#Meet Her Again
“Amel, browniesnya nggak enak ya?”
Bunga bertanya karena sejak tadi Amel hanya duduk diam memandangi layar ponselnya di ruang tamu. Dilihat dari potongan kue di piring Amel pun, Bunga sudah bisa memastikan gadis itu hanya sempat memakan kuenya sekali.
“Eh, enak kok Tante. Enak banget malah.” Gadis itu tersenyum paksa sembari diam-diam menyembunyikan ponselnya ke bawah bantalan sofa.
“Kalau enak kok nggak dihabisin sih?”
“Ini mau dihabisin kok, Tan. Hehe.”
Sebenarnya Bunga merasa aneh dengan ekspresi anak itu sekarang. Amel kelihatan sekali sedang menyembunyikan sesuatu, mata gadis itu bahkan agak berkaca-kaca seperti ingin menangis. Tapi Bunga memutuskan untuk tidak bertanya, takut Amel justru merasa tidak nyaman kalau terlalu banyak ditanya-tanya.
“Amel, rasa-rasanya Tante pernah cerita kan kalau Cetta punya banyak tanaman mawar?”
“Hng, aku agak lupa-lupa ingat sebenarnya. Tapi kayaknya ada deh Tante cerita. Emangnya kenapa, Tan?”
“Mau liat nggak? Ada di halaman belakang nih. Sebenarnya di halaman depan juga ada sih, kayaknya kamu juga udah liat tadi pas kesini. Tapi di halaman belakang lebih banyak lagi loh, kayak toko bunga versi mini.”
“Oh ya?” Mendengar cerita Bunga membuat Amel mulai tertarik dan melupakan sejenak foto Cetta yang tadi di upload oleh user bernama Rena tersebut. “Aku mau liat dong, Tan.”
“Waah, ini sih udah bukan toko bunga lagi. Tapi perkebunan mawar!”
Mata Amel kontan berbinar dengan bibir yang tak hentinya berdecak kagum, permandangan di depan matanya saat ini benar-benar indah. Membuat Amel secara impulsif berjalan mendekat dan menyentuh beberapa kelopak bunga mawar dengan gemasnya.
Kesukaan Bunga dan Cetta terhadap bunga mawar ternyata tidak main-main. Mereka punya banyak sekali jenis dan warna bunga mawar di halaman belakang rumah, jumlahnya bahkan di luar dugaan Amel sebelumnya. Benar-benar seperti perkebunan mawar versi mini.
Di pojokan rak ada banyak sekali bibit bunga mawar yang ditaruh ke dalam polybag yang tersusun rapi, Amel ingat Bunga pernah memberinya dua polybag bibit bunga mawar itu yang kini ia tanam di depan rumahnya.
“Udah berapa tahun Tante punya perkebunan mawar ini?” tanya Amel sambil berjongkok di depan salah satu tanaman.
“Berapa ya, kayaknya udah lama banget. Almarhum Papi Cetta aja masih hidup waktu itu. Banyaknya sih Cetta yang tanam, tapi kita rawatnya bareng-bareng.”
“Ini keren banget loh, Tan!”
“Kamu suka?”
Amel mengangguk cepat dengan wajah antusias, nyaris sepenuhnya lupa dengan apa yang ia liat beberapa saat lalu di twitter.
“Suka banget! Seandainya aja aku telaten ngurusnya, pengen deh coba tanam-tanam gini. Cuma masalahnya aku aja nggak begitu telaten, Tan. Orang rumah juga bukan tipe yang suka berkebun.”
“Ya udah kalau gitu kamu sering-sering aja main ke sini biar bisa liat bunga mawar sepuas kamu.”
“Emang boleh?”
“Boleh dong, kamu mau tinggal di sini juga Tante izinin kok.”
“Eh?”
Bunga terkekeh geli menyaksikan ekspresi kaget Amel barusan. “Bercanda. Pokoknya kalau mau main ya main aja, Mel.”
“Mi, Mami!”
Baik Amel maupun Bunga secara serempak menoleh ke arah pintu dapur, pintu yang merupakan akses mereka menuju halaman belakang. Bunga tersenyum ke arah Amel dan mengajak gadis itu kembali masuk ke rumah.
“Cetta pulang tuh, yuk masuk!”
Amel hanya tersenyum kikuk ke arah Bunga dan pasrah saja bahunya dirangkul oleh wanita itu. Mendengar nama Cetta disebut membuat dada Amel mendadak sesak, teringat pada kebohongan yang Cetta lakukan tadi siang membuat batinnya terluka.
“Nah, ini Mami. Mi, liat deh ini ada—– Loh, Amel? Kamu di sini?!”
Tidak mengabaikan keterkejutan Cetta, mata Amel justru terpusat sepenuhnya pada sosok gadis yang terlihat familiar di matanya. Itu gadis minimarket yang ia temui kemarin, ternyata sekarang mereka bertemu lagi. Dengan cara yang tidak disangka-sangka tentunya.
“Loh, ini kan—–”
Bukan hanya Amel, Bunga saja terkejut dengan kehadiran Renata di rumah itu. Apalagi datangnya bersama Cetta, yang itu artinya Cetta sendiri yang mengundangnya ke rumah.
“Tante Bunga apa kabar? Aku Rena, mantan pacarnya Cetta waktu SMA. Masih ingat aku kan, Tan?”
Renata tersenyum manis di sisi Cetta, berbanding terbalik dengan si pemuda yang tak hentinya memandangi Amel dengan wajah terkejut. Saking kagetnya dia mungkin tidak sadar Renata sejak tadi melingkarkan lengannya pada lengan Cetta, dan pemuda itu tidak kelihatan terganggu sama sekali.
“Loh, lo yang kemarin di minimarket itu kan?” seru Renata sembari menunjuk ke arah Amel. “Kok bisa ada di sini?”
Tidak tahan dengan suasana yang mendadak awkward ini, Amel memutuskan untuk pamit pulang saja pada Bunga. Wanita itu terlihat keberatan awalnya, namun juga tidak mau memaksa Amel tetap tinggal dan membuatnya merasa tidak nyaman. Maka dari itu ia membiarkan saja gadis itu pergi sambil memberi kode agar Cetta mengantarnya ke luar.
“Amel!” seru Cetta, cukup nyaring sebenarnya. Tapi tidak cukup untuk membuat Amel berhenti berjalan.
“Amel!”
Kali ini Cetta berhasil meraih pergelangan tangan Amel. Namun tanpa ia sangka sebelumnya, secara cepat gadis itu justru menepisnya, membuat Cetta yang tidak siap refleks melepaskam pegangannya pada gadis itu.
Amel hanya menoleh sekilas ke arahnya, dengan wajah memerah dan mata yang berkaca-kaca, gadis itu pergi tanpa berucap sepatah katapun. Perlakuan dinginnya tersebut sukses membuat Cetta terdiam di tempatnya berdiri.
Ini kali pertama Cetta menyaksikan Amel menangis, dan itu karena dirinya?