Renata yang Itu?

Dengan berbekal uang dua puluh ribu dari Mama, Amel berjalan kaki melewati jalanan komplek rumahnya.

Minimarket yang ingin ia tuju ini ada di depan gang, tidak begitu jauh dari rumah Amel jadi ia sengaja berjalan kaki saja ke sana. Buang-buang bensin banget gitu kalau ke minimarket saja harus naik motor, mana Gabriel juga seringnya pelit kalau motornya dipinjam.

Maklum lah Amel kan tidak punya motor pribadi setelah motornya yang dulu rusak gara-gara tidak sengaja menabrak pagar rumah orang, sampai sekarang Amel belum dapat gantinya dan harus pasrah kemana-mana naik gojek atau malah nebeng sama Naka kalau mau ke kampus. Tapi meskipun begitu kadang Amel mengisikan bensin kok untuk motor Naka sebagai ucapan terima kasih, meski sebenarnya Naka tidak meminta.

Karena Amel sudah cukup sering berbelanja di minimarket, seringnya sih karena disuruh Mama membeli keperluan dapur. Jadi Amel sudah khatam di mana letak minyak goreng yang sering wanita itu beli.

Amel mengambil satu dari salah satu rak, tanpa memperhatikan label harganya yang sedikit berubah dari biasanya. Setelah itu ia berjalan ke box es krim dan mengambil salah satu yang menjadi favoritnya. Tentu saja rasanya rasa cokelat, rasa kesukaan Amel.

“Ini saja, mbak?” tanya kasir minimarket saat Amel meletakkan belanjaannya di atas meja untuk discan.

Gadis itu hanya mengangguk saja dan membiarkan kasir tersebut menyelesaikan pekerjaannya.

“Totalnya dua puluh dua ribu lima ratus.”

“Berapa?”

Hanya takut salah dengar, jadi Amel bertanya ulang. Namun saat didengar dua kali pun jawaban si kasir tetap sama, tidak berubah sama sekali. Amel langsung pucat saat teringat tadi Mama hanya memberinya selembar uang dua puluh ribu, biasanya sih segitu cukup. Tapi sepertinya harga minyak gorengnya naik, salahkan Amel yang tidak memperhatikan label harga tadi.

“Mas, utang dulu boleh nggak? Rumah saya dekat kok, di komplek samping. Nanti kurangnya saya ambil ke rumah terus balik lagi kesini. Saya cuma pegang uang dua puluh ribu ini, Mas.” Amel meminta dengan wajah memelas, berharap itu bisa membuat si kasir jadi luluh dan membiarkannya.

Tapi apalah daya, si kasir justru berkata di luar harapannya. “Maaf Mbak, di sini nggak bisa utang.”

“Mas tau saya kan? Saya sering kok jajan di sini, kadang sama Mama juga. Tau Rahel kan? Nah itu nama Mama saya, rumah kami dekat sini kok.”

“Saya tau kok, sering liat Mbaknya juga. Tapi peraturan di sini emang nggak boleh utang, Mbak.”

“Tolong banget, Mas. Kali ini aja, please. Beneran habis ini aku bakal balik lagi ke sini bawa uangnya.”

“Tapi, Mbak—–”

“Hitung punya saya dulu, Mas. Nanti ditambah sama kekurangan punya Mbaknya.”

Baik Amel maupun si petugas kasir menoleh secara bersamaan pada sosok gadis berambut panjang di sebelahnya, dia meletakkan semua belanjaannya di atas meja sebelum kemudian tersenyum pada Amel.

“Nggak apa-apa kan kalau gue bayarin dulu? Masalahnya gue buru-buru ini, kalau kalian kelamaan debat di depan meja kasir gue juga bakalan lama baru bisa balik.”

Eh, maaf-maaf. Gue nggak tau ada antrian di belakang, tadi begitu masuk gue liat pelanggannya cuma gue sendiri.”

Amel menoleh pada si kasir yang kini mulai sibuk meng-scan belanjaan milik gadis di sampingnya. Jujur saja ia jadi tidak enak hati kalau dibayarin gini, apalagi mereka tidak saling kenal. Ini pertama kalinya mereka bertemu.

Dipandanginya sejenak gadis cantik dengan senyum manis itu. Postur tubuhnya tinggi, Amel bahkan hanya sebatas telinganya saja. Rambutnya panjang kecokelatan dan sedikit bergelombang. Sekilas Amel seperti melihat seorang model yang biasanya ada di televisi.

“Totalnya lima puluh satu ribu lima ratus, sudah termasuk dua ribu lima ratus punya Mbak ini.” Si petugas melirik sekilas ke arah Amel, membuat gadis itu tersenyum terpaksa.

Selesai membayar dan mengambil belanjaanya, gadis itu berbalik dan berniat pergi. Jadi sebelum dia semakin jauh, Amel pun turut mengejar hingga ke luar minimarket dengan kantong belanja di tangan kirinya.

Eum, maaf.” Amel menyentuh pundak gadis tinggi itu hingga membuatnya menoleh. “Rumah gue dekat sini, lo mau nunggu dulu nggak biar gue ambil uangnya? Atau lo mau ikut gue aja ke rumah? Beneran dekat kok.”

“Nggak usah diganti juga nggak apa-apa. Lagian cuma dua ribu lima ratus,” ucapnya sambil tersenyum, manis sekali. Seandainya saja Amel adalah laki-laki, sepertinya ia akan jatuh cinta pada gadis itu.

Eh, jangan gitu dong. Gue jadi nggak enak hati mana kita juga nggak saling kenal pula, tiba-tiba lo malah bayarin gue.”

“Ya udah kalau gitu kita kenalan aja, tapi lo nggak usah ganti uangnya. Gimana?”

“Lah, kok?”

Belum sempat Amel protes, gadis itu malah sudah mengulurkan tangan kanannya untuk berkenalan.

“Gue Renata, nama lo siapa?”

“Hah? Apa?”

“Renata, panggil aja Rena.”

Seketika itu pula Amel terpaku di tempatnya, matanya membulat kaget dengan bibir yang sedikit terbuka.

'Jangan bilang Renata yang itu?' batin Amel menerka-nerka.

Iya sih nama Renata ada banyak di muka bumi ini, tapi yang Amel ingat justru Renata yang mengirimi Cetta pesan dan membuat pemuda itu mendadak diam. Amel bahkan belum sempat menanyai perihal Renata pada Cetta.

“Hei, kok melamun?” Renata melambaikan tangannya di depan wajah Amel, membuatnya seketika mengerjap dan refleks mundur selangkah. Kening Renata berkerut kebingungan. “Ada apa?”

Amel menggeleng cepat. “Nggak, gue cuma baru ingat harus buru-buru pulang. Mama gue butuh minyak gorengnya. Makasih banyak ya, Rena.”

Setelah mengucapkan kalimat itu Amel langsung berbalik dan berjalan cepat meninggalkan area minimarket, menyisakan Renata yang semakin kebingungan dengan tingkah anehnya tersebut.