awesomeyoit

Sesuai janji mereka semalam, siang ini Cetta dan Amel akan makan siang bersama.

Di salah satu meja, terlihat Cetta yang melambaikan tangannya saat menemukan Amel memasuki area kantin. Pemuda itu tersenyum, membuat Amel balas tersenyum dan menghampiri sang pacar yang kini duduk berhadapan dengan seorang gadis.

“Loh, Caca?”

Alisha yang awalnya sedang makan soto itu lantas mendongak, sebelum kemudian melambaikan tangannya pada Amel sebagai bentuk sapaan karena mulutnya sedang sibuk mengunyah makanan.

“Kasihan. Kelaparan dia,” ucap Cetta sembari mengedikkan dagu ke arah Alisha yang bodo amat dan hanya fokus makan itu.

Amel sendiri hanya mengangguk dan mendekatkan wadah tisu ke arah Alisha, gadis itu kalau makan suka celemotan sana sini. Jadi tisu dibutuhkan sekali di saat-saat seperti ini, keseringan makan dengannya membuat Amel maklum dengan kebiasaannya itu.

“Udah lama ya? Maaf aku telat soalnya tadi ngeprint laporan dulu,” ungkap Amel seraya duduk di sebelah Cetta.

Lagi-lagi pemuda itu tersenyum, sebelum kemudian menggeleng. “Baru aja kok ini, lebih dulu Alisha malah.”

“Kamu mau makan apa?” tawar Cetta kemudian.

“Pengen soto, ih. Gara-gara liat Caca.”

“Ya udah, aku pesenin dulu ya?”

Amel mengangguk dan membiarkan Cetta pergi untuk memesan. Kali ini atensinya berfokus pada Alisha yang makan dengan tergesa, sekaligus ngeri dengan warna kuah soto yang agak kemerahan karena banyaknya sambal yang ia masukkan ke sana. Alisha memang suka makan-makanan yang pedas seperti itu, Amel sampai khawatir lambungnya akan bermasalah.

“Buru-buru banget, Ca?”

Yang ditanya menelan makanannya sembari mengangguk. “Lima menit lagi kelas gue mulai, Kak. Tadi di kelas sebelumnya dosennya korupsi waktu, jadi gue cuma dapat waktu istirahat lima belas menit doang. Mana tadi antri lagi tukang sotonya.”

Anggukan adalah bentuk jawaban Amel. Ia sengaja tidak bertanya lebih lanjut dan membiarkan Alisha menyelesaikan acara makannya, kalau diajak bicara takutnya tersedak.

Tidak lama setelah itu Cetta datang dengan nampan berisi dua mangkuk soto dan dua gelas teh es. Amel bersorak senang begitu mencium aroma khas soto yang membuatnya tidak sabar ingin menyantapnya.

“Siomaynya udah aku pesan, tapi diambilnya nanti aja ya. Masih antri juga tuh,” kata Cetta yang mana membuat Amel mengangguk dan mulai menyantap sotonya.

“Selesai!” Alisha berseru sembari meletakkan alat makannya ke atas mangkuk yang telah kosong, benar-benar kosong bahkan kuahnya pun tidak bersisa. Gadis itu buru-buru berdiri sembari berucap, “duluan ya kakak-kakak, gue ada kelas sebentar lagi.”

“Hati-hati, Ca!” peringat Amel saat gadis itu berlari secepat kilat meniggalkan kantin, sama sekali tidak mendengarkan peringatan Amel barusan.

“Aku nggak nyangka pada akhirnya tipe yang kayak gitu yang dipacari Darrel,” celetuk Cetta sambil geleng-geleng kepala begitu Alisha sudah tidak terlihat lagi.

“Emang sebelumnya Darrel pengen cewek yang kayak gimana?”

“Darrel sukanya cewek yang kalem, bukan yang grasak-grusuk kayak Alisha gitu sejujurnya. Dia juga sukanya cewek yang lemah lembut, bukan yang petakilan. Nggak heran Darrel sering ngeluh capek pacaran sama Alisha, rasanya kayak ngurus balita yang lagi aktif-aktifnya katanya.”

“Balita?” Seketika itu pula Amel tidak kuasa menahan tawanya. “Bisa-bisanya kayak ngurus balita katanya.”

“Beneran, aku nggak bohong ini. Darrel sendiri yang bilang gitu ke aku. Tapi biar gitu tetap aja bucin banget sama Alisha.”

“Namanya juga udah cinta.”

Cetta setuju, namanya juga udah cinta. Mau kayak gimana juga pasti bakalan tetap sayang, begitu juga Darrel ke Alisha.

“Oh iya, siomaynya kayaknya udah tuh. Mau aku ambilin sekarang?”

Eh, nggak usah!” Amel menahan tangan Cetta agar pemuda itu tetap duduk di kursinya. “Biar gantian aku aja yang ngambil, kan aku sekalian nraktir.”

Cetta tekekeh geli sebelum kemudian membiarkan Amel pergi mengambil siomay pesanannya. Namun saat menatap punggung Amel yang berjalan semakin menjauh, mata Cetta justru tidak sengaja mendapati dua orang laki-laki di meja lain sibuk memperhatikan Amel dengan tatapan tak senonoh. Sambil mengernyitkan dahi, Cetta mengikuti arah pandang dua laki-laki itu sebelum kemudian mendengus kasar. Terlebih saat percakapan dua orang itu sampai ke telinganya, membuat Cetta geram seketika.

“Eh itu tadi Amel bukan sih? Yang katanya pacar Cetta?”

Iya tuh, cantik ya? Tipe gue banget lagi, senyumnya manis.”

“Bodynya juga oke tuh, bro. Kurus nggak, gendut juga nggak. Cakep banget lah.”

“Pahanya juga mulus banget anjir, tangan gue gatel pengen megang.”

Sialan!

Cetta mengumpat dalam hatinya. Sendok yang sejak tadi ada di tangannya ia genggam begitu erat, siap melayang pada mata siapa saja yang berani menatap tubuh Amel dengan tidak sopannya. Namun belum sempat ia melakukan itu, Amel sudah keburu datang dengan dua piring siomay dan duduk di tempat semula.

Pemuda itu kembali mendengus saat paha Amel semakin terekspos begitu ia duduk, membuat laki-laki yang sejak tadi menatap Amel tersenyum senang dan mengarahkan ponselnya ke arah gadis itu.

Tidak tahan dengan semua itu, Cetta berdiri dan mengambil posisi di sebelah kanan Amel, sengaja menghalangi pandangan dua laki-laki tadi juga kamera ponselnya. Amel bertanya kebingungan, tapi Cetta tidak berucap sepatah kata pun. Dia melepaskan kemeja yang ia pakai dan hanya menyisakan kaus putih saja dibaliknya.

“Lain kali jangan pakai rok pendek. Pakai celana aja,” ketus Cetta sembari meletakkan kemeja tadi di atas paha Amel dan membuatnya tertutup sepenuhnya.

“Emangnya kenapa? Temen sekelas aku banyak kok yang pakai rok pendek.”

“Kalau kamu mau ada keributan setelah itu ya terserah, pakai aja rok pendek.”

Hah? Maksudnya gimana sih, masa pakai rok pendek doang bisa bikin keributan?”

Cetta tidak berniat menjawab, jadi ia kembali duduk di kursinya sambil diam-diam menatap sinis dua laki-laki yang pasti kini sibuk menyumpah serapahi dirinya itu.

Lihat saja nanti, Cetta tidak akan tinggal diam.

Dengan berbekal uang dua puluh ribu dari Mama, Amel berjalan kaki melewati jalanan komplek rumahnya.

Minimarket yang ingin ia tuju ini ada di depan gang, tidak begitu jauh dari rumah Amel jadi ia sengaja berjalan kaki saja ke sana. Buang-buang bensin banget gitu kalau ke minimarket saja harus naik motor, mana Gabriel juga seringnya pelit kalau motornya dipinjam.

Maklum lah Amel kan tidak punya motor pribadi setelah motornya yang dulu rusak gara-gara tidak sengaja menabrak pagar rumah orang, sampai sekarang Amel belum dapat gantinya dan harus pasrah kemana-mana naik gojek atau malah nebeng sama Naka kalau mau ke kampus. Tapi meskipun begitu kadang Amel mengisikan bensin kok untuk motor Naka sebagai ucapan terima kasih, meski sebenarnya Naka tidak meminta.

Karena Amel sudah cukup sering berbelanja di minimarket, seringnya sih karena disuruh Mama membeli keperluan dapur. Jadi Amel sudah khatam di mana letak minyak goreng yang sering wanita itu beli.

Amel mengambil satu dari salah satu rak, tanpa memperhatikan label harganya yang sedikit berubah dari biasanya. Setelah itu ia berjalan ke box es krim dan mengambil salah satu yang menjadi favoritnya. Tentu saja rasanya rasa cokelat, rasa kesukaan Amel.

“Ini saja, mbak?” tanya kasir minimarket saat Amel meletakkan belanjaannya di atas meja untuk discan.

Gadis itu hanya mengangguk saja dan membiarkan kasir tersebut menyelesaikan pekerjaannya.

“Totalnya dua puluh dua ribu lima ratus.”

“Berapa?”

Hanya takut salah dengar, jadi Amel bertanya ulang. Namun saat didengar dua kali pun jawaban si kasir tetap sama, tidak berubah sama sekali. Amel langsung pucat saat teringat tadi Mama hanya memberinya selembar uang dua puluh ribu, biasanya sih segitu cukup. Tapi sepertinya harga minyak gorengnya naik, salahkan Amel yang tidak memperhatikan label harga tadi.

“Mas, utang dulu boleh nggak? Rumah saya dekat kok, di komplek samping. Nanti kurangnya saya ambil ke rumah terus balik lagi kesini. Saya cuma pegang uang dua puluh ribu ini, Mas.” Amel meminta dengan wajah memelas, berharap itu bisa membuat si kasir jadi luluh dan membiarkannya.

Tapi apalah daya, si kasir justru berkata di luar harapannya. “Maaf Mbak, di sini nggak bisa utang.”

“Mas tau saya kan? Saya sering kok jajan di sini, kadang sama Mama juga. Tau Rahel kan? Nah itu nama Mama saya, rumah kami dekat sini kok.”

“Saya tau kok, sering liat Mbaknya juga. Tapi peraturan di sini emang nggak boleh utang, Mbak.”

“Tolong banget, Mas. Kali ini aja, please. Beneran habis ini aku bakal balik lagi ke sini bawa uangnya.”

“Tapi, Mbak—–”

“Hitung punya saya dulu, Mas. Nanti ditambah sama kekurangan punya Mbaknya.”

Baik Amel maupun si petugas kasir menoleh secara bersamaan pada sosok gadis berambut panjang di sebelahnya, dia meletakkan semua belanjaannya di atas meja sebelum kemudian tersenyum pada Amel.

“Nggak apa-apa kan kalau gue bayarin dulu? Masalahnya gue buru-buru ini, kalau kalian kelamaan debat di depan meja kasir gue juga bakalan lama baru bisa balik.”

Eh, maaf-maaf. Gue nggak tau ada antrian di belakang, tadi begitu masuk gue liat pelanggannya cuma gue sendiri.”

Amel menoleh pada si kasir yang kini mulai sibuk meng-scan belanjaan milik gadis di sampingnya. Jujur saja ia jadi tidak enak hati kalau dibayarin gini, apalagi mereka tidak saling kenal. Ini pertama kalinya mereka bertemu.

Dipandanginya sejenak gadis cantik dengan senyum manis itu. Postur tubuhnya tinggi, Amel bahkan hanya sebatas telinganya saja. Rambutnya panjang kecokelatan dan sedikit bergelombang. Sekilas Amel seperti melihat seorang model yang biasanya ada di televisi.

“Totalnya lima puluh satu ribu lima ratus, sudah termasuk dua ribu lima ratus punya Mbak ini.” Si petugas melirik sekilas ke arah Amel, membuat gadis itu tersenyum terpaksa.

Selesai membayar dan mengambil belanjaanya, gadis itu berbalik dan berniat pergi. Jadi sebelum dia semakin jauh, Amel pun turut mengejar hingga ke luar minimarket dengan kantong belanja di tangan kirinya.

Eum, maaf.” Amel menyentuh pundak gadis tinggi itu hingga membuatnya menoleh. “Rumah gue dekat sini, lo mau nunggu dulu nggak biar gue ambil uangnya? Atau lo mau ikut gue aja ke rumah? Beneran dekat kok.”

“Nggak usah diganti juga nggak apa-apa. Lagian cuma dua ribu lima ratus,” ucapnya sambil tersenyum, manis sekali. Seandainya saja Amel adalah laki-laki, sepertinya ia akan jatuh cinta pada gadis itu.

Eh, jangan gitu dong. Gue jadi nggak enak hati mana kita juga nggak saling kenal pula, tiba-tiba lo malah bayarin gue.”

“Ya udah kalau gitu kita kenalan aja, tapi lo nggak usah ganti uangnya. Gimana?”

“Lah, kok?”

Belum sempat Amel protes, gadis itu malah sudah mengulurkan tangan kanannya untuk berkenalan.

“Gue Renata, nama lo siapa?”

“Hah? Apa?”

“Renata, panggil aja Rena.”

Seketika itu pula Amel terpaku di tempatnya, matanya membulat kaget dengan bibir yang sedikit terbuka.

'Jangan bilang Renata yang itu?' batin Amel menerka-nerka.

Iya sih nama Renata ada banyak di muka bumi ini, tapi yang Amel ingat justru Renata yang mengirimi Cetta pesan dan membuat pemuda itu mendadak diam. Amel bahkan belum sempat menanyai perihal Renata pada Cetta.

“Hei, kok melamun?” Renata melambaikan tangannya di depan wajah Amel, membuatnya seketika mengerjap dan refleks mundur selangkah. Kening Renata berkerut kebingungan. “Ada apa?”

Amel menggeleng cepat. “Nggak, gue cuma baru ingat harus buru-buru pulang. Mama gue butuh minyak gorengnya. Makasih banyak ya, Rena.”

Setelah mengucapkan kalimat itu Amel langsung berbalik dan berjalan cepat meninggalkan area minimarket, menyisakan Renata yang semakin kebingungan dengan tingkah anehnya tersebut.

Gara-gara imess-nya diblock Amel, Cetta jadi tidak bersemangat pergi ke pasar malam.

Tapi karena sudah terlanjur janji, jadi ya mau tidak mau Cetta tetap pergi. Lagipula ia tidak ingin membiarkan Amel jadi obat nyamuk di antara Darrel dan Alisha, kan kasihan.

“Bianglala aja gimana?” Alisha mengusulkan wahana ketiga yang ingin mereka naiki setelah komedi putar dan Viking tadi.

Terhitung sudah lebih dari satu jam mereka berada di pasar malam, menaiki satu demi satu wahana sambil mencicipi makanan ringan yang ada. Sudah bisa ditebak kalau yang paling bersemangat adalah Alisha dan Amel, sementara Darrel dan Cetta bagian iya-iya saja alias manut pada sang gadis.

“Gue takut ketinggian, Ca. Kalian aja deh gue nggak ikutan,” tolak Amel yang mana langsung membuat Cetta mengangguk setuju.

“Gue juga nggak ikutan, takut.”

Darrel yang mendengar itu langsung mengerutkan dahi. “Lah, sejak kapan lo takut ketinggian?”

“Sejak hari ini,” Cetta menukas asal.

Alisha sempat kecewa awalnya karena dia hanya naik berdua saja dengan Darrel, tapi kalau Amel dan Cetta tidak mau ikut ya dia tidak bisa memaksa. Alhasil keduanya pergi berdua saja meninggalkan Amel dan Cetta yang memilih untuk menunggu di bangku panjang tidak jauh dari wahana bianglala.

“Haus, nyari minuman yuk!”

Amel berdiri dari tempatnya, membuat Cetta jadi ikutan berdiri lalu mengangguk setuju. Keduanya berjalan di antara kerumunan orang yang memenuhi jalan, terutama yang mengantri di beberapa stan penjual minuman maupun makanan ringan. Mungkin karena baru hari pertama jadi pasar malam begitu dipadati pengunjung. Saking padatnya Cetta sampai refleks merangkul bahu Amel, menjaga gadis itu agar tidak sampai jatuh karena kesenggol atau terdorong orang di belakang.

“Seharusnya tadi aku aja yang beli minumannya, kamu tunggu di sana,” keluh Cetta dengan kening berkerut, siapapun yang tidak sengaja menyenggol bahu Amel tidak lepas dari tatapan tajamnya.

“Cetta, ih!” Amel menusuk pinggang Cetta dengan jarinya. “Jangan galak gitu mukanya.”

“Dia tadi nabrak bahu kamu kasar banget!”

“Namanya juga nggak sengaja. Sini,” si gadis segera menarik tangan si pemuda ke salah satu stan penjual es jeruk, letaknya yang tidak begitu jauh dari mereka membuat Amel memutuskan untuk jajan di sana.

Kalau mereka berjalan lebih jauh lagi, maka tak terhitung sudah berapa banyak korban tatapan tajam Cetta malam ini. Apalagi mukanya beneran kayak orang mau ngajak ribut, takutnya malah ribut betulan nanti.

“Es jeruk aja ya, mau kan?”

Cetta mengangguk, dia memang tidak pemilih untuk urusan beginian. Segera saja Amel memesan dua buah es jeruk dan menyerahkan uangnya pada si penjual. Butuh waktu kurang lebih lima menit sampai pesanan mereka selesai dibuat.

“Suka sosis bakar nggak?” tawar Cetta sembari menunjuk salah satu stan tak jauh dari mereka.

Si gadis mengangguk mengiyakan. “Suka-suka aja.”

“Aku beliin ya? Kan kamu udah traktir es jeruk.”

“Oke.”

Kali ini gantian Cetta yang memesan, itu pun mereka masih harus menunggu karena masih ada beberapa antrian di depan mereka sekarang. Cetta menoleh pada Amel yang berdiri di sebelahnya.

“Ngomong-ngomong, ublock imess aku dong. Kan tadi aku cuma bercanda kenapa di block beneran?”

“Ya abisnya kamu ngeselin!” cibir si gadis dengan wajah kesal. “Lain kali jangan suka ngirim foto tak senonoh begitu.”

Husstt, Amel! Kecilkan suara kamu, nanti kalau ada yang dengar dikiranya aku ngirim foto yang aneh-aneh ke kamu!”

Amel mendengus seraya merotasikan bola mata. Gadis itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, mengotak-atiknya sebentar, sebelum kemudian menunjukkan layarnya pada Cetta.

“Udah aku unblock, puas?”

Tentu saja Cetta langsung tersenyum senang, pemuda itu mengulurkan satu tangannya untuk mengusap puncak kepala Amel. Refleks saja sih sebenarnya, tapi sukses membuat Amel berdebar. Tidak tau kenapa tapi tindakan sederhana yang Cetta lakukan ini bisa berdampak besar ke jantungnya.

“Amel, kepanasan ya? Kok pipinya merah?”

Entah apa maksud Cetta bertanya dengan wajah polos begitu, Amel buru-buru menunduk sembari memegangi pipinya sendiri. Dia pasti terlihat norak saat ini, masa iya baru dielus kepala udah merah aja sih.

Eh, nggak kok. Aku nggak apa-apa.”

“Beneran?”

“Iya.”

Cetta mengangguk saja. Namun perubahan ekspresi di wajahnya membuat Amel tidak tahan untuk tidak bertanya.

“Ta, kenapa?”

“Aku kok mendadak sakit perut ya?”

Hah? Ya udah kalau gitu buruan ke toilet sana, biar aku tunggu di sini.”

“Nggak apa-apa emang?”

“Iya, buruan udah sana pergi.”

“Maaf, Amel. “

Setelah berucap begitu Cetta langsung berjalan cepat ke salah satu arah, tempat toilet berada. Amel hanya geleng-geleng kepala menyaksikannya sembari menunggu pemuda itu kembali.

Saat hendak mengembalikan ponsel ke dalam tas, Amel tersadar kalau layar ponsel Cetta menyala. Pemuda itu memang sempat menitipkan ponselnya pada Amel karena tidak memiliki saku untuk menaruh ponsel.

Tadinya Amel pikir Darrel yang mengirim pesan pada Cetta dan bertanya keberadaan mereka sekarang, tapi ternyata Amel salah. Justru nomor tak dikenal lah yang mengirimi Cetta pesan.

Amel sontak terdiam saat matanya tidak sengaja membaca salah satu pesan yang tertera di lockscreen notifikasi Cetta.

Seorang gadis mengiriminya pesan.

Mood Amel seketika buruk, yang tadinya sudah bersemangat ingin makan siomay malah berujung diaduk-aduk saja. Amel kehilangan selera makan karena ulah Tissa dan kedua temannya tersebut.

Gadis itu mendengus kasar, meletakkan garpu ke atas piring, lalu menenggak es tehnya hingga tersisa setengah. Terhitung sudah lima belas menit ia berada di kantin. Tidak ditemani siapa-siapa, hanya sendirian. Ini sudah biasa, nasib mahasiswa yang tidak punya circle ya begini. Kemana-mana sendiri, ngantin sendiri, nugas sendiri. Ya intinya apa-apa sendiri, anggap saja latihan agar bisa lebih mandiri ke depannya.

Amel sudah berniat untuk meninggalkan kantin saat salah seorang gadis datang menghampirinya seraya berseru dengan suara nyaring, sanggup membuat seisi kantin menoleh ke arah mereka nyaris secara bersamaan.

“KAK AMEL!”

Yang punya nama meringis menahan malu, dalam hati meruntuki suara cempreng Alisha yang membuat mereka jadi pusat perhatian. Alisha sih santai saja, dia mengambil tempat di seberang meja Amel sembari meletakkan piring berisi siomay di atasnya.

“Udah mau pergi, Kak?” Alisha bertanya, membuat Amel yang tadinya setengah berdiri kembali duduk di kursinya.

“Nggak, nggak jadi. Kok tumben baru ngantin?”

“Iya nih tadi ke perpus dulu, pas ingat Kak Amel biasanya jam segini ada di kantin gue langsung buru-buru nyusul kemari.”

“Di perpus nugas?”

“Enggak.”

“Terus?”

“Pacaran.”

Dih?”

Seketika itu pula Alisha tertawa hingga bahunya terguncang. Amel sendiri berdecak tak habis pikir, bisa-bisanya perpustakaan yang biasanya untuk belajar malah dijadikan tempat untuk pacaran. Alisha sesat sekali memang.

Ngomong-ngomong, Alisha yang biasanya akrab disapa Caca ini adik tingkatnya Amel. Dia mengambil jurusan Hukum Tata Negara, baru semester dua, penyuka siomay juga sama sepertinya. Berhubung Amel sendiri suka nongkrong di kantin dekat gedung F, yang mana itu adalah kelasnya Alisha, mereka jadi sering bertemu saat ada di kantin. Beberapa kali terlibat percakapan seru sambil menyantap sepiring siomay, hingga berujung jadi teman akrab sampai sekarang.

“Kak, lo kok jahat banget sih nggak pernah cerita kalau lagi dekat sama Kak Cetta? Tau-tau udah jadian aja, itu pun nggak ngasih tau gue.”

Amel meringis menanggapi keluhan Alisha tersebut. Bukan maksud tidak ingin cerita, masalahnya ya semua ini terjadi begitu cepat. Bertemu dengan Cetta saja tidak disengaja, tau-tau diajak pacaran. Secepat itu prosesnya, meski agak tidak masuk di akal sebenarnya.

Hehe, ya gitu deh. Maaf ya.”

Bibir Alisha mengerucut, dia menelan siomay di mulutnya masih dengan raut wajah kesal. “Untung Kak Doy ngasih tau, kalau nggak mungkin sampai sekarang pun gue nggak bakalan tau. Apalagi gue nggak follow base kampus.”

“Pacar lo update banget ya, Ca, masalah ginian.”

“Lah, pacar gue kan temannya Kak Cetta.”

Hah, masa iya? Gue pikir Cetta nggak punya teman namanya Doy?”

Wajah polos Amel saat kebingungan terlihat lucu di mata Alisha, gadis itu sontak menertawai si kakak tingkat di depannya ini.

“Ya jelas aja, nama aslinya bukan Doy kok. Itu cuma panggilan sayang aja dari gue. Pacar gue sih namanya Darrelio Ekawira, Kak. Biasa dipanggil Darrel.”

“Darrel? Yang mana sih orangnya?”

Alisha sih semangat ya kalau sudah ditanya begini, lumayan bisa pamer katanya. Jadi dia buru-buru mengambil ponselnya dan membuka galeri foto, ada lumayan banyak foto pacarnya di ponsel tersebut. Jadi Alisha pilih foto Darrel yang menurutnya paling ganteng untuk ditunjukkan ke Amel.

Kening Amel lantas mengerut saat menatap foto laki-laki di layar ponsel tersebut. Sebabnya sudah cukup jelas, dia pernah bertemu dengan laki-laki itu sebelumnya. Laki-laki yang ribut dengannya di parkiran gedung B.

“Lah, si cowok aneh?!” seru Amel blak-blakan.

Alisha yang tidak terima pacarnya dikatain aneh tentu saja langsung protes.

“Dia nggak aneh, Kak. Tapi ganteng.”

“Di mata gue dia aneh, Ca. Nyebelin banget orangnya.”

“Pernah ketemu?”

“Pernah, sampai ribut bahkan sama dia.”

Buset,” Alisha berdecak tidak percaya, matanya sampai membulat. “Kok bisa sih?”

“Ya, gitu. Ah, nggak usah ngomongin dia deh. Males!”

“Kak Doy baik kok, cuma agak nyebelin sih emang,” ringis Alisha tak enak hati. Gadis itu menjauhkan piring siomay yang telah selesai ia habiskan isinya, lalu berkata dengan nada antusias. “Kak, udah dengar kabar belum katanya malam ini ada pasar malam di alun-alun kota? Cuma seminggu loh,”

Amel langsung mendekatkan kotak tisu saat menyadari adanya noda saos kacang di sudut bibir Alisha, gadis di depannya itu langsung nyengir dan mengambil selembar tisu untuk membersihkan mulutnya.

“Oh ya? Gue baru tau malah, lo mau kesana?”

Tanpa banyak berpikir Alisha langsung mengangguk antusias, senyumnya mengembang begitu ceria dengan mata berbinar.

“Kan lo udah punya pacar nih, Kak. Gue juga udah, gimana kalau kita double date aja ke pacar malam?”

Kening Amel seketika mengernyit kebingungan. “Double date?”

“Iya. Gue sama kak Doy, lo sama Kak Cetta. Gimana, Kak?”

“Kapan? Malam ini?”

“Iya kalau bisa.”

“Gue tanya Cetta dulu deh ya, takutnya dia ada kesibukan.”

Alisha mengangguk mengerti. “Santai aja, Kak Amel. Kalau semisal nggak bisa malam ini kan masih ada malam-malam besoknya, kabarin aja pokoknya.”

“Oke deh, nanti gue kabarin ya.”

Perkiraan cuaca kadang bisa saja salah.

Tadi pagi Cetta sempat menonton berita prakiraan cuaca di televisi, dan di sana dikatakan kalau hari ini akan cerah berawan. Nyatanya menjelang malam rintik hujan justru mulai berjatuhan.

Merasakan helmnya dijatuhi air hujan yang sedikit demi sedikit mulai deras, Cetta semakin melajukan motornya dengan Amel yang memeluknya erat di belakang. Niatnya supaya cepat sampai ke rumah sebelum kehujanan, tapi apalah daya hujan semakin deras turun sebelum motor Cetta sampai di depan rumah Amel.

“Neduh dulu aja, Ta!” seru Amel dari belakang.

Suaranya yang agak teredam oleh berisiknya hujan membuat Cetta kurang bisa mendengarnya dengan baik selain kata 'Neduh'. Dari sana pemuda itu bisa menyimpulkan kalau Amel memintanya untuk berteduh dahulu sebelum benar-benar kuyup.

Beruntung di dekatnya ada sebuah halte, jadi Cetta buru-buru melajukan motornya dan berteduh di sana bersama Amel. Hujan langsung turun begitu deras sesampainya mereka di sana, duduk bersebelahan di bangku halte yang masih ada bagian keringnya.

“Maaf ya, kita tadi kelamaan di bowling center sih. Pulangnya jadi kemalaman gini,” keluh si pemuda tak enak hati.

Amel mengecek arloji di pergelangan tangannya sebelum kemudian tersenyum pada Cetta. “Nggak apa-apa, Ta. Masih jam delapan juga kok ini.”

“Aku chatin Tante Rahel dulu deh ya buat ngasih tau.”

Eh, nggak usah.” Amel menghentikan niat Cetta yang hendak mengirim pesan pada Mamanya. “Tadi pas di resto aku udah izin kok sama Mama, dan dia ngerti kalau aku lagi jalan sama kamu.”

“Oh, oke.”

Cetta menggaruk tengkuknya agak salah tingkah. Sejujurnya panggilan aku-kamu ini masih terdengar begitu asing jika diucapkan secara langsung, beda sekali kalau diketik lewat chat. Amel pun sepertinya menyadari itu, sebab sesaat setelah menyelesaikan ucapannya pipinya agak berubah warna menjadi merah. Jika Cetta tidak salah lihat ya, sebab lampu halte memang sedikit remang-remang.

Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara di antara mereka. Cetta fokus menatap air hujan yang turun hingga membuat beberapa genangan di jalan, sementara Amel nampak gelisah mengusap lengannya berulang kali. Ketara sekali gadis itu sedang kedinginan, apalagi pakaiannya memang tidak begitu tebal. Cetta sampai meruntuki kelalaiannya hari ini yang tidak membawa jaket di jok motornya, padahal biasanya dia selalu bawa meski tidak selalu dipakai.

“Amel.”

Yang dipanggil sontak menoleh, bibirnya agak bergetar saat menjawab kata 'Ya?' dengan suara pelan. Rambut panjangnya yang tidak tertutup helm terlihat lepek karena basah terkena air, bahkan pakaiannya juga cukup basah meski tidak sampai kuyup. Cetta meringis tak enak hati saat menatapnya.

“Kedinginan ya? Maaf aku nggak ingat bawa jaket hari ini.”

Eh, nggak kok. Nggak apa-apa, ngapain minta maaf segala sih?” Amel terkekeh dengan bibir bergetar.

Rasanya Cetta mau marah sama air hujan yang turun dadakan dengan begitu derasnya, kan Amel jadi kedinginan begini. Mana Cetta cuma pakai kaos lengan panjang saja pula, tidak ada jaket ataupun kemeja yang bisa ia sampirkan ke pundak Amel untuk mengurangi rasa dinginnya.

“Mau aku peluk aja nggak?”

Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Cetta. Sesaat setelahnya dia langsung menyesali kekurang ajaran mulutnya tersebut, terlebih saat Amel menatapnya dengan mata membulat. Cetta takut dianggap tidak sopan.

“Tadi lo bilang apa?”

Amel sebenarnya dengar, tapi karena takut kegeeran jadi dia bertanya ulang. Mana tau yang tadi cuma halusinasinya saja kan?

“Peluk, siapa tau bisa sedikit menghangatkan kamu. Duh, maaf banget ya ini kalau aku kurang ajar. Maksud aku baik kok, nggak ada niatan ambil kesempatan dalam kesempitan.”

Di saat Cetta sudah panik dianggap keterlaluan oleh Amel, si gadis justru tertawa menanggapinya. Kening Cetta sampai berkerut saking bingungnya.

“Kenapa ketawa?”

“Lucu aja muka kamu pas lagi panik, padahal akunya nggak masalah kok.”

“Nggak masalah kalau aku peluk?”

“Iya.”

Cetta tidak mengerti apakah dia harus senang atau justru kesal karena Amel begitu terbuka dan blak-blakan begini. Senang karena itu artinya Amel tidak tersinggung dengan tawarannya, tapi juga kesal karena jawaban jujur Amel justru membuat jantung Cetta berdegup kencang. Memang dasar jantung norak, ia khawatir suara degupannya akan sampai ke telinga Amel.

Tapi semoga saja tidak.

Berhubung Amel telah memberinya izin, jadi Cetta pun bisa dengan berani mempersempit jarak di antara mereka. Pemuda itu merentangkan tangannya untuk memeluk tubuh Amel yang berada di dekatnya, sementara si gadis sendiri melingkarkan lengannya di pinggang Cetta seraya menyandarkan kepala ke dada si pemuda. Posisi seperti ini membuat keduanya merasa lebih hangat satu sama lain, Amel menyunggingkan senyumnya secara perlahan di balik helai rambut yang sedikit menutupi wajah.

Canggung sih ada ya, tapi karena keduanya sudah sama-sama kedinginan maka kecanggungan itu pun bisa sedikit mereka tepis. Selama beberapa saat terjadi keheningan di antara keduanya, yang terdengar hanyalah suara derasnya hujan yang jatuh di atas atap halte dan degup jantung Cetta yang sampai ke telinga Amel. Posisinya yang begitu nyaman membuat Amel nyaris tertidur andai saja Cetta tidak buru-buru melontarkan pertanyaan.

“Sewaktu aku masak bareng Tante Rahel tempo hari, dia ada bilang katanya selama ini kamu belum pernah pacaran ya? Berarti aku pacar pertama kamu dong?”

Seketika itu pula rasa kantuk Amel lenyap, menghilang entah kemana. Yang ada hanya perasaan malu atas ucapan jujur Mamanya pada Cetta.

“I-iya sih, hehe.”

“Kok nggak pernah pacaran sebelumnya?”

“Ya nggak pernah aja, nggak ada yang naksir kayaknya.”

“Nggak ada atau emang kamunya aja yang nggak peka?”

“Kok nanyanya gitu?”

“Kamu itu baik, Mel. Meski kita baru dekat akhir-akhir ini, aku udah bisa nyimpulin kalau kamu anaknya emang baik dan sopan. Cantik pula, kayaknya nggak mungkin deh kalau nggak ada yang naksir. Kecuali kamunya aja yang nggak peka dan menganggap semua cowok yang dekat sama kamu itu teman.”

“Masa sih?”

Amel jadi kepikiran ucapan Cetta barusan. Tapi rasa-rasanya memang tidak pernah ada yang memperlakukannya secara spesial selama ini, laki-laki yang dekat dengannya juga bisa dihitung pakai jari. Jadi anggapan kalau tidak ada yang naksir dirinya selama ini lebih masuk akal dibanding ia yang tidak peka oleh perasaan laki-laki.

“Kamu sendiri gimana? Pernah pacaran?” Amel mengalihkan topik agar fokusnya beralih pada Cetta.

“Pernah waktu SMA, dia cinta pertama aku.”

Oh, wow? Keren banget bisa pacaran sama cinta pertama, padahal biasanya cinta pertama nggak bisa berhasil dan berujung kegagalan.”

Cetta tersenyum miris menanggapinya. “Emang iya kok, ujung-ujungnya ya gagal juga.”

Mendengar nada bicara Cetta yang agak muram membuat Amel jadi merasa bersalah. Bukan maksudnya menyinggung perasaan Cetta dan membuatnya sedih, Amel jadi tidak enak hati.

“Maaf, Cetta.”

“Nggak apa-apa, bukan salah kamu. Lagian kejadiannya udah cukup lama waktu aku kelas sebelas, mungkin sekarang dia udah bahagia sama laki-laki pilihannya.”

“Maaf kalau aku lancang, tapi kalau boleh jujur apa kamu masih menyimpan perasaan sama perempuan itu?”

Pandangan keduanya langsung bertemu saat Amel mendongakkan kepala, kebetulan sekali Cetta memang sudah memandanginya sejak tadi. Entah kekuatan macam apa yang ada di mata Cetta sampai-sampai hingga beberapa detik berlalu ia masih berada di posisi itu, menatap manik gelap milik si pemuda yang berkilau terkena sorot lampu.

“Amel....”

“Y-ya?”

“Kayaknya posisi perempuan itu udah digantikan sama kamu.”

“Hah?”

Cetta tidak menjelaskan lebih lanjut apa maksudnya. Namun entah setan macam apa yang mencoba merasuki pemuda itu hingga begitu berani menundukkan kepalanya, sebelah tangannya bahkan menahan tengkuk Amel agar tidak bergerak apalagi menjauh. Mata pemuda itu begitu fokus menatap bibir ranum milik Amel yang pucat karena kedinginan.

Di usianya yang sudah menginjak usia dua puluh tahun, Amel tidak bodoh dengan apa yang akan dilakukan Cetta setelah ini. Karena bingung harus melakukan apa, Amel hanya bisa memejamkan mata sembari meremas bagian pinggang kaos Cetta. Deru napas pemuda itu terasa semakin dekat, membuat degup jantung keduanya terdengar semakin kuat seolah sedang berlomba jantung siapa yang degupannya paling kencang.

Amel menelan salivanya dengan susah payah saat hidung mancung Cetta bersentuhan dengan hidungnya. Namun saat bibir mereka nyaris saling menempel, Amel justru kelepasan.

Hatchii!

Gadis itu bersin tepat di depan wajah Cetta, membuat si pemuda sontak memejamkan mata dan menahan beribu kata umpatan di dalam hatinya.

“AMEELLLL!!!”

“CETTA, MAAF AKU NGGAK SENGAJA!”

Endingnya, adegan nyaris berciuman mereka gagal saat itu juga.

“Gue bisa sendiri kok, Ta. Nggak usah dibantuin. Lagian nyuci piring kayak gini tuh emang udah jadi kerjaan sehari-hari gue kalau di rumah.”

Meskipun sudah diperingatkan oleh Amel, nyatanya Cetta tetap saja mengambil spons cuci piring dan sabun untuk membantu Amel. Pemuda itu tersenyum ke arahnya lalu mulai membantu Amel mencuci piring bekas makan siang mereka.

“Gue tau kok, tapi gue tetap mau bantuin lo.”

“Lo tuh dari tadi udah repot banget tau nggak sih, Ta. Bantuin Mama masak, nata meja makan, sampai sekarang bantu gue cuci piring. Lo tuh tamu di rumah ini, udah biarin aja nggak usah dibantu. Lo nonton TV aja sana sama bokap dan Iyel di depan.”

“Nggak mau, ah. Gue maunya di sini sama lo.”

Tidak tau kenapa tapi jawaban Cetta membuat Amel sedikit salah tingkah, mana Cetta jawabnya santai banget lagi. Pemuda itu sepertinya tidak menyadari bagaimana Amel berusaha keras mengulum senyum di sebelahnya.

“Cuci piringnya, Mel. Jangan malah bengong,” peringat Cetta karena sejak tadi menyaksikan Amel hanya terdiam di sebelahnya tanpa melakukan apa-apa, gadis itu kontan terkesiap dan buru-buru melanjutkan kegiatan mereka.

Biasanya saat sedang mencuci piring begini Amel pasti akan menggerutu karena merasa bosan, tapi hari ini tidak lagi karena ada Cetta yang membantunya. Tangan pemuda itu begitu cekatan membersihkan satu demi satu alat masak dan alat makan yang ada di wastafel, ketara sekali memang biasa melakukan hal-hal semacam ini. Mungkin karena hanya tinggal berdua saja dengan Maminya, Cetta jadi bisa melakukan berbagai macam pekerjaan rumah untuk sedikit meringankan beban Maminya tersebut.

“Cetta, gue mau nanya deh.”

“Nanya apa?”

Semua alat masak dan alat makan yang telah selesai dibilas Amel taruh ke rak yang ada di sampingnya, sebelum kemudian menjawab.

“Lo malu nggak sih ngelakuin pekerjaan rumah semacam ini? Kayak tadi Mama minta lo bantuin masak, terus sekarang bantu gue nyuci piring. Bukannya yang kayak gini tuh identik dengan pekerjaan perempuan ya?”

“Ngapain malu sih, Mel. Ini tuh bukan pekerjaan perempuan, ini namanya basic skill,” Cetta tertawa di sebelahnya seraya membilas tangannya dari busa sabun. “Menurut gue mau perempuan ataupun laki-laki minimal harus bisa masak, nyuci piring, nyuci baju, nyetrika baju, dan bersih-bersih rumah. Perempuan pada dasarnya emang biasa melakukan hal-hal semacam ini, tapi laki-laki yang nggak terbiasa harus belajar. Karena apa? Karena nggak selamanya kita bisa bergantung sama perempuan.”

“Gue selalu mikir kalau ada saatnya Mami bakal pergi ninggalin gue, dan gue ditinggal sendirian di rumah dalam jangka waktu yang lama. Iya sih, gue bisa pakai uang gue buat beli makanan di luar. Gue juga bisa nyewa ART buat mengurus pekerjaan rumah. Tapi menurut gue yang kayak gitu tuh justru nggak rasional. Mengingat uang yang gue punya terbatas, gue nggak bisa terus-menerus membuang uang untuk semua itu. Terus cara gue berhemat gimana? Ya masak sendiri, gue bersihin rumah sendiri, nyuci piring gue sendiri, jadi nggak perlu keluar uang banyak kan cuma buat nyewa ART? Makanya gue bilang yang kayak gini tuh basic skill, hal dasar yang keliatannya mungkin sepele padahal ilmunya bagus banget kalau diterapkan.”

“Gue nggak mau hidup gue terlalu bergantung sama orang lain, apalagi untuk hal-hal yang sebenarnya sifatnya pribadi kayak begini. Kalau gue bisa ya gue lakuin sendiri, kalau gue nggak bisa ya gue belajar biar bisa. Sesimple itu.”

Sepanjang Cetta menjelaskan, Amel tak hentinya berdecak kagum dengan pola pikir pemuda itu. Selama ini Amel hidup di lingkungan yang patriarkinya begitu kental, malah sudah dianggap hal yang wajar. Dan jika ia nekat menentang, siap-siap saja akan diprotes dan dicap aneh. Tapi Cetta benar-benar berbeda, pola pikirnya begitu luar biasa, Amel tidak menyangka bisa menemukan orang seperti Cetta di zaman seperti sekarang ini.

“Jujur gue bingung harus merespon apa, intinya lo keren banget Cetta. Gue kagum banget sama lo, dan gue yakin Tante Bunga pasti beruntung banget punya anak laki-laki sehebat lo.”

Pipi Cetta seketika memerah saat mendengar pujian dari Amel barusan. “Lo berlebihan deh, Mel, gue nggak sehebat itu juga kok.”

“Nggak, ini gue serius, Ta. Jarang-jarang loh gue bisa nemu cowok dengan pemikiran kayak lo gini, dan semakin gue kenal sama lo malah bikin gue jadi semakin penasaran. Maka dari itu gue setuju kalau kita pacaran. Karena gue pengen lebih mengenal lo lagi, Cetta.”

“Boleh kan?”

Cetta tersenyum, sebelum kemudian mengangguk setuju.

“Gue bakalan senang kalau lo mau ngelakuin itu, Mel. Ayo, kita saling mengenal lebih jauh lagi.”

“Gue bisa sendiri kok, Ta. Nggak usah dibantuin. Lagian nyuci piring kayak gini tuh emang udah jadi kerjaan sehari-hari gue kalau di rumah.”

Meskipun sudah diperingatkan oleh Amel, nyatanya Cetta tetap saja mengambil spons cuci piring dan sabun untuk membantu Amel. Pemuda itu tersenyum ke arahnya lalu mulai membantu Amel mencuci piring bekas makan siang mereka.

“Gue tau kok, tapi gue tetap mau bantuin lo.”

“Lo tuh dari tadi udah repot banget tau nggak sih, Ta. Bantuin Mama masak, nata meja makan, sampai sekarang bantu gue cuci piring. Lo tuh tamu di rumah ini, udah biarin aja nggak usah dibantu. Lo nonton TV aja sana sama bokap dan Iyel di depan.”

“Nggak mau, ah. Gue maunya di sini sama lo.”

Tidak tau kenapa tapi jawaban Cetta membuat Amel sedikit salah tingkah, mana Cetta jawabnya santai banget lagi. Pemuda itu sepertinya tidak menyadari bagaimana Amel berusaha keras mengulum senyum di sebelahnya.

“Cuci piringnya, Mel. Jangan malah bengong,” peringat Cetta karena sejak tadi menyaksikan Amel hanya terdiam di sebelahnya tanpa melakukan apa-apa, gadis itu kontan terkesiap dan buru-buru melanjutkan kegiatan mereka.

Biasanya saat sedang mencuci piring begini Amel pasti akan menggerutu karena merasa bosan, tapi hari ini tidak lagi karena ada Cetta yang membantunya. Tangan pemuda itu begitu cekatan membersihkan satu demi satu alat masak dan alat makan yang ada di wastafel, ketara sekali memang biasa melakukan hal-hal semacam ini. Mungkin karena hanya tinggal berdua saja dengan Maminya, Cetta jadi bisa melakukan berbagai macam pekerjaan rumah untuk sedikit meringankan beban Maminya tersebut.

“Cetta, gue mau nanya deh.”

“Nanya apa?”

Semua alat masak dan alat makan yang telah selesai dibilas Amel taruh ke rak yang ada di sampingnya, sebelum kemudian menjawab.

“Lo malu nggak sih ngelakuin pekerjaan rumah semacam ini? Kayak tadi Mama minta lo bantuin masak, terus sekarang bantu gue nyuci piring. Bukannya yang kayak gini tuh identik dengan pekerjaan perempuan ya?”

“Ngapain malu sih, Mel. Ini tuh bukan pekerjaan perempuan, ini namanya basic skill,” Cetta tertawa di sebelahnya seraya membilas tangannya dari busa sabun. “Menurut gue mau perempuan ataupun laki-laki minimal harus bisa masak, nyuci piring, nyuci baju, nyetrika baju, dan bersih-bersih rumah. Perempuan pada dasarnya emang biasa melakukan hal-hal semacam ini, tapi laki-laki yang nggak terbiasa harus belajar. Karena apa? Karena nggak selamanya kita bisa bergantung sama perempuan.”

“Gue selalu mikir kalau ada saatnya Mami bakal pergi ninggalin gue, dan gue ditinggal sendirian di rumah dalam jangka waktu yang lama. Iya sih, gue bisa pakai uang gue buat beli makanan di luar. Gue juga bisa nyewa ART buat mengurus pekerjaan rumah. Tapi menurut gue yang kayak gitu tuh justru nggak rasional. Mengingat uang yang gue punya terbatas, gue nggak bisa terus-menerus membuang uang untuk semua itu. Terus cara gue berhemat gimana? Ya masak sendiri, gue bersihin rumah sendiri, nyuci piring gue sendiri, jadi nggak perlu keluar uang banyak kan cuma buat nyewa ART? Makanya gue bilang yang kayak gini tuh basic skill, hal dasar yang keliatannya mungkin sepele padahal ilmunya bagus banget kalau diterapkan.”

“Gue nggak mau hidup gue terlalu bergantung sama orang lain, apalagi untuk hal-hal yang sebenarnya sifatnya pribadi kayak begini. Kalau gue bisa ya gue lakuin sendiri, kalau gue nggak bisa ya gue belajar biar bisa. Sesimple itu.”

Sepanjang Cetta menjelaskan, Amel tak hentinya berdecak kagum dengan pola pikir pemuda itu. Selama ini Amel hidup di lingkungan yang patriarkinya begitu kental, malah sudah dianggap hal yang wajar. Dan jika ia nekat menentang, siap-siap saja akan diprotes dan dicap aneh. Tapi Cetta benar-benar berbeda, pola pikirnya begitu luar biasa, Amel tidak menyangka bisa menemukan orang seperti Cetta di zaman seperti sekarang ini.

“Jujur gue bingung harus merespon apa, intinya lo keren banget Cetta. Gue kagum banget sama lo, dan gue yakin Tante Bunga pasti beruntung banget punya anak laki-laki sehebat lo.”

Pipi Cetta seketika memerah saat mendengar pujian dari Amel barusan. “Lo berlebihan deh, Mel, gue nggak sehebat itu juga kok.”

“Nggak, ini gue serius, Ta. Jarang-jarang loh gue bisa nemu cowok dengan pemikiran kayak lo gini, dan semakin gue kenal sama lo malah bikin gue jadi semakin penasaran. Maka dari itu gue setuju kalau kita pacaran. Karena gue pengen lebih mengenal lo lagi, Cetta.”

“Boleh kan?”

Cetta tersenyum, sebelum kemudian mengangguk setuju.

“Gue bakalan senang kalau lo mau ngelakuin itu, Mel. Ayo, kita saling mengenal lagi.”

Eh, si ganteng datang.”

Rahel tersenyum sumringah kala membuka pintu rumah, sudah ada Cetta yang berdiri di sana dengan pakaian rapi. Sepertinya dia akan langsung pergi ke kampus setelah ini.

Pemuda itu sendiri hanya tersenyum manis seperti biasa, membalas pujian sekaligus sapaan Rahel padanya.

“Selamat pagi, Tante.”

“Pagi juga, Cetta. Mau ambil dompet Mami kamu ya?”

Cetta mengangguk sopan. “Hehe. Iya, Tan.”

“Masuk dulu sini, dompetnya ada di kamar Tante. Tante ambilin dulu.”

Pemuda itu menurut, lalu duduk di salah satu sofa ruang tamu begitu dipersilakan duduk oleh Rahel. Selagi Cetta menunggu, mata pemuda itu mengedar ke sekeliling ruang tamu yang sepertinya juga sekaligus dijadikan sebagai ruang keluarga. Fokusnya langsung tertuju pada foto Amel yang berada di salah satu figura, membuat Cetta tanpa sadar menggumamkan kata cantik dari bibirnya.

Tidak lama kemudian, yang ia katai cantik sudah berdiri di antara anak tangga. Kelihatan segar sehabis mandi dan sudah berpakaian rapi, kelihatannya Amel ada kelas pagi hari ini.

Loh, mau ambil dompet ya?”

Cetta mengangguk, sebelum kemudian balik bertanya pada gadis itu.

“Ada kelas pagi?”

“Iya nih, untungnya nggak telat.”

“Jangan keburu, ntar nabrak.”

Amel tau itu bentuk sindiran atas kejadian tempo hari saat Amel menabrak motor Cetta di parkiran. Gadis itu hanya bisa meringis malu lalu mengucap kata maaf sekali lagi, namun Cetta tidak kelihatan ambil pusing.

Tidak lama setelahnya Rahel kembali menghampiri Cetta dengan dompet milik Bunga di tangannya.

“Kasih tau Bunga, naruh barang penting tuh jangan sembarangan.”

“Iya nih Mami emang suka kebiasaan,” sahut Cetta setengah bergurau.

“Kamu abis ini mau langsung ngampus, Ta?”

“Iya, Tan. Setengah jam lagi masuk,”

“Nggak ada boncengan kan? Amel nebeng kamu aja gimana? Kalian berangkat bareng, dia juga mau ke kampus.”

Amel langsung buru-buru menyahut. “Ma, aku bisa berangkat sendiri kok!”

Lagipula dia juga tidak enak hati pada Cetta, mana nggak akrab pula masa tiba-tiba nebeng sih. Kebayang deh bagaimana canggungnya mereka di perjalanan nanti.

“Ikut Cetta aja lah, kalian kan sekampus juga. Cetta nggak keberatan kan?”

Meskipun dikenal dengan reputasi yang kurang menyenangkan di kampus, kalau di depan Mami dan teman-temannya Mami sih Cetta pasti langsung jaga image dan bersikap layaknya anak baik calon idaman semua mertua. Jadi untuk menjaga image-nya tersebut, Cetta akan melayangkan senyum kalemnya seperti biasa sambil mengangguk.

“Nggak keberatan kok, Tan. Ayo aja kalau Amel mau bareng.”

Si gadis melongo di tempatnya berdiri, setengah tidak percaya kalau Cetta akan menyanggupi permintaan Mamanya tersebut. Padahal kalau bisa, Amel harap Cetta menolak saja. Kalau begini kan dia jadi tidak punya pilihan lain selain ke kampus bareng Cetta.

“Bagus kalau gitu, lumayan kan kalian jadi bisa akrab,” Rahel tersenyum senang sembari menepuk gemas pipi kiri Cetta. “Ya udah berangkat sana, nanti telat loh.”

“Iya, Tan. Kami berangkat dulu ya,” pamit Cetta seraya mencium punggung tangan Rahel, sebelum kemudian diikuti pula oleh Amel.

Kemudian keduanya berjalan beriringan keluar rumah dengan Rahel yang masih setia memandangi punggung mereka dengan senyum di wajah.

“Pinter juga akal-akalan si Bunga buat bikin Amel sama Cetta deket.”

“Cetta kelihatannya juga anak baik-baik, semoga saja mau dijadiin mantu.”

Malam harinya, Cetta dan Maminya betulan datang ke rumah Amel.

Gadis itu sedang asik menonton acara TV saat bel pintu berbunyi, Mama yang awalnya sibuk menata piring di meja makan pun langsung beranjak membuka pintu. Akan tetapi sebelum melakukan itu, Mama menyempatkan diri untuk menepuk kasar kaki Amel yang sedang selonjoran di atas meja.

“Tadi Mama suruh apa coba sama kamu?”

“Hah?” Amel mengecilkan sedikit volume TV di depannya. “Emangnya tadi Mama nyuruh aku apa?”

Hihh, kamu tuh ya!” tangan Mama mendarat di telinga sang anak untuk menjewernya, kontan saja Amel menjerit kesakitan. “Pakai baju yang sopan, jangan kaosan sama celana pendek gitu! Kita nih mau kedatangan tamu loh.”

Si anak mendelik tidak suka seraya menjauhkan tangan Mamanya dari telinga. “Emang siapa yang bakal datang sih, kayak yang penting banget gitu. Lagian paling nanti kalau tamunya masuk aku bakal ngendep di kamar.”

“Penting banget, tamu kita itu teman Mama. Jadi kamu nggak boleh sembunyi di kamar!”

“Loh, kok—–”

“Permisi~”

“Astaga, Mama sampai lupa kan tamunya udah nunggu di depan. Kamu sih!” ucap Mama sambil berjalan cepat ke depan pintu.

Amel dibuat melongo karenanya. “KOK JADI AKU YANG DISALAHIN SIH?!”

***

Saat Mama berkata kalau ada tamu yang akan datang, Amel tidak kepikiran kalau itu adalah Tante Bunga dan anaknya, Cetta!

Astaga, ini benar-benar di luar ekspetasi. Ia hanya bisa meringis malu ke arah Tante Bunga yang tersenyum di seberang meja makan, juga Cetta yang menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Di sebelahnya, Mama menyikut perutnya sambil memberi kode ke atas kepala. Amel awalnya bingung, tapi beberapa detik kemudian langsung sadar dan buru-buru merapihkan ikatan rambutnya yang berantakan.

Gara-gara rebahan nonton TV tadi, rambutnya jadi lumayan berantakan. Pantas saja tadi Cetta sempat menertawainya, di mata pemuda itu Amel pasti terlihat seperti pembantu dengan dandanan lusuhnya dibanding anak pemilik rumah.

Duh, malu banget!

Amel meruntuki penampilannya sendiri malam ini. Kalau saja ia tau Cetta yang akan datang, Amel pasti sudah berlari kabur ke kamarnya sejak awal dan tidak turun sampai dia pulang. Tapi mau gimana lagi, sudah nasib.

“Amel, ingat sama Tante nggak?” Wanita di depannya bertanya, suara lembut khasnya langsung menyapa gendang telinga Amel.

Eung, maaf. Aku lupa, Tan. Taunya cuma kalau Tante temennya Mama.”

Amel menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tak gatal, lalu meringis ke arah wanita itu dengan wajah bersalah. Amel memang gampang sekali melupakan wajah orang, terlebih lagi orang yang sudah tidak ia temui selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, dia selalu mengingat nama orang itu, tak terkecuali Tante Bunga.

Untung saja Tante Bunga tidak tersinggung. Wanita cantik nan lembut itu justru tersenyum maklum.

“Wajar aja sih, soalnya terakhir kali kita ketemu pas kamu sama Cetta baru masuk SMA. Eh, iya nggak sih, Hel?” Tante Bunga bertanya pada Mama untuk memastikan.

“Iya bener. Berarti udah lima tahunan dong ya, anak-anak sekarang udah pada semester empat. Udah pada besar-besar.”

Tante Bunga tertawa menanggapi. “Iya nih, udah pada bujangan. Siap-siap, bentar lagi kita gendong cucu.”

Mama ikut tertawa, sementara Amel hanya tersenyum canggung. Beda lagi dengan Cetta yang ikutan tersenyum sambil menyuap semur daging buatan Mama dengan tenang, pemuda itu tidak kelihatan terganggu sama sekali.

“Ngomong-ngomong, suami sama anak kamu yang satunya kemana, Hel?”

“Oh, Papanya Amel lembur malam ini jadi nggak bisa ikut dinner bareng kita. Kalau Gabriel—–”

“Ma, aku keluar du—– Eh, ada tamu ya?”

Gabriel, adik laki-laki Amel yang baru keluar dari kamar itu tersenyum canggung ke arah Tante Bunga lalu berjalan menghampiri meja makan, tempat mereka berkumpul.

“Iyel, salim dulu sana sama Tante Bunga dan kak Cetta.”

Anak bungsunya itu menurut, tanpa banyak kata langsung mencium punggung tangan Bunga juga Cetta bergantian.

“Kamu mau kemana, Yel? Rapi amat,” tanya Mama keheranan.

Gabriel hanya tersenyum malu sambil berucap, “Keluar bentar, Ma. Ketemu teman.”

Jawaban adiknya tidak terdengar meyakinkan di telinga Amel, jadi gadis itu langsung memasang wajah curiga.

“Teman apa teman? Mau ngapelin pacar lo kan?”

Si adik langsung mendelik tidak suka. “Apa sih, sok tau!”

“Ingat ya, lo tuh masih kecil nggak boleh pacar-pacaran. Duit masih minta sama orang tua tuh nggak usah sok!”

“Kita cuma beda dua tahun ya kalau lo lupa, gue bukan anak kecil!”

Husstt, udah-udah jangan berantem. Iyel kalau mau main ya main aja, yang penting pulang jangan lewat dari jam sepuluh.”

“Oke, siap!” Gabriel tersenyum sumringah ke arah Mama, namun langsung memasang wajah permusuhan pada kakaknya.

Amel tidak mau kalah dong, jadi dia balas memelototi Gabriel dan membuat sang adik iseng mendorong keningnya sebelum berlari kabur ke luar rumah.

“IYELLL!!” gadis itu berteriak murka, hampir lupa dengan keberadaan Bunga dan Cetta di seberang meja.

Duh, maafin kelakuan anak-anak ya. Mereka berdua ini emang sering berantem, nggak pernah akur” ucap Mama tidak enak hati.

Tapi rupanya Tante Bunga tidak menganggap itu hal yang serius dan memaklumi tingkah Amel dan Gabriel barusan.

“Yang kayak gitu malah bikin rumah rame tau, Hel. Soalnya di rumah kami sepi banget, cuma ada aku sama Cetta.”

“Kamu nggak ada kepikiran mau nikah lagi gitu, Nga? Buat nemenin di rumah. Cetta juga udah dewasa, waktu berlalu nggak terasa loh. Tau-tau dia nanti udah punya keluarga sendiri, kamu pasti kesepian.”

“Nggak dulu deh, jujur kelamaan sendiri bikin aku nyaman.”

Rahel hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti, sengaja juga tidak ingin membahas hal itu lagi karena takut menyinggung perasaan temannya. Wanita itu pun mengalihkan pandangannya pada Cetta yang masih makan dengan tenang.

“Ganteng ya anak cowok mu, Nga. Keliatannya sopan dan lembut banget,” puji Rahel yang mana membuat Cetta tersenyum malu.

Amel yang menyaksikan itu mengangkat sebelah alisnya, meragukan ucapan Mamanya barusan. Karena ya mau dilihat dari sisi manapun muka Cetta tuh nyeremin, galak gitu. Lembut dari mananya coba. Tapi karena tidak ingin merusak suasana, Amel memilih untuk mendengarkan saja tanpa banyak bicara.

Mendengar anaknya dipuji begitu membuat Bunga jadi ikutan balik menatap Amel.

“Anak gadis mu juga cantik loh, Hel,” pujinya yang juga dibalas senyum malu oleh Amel.

“Makasih, Tante.”

“Kata Cetta kalian sekampus ya, Mel? Dekat nggak?”

Ah, itu. Iya kami sekampus, Tan. Tapi nggak dekat.”

“Aku sama Amel beda jurusan, Mi. Beda gedung juga, jadi hampir nggak pernah ketemu.”

Bunga mengangguk mengerti. “Mulai sekarang sering-sering ketemu ya, biar kalian bisa dekat juga kayak Mami sama Mamanya Amel. Dulunya kita juga temen sekampus loh.”

Karena bingung harus menjawab apa, Amel hanya bisa nyengir di hadapan Bunga. Cetta pun hanya tersenyum sambil mengangguk.

Setelahnya acara makan malam mereka berlanjut dengan Bunga dan Rahel yang berbincang tentang masa lalu, sesekali akan melempar pujian pada satu sama lain. Beda lagi dengan Cetta dan Amel yang tidak banyak bicara, hanya makan dengan tenang sambil diam-diam saling melirik.

Ngomong-ngomong, Cetta kelihatan tampan hari ini. Ah, apa memang dia sudah setampan itu sejak dulu?

Amel baru menyadarinya.

Malam harinya, Cetta dan Maminya betulan datang ke rumah Amel.

Gadis itu sedang asik menonton acara TV saat bel pintu berbunyi, Mama yang awalnya sibuk menata piring di meja makan pun langsung beranjak membuka pintu. Akan tetapi sebelum melakukan itu, Mama menyempatkan diri untuk menepuk kasar kaki Amel yang sedang selonjoran di atas meja.

“Tadi Mama suruh apa coba sama kamu?”

“Hah?” Amel mengecilkan sedikit volume TV di depannya. “Emangnya tadi Mama nyuruh aku apa?”

Hihh, kamu tuh ya!” tangan Mama mendarat di telinga sang anak untuk menjewernya, kontan saja Amel menjerit kesakitan. “Pakai baju yang sopan, jangan kaosan sama celana pendek gitu! Kita nih mau kedatangan tamu loh.”

Si anak mendelik tidak suka seraya menjauhkan tangan Mamanya dari telinga. “Emang siapa yang bakal datang sih, kayak yang penting banget gitu. Lagian paling nanti kalau tamunya masuk aku bakal ngendep di kamar.”

“Penting banget, tamu kita itu teman Mama. Jadi kamu nggak boleh sembunyi di kamar!”

“Loh, kok—–”

“Permisi~”

“Astaga, Mama sampai lupa kan tamunya udah nunggu di depan. Kamu sih!” ucap Mama sambil berjalan cepat ke depan pintu.

Amel dibuat melongo karenanya. “KOK JADI AKU YANG DISALAHIN SIH?!”

***

Saat Mama berkata kalau ada tamu yang akan datang, Amel tidak kepikiran kalau itu adalah Tante Bunga dan anaknya, Cetta!

Astaga, ini benar-benar di luar ekspetasi. Ia hanya bisa meringis malu ke arah Tante Bunga yang tersenyum di seberang meja makan, juga Cetta yang menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Di sebelahnya, Mama menyikut perutnya sambil memberi kode ke atas kepala. Amel awalnya bingung, tapi beberapa detik kemudian langsung sadar dan buru-buru merapihkan ikatan rambutnya yang berantakan.

Gara-gara rebahan nonton TV tadi, rambutnya jadi lumayan berantakan. Pantas saja tadi Cetta sempat menertawainya, di mata pemuda itu Amel pasti terlihat seperti pembantu dengan dandanan lusuhnya dibanding anak pemilik rumah.

Duh, malu banget!

Amel meruntuki penampilannya sendiri malam ini. Kalau saja ia tau Cetta yang akan datang, Amel pasti sudah berlari kabur ke kamarnya sejak awal dan tidak turun sampai dia pulang. Tapi mau gimana lagi, sudah nasib.

“Amel, ingat sama Tante nggak?” Wanita di depannya bertanya, suara lembut khasnya langsung menyapa gendang telinga Amel.

Eung, maaf. Aku lupa, Tan. Taunya cuma kalau Tante temennya Mama.”

Amel menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tak gatal, lalu meringis ke arah wanita itu dengan wajah bersalah. Amel memang gampang sekali melupakan wajah orang, terlebih lagi orang yang sudah tidak ia temui selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, dia selalu mengingat nama orang itu, tak terkecuali Tante Bunga.

Untung saja Tante Bunga tidak tersinggung. Wanita cantik nan lembut itu justru tersenyum maklum.

“Wajar aja sih, soalnya terakhir kali kita ketemu pas kamu sama Cetta baru masuk SMA. Eh, iya nggak sih, Hel?” Tante Bunga bertanya pada Mama untuk memastikan.

“Iya bener. Berarti udah lima tahunan dong ya, anak-anak sekarang udah pada semester empat. Udah pada besar-besar.”

Tante Bunga tertawa menanggapi. “Iya nih, udah pada bujangan. Siap-siap, bentar lagi kita gendong cucu.”

Mama ikut tertawa, sementara Amel hanya tersenyum canggung. Beda lagi dengan Cetta yang ikutan tersenyum sambil menyuap semur daging buatan Mama dengan tenang, pemuda itu tidak kelihatan terganggu sama sekali.

“Ngomong-ngomong, suami sama anak kamu yang satunya kemana, Hel?”

“Oh, Papanya Amel lembur malam ini jadi nggak bisa ikut dinner bareng kita. Kalau Gabriel—–”

“Ma, aku keluar du—– Eh, ada tamu ya?”

Gabriel, adik laki-laki Amel yang baru keluar dari kamar itu tersenyum canggung ke arah Tante Bunga lalu berjalan menghampiri meja makan, tempat mereka berkumpul.

“Iyel, salim dulu sana sama Tante Bunga dan kak Cetta.”

Anak bungsunya itu menurut, tanpa banyak kata langsung mencium punggung tangan Bunga juga Cetta bergantian.

“Kamu mau kemana, Yel? Rapi amat,” tanya Mama keheranan.

Gabriel hanya tersenyum malu sambil berucap, “Keluar bentar, Ma. Ketemu teman.”

Jawaban adiknya tidak terdengar meyakinkan di telinga Amel, jadi gadis itu langsung memasang wajah curiga.

“Teman apa teman? Mau ngapelin pacar lo kan?”

Si adik langsung mendelik tidak suka. “Apa sih, sok tau!”

“Ingat ya, lo tuh masih kecil nggak boleh pacar-pacaran. Duit masih minta sama orang tua tuh nggak usah sok!”

“Kita cuma beda dua tahun ya kalau lo lupa, gue bukan anak kecil!”

Husstt, udah-udah jangan berantem. Iyel kalau mau main ya main aja, yang penting pulang jangan lewat dari jam sepuluh.”

“Oke, siap!” Gabriel tersenyum sumringah ke arah Mama, namun langsung memasang wajah permusuhan pada kakaknya.

Amel tidak mau kalah dong, jadi dia balas memelototi Gabriel dan membuat sang adik iseng mendorong keningnya sebelum berlari kabur ke luar rumah.

“IYELLL!!” gadis itu berteriak murka, hampir lupa dengan keberadaan Bunga dan Cetta di seberang meja.

Duh, maafin kelakuan anak-anak ya. Mereka berdua ini emang sering berantem, nggak pernah akur” ucap Mama tidak enak hati.

Tapi rupanya Tante Bunga tidak menganggap itu hal yang serius dan memaklumi tingkah Amel dan Gabriel barusan.

“Yang kayak gitu malah bikin rumah rame tau, Hel. Soalnya di rumah kami sepi banget, cuma ada aku sama Cetta.”

“Kamu nggak ada kepikiran mau nikah lagi gitu, Nga? Buat nemenin di rumah. Cetta juga udah dewasa, waktu berlalu nggak terasa loh. Tau-tau dia nanti udah punya keluarga sendiri, kamu pasti kesepian.”

“Nggak dulu deh, jujur kelamaan sendiri bikin aku nyaman.”

Rahel hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti, sengaja juga tidak ingin membahas hal itu lagi karena takut menyinggung perasaan temannya. Wanita itu pun mengalihkan pandangannya pada Cetta yang masih makan dengan tenang.

“Ganteng ya anak cowok mu, Nga. Keliatannya sopan dan lembut banget,” puji Rahel yang mana membuat Cetta tersenyum malu.

Amel yang menyaksikan itu mengangkat sebelah alisnya, meragukan ucapan Mamanya barusan. Karena ya mau dilihat dari sisi manapun muka Cetta tuh nyeremin, galak gitu. Lembut dari mananya coba. Tapi karena tidak ingin merusak suasana, Amel memilih untuk mendengarkan saja tanpa banyak bicara.

Mendengar anaknya dipuji begitu membuat Bunga jadi ikutan balik menatap Amel.

“Anak gadis mu juga cantik loh, Hel,” pujinya yang juga dibalas senyum malu oleh Amel.

“Makasih, Tante.”

“Kata Cetta kalian sekampus ya, Mel? Dekat nggak?”

Ah, itu. Iya kami sekampus, Tan. Tapi nggak dekat.”

“Aku sama Amel beda jurusan, Mi. Beda gedung juga, jadi hampir nggak pernah ketemu.”

Bunga mengangguk mengerti. “Mulai sekarang sering-sering ketemu ya, biar kalian bisa dekat juga kayak Mami sama Mamanya Amel. Dulunya kita juga temen sekampus loh.”

Karena bingung harus menjawab apa, Amel hanya bisa nyengir di hadapan Bunga. Cetta pun hanya tersenyum sambil mengangguk.

Setelahnya acara makan malam mereka berlanjut dengan Bunga dan Rahel yang berbincang tentang masa lalu, sesekali akan melempar pujian pada satu sama lain. Beda lagi dengan Cetta dan Amel yang tidak banyak bicara, hanya makan dengan tenang sambil diam-diam saling melirik.

Ngomong-ngomong, Cetta kelihatan tampan hari ini. Ah, apa memang dia sudah setampan itu sejak dulu?

Amel baru menyadarinya.