Long Time No See, Cetta

Cetta punya kebiasaan datang tepat waktu saat ada janji bertemu, kadang malah datang lebih awal dari itu.

Terbukti saat Cetta sampai di kafe tempat janjiannya dengan Renata, gadis itu masih belum kelihatan juga. Pemuda itu mengambil tempat di pojokan meja, bersebelahan dengan dinding kaca yang membuat pandangannya terarah langsung pada sekolahnya yang berada di seberang jalan.

Matanya kemudian bergulir ke arah kanan, tepatnya pada halte bus yang ditempati oleh beberapa anak sekolahan yang baru pulang. Masih dengan seragam putih abu-abu, wajah kusut karena lelah juga bosan, permandangan anak-anak sekolah itu membuat ingatan Cetta terbawa ke empat tahun lalu.

Dulu saat Cetta belum diperbolehkan naik kendaraan sendiri sama Mami, dia selalu naik bus ketika berangkat dan pulang sekolah. Tentu saja tidak sendiri, karena ada Renata yang setia menemani. Komplek perumahan mereka memang tidak sama, tapi seringnya mereka bertemu saat sudah berada di dalam bus, membuat keduanya terbiasa pulang dan pergi ke sekolah bersama. Itu momen yang menyenangkan, sekaligus tak terlupakan.

Namun sejak Renata pindah sekolah secara mendadak, meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, dan pergi begitu saja, naik bus tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan bagi Cetta. Yang ada justru rasa hampa yang menghantamnya setiap kali kursi yang biasa mereka tempati berdua kini hanya Cetta saja yang mengisi.

Cetta tersenyum pedih saat rasa aneh di dadanya kembali terasa. Dari awal Cetta tidak pernah membenci kepergian mendadak Renata, ia hanya merasa kecewa. Saking kecewanya bahkan dia sampai bingung harus melakukan apa saat itu. Dia tentu saja sedih, tapi anehnya dia tidak mampu menangis. Dadanya hanya terasa ... hampa.

Tapi sepertinya mulai sekarang tidak lagi, sebab gadis yang selama ini menghilang telah kembali. Renata kembali, tersenyum cantik di hadapannya kini. Cetta balas tersenyum, bangkit dari kursinya yang mana sepersekian detik kemudian disambut pelukan hangat oleh gadis itu.

Long time no see, Cetta. I miss you,” katanya tepat di telinga si pemuda.

Lagi-lagi Cetta bingung harus bereaksi bagaimana. Dia memang senang Renata kembali, tapi dilain sisi ia juga berpikir bukankah ini saat yang tepat untuk marah pada gadis itu. Tapi nyatanya Cetta tidak bisa marah, Cetta tidak pernah bisa marah pada gadis itu. Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang berubah.

Pada akhirnya Cetta hanya diam, selagi tangannya bergerak perlahan ke punggung Renata dan memeluk balik gadis itu.

Cetta tidak bohong, dia juga merindukan Renata.

•—– Aksesoris

“Kamu kemana aja, Rena? Kenapa waktu itu pergi mendadak? Bukan cuma aku yang ngerasa bingung, satu kelas juga ikutan bingung sama kepergian kamu.”

Tentu saja hal yang paling utama saat bertemu dengan Renata adalah meminta penjelasan dari gadis itu, walau bagaimana pun juga Cetta harus tau alasan kenapa Renata pergi kala itu.

Renata juga sudah bisa menebak kalau Cetta akan bertanya perihal itu, makanya ia tidak keberatan sama sekali untuk menjawabnya meski makanan yang telah tersaji di atas meja belum sempat tersentuh sama sekali. Renata hanya sempat menyeruput lemon tea-nya sekali sebelum kemudian memusatkan perhatiannya pada Cetta.

“Sejujurnya aku malu buat cerita.”

“Malu?” Cetta mengernyitkan keningnya, tak mengerti maksud ucapan Renata barusan. “Kenapa?”

“Waktu kita kelas sebelas, perusahaan milik Papa aku bangkrut. Dia juga punya utang hingga ratusan juta, belum lagi dituduh melakukan tindak korupsi meski pada akhirnya itu nggak terbukti benar.”

Renata mendongak, menatap tepat pada mata Cetta yang nampak membulat karena kaget dengan ceritanya.

“Aku nggak mau jadi bahan olokan di sekolah, Cetta. Jadi sebelum semua orang tau masalah ini aku mutusin buat pindah sekolah ke tempat yang jauh dari sini, juga bohong ke kamu dengan bilang kalau aku selingkuh. Padahal kenyataannya nggak sama sekali, aku cuma cinta sama kamu.”

“Rena, seharusnya kamu nggak melakukan itu.”

“Aku tau, dan aku sadar kalau aku udah nyakitin kamu. Aku takut dicampakkan sama kamu begitu kamu tau yang sebenarnya, aku takut kamu malu punya pacar kayak aku. Maka dari itu aku mencampakkan kamu lebih dulu dan pergi tanpa pamit. Maafin aku ya, Cetta. Maaf karena aku udah nyakitin dan bohongin kamu selama ini. Juga maaf karena baru sekarang aku berani ngehubungin kamu lagi, selama ini aku nggak punya cukup keberanian.”

Gadis itu memilin jemarinya yang bergetar di bawah meja, kepalanya tertunduk malu, perlahan namun pasti air matanya mulai turun, disusul oleh bahunya yang bergetar. Meski sebagian besar wajahnya tertutupi rambut, Cetta tau kalau gadis itu menangis tanpa suara. Maka dari itu Cetta berdiri, berpindah posisi ke sebelah Renata agar bisa membawa gadis itu ke pelukannya.

“Maaf,” ucap Renata yang mulai terisak di pelukan Cetta, lengan gadis itu pun melingkar di pinggang si pemuda.

“Nggak apa-apa, bukan sepenuhnya salah kamu kok. Seharusnya dari awal aku peka, tapi aku terlalu fokus sama perasaan aku sendiri sampai nggak memperhatikan kalau kondisi kamu juga lagi buruk saat itu.”

“Nggak, bukan salah kamu. Dari awal ini salah aku karena nggak mampu jujur sama kamu. Kalau aja aku jujur, jadinya nggak mungkin seperti ini kan?”

Cetta tidak bisa mengelak kalau apa yang diucapkan Renata memang ada benarnya. Kalau saja dari awal Renata jujur padanya, Cetta tidak akan menghabiskan waktunya untuk merindukan gadis itu dan menyalahkan keadaan. Seandainya saja Renata mau jujur, mungkin hubungan mereka masih terjalin hingga sekarang.

“Udah, jangan nangis lagi. Kamu udah capek-capek dandan buat nemuin aku, nanti make up-nya rusak,” gurau Cetta dengan kekehan khasnya.

Hal itu tak gagal membuat Renata ikut terkekeh, sejenak membuatnya teringat masa lalu, saat-saat di mana mereka masih berpacaran. Biasanya ketika sedang kencan, Renata akan melarang keras pemuda itu untuk menyentuh apalagi mencubit pipinya, alasannya karena takut make up-nya rusak. Padahal sebenarnya itu hanya alibinya saja, aslinya ia memang tidak suka dicubit di pipi apalagi Cetta biasa mencubitnya pakai tenaga. Kan pipi Renata jadi sakit, makanya dia selalu pakai alasan 'nanti make up-nya rusak'.

“Cetta,” panggil Renata saat pelukan mereka sudah terlepas dan Cetta yang sibuk mengusap jejak air matanya di wajah dengan tisu. “Aku kangen Mami kamu juga nih, bisa nggak kamu pertemukan aku sama dia?”

“Sekarang?”

Gadis itu mengangguk. “Habis makan siang ini lebih tepatnya.”

“Oke, nanti kita ketemu Mami ya?”