Halte dan Hujan
Perkiraan cuaca kadang bisa saja salah.
Tadi pagi Cetta sempat menonton berita prakiraan cuaca di televisi, dan di sana dikatakan kalau hari ini akan cerah berawan. Nyatanya menjelang malam rintik hujan justru mulai berjatuhan.
Merasakan helmnya dijatuhi air hujan yang sedikit demi sedikit mulai deras, Cetta semakin melajukan motornya dengan Amel yang memeluknya erat di belakang. Niatnya supaya cepat sampai ke rumah sebelum kehujanan, tapi apalah daya hujan semakin deras turun sebelum motor Cetta sampai di depan rumah Amel.
“Neduh dulu aja, Ta!” seru Amel dari belakang.
Suaranya yang agak teredam oleh berisiknya hujan membuat Cetta kurang bisa mendengarnya dengan baik selain kata 'Neduh'. Dari sana pemuda itu bisa menyimpulkan kalau Amel memintanya untuk berteduh dahulu sebelum benar-benar kuyup.
Beruntung di dekatnya ada sebuah halte, jadi Cetta buru-buru melajukan motornya dan berteduh di sana bersama Amel. Hujan langsung turun begitu deras sesampainya mereka di sana, duduk bersebelahan di bangku halte yang masih ada bagian keringnya.
“Maaf ya, kita tadi kelamaan di bowling center sih. Pulangnya jadi kemalaman gini,” keluh si pemuda tak enak hati.
Amel mengecek arloji di pergelangan tangannya sebelum kemudian tersenyum pada Cetta. “Nggak apa-apa, Ta. Masih jam delapan juga kok ini.”
“Aku chatin Tante Rahel dulu deh ya buat ngasih tau.”
“Eh, nggak usah.” Amel menghentikan niat Cetta yang hendak mengirim pesan pada Mamanya. “Tadi pas di resto aku udah izin kok sama Mama, dan dia ngerti kalau aku lagi jalan sama kamu.”
“Oh, oke.”
Cetta menggaruk tengkuknya agak salah tingkah. Sejujurnya panggilan aku-kamu ini masih terdengar begitu asing jika diucapkan secara langsung, beda sekali kalau diketik lewat chat. Amel pun sepertinya menyadari itu, sebab sesaat setelah menyelesaikan ucapannya pipinya agak berubah warna menjadi merah. Jika Cetta tidak salah lihat ya, sebab lampu halte memang sedikit remang-remang.
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara di antara mereka. Cetta fokus menatap air hujan yang turun hingga membuat beberapa genangan di jalan, sementara Amel nampak gelisah mengusap lengannya berulang kali. Ketara sekali gadis itu sedang kedinginan, apalagi pakaiannya memang tidak begitu tebal. Cetta sampai meruntuki kelalaiannya hari ini yang tidak membawa jaket di jok motornya, padahal biasanya dia selalu bawa meski tidak selalu dipakai.
“Amel.”
Yang dipanggil sontak menoleh, bibirnya agak bergetar saat menjawab kata 'Ya?' dengan suara pelan. Rambut panjangnya yang tidak tertutup helm terlihat lepek karena basah terkena air, bahkan pakaiannya juga cukup basah meski tidak sampai kuyup. Cetta meringis tak enak hati saat menatapnya.
“Kedinginan ya? Maaf aku nggak ingat bawa jaket hari ini.”
“Eh, nggak kok. Nggak apa-apa, ngapain minta maaf segala sih?” Amel terkekeh dengan bibir bergetar.
Rasanya Cetta mau marah sama air hujan yang turun dadakan dengan begitu derasnya, kan Amel jadi kedinginan begini. Mana Cetta cuma pakai kaos lengan panjang saja pula, tidak ada jaket ataupun kemeja yang bisa ia sampirkan ke pundak Amel untuk mengurangi rasa dinginnya.
“Mau aku peluk aja nggak?”
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Cetta. Sesaat setelahnya dia langsung menyesali kekurang ajaran mulutnya tersebut, terlebih saat Amel menatapnya dengan mata membulat. Cetta takut dianggap tidak sopan.
“Tadi lo bilang apa?”
Amel sebenarnya dengar, tapi karena takut kegeeran jadi dia bertanya ulang. Mana tau yang tadi cuma halusinasinya saja kan?
“Peluk, siapa tau bisa sedikit menghangatkan kamu. Duh, maaf banget ya ini kalau aku kurang ajar. Maksud aku baik kok, nggak ada niatan ambil kesempatan dalam kesempitan.”
Di saat Cetta sudah panik dianggap keterlaluan oleh Amel, si gadis justru tertawa menanggapinya. Kening Cetta sampai berkerut saking bingungnya.
“Kenapa ketawa?”
“Lucu aja muka kamu pas lagi panik, padahal akunya nggak masalah kok.”
“Nggak masalah kalau aku peluk?”
“Iya.”
Cetta tidak mengerti apakah dia harus senang atau justru kesal karena Amel begitu terbuka dan blak-blakan begini. Senang karena itu artinya Amel tidak tersinggung dengan tawarannya, tapi juga kesal karena jawaban jujur Amel justru membuat jantung Cetta berdegup kencang. Memang dasar jantung norak, ia khawatir suara degupannya akan sampai ke telinga Amel.
Tapi semoga saja tidak.
Berhubung Amel telah memberinya izin, jadi Cetta pun bisa dengan berani mempersempit jarak di antara mereka. Pemuda itu merentangkan tangannya untuk memeluk tubuh Amel yang berada di dekatnya, sementara si gadis sendiri melingkarkan lengannya di pinggang Cetta seraya menyandarkan kepala ke dada si pemuda. Posisi seperti ini membuat keduanya merasa lebih hangat satu sama lain, Amel menyunggingkan senyumnya secara perlahan di balik helai rambut yang sedikit menutupi wajah.
Canggung sih ada ya, tapi karena keduanya sudah sama-sama kedinginan maka kecanggungan itu pun bisa sedikit mereka tepis. Selama beberapa saat terjadi keheningan di antara keduanya, yang terdengar hanyalah suara derasnya hujan yang jatuh di atas atap halte dan degup jantung Cetta yang sampai ke telinga Amel. Posisinya yang begitu nyaman membuat Amel nyaris tertidur andai saja Cetta tidak buru-buru melontarkan pertanyaan.
“Sewaktu aku masak bareng Tante Rahel tempo hari, dia ada bilang katanya selama ini kamu belum pernah pacaran ya? Berarti aku pacar pertama kamu dong?”
Seketika itu pula rasa kantuk Amel lenyap, menghilang entah kemana. Yang ada hanya perasaan malu atas ucapan jujur Mamanya pada Cetta.
“I-iya sih, hehe.”
“Kok nggak pernah pacaran sebelumnya?”
“Ya nggak pernah aja, nggak ada yang naksir kayaknya.”
“Nggak ada atau emang kamunya aja yang nggak peka?”
“Kok nanyanya gitu?”
“Kamu itu baik, Mel. Meski kita baru dekat akhir-akhir ini, aku udah bisa nyimpulin kalau kamu anaknya emang baik dan sopan. Cantik pula, kayaknya nggak mungkin deh kalau nggak ada yang naksir. Kecuali kamunya aja yang nggak peka dan menganggap semua cowok yang dekat sama kamu itu teman.”
“Masa sih?”
Amel jadi kepikiran ucapan Cetta barusan. Tapi rasa-rasanya memang tidak pernah ada yang memperlakukannya secara spesial selama ini, laki-laki yang dekat dengannya juga bisa dihitung pakai jari. Jadi anggapan kalau tidak ada yang naksir dirinya selama ini lebih masuk akal dibanding ia yang tidak peka oleh perasaan laki-laki.
“Kamu sendiri gimana? Pernah pacaran?” Amel mengalihkan topik agar fokusnya beralih pada Cetta.
“Pernah waktu SMA, dia cinta pertama aku.”
“Oh, wow? Keren banget bisa pacaran sama cinta pertama, padahal biasanya cinta pertama nggak bisa berhasil dan berujung kegagalan.”
Cetta tersenyum miris menanggapinya. “Emang iya kok, ujung-ujungnya ya gagal juga.”
Mendengar nada bicara Cetta yang agak muram membuat Amel jadi merasa bersalah. Bukan maksudnya menyinggung perasaan Cetta dan membuatnya sedih, Amel jadi tidak enak hati.
“Maaf, Cetta.”
“Nggak apa-apa, bukan salah kamu. Lagian kejadiannya udah cukup lama waktu aku kelas sebelas, mungkin sekarang dia udah bahagia sama laki-laki pilihannya.”
“Maaf kalau aku lancang, tapi kalau boleh jujur apa kamu masih menyimpan perasaan sama perempuan itu?”
Pandangan keduanya langsung bertemu saat Amel mendongakkan kepala, kebetulan sekali Cetta memang sudah memandanginya sejak tadi. Entah kekuatan macam apa yang ada di mata Cetta sampai-sampai hingga beberapa detik berlalu ia masih berada di posisi itu, menatap manik gelap milik si pemuda yang berkilau terkena sorot lampu.
“Amel....”
“Y-ya?”
“Kayaknya posisi perempuan itu udah digantikan sama kamu.”
“Hah?”
Cetta tidak menjelaskan lebih lanjut apa maksudnya. Namun entah setan macam apa yang mencoba merasuki pemuda itu hingga begitu berani menundukkan kepalanya, sebelah tangannya bahkan menahan tengkuk Amel agar tidak bergerak apalagi menjauh. Mata pemuda itu begitu fokus menatap bibir ranum milik Amel yang pucat karena kedinginan.
Di usianya yang sudah menginjak usia dua puluh tahun, Amel tidak bodoh dengan apa yang akan dilakukan Cetta setelah ini. Karena bingung harus melakukan apa, Amel hanya bisa memejamkan mata sembari meremas bagian pinggang kaos Cetta. Deru napas pemuda itu terasa semakin dekat, membuat degup jantung keduanya terdengar semakin kuat seolah sedang berlomba jantung siapa yang degupannya paling kencang.
Amel menelan salivanya dengan susah payah saat hidung mancung Cetta bersentuhan dengan hidungnya. Namun saat bibir mereka nyaris saling menempel, Amel justru kelepasan.
Hatchii!
Gadis itu bersin tepat di depan wajah Cetta, membuat si pemuda sontak memejamkan mata dan menahan beribu kata umpatan di dalam hatinya.
“AMEELLLL!!!”
“CETTA, MAAF AKU NGGAK SENGAJA!”
Endingnya, adegan nyaris berciuman mereka gagal saat itu juga.