bingung harus bereaksi bagaimana. Dia memang senang Renata kembali, tapi dilain sisi ia juga berpikir bukankah ini saat yang tepat untuk marah pada gadis itu. Tapi nyatanya Cetta tidak bisa marah, Cetta tidak pernah bisa marah pada gadis itu. Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang berubah.

Pada akhirnya Cetta hanya diam, selagi tangannya bergerak perlahan ke punggung Renata dan memeluk balik gadis itu.

Cetta tidak bohong, dia juga merindukan Renata.

—– Aksesoris

“Kamu kemana aja, Rena? Kenapa waktu itu pergi mendadak? Bukan cuma aku yang ngerasa bingung, satu kelas juga ikutan bingung sama kepergian kamu.”

Tentu saja hal yang paling utama saat bertemu dengan Renata adalah meminta penjelasan dari gadis itu, walau bagaimana pun juga Cetta harus tau alasan kenapa Renata pergi kala itu.

Renata juga sudah bisa menebak kalau Cetta akan bertanya perihal itu, makanya ia tidak keberatan sama sekali untuk menjawabnya meski makanan yang telah tersaji di atas meja belum sempat tersentuh sama sekali. Renata hanya sempat menyeruput lemon tea-nya sekali sebelum kemudian memusatkan perhatiannya pada Cetta.

“Sejujurnya aku malu buat cerita.”

“Malu?” Cetta mengernyitkan keningnya, tak mengerti maksud ucapan Renata barusan. “Kenapa?”

“Waktu kita kelas sebelas, perusahaan milik Papa aku bangkrut. Dia juga punya utang hingga ratusan juta, belum lagi dituduh melakukan tindak korupsi meski pada akhirnya itu nggak terbukti benar.”

Renata mendongak, menatap tepat pada mata Cetta yang nampak membulat karena kaget dengan ceritanya.

“Aku nggak mau jadi bahan olokan di sekolah, Cetta. Jadi sebelum semua orang tau masalah ini aku mutusin buat pindah sekolah ke tempat yang jauh dari sini, juga bohong ke kamu dengan bilang kalau aku selingkuh. Padahal kenyataannya nggak sama sekali, aku cuma cinta sama kamu.”

“Rena, seharusnya kamu nggak melakukan itu.”

“Aku tau, dan aku sadar kalau aku udah nyakitin kamu. Aku takut dicampakkan sama kamu begitu kamu tau yang sebenarnya, aku takut kamu malu punya pacar kayak aku. Maka dari itu aku mencampakkan kamu lebih dulu dan pergi tanpa pamit. Maafin aku ya, Cetta. Maaf karena aku udah nyakitin dan bohongin kamu selama ini. Juga maaf karena baru sekarang aku berani ngehubungin kamu lagi, selama ini aku nggak punya cukup keberanian.”

Gadis itu memilin jemarinya yang bergetar di bawah meja, kepalanya tertunduk malu, perlahan namun pasti air matanya mulai turun, disusul oleh bahunya yang bergetar. Meski sebagian besar wajahnya tertutupi rambut, Cetta tau kalau gadis itu menangis tanpa suara. Maka dari itu Cetta berdiri, berpindah posisi ke sebelah Renata agar bisa membawa gadis itu ke pelukannya.

“Maaf,” ucap Renata yang mulai terisak di pelukan Cetta, lengan gadis itu pun melingkar di pinggang si pemuda.

“Nggak apa-apa, bukan sepenuhnya salah kamu kok. Seharusnya dari awal aku peka, tapi aku terlalu fokus sama perasaan aku sendiri sampai nggak memperhatikan kalau kondisi kamu juga lagi buruk saat itu.”

“Nggak, bukan salah kamu. Dari awal ini salah aku karena nggak mampu jujur sama kamu. Kalau aja aku jujur, jadinya nggak mungkin seperti ini kan?”

Cetta tidak bisa mengelak kalau apa yang diucapkan Renata memang ada benarnya. Kalau saja dari awal Renata jujur padanya, Cetta tidak akan menghabiskan waktunya untuk merindukan gadis itu dan menyalahkan keadaan. Seandainya saja Renata mau jujur, mungkin hubungan mereka masih terjalin hingga sekarang.

“Udah, jangan nangis lagi. Kamu udah capek-capek dandan buat nemuin aku, nanti make up-nya rusak,” gurau Cetta dengan kekehan khasnya.

Hal itu tak gagal membuat Renata ikut terkekeh, sejenak membuatnya teringat masa lalu, saat-saat di mana mereka masih berpacaran. Biasanya ketika sedang kencan, Renata akan melarang keras pemuda itu untuk menyentuh apalagi mencubit pipinya, alasannya karena takut make up-nya rusak. Padahal sebenarnya itu hanya alibinya saja, aslinya ia memang tidak suka dicubit di pipi apalagi Cetta biasa mencubitnya pakai tenaga. Kan pipi Renata jadi sakit, makanya dia selalu pakai alasan 'nanti make up-nya rusak'.

“Cetta,” panggil Renata saat pelukan mereka sudah terlepas dan Cetta yang sibuk mengusap jejak air matanya di wajah dengan tisu. “Aku kangen Mami kamu juga nih, bisa nggak kamu pertemukan aku sama dia?”

“Sekarang?”

Gadis itu mengangguk. “Habis makan siang ini lebih tepatnya.”

“Oke, nanti kita ketemu Mami ya?”

Cetta punya kebiasaan datang tepat waktu saat ada janji bertemu, kadang malah datang lebih awal dari itu.

Terbukti saat Cetta sampai di kafe tempat janjiannya dengan Renata, gadis itu masih belum kelihatan juga. Pemuda itu mengambil tempat di pojokan meja, bersebelahan dengan dinding kaca yang membuat pandangannya terarah langsung pada sekolahnya yang berada di seberang jalan.

Matanya kemudian bergulir ke arah kanan, tepatnya pada halte bus yang ditempati oleh beberapa anak sekolahan yang baru pulang. Masih dengan seragam putih abu-abu, wajah kusut karena lelah juga bosan, permandangan anak-anak sekolah itu membuat ingatan Cetta terbawa ke empat tahun lalu.

Dulu saat Cetta belum diperbolehkan naik kendaraan sendiri sama Mami, dia selalu naik bus ketika berangkat dan pulang sekolah. Tentu saja tidak sendiri, karena ada Renata yang setia menemani. Komplek perumahan mereka memang tidak sama, tapi seringnya mereka bertemu saat sudah berada di dalam bus, membuat keduanya terbiasa pulang dan pergi ke sekolah bersama. Itu momen yang menyenangkan, sekaligus tak terlupakan.

Namun sejak Renata pindah sekolah secara mendadak, meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, dan pergi begitu saja, naik bus tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan bagi Cetta. Yang ada justru rasa hampa yang menghantamnya setiap kali kursi yang biasa mereka tempati berdua kini hanya Cetta saja yang mengisi.

Cetta tersenyum pedih saat rasa aneh di dadanya kembali terasa. Dari awal Cetta tidak pernah membenci kepergian mendadak Renata, ia hanya merasa kecewa. Saking kecewanya bahkan dia sampai bingung harus melakukan apa saat itu. Dia tentu saja sedih, tapi anehnya dia tidak mampu menangis. Dadanya hanya terasa ... hampa.

Tapi sepertinya mulai sekarang tidak lagi, sebab gadis yang selama ini menghilang telah kembali. Renata kembali, tersenyum cantik di hadapannya kini. Cetta balas tersenyum, bangkit dari kursinya yang mana sepersekian detik kemudian disambut pelukan hangat oleh gadis itu.

Long time no see, Cetta. I miss you,” katanya tepat di telinga si pemuda.

Lagi-lagi Cetta bingung harus bereaksi bagaimana. Dia memang senang Renata kembali, tapi dilain sisi ia juga berpikir bukankah ini saat yang tepat untuk marah pada gadis itu. Tapi nyatanya Cetta tidak bisa marah, Cetta tidak pernah bisa marah pada gadis itu. Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang berubah.

Pada akhirnya Cetta hanya diam, selagi tangannya bergerak perlahan ke punggung Renata dan memeluk balik gadis itu.

Cetta tidak bohong, dia juga merindukan Renata.

—-Aksesoris

“Kamu kemana aja, Rena? Kenapa waktu itu pergi mendadak? Bukan cuma aku yang ngerasa bingung, satu kelas juga ikutan bingung sama kepergian kamu.”

Tentu saja hal yang paling utama saat bertemu dengan Renata adalah meminta penjelasan dari gadis itu, walau bagaimana pun juga Cetta harus tau alasan kenapa Renata pergi kala itu.

Renata juga sudah bisa menebak kalau Cetta akan bertanya perihal itu, makanya ia tidak keberatan sama sekali untuk menjawabnya meski makanan yang telah tersaji di atas meja belum sempat tersentuh sama sekali. Renata hanya sempat menyeruput lemon tea-nya sekali sebelum kemudian memusatkan perhatiannya pada Cetta.

“Sejujurnya aku malu buat cerita.”

“Malu?” Cetta mengernyitkan keningnya, tak mengerti maksud ucapan Renata barusan. “Kenapa?”

“Waktu kita kelas sebelas, perusahaan milik Papa aku bangkrut. Dia juga punya utang hingga ratusan juta, belum lagi dituduh melakukan tindak korupsi meski pada akhirnya itu nggak terbukti benar.”

Renata mendongak, menatap tepat pada mata Cetta yang nampak membulat karena kaget dengan ceritanya.

“Aku nggak mau jadi bahan olokan di sekolah, Cetta. Jadi sebelum semua orang tau masalah ini aku mutusin buat pindah sekolah ke tempat yang jauh dari sini, juga bohong ke kamu dengan bilang kalau aku selingkuh. Padahal kenyataannya nggak sama sekali, aku cuma cinta sama kamu.”

“Rena, seharusnya kamu nggak melakukan itu.”

“Aku tau, dan aku sadar kalau aku udah nyakitin kamu. Aku takut dicampakkan sama kamu begitu kamu tau yang sebenarnya, aku takut kamu malu punya pacar kayak aku. Maka dari itu aku mencampakkan kamu lebih dulu dan pergi tanpa pamit. Maafin aku ya, Cetta. Maaf karena aku udah nyakitin dan bohongin kamu selama ini. Juga maaf karena baru sekarang aku berani ngehubungin kamu lagi, selama ini aku nggak punya cukup keberanian.”

Gadis itu memilin jemarinya yang bergetar di bawah meja, kepalanya tertunduk malu, perlahan namun pasti air matanya mulai turun, disusul oleh bahunya yang bergetar. Meski sebagian besar wajahnya tertutupi rambut, Cetta tau kalau gadis itu menangis tanpa suara. Maka dari itu Cetta berdiri, berpindah posisi ke sebelah Renata agar bisa membawa gadis itu ke pelukannya.

“Maaf,” ucap Renata yang mulai terisak di pelukan Cetta, lengan gadis itu pun melingkar di pinggang si pemuda.

“Nggak apa-apa, bukan sepenuhnya salah kamu kok. Seharusnya dari awal aku peka, tapi aku terlalu fokus sama perasaan aku sendiri sampai nggak memperhatikan kalau kondisi kamu juga lagi buruk saat itu.”

“Nggak, bukan salah kamu. Dari awal ini salah aku karena nggak mampu jujur sama kamu. Kalau aja aku jujur, jadinya nggak mungkin seperti ini kan?”

Cetta tidak bisa mengelak kalau apa yang diucapkan Renata memang ada benarnya. Kalau saja dari awal Renata jujur padanya, Cetta tidak akan menghabiskan waktunya untuk merindukan gadis itu dan menyalahkan keadaan. Seandainya saja Renata mau jujur, mungkin hubungan mereka masih terjalin hingga sekarang.

“Udah, jangan nangis lagi. Kamu udah capek-capek dandan buat nemuin aku, nanti make up-nya rusak,” gurau Cetta dengan kekehan khasnya.

Hal itu tak gagal membuat Renata ikut terkekeh, sejenak membuatnya teringat masa lalu, saat-saat di mana mereka masih berpacaran. Biasanya ketika sedang kencan, Renata akan melarang keras pemuda itu untuk menyentuh apalagi mencubit pipinya, alasannya karena takut make up-nya rusak. Padahal sebenarnya itu hanya alibinya saja, aslinya ia memang tidak suka dicubit di pipi apalagi Cetta biasa mencubitnya pakai tenaga. Kan pipi Renata jadi sakit, makanya dia selalu pakai alasan 'nanti make up-nya rusak'.

“Cetta,” panggil Renata saat pelukan mereka sudah terlepas dan Cetta yang sibuk mengusap jejak air matanya di wajah dengan tisu. “Aku kangen Mami kamu juga nih, bisa nggak kamu pertemukan aku sama dia?”

“Sekarang?”

Gadis itu mengangguk. “Habis makan siang ini lebih tepatnya.”

“Oke, nanti kita ketemu Mami ya?”

Sesuai janji mereka semalam, siang ini Cetta dan Amel akan makan siang bersama.

Di salah satu meja, terlihat Cetta yang melambaikan tangannya saat menemukan Amel memasuki area kantin. Pemuda itu tersenyum, membuat Amel balas tersenyum dan menghampiri sang pacar yang kini duduk berhadapan dengan seorang gadis.

“Loh, Caca?”

Alisha yang awalnya sedang makan soto itu lantas mendongak, sebelum kemudian melambaikan tangannya pada Amel sebagai bentuk sapaan karena mulutnya sedang sibuk mengunyah makanan.

“Kasihan. Kelaparan dia,” ucap Cetta sembari mengedikkan dagu ke arah Alisha yang bodo amat dan hanya fokus makan itu.

Amel sendiri hanya mengangguk dan mendekatkan wadah tisu ke arah Alisha, gadis itu kalau makan suka celemotan sana sini. Jadi tisu dibutuhkan sekali di saat-saat seperti ini, keseringan makan dengannya membuat Amel maklum dengan kebiasaannya itu.

“Udah lama ya? Maaf aku telat soalnya tadi ngeprint laporan dulu,” ungkap Amel seraya duduk di sebelah Cetta.

Lagi-lagi pemuda itu tersenyum, sebelum kemudian menggeleng. “Baru aja kok ini, lebih dulu Alisha malah.”

“Kamu mau makan apa?” tawar Cetta kemudian.

“Pengen soto, ih. Gara-gara liat Caca.”

“Ya udah, aku pesenin dulu ya?”

Amel mengangguk dan membiarkan Cetta pergi untuk memesan. Kali ini atensinya berfokus pada Alisha yang makan dengan tergesa, sekaligus ngeri dengan warna kuah soto yang agak kemerahan karena banyaknya sambal yang ia masukkan ke sana. Alisha memang suka makan-makanan yang pedas seperti itu, Amel sampai khawatir lambungnya akan bermasalah.

“Buru-buru banget, Ca?”

Yang ditanya menelan makanannya sembari mengangguk. “Lima menit lagi kelas gue mulai, Kak. Tadi di kelas sebelumnya dosennya korupsi waktu, jadi gue cuma dapat waktu istirahat lima belas menit doang. Mana tadi antri lagi tukang sotonya.”

Anggukan adalah bentuk jawaban Amel. Ia sengaja tidak bertanya lebih lanjut dan membiarkan Alisha menyelesaikan acara makannya, kalau diajak bicara takutnya tersedak.

Tidak lama setelah itu Cetta datang dengan nampan berisi dua mangkuk soto dan dua gelas teh es. Amel bersorak senang begitu mencium aroma khas soto yang membuatnya tidak sabar ingin menyantapnya.

“Siomaynya udah aku pesan, tapi diambilnya nanti aja ya. Masih antri juga tuh,” kata Cetta yang mana membuat Amel mengangguk dan mulai menyantap sotonya.

“Selesai!” Alisha berseru sembari meletakkan alat makannya ke atas mangkuk yang telah kosong, benar-benar kosong bahkan kuahnya pun tidak bersisa. Gadis itu buru-buru berdiri sembari berucap, “duluan ya kakak-kakak, gue ada kelas sebentar lagi.”

“Hati-hati, Ca!” peringat Amel saat gadis itu berlari secepat kilat meniggalkan kantin, sama sekali tidak mendengarkan peringatan Amel barusan.

“Aku nggak nyangka pada akhirnya tipe yang kayak gitu yang dipacari Darrel,” celetuk Cetta sambil geleng-geleng kepala begitu Alisha sudah tidak terlihat lagi.

“Emang sebelumnya Darrel pengen cewek yang kayak gimana?”

“Darrel sukanya cewek yang kalem, bukan yang grasak-grusuk kayak Alisha gitu sejujurnya. Dia juga sukanya cewek yang lemah lembut, bukan yang petakilan. Nggak heran Darrel sering ngeluh capek pacaran sama Alisha, rasanya kayak ngurus balita yang lagi aktif-aktifnya katanya.”

“Balita?” Seketika itu pula Amel tidak kuasa menahan tawanya. “Bisa-bisanya kayak ngurus balita katanya.”

“Beneran, aku nggak bohong ini. Darrel sendiri yang bilang gitu ke aku. Tapi biar gitu tetap aja bucin banget sama Alisha.”

“Namanya juga udah cinta.”

Cetta setuju, namanya juga udah cinta. Mau kayak gimana juga pasti bakalan tetap sayang, begitu juga Darrel ke Alisha.

“Oh iya, siomaynya kayaknya udah tuh. Mau aku ambilin sekarang?”

Eh, nggak usah!” Amel menahan tangan Cetta agar pemuda itu tetap duduk di kursinya. “Biar gantian aku aja yang ngambil, kan aku sekalian nraktir.”

Cetta tekekeh geli sebelum kemudian membiarkan Amel pergi mengambil siomay pesanannya. Namun saat menatap punggung Amel yang berjalan semakin menjauh, mata Cetta justru tidak sengaja mendapati dua orang laki-laki di meja lain sibuk memperhatikan Amel dengan tatapan tak senonoh. Sambil mengernyitkan dahi, Cetta mengikuti arah pandang dua laki-laki itu sebelum kemudian mendengus kasar. Terlebih saat percakapan dua orang itu sampai ke telinganya, membuat Cetta geram seketika.

“Eh itu tadi Amel bukan sih? Yang katanya pacar Cetta?”

Iya tuh, cantik ya? Tipe gue banget lagi, senyumnya manis.”

“Bodynya juga oke tuh, bro. Kurus nggak, gendut juga nggak. Cakep banget lah.”

“Pahanya juga mulus banget anjir, tangan gue gatel pengen megang.”

Sialan!

Cetta mengumpat dalam hatinya. Sendok yang sejak tadi ada di tangannya ia genggam begitu erat, siap melayang pada mata siapa saja yang berani menatap tubuh Amel dengan tidak sopannya. Namun belum sempat ia melakukan itu, Amel sudah keburu datang dengan dua piring siomay dan duduk di tempat semula.

Pemuda itu kembali mendengus saat paha Amel semakin terekspos begitu ia duduk, membuat laki-laki yang sejak tadi menatap Amel tersenyum senang dan mengarahkan ponselnya ke arah gadis itu.

Tidak tahan dengan semua itu, Cetta berdiri dan mengambil posisi di sebelah kanan Amel, sengaja menghalangi pandangan dua laki-laki tadi juga kamera ponselnya. Amel bertanya kebingungan, tapi Cetta tidak berucap sepatah kata pun. Dia melepaskan kemeja yang ia pakai dan hanya menyisakan kaus putih saja dibaliknya.

“Lain kali jangan pakai rok pendek. Pakai celana aja,” ketus Cetta sembari meletakkan kemeja tadi di atas paha Amel dan membuatnya tertutup sepenuhnya.

“Emangnya kenapa? Temen sekelas aku banyak kok yang pakai rok pendek.”

“Kalau kamu mau ada keributan setelah itu ya terserah, pakai aja rok pendek.”

Hah? Maksudnya gimana sih, masa pakai rok pendek doang bisa bikin keributan?”

Cetta tidak berniat menjawab, jadi ia kembali duduk di kursinya sambil diam-diam menatap sinis dua laki-laki yang pasti kini sibuk menyumpah serapahi dirinya itu.

Lihat saja nanti, Cetta tidak akan tinggal diam.