Hj njk
Hj njk
“Loh, kok balik lagi?”
Mama bertanya kebingungan saat menemukan anak sulungnya masuk ke rumah dengan cara mendobrak pintu terburu-buru. Tindakan Amel tersebut berhasil mengejutkan Mama yang baru kembali dari halaman belakang, mungkin sehabis menjemur pakaian.
“Flashdisk aku ketinggalan, Ma. Mana dua puluh menit lagi presentasi pula!” jawab Amel sembari berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya berada.
Mama dibuat mendengus karena ulahnya tersebut. “Lain kali kalau ada hal penting tuh diingetin! Kebiasaan banget pelupa.”
Samar-samar terdengar suara Amel yang berteriak dari dalam kamar.
“MAMA ENGGAK NGINGETIN!”
“KOK JADI MAMA YANG DISALAHIN?!”
Tidak ada jawaban balik dari sang anak, di kamarnya Amel tampak sibuk mengubek-ubek laci meja belajar guna mencari sebuah flashdisk dengan gantungan akrilik berbentuk bunga mawar tersebut. Begitu menemukannya di antara tumpukan kertas fotokopian, senyum di wajah Amel langsung mengembang. Gadis itu menghela napas lega sebelum kemudian buru-buru keluar, waktunya semakin menipis sekarang.
“MA ... AKU BALIK KE KAMPUS YA!” serunya dengan suara nyaring, sepertinya Mama sedang berada di kamar mandi sekarang. Sebab, ia hanya bisa mendengar suara Mama yang terdengar samar.
“IYA, HATI-HATI.”
***
♫︎fuck you, fuck you, fuck you very very much...♫︎
Suara nada dering ponsel milik Amel terdengar sesaat setelah ia dan motor Naka memasuki area parkiran gedung B. Sebenarnya ini area parkir FISIP sih, tapi karena parkiran gedung C yang merupakan area FEB sedang penuh-penuhnya, jadi Amel terpaksa membawa motor Naka ke sana.
“Aduh, ini siapa yang nelpon sih!” dengus Amel sembari menarik ke atas kaca helmnya.
Karena ponselnya tidak juga mau berhenti berbunyi, Amel terpaksa mengangkat telpon dulu alih-alih memarkirkan motor. Dan ternyata yang menelpon adalah Naka, si pemilik motor.
“Amel! Dosennya udah masuk ini lo di mana?”
“Gue masih di parkiran, belum lagi ngeprint. Suruh dosennya tunggu bentar ya, kasih gue waktu buat—–”
Tin, Tin, Tin!!
Klakson motor dari salah satu mahasiswa di belakangnya berhasil membuat emosi Amel tersulut. Mana ngeklaksonnya ngegas banget pula, orangnya pun tidak kalah ngegas.
“Minggir woy! Gue mau lewat ini udah telat, lo ngalangin jalan!”
“GUE JUGA UDAH TELAT INI, BRENGSEK!” Amel balas ngegas, berhasil membuat Naka refleks menjauhkan ponselnya dari daun telinga.
“Anjing! Lo yang salah kenapa jadi lo yang marah?!”
“Lo ngeselin!”
“Mel, telponnya gue matiin aja deh ya.”
Tanpa menunggu sahutan dari Amel, sambungan telpon telah diputuskan lebih dulu oleh Naka. Pemuda ber-hoodie navy di belakangnya masih kekeuh ngeklakson, membuat telinga Amel pengang seketika.
“Lewat mah lewat aja kali, ngeselin banget lo!” protes Amel sekaligus menghentikan tindakan pemuda berkaca mata di belakangnya sekarang.
“Ya lo minggir sedikit dong, motor gue nggak bisa lewat. Lo pikir ini parkiran punya nenek moyang lo apa?!”
Astaga, seandainya saja Amel lupa kalau ia sudah terlambat, pasti pertengkaran mereka akan semakin berlanjut. Tapi karena mereka berdua sama-sama terlambat, dan Amel merasa ia lebih waras dibanding pemuda itu, jadi ia memutuskan untuk mengalah. Kalau tidak begini pertengkaran mereka tidak akan selesai.
“Gitu aja lama!” gertak si pemuda dengan wajah sinisnya setelah motornya berhasil lewat.
“Nyolot aja lo terus!”
Setelah mendapat slot parkir, pemuda itu kembali menoleh sinis pada Amel sembari menyugar rambutnya sok kegantengan. Amel berdecih melihat tingkahnya tersebut, namun pada akhirnya tetap membiarkan pemuda itu pergi meski dengan perasaan dongkol.
“Dasar cowok aneh!” Amel melirik arloji di pergelangan tangannya untuk mengecek jam berapa sekarang, sebelum kemudian memekik kaget. “Buset, gue udah telat sepuluh menit!”
Saking paniknya, Amel sampai buru-buru memarkirkan motor Naka di salah satu slot yang kosong. Hanya saja karena terlalu gegabah, ia tidak sengaja memutar gas berlebih hingga berujung ....
BRAK!
Menabrak salah satu motor Yamaha Byson berwarna merah hitam di dekatnya.
“ASTAGA!”
Panik, Amel buru-buru turun dari motor Naka dan mengecek keadaan motor yang tidak sengaja ia tabrak barusan. Matanya kontan melotot saat menemukan adanya lecet memanjang di bagian body belakang motor, mana motornya kelihatan mulus banget lagi.
“Aduh, ini gimana motor orang gue bikin lecet!”
Amel refleks menggigiti kuku jarinya, salah satu kebiasaan gadis itu saat sedang panik. Ya memang sih lecetnya tidak seberapa parah, tapi tetap saja ia merasa bersalah. Karena kecerobohannya tersebut, motor orang justru jadi korban.
“Gue kabur aja apa ya? Mumpung nggak ada yang liat juga nih parkiran sepi.”
“Tapi, gue jahat banget nggak sih kalau kayak gini?”
“AKHHH INI GIMANA???”
Entah kesialan macam apa lagi yang akan menantinya di depan sana, segini saja Amel rasanya mau nangis saking frustasinya.
“Nggak tau, ah. Bodo amat!”
“Loh, kok balik lagi?”
Mama bertanya kebingungan saat menemukan anak sulungnya masuk ke rumah dengan cara mendobrak pintu terburu-buru. Tindakan Amel tersebut berhasil mengejutkan Mama yang baru kembali dari halaman belakang, mungkin sehabis menjemur pakaian.
“Flashdisk aku ketinggalan, Ma. Mana dua puluh menit lagi presentasi pula!” jawab Amel sembari berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya berada.
Mama dibuat mendengus karena ulahnya tersebut. “Lain kali kalau ada hal penting tuh diingetin! Kebiasaan banget pelupa.”
Samar-samar terdengar suara Amel yang berteriak dari dalam kamar.
“MAMA ENGGAK NGINGETIN!”
“KOK JADI MAMA YANG DISALAHIN?!”
Tidak ada jawaban balik dari sang anak, di kamarnya Amel tampak sibuk mengubek-ubek laci meja belajar guna mencari sebuah flashdisk dengan gantungan akrilik berbentuk bunga mawar tersebut. Begitu menemukannya di antara tumpukan kertas fotokopian, senyum di wajah Amel langsung mengembang. Gadis itu menghela napas lega sebelum kemudian buru-buru keluar, waktunya semakin menipis sekarang.
“MA ... AKU BALIK KE KAMPUS YA!” serunya dengan suara nyaring, sepertinya Mama sedang berada di kamar mandi sekarang. Sebab, ia hanya bisa mendengar suara Mama yang terdengar samar.
“IYA, HATI-HATI.”
***
♫︎fuck you, fuck you, fuck you very very much...♫︎
Suara nada dering ponsel milik Amel terdengar sesaat setelah ia dan motor Naka memasuki area parkiran gedung B. Sebenarnya ini area parkir FISIP sih, tapi karena parkiran gedung C yang merupakan area FEB sedang penuh-penuhnya, jadi Amel terpaksa membawa motor Naka ke sana.
“Aduh, ini siapa yang nelpon sih!” dengus Amel sembari menarik ke atas kaca helmnya.
Karena ponselnya tidak juga mau berhenti berbunyi, Amel terpaksa mengangkat telpon dulu alih-alih memarkirkan motor. Dan ternyata yang menelpon adalah Naka, si pemilik motor.
“Amel! Dosennya udah masuk ini lo di mana?”
“Gue masih di parkiran, belum lagi ngeprint. Suruh dosennya tunggu bentar ya, kasih gue waktu buat—–”
Tin, Tin, Tin!!
Klakson motor dari salah satu mahasiswa di belakangnya berhasil membuat emosi Amel tersulut. Mana ngeklaksonnya ngegas banget pula, orangnya pun tidak kalah ngegas.
“Minggir woy! Gue mau lewat ini udah telat, lo ngalangin jalan!”
“GUE JUGA UDAH TELAT INI, BRENGSEK!” Amel balas ngegas, berhasil membuat Naka refleks menjauhkan ponselnya dari daun telinga.
“Anjing! Lo yang salah kenapa jadi lo yang marah?!”
“Lo ngeselin!”
“Mel, telponnya gue matiin aja deh ya.”
Tanpa menunggu sahutan dari Amel, sambungan telpon telah diputuskan lebih dulu oleh Naka. Pemuda ber-hoodie navy di belakangnya masih kekeuh ngeklakson, membuat telinga Amel pengang seketika.
“Lewat mah lewat aja kali, ngeselin banget lo!” protes Amel sekaligus menghentikan tindakan pemuda berkaca mata di belakangnya sekarang.
“Ya lo minggir sedikit dong, motor gue nggak bisa lewat. Lo pikir ini parkiran punya nenek moyang lo apa?!”
Astaga, seandainya saja Amel lupa kalau ia sudah terlambat, pasti pertengkaran mereka akan semakin berlanjut. Tapi karena mereka berdua sama-sama terlambat, dan Amel merasa ia lebih waras dibanding pemuda itu, jadi ia memutuskan untuk mengalah. Kalau tidak begini pertengkaran mereka tidak akan selesai.
“Gitu aja lama!” gertak si pemuda dengan wajah sinisnya setelah motornya berhasil lewat.
“Nyolot aja lo terus!”
Setelah mendapat slot parkir, pemuda itu kembali menoleh sinis pada Amel sembari menyugar rambutnya sok kegantengan. Amel berdecih melihat tingkahnya tersebut, namun pada akhirnya tetap membiarkan pemuda itu pergi meski dengan perasaan dongkol.
“Dasar cowok aneh!” Amel melirik arloji di pergelangan tangannya untuk mengecek jam berapa sekarang, sebelum kemudian memekik kaget. “Buset, gue udah telat sepuluh menit!”
Saking paniknya, Amel sampai buru-buru memarkirkan motor Naka di salah satu slot yang kosong. Hanya saja karena terlalu gegabah, ia tidak sengaja memutar gas berlebih hingga berujung ....
BRAK!
Menabrak salah satu motor Yamaha Byson berwarna merah hitam di dekatnya.
“ASTAGA!”
Panik, Amel buru-buru turun dari motor Naka dan mengecek keadaan motor yang tidak sengaja ia tabrak barusan. Matanya kontan melotot saat menemukan adanya lecet memanjang di bagian body belakang motor, mana motornya kelihatan mulus banget lagi.
“Aduh, ini gimana motor orang gue bikin lecet!”
Amel refleks menggigiti kuku jarinya, salah satu kebiasaan gadis itu saat sedang panik. Ya memang sih lecetnya tidak seberapa parah, tapi tetap saja ia merasa bersalah. Karena kecerobohannya tersebut, motor orang justru jadi korban.
“Gue kabur aja apa ya? Mumpung nggak ada yang liat juga nih parkiran sepi.”
“Tapi, gue jahat banget nggak sih kalau kayak gini?”
“AKHHH INI GIMANA???”
Entah kesialan macam apa lagi yang akan menantinya di depan sana, segini saja Amel rasanya mau nangis saking frustasinya.
“Nggak tau, ah. Bodo amat!”
#Parkiran Gedung B
“Loh, kok balik lagi?”
Mama bertanya kebingungan saat menemukan anak sulungnya masuk ke rumah dengan cara mendobrak pintu terburu-buru, tindakan Amel tersebut berhasil mengejutkan Mama yang baru kembali dari halaman belakang, mungkin sehabis menjemur pakaian.
“Flashdisk aku ketinggalan, Ma. Mana dua puluh menit lagi presentasi pula!” jawab Amel sembari berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya berada.
Mama dibuat mendengus karena ulahnya tersebut. “Lain kali kalau ada hal penting tuh diingetin! Kebiasaan banget pelupa.”
Samar-samar terdengar suara Amel yang berteriak dari dalam kamar.
“MAMA ENGGAK NGINGETIN!”
“KOK JADI MAMA YANG DISALAHIN?!” Wanita itu balik berteriak, tidak terima.
Tidak ada jawaban balik dari sang anak, di kamarnya Amel tampak sibuk mengubek-ubek laci meja belajar guna mencari sebuah flashdisk dengan gantungan akrilik berbentuk bunga mawar tersebut. Begitu menemukannya di antara tumpukan kertas fotokopian, senyum di wajah Amel langsung mengembang. Gadis itu menghela napas lega sebelum kemudian buru-buru keluar, waktunya semakin menipis sekarang.
“MA ... AKU BALIK KE KAMPUS YA!” serunya dengan suara nyaring, sepertinya Mama sedang berada di kamar mandi sekarang. Sebab, ia hanya bisa mendengar suara Mama yang terdengar samar.
“IYA, HATI-HATI.”
_____________
#Parkiran Gedung B
“Loh, kok balik lagi?”
Mama bertanya kebingungan saat menemukan anak sulungnya masuk ke rumah dengan cara mendobrak pintu terburu-buru, tindakan Amel tersebut berhasil mengejutkan Mama yang baru kembali dari halaman belakang, mungkin sehabis menjemur pakaian.
“Flashdisk aku ketinggalan, Ma. Mana dua puluh menit lagi presentasi pula!” jawab Amel sembari berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya berada.
Mama dibuat mendengus karena ulahnya tersebut. “Lain kali kalau ada hal penting tuh diingetin! Kebiasaan banget pelupa.”
Samar-samar terdengar suara Amel yang berteriak dari dalam kamar.
“MAMA ENGGAK NGINGETIN!”
“KOK JADI MAMA YANG DISALAHIN?!” Wanita itu balik berteriak, tidak terima.
Tidak ada jawaban balik dari sang anak, di kamarnya Amel tampak sibuk mengubek-ubek laci meja belajar guna mencari sebuah flashdisk dengan gantungan akrilik berbentuk bunga mawar tersebut. Begitu menemukannya di antara tumpukan kertas fotokopian, senyum di wajah Amel langsung mengembang. Gadis itu menghela napas lega sebelum kemudian buru-buru keluar, waktunya semakin menipis sekarang.
“MA ... AKU BALIK KE KAMPUS YA!” serunya dengan suara nyaring, sepertinya Mama sedang berada di kamar mandi sekarang. Sebab, ia hanya bisa mendengar suara Mama yang terdengar samar.
“IYA, HATI-HATI.”
_____________
Sama seperti sebelumnya, kali ini pun Surya kembali datang lebih dulu ke kafe sebelum Heru.
Laki-laki itu tersenyum menyambut kedatangannya, lalu mengode salah satu pelayan untuk memesan minuman. Tapi Heru langsung menolaknya, dia bilang dia tidak akan lama. Surya mengangguk mengerti.
“Karena saya tau kamu nggak bisa lama-lama di sini, jadi saya pun nggak akan membuang waktu kamu terlalu banyak.”
Surya membenarkan posisi duduknya, pandangan matanya pun setia menatap ke arah anak itu. Mencoba mengingat setiap detil wajah Heru yang lagi-lagi mengingatkannya pada sosok Davira.
“Besok saya bakalan pergi ke Lampung dan tinggal di sana, di kampung halaman istri saya. Setelah itu mungkin bakal sulit buat saya ketemu kamu lagi, maka dari itu sebelum saya pergi saya mengajak kamu bertemu. Saya ingin melihat dan mengobrol sama kamu dulu, karena setelah itu nggak tau kapan saya bisa melihat kamu lagi.”
Jujur saja, saat mendengar itu semua langsung dari mulut Surya, Heru sama sekali tidak merasa sedih. Pertemuan mereka singkat, hanya dua kali, obrolan mereka pun tidak berlangsung lama. Heru tidak memiliki kesan yang mendalam pada sosok Surya, bahkan setelah ia tau kalau laki-laki itu adalah Ayah kandungnya.
Karena di mata Heru, Surya tetaplah orang asing.
“Saya minta maaf ya, Heru. Atas kesalahan saya di masa lalu, atas keegoisan saya, buat semuanya. Saya minta maaf, saya melakukan hal bodoh saat itu.”
“Saya ngerti kok, semua orang kan pernah melakukan kesalahan, nggak terkecuali Om. Yang penting mulai sekarang, saya harap Om bisa hidup dengan baik bersama keluarga Om di sana. Sayangi istri dan anak-anak Om, jangan sia-siakan mereka lagi.”
“Heru....”
“Makasih ya Om, udah bikin saya ada. Meskipun Om nggak bantu merawat saya sewaktu kecil, setidaknya saya cukup berterima kasih sama Om. Ada atau nggak adanya Om di sisi saya nggak masalah kok, saya masih punya Ayah, Ibun, sama Eya yang mau nerima dan sayang sama saya.”
Heru bilang dia tidak merasa sedih, dan itu terbukti dengan senyuman yang hadir di bibirnya. Dia tersenyum dengan tulus, menghargai setiap keputusan Surya dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi di masa lalu.
“Saya udah maafin Om kok, saya nggak mau menyimpan amarah apapun di hati saya buat Om karena kata Ayah itu nggak baik. Beliau berhasil mendidik saya jadi anak yang baik, yang sehat, nggak kekurangan satu apapun, sampai saya bisa sebesar ini. Om nggak perlu khawatirin saya, karena keluarga saya mengurus saya dengan baik.”
Di depannya sekarang, Surya menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Bersamaan dengan itu air matanya mulai jatuh membasahi pipi, memandang ke arah Heru dengan wajah menyesal sekaligus terharu.
Anak itu, tumbuh dengan sangat baik. Surya tidak akan mampu membayangkan seberapa besar kasih sayang yang telah Jo dan Zia berikan pada Heru selama sembilan belas tahun ini.
“Saya mengerti, dan saya tau Jo dan Zia mengurus kamu dengan baik. Maka dari itu saya pun nggak harus khawatir meninggalkan kamu bersama mereka.”
Surya mengusap air matanya yang kembali jatuh ke pipi.
“Tetap jadi anak yang baik ya, Heru. Buat diri kamu sendiri, buat Jo, buat Zia, buat Hera, buat semua orang yang sayang sama kamu. Saya bangga sama kamu, Heru.”
“Saya pamit.”
Suasana tegang di ruang tengah langsung menyambut Hera begitu dia sampai di rumah.
Baik Ayah, Ibun, maupun Heru sama-sama terdiam. Tidak ada yang berbicara satu sama lain, bahkan tidak juga menyapa Hera yang baru saja sampai. Bingung dengan keadaan tak biasa ini, gadis itu bertanya.
“Ayah, ada apa?”
Laki-laki itu mengangkat kepalanya, lalu tersenyum agak dipaksakan. Permandangan sendu di ruangan ini membuat kening gadis itu berkerut, sebelum kemudian mengambil tempat di sebelah kiri Heru.
“Kok kayak lagi berduka gini sih? Kenapa? Ada yang meninggal dunia?” tanya Hera kebingungan, Heru pun hanya menunduk sejak tadi.
“Nggak ada yang meninggal, Eya.” Ibun menjawab.
“Terus kenapa auranya suram gini?”
“Ayah aja deh yang jelasin.”
Mau tidak mau Hera yang tadi memusatkan perhatiannya ke Ibun kini berpindah pada Ayah. Laki-laki itu nampak menghela napas berat, sebelum kemudian mulai berucap dengan nada lemah.
“Jadi, Eya. Sebenarnya ... Heru bukan saudara kembar kamu.”
“APA?!”
Gadis itu langsung menoleh pada Heru, namun pemuda itu tidak juga mengangkat kepalanya sejak tadi. Setia menunduk sembari memilin jemarinya gelisah. Bahkan Ibun pun memilih untuk buang muka, Hera jadi semakin bingung.
“Ayah lagi nge-prank ya?”
“Nggak, Eya. Ayah serius. Sejujurnya Heru itu anak Tante Vira, sahabat Mami waktu kuliah.”
“Tante Vira yang udah meninggal itu?”
Ayah mengangguk.
“KOK BISA?!” Hera kembali memandangi Heru, diguncangnya kasar bahu pemuda itu hingga mau tidak mau tatapan mereka saling bertemu. “Kasih tau ke gue, Heru, Ayah lagi bercanda kan? Ini cuma prank kan? Lo saudara gue, Heru!”
“Ayah nggak bohong kok, gue emang bukan anak Ayah sama Ibun. Gue cuma anak adopsi, Eya.”
“Bohong,” setetes air mata langsung jatuh ke pipi Hera yang hari ini dipoles make up tipis. “Lo bohong kan? Ayah, Ibun, sumpah ini nggak lucu!”
“Eya,” Ibun meraih jemari tangan Hera, lalu menggenggamnya. “Ini bukan becandaan, kami serius. Heru bukan anak kandung Ayah sama Ibun.”
“Nggak!” Hera menggeleng kuat-kuat, di sebelahnya ada Heru yang nampak berusaha keras menahan tangis. “Itu nggak mungkin, jelas-jelas dari kecil Eya udah sama Heru. Gimana ceritanya Heru bukan anak Ayah sama Ibun? Ini mustahil!”
“Ayah....”
Ibun kembali memandangi Ayah, memberi kode agar laki-laki itu yang menjelaskan semuanya. Perhatian Hera pun langsung tertuju pada Ayah.
“Dua puluh tahun lalu, sewaktu Eya lahir, itu hari di mana Heru juga lahir. Bedanya abang lahir tujuh jam lebih dulu ketimbang Eya, kalian bukan beda tujuh menit. Davira meninggal setelah melahirkan Heru akibat dari pendarahan berat, sedangkan laki-laki yang menghamilinya pergi ke luar negeri untuk mengejar pendidikan S2-nya. Orang tua Davira telah meninggal dunia, hanya Ibun satu-satunya orang yang dekat sama dia. Maka dari itu kami memutuskan untuk mengadopsi Heru, dan menjadikan dia sebagai saudara kamu, Eya.”
Penjelasan Ayah tak ayal membuat Hera semakin menangis, bahunya terguncang akibat dari sesegukannya. Di sebelahnya pun Heru mulai menangis, mendengar kebenaran dari semua ini membuat perasaannya jadi semakin tidak karuan.
Mengetahui kenyataan bahwa ia bukan saudara kembar Hera, bukan anak Ayah dan Ibun, Ibunya telah meninggal dunia, dan dia adalah anak yang tidak diharapkan untuk ada membuat Heru sedih. Semua fakta ini menghantam telak perasaan Heru, membuat air matanya kembali jatuh dan dadanya semakin sesak.
Pemuda itu terisak di tempatnya, menangis tersedu hingga membuat Ibun ikut menangis. Ayah mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh di depan semua orang.
Di sebelahnya, Hera mengulurkan tangannya untuk memeluk Heru, membawa pemuda itu ke dalam dekapannya lalu menangis di sana.
“Heru saudara Eya kok. Nggak perduli meski kita bukan saudara kandung, tapi Heru yang selalu ada buat Eya. Eya sayang banget sama Heru, Eya nggak mau kehilangan Heru.”
Tangis Heru semakin pecah saat mendengar Hera bicara begitu, dipeluknya tubuh gadis itu seerat yang ia bisa. Menyalurkan rasa sedihnya di sana sembari berharap air matanya bisa sedikit menghapus rasa sakitnya.
“Ayah sama Ibun sayang banget abang. Abang diterima di sini, abang juga di harapkan di sini. Kami udah anggap abang kayak anak kami sendiri. Jadi abang jangan sedih ya? Nggak akan ada yang berubah kok, Almaheru Tarachandra tetaplah anak Ayah sama Ibun selamanya.”
Dan ucapan Ibun barusan berhasil membuat Heru semakin terisak di pelukan Hera.
Tadinya, Heru sudah sampai ke kampus di jam sebelas pagi. Tapi sialnya ia justru meninggalkan makalah presentasinya di rumah, mau minta tolong Hera tapi gadis itu juga sama ada kelas. Alhasil, mau tidak mau Heru terpaksa balik ke rumah untuk mengambil makalahnya yang tertinggal.
“Lah kok ada mobil Ayah?”
Kening Heru berkerut dalam saat mendapati mobil abu-abu milik Ayahnya terparkir di pekarangan rumah. Seharusnya di jam segini Ayah masih di kantor, tapi kenapa sekarang jutru ada di rumah?
Di tengah kebingungannya tersebut, Heru melepas helm di kepala dan memarkirkan motornya di samping mobil Ayah. Pemuda itu berjalan santai menuju teras rumah sambil jemari telunjuknya sibuk memutar-mutar kunci motor, namun langkahnya langsung terhenti tepat di depan pintu yang celahnya sedikit terbuka. Dari sini, Heru bisa melihat Ayahnya yang masih mengenakan setelan kantornya sedang berbincang dengan Ibun yang wajahnya nampak gusar.
“Jadi, Heru kemarin beneran nemuin Surya?”
Deg
Pertanyaan Ibun membuat Heru langsung memusatkan perhatiannya pada wanita tersebut, wajah gusarnya membuat Heru kebingungan. Terlebih lagi topik yang sedang mereka bicarakan adalah dirinya sendiri.
“Iya, Bun. Ayah udah konfirmasi langsung sama Surya pagi tadi, dia betul-betul menemui Heru di kafe kemarin.”
“Surya cerita semuanya?”
“Iya.”
“Astaga....” Ibun tampak memijat batang hidungnya frustasi. “Terus sekarang gimana, Yah? Heru gimana?”
Tidak jauh berbeda dengan Ibun, Ayah pun nampak pusing dengan keadaan ini. Dasi yang semula terikat rapi di kerah kemejanya mulai mengendur.
“Melihat dari reaksi Heru kemarin, sepertinya Heru mulai percaya kalau dia anak Davira dan Surya. Tapi memang begitu kan kenyataannya? Heru bukan anak kandung kita, Bun. Kita juga nggak bisa terus-terusan menyembunyikan fakta itu dari dia.”
Ucapan Ayah membuat lutut Heru sontak melemas, pemuda itu berpegang erat pada gagang pintu guna menyangga tubuhnya agar tidak jatuh terduduk di lantai. Pandangannya mulai mengabur seiring dengan air matanya yang mulai menggenang di pelupuk mata, memandang jauh pada Ayah dan Ibun yang masih belum menyadari kehadirannya.
“Jadi benar kalau aku bukan anak Ayah sama Ibun?” monolog Heru dengan pandangan yang masih tertuju pada kedua orang tuanya yang tengah berbincang di sofa.
“Jadi menurut Ayah kita juga harus jujur sama Heru?”
“Setidaknya itu yang terbaik buat kita semua, terlebih lagi buat Heru. Dia udah 19 tahun, Bun. Dia udah cukup dewasa untuk mengerti semua itu.”
Ibun menggeleng berulang kali, wajahnya mulai basah oleh air matanya sendiri.
“Nggak bisa, Yah. Ibun nggak mau. Gimana kalau setelah itu Heru benci sama kita? Ibun sayang banget sama Heru, Ibun udah anggap Heru kayak anak sendiri. Ibun nggak mau kalau suatu saat nanti Heru pergi ninggalin kita dan tinggal sama Surya, Ibun nggak rela, Yah.”
Ayah menarik tubuh Ibun ke pelukannya saat melihat wanita itu semakin terisak. Kalau boleh jujur, Ayah juga tidak mau kalau Heru tau fakta ini. Kalau bisa, seumur hidupnya Heru cukup tau kalau dia anak Jo dan Zia. Bukan anak Surya dan Davira. Setengah hidupnya sudah ia habiskan untuk menutupi kebenaran tersebut dari anak-anak, namun kehadiran mendadak Surya membuat semuanya jadi kacau.
“Bun, kalau bisa Ayah juga nggak mau Heru sampai tau kalau dia anak adopsi. Ayah nggak mau Heru merasa dirinya buruk dan berpikir yang macam-macam, Ayah juga sayang banget sama Heru. Tapi menutupi fakta itu dari Heru juga bukan keputusan yang baik, cepat atau lambat Heru juga pasti bakalan tau. Hera juga pasti bakalan tau.”
“Ayah ... Ibun.”
Keduanya sontak terkejut saat mendapati orang yang kini sedang mereka bicarakan sudah berdiri di ambang pintu, setetes air matanya jatuh di atas lantai yang mana membuat Ayah dan Ibun sama-sama tertegun.
“Aku bukan anak kalian ya?”
'Sudah berapa lama Heru berdiri di sana dan mendengar semuanya?'
“Heru ... ternyata kamu sudah sebesar ini ya?”
Heru memandangi laki-laki seumuran Ayahnya yang kini duduk di seberang meja.
Wajah laki-laki itu, yang memperkenalkan namanya sebagai Surya, nampak asing. Heru belum pernah sekalipun bertemu dengannya, ini kali pertama Heru bisa melihat sosok Surya yang mengaku-ngaku sebagai Papa kandungnya tersebut.
“Langsung aja, Om. Saya nggak punya banyak waktu.”
Di seberang sana, Surya nampak tertegun. Dipandanginya wajah sang anak yang menurutnya sangat mirip dengan mendiang Davira, bahkan hingga ke warna kulitnya yang rada kecokelatan pun menurun dari perempuan itu. Satu-satunya yang membuat Surya merasa mirip dengan Heru hanyalah bagian mata dan hidungnya yang tidak terlalu mancung, namun meskipun begitu melihat dari caranya bicara sekarang mengingatkan Surya pada dirinya sendiri di masa lalu.
“Sejujurnya ada banyak hal yang mau saya obrolin sama kamu, tapi keliatannya kamu nggak tertarik ya?”
Suasana kafe di jam enam sore membuatnya kelihatan begitu ramai, Surya sampai harus sedikit meninggikan suaranya agar bisa terdengar sampai ke telinga Heru.
“Heru, mungkin setelah kamu mendengar semua penjelasan saya kamu bakalan benci sama saya.”
“Biar saya putuskan sendiri nanti mau benci apa enggak sama, Om. Bisa nggak langsung ke intinya aja? Saudara saya udah ngechatin dari tadi nyuruh pulang.”
“Baiklah, saya akan langsung menjelaskan.” Laki-laki berumur awal empat puluhan itu terlihat menarik napas panjang, sebelum kemudian lanjut bicara. “22 tahun yang lalu saya pertama kali bertemu dengan Davira, kamu sendiri mengenalnya kan?”
Heru mengangguk mengiyakan. “Tapi cuma dengar cerita dari Ibun aja, saya nggak pernah sekalipun bertemu dengan dia.”
“Jelas saja kamu nggak pernah ketemu Davira, karena setau saya Davira meninggal begitu melahirkan kamu.”
Tunggu, apa maksudnya itu....
“Saya menyukai Davira sejak pandangan pertama, begitupula dengan dia. Singkat cerita, kami menjalin hubungan semasa kuliah hingga menjelang wisuda. Kebetulan saat itu saya baru saja mendapat kabar bahwa beasiswa S2 yang saya ajukan di Australia diterima, saya senang sekali. Tapi Davira kelihatan sedih, saya kira dia sedih karena kami harus berpisah. Tapi ternyata alasannya lebih dari itu.”
Surya mengangkat kepalanya hingga pandangan mereka bisa bertemu. “Saat itu Davira bilang kalau dia hamil anak saya, dan anak itu adalah—–”
“Saya?” Heru memotong ucapan Surya lebih dulu. “Cih, Om pasti bohong kan?”
Namun jawaban Surya berkebalikan dari harapan Heru.
“Anak yang dikandung Davira memang kamu, Heru. Tapi waktu itu saya nggak mau percaya, saya malah menuduh Davira hamil karena laki-laki lain. Davira marah pada saya, begitu pun dengan saya yang masih shock dengan kenyataan kalau saat itu saya akan menjadi seorang Ayah. Saya nggak bisa terima itu, Heru. Saya tidak ingin Davira menghalangi saya untuk mengejar cita-cita dan karir saya, maka dari itu tanpa pamit saya meninggalkan Davira di sini untuk pergi ke Australia. Sebuah keputusan yang bodoh, sebab setelah itu saya menyesal. Saya menyesal meninggalkan Davira dan kamu, Heru.”
Sebuah kenyataan pahit yang baru Heru sadari hari ini, fakta bahwa ia tidak pernah diharapkan oleh Surya benar-benar menyakiti perasaan Heru ketimbang kenyataan bahwa ia bukanlah anak kandung Ayah dan Ibun.
“Terus kenapa sekarang Om baru datang ke saya? Kenapa nggak dari dulu aja?”
Surya nampak menghela napas, wajahnya menunjukkan ekspresi penyesalan yang begitu ketara. Tidak dibuat-buat.
“Itu lah kesalahan saya. Seharusnya saya tidak meninggalkan Davira dulu, seharusnya saya menemani dia saat melahirkan kamu, dan membesarkan kamu bersama Davira sama-sama. Tapi saat itu saya sangat egois, Heru. Saya tetap pergi ke Australia dan baru kembali begitu S2 saya selesai. Tapi itu sudah terlambat, Davira meninggal saat melahirkan kamu dan tanpa sempat mendengar permintaan maaf dari saya. Selama bertahun-tahun pun saya sudah coba cari kamu, Heru. Yang saya tau kamu cuma diadopsi oleh Jovanka dan Zia, karena pihak rumah sakit menginformasikan begitu. Tapi saya selalu gagal menemukan mereka, saya gagal menemukan kamu Heru.”
Heru ingat sewaktu kecil ia dan keluarganya memang kerap kali berpindah rumah. Pertama di Jogja, lalu pindah ke Bandung, pindah lagi ke Lampung, pindah lagi ke Banjarmasin, hingga akhirnya memilih untuk menetap di Jakarta saat ia dan Hera masuk SMA. Itulah kenapa Heru tidak memiliki teman akrab sewaktu sekolah, karena mereka terlalu sering berpindah-pindah. Tapi sekarang Heru paham kenapa orang tuanya melakukan itu dulu, mungkin karena mereka tidak ingin ia bertemu dengan Surya.
“Heru....” Surya meraih sebelah tangan Heru yang ada di atas meja. “Maafkan saya ya, saya terlambat menemui kamu.”
Namun secara tak terduga, Heru justru menarik tangannya dan menjauhkan itu dari Surya. Laki-laki di depannya nampak tertegun, dadanya mencelos saat menyaksikan bagaimana tatapan dingin Heru berhasil menusuk perasaannya.
“Setelah apa yang Om lakukan di masa lalu, emangnya Om pantas dapat permintaan maaf dari saya?”
“Heru....”
“Dari awal saya adalah anak yang nggak diharapkan kan, Om? Kehadiran saya dianggap ancaman bagi pendidikan dan karir, Om. Jadi seharusnya Om pun nggak perlu repot-repot buat cari saya, Om nggak usah menemui saya, karena Om nggak berhak buat itu.”
Kepala Surya tertunduk seiring dengan air mata Heru yang menggenang di pelupuk matanya. Perasaan bersalahnya selama bertahun-tahun akan selalu menghantui Surya sampai kapanpun, karena bahkan anak itu pun tidak bisa memaafkannya. Kesalahannya di masa lalu memang tidak termaafkan.
“Ayah sama Ibun merawat saya dengan baik kok, mereka menyayangi saya layaknya anak sendiri. Saya bisa hidup dan tumbuh sebesar ini karena mereka, Om nggak berkontribusi apapun dalam hidup saya. Om ada ataupun nggak ada saya nggak perduli, karena di mata saya Om hanyalah orang asing. Saya nggak butuh Om dalam hidup saya.”
“Saya mengerti kamu marah, Heru. Saya juga nggak berniat sama sekali buat ngerebut kamu dari Jo dan Zia. Saya menemui kamu hanya ingin memberitahu kebenarannya, saya hanya ingin diakui Ayah sama kamu. Tapi sepertinya keinginan dan harapan saya terlalu berlebihan ya?”
“Dalam hidup saya, saya hanya memiliki satu orang Ayah yaitu Ayah Jo. Bukan anda,”
Heru berdiri, menciptakan suara gesekan kursi yang beradu dengan lantai berlapis semen di bawahnya. “Anggap aja kita nggak pernah ketemu, dan saya pun bakal menganggap pembicaraan ini nggak pernah ada. Tolong jangan temui saya lagi, dan berhenti mengirim pesan setelah ini karena kontak Om bakal saya block. Permisi.”
Ceklek
Hera baru saja meletakkan ponselnya ke nakas saat pintu kamarnya dibuka tanpa diketuk lebih dulu oleh Heru.
Mata pemuda itu membulat, mungkin kaget karena menemukan Hera sudah bangun dan kini duduk di atas kasur. Namun tidak lama setelahnya Heru berhasil menguasai diri dan merubah raut wajahnya kembali datar, seperti sebelum-sebelumnya.
“Heru....”
Tidak ada jawaban, Heru masih saja bergerak dalam diam. Pemuda itu meletakkan nampan berisi sup ayam beserta nasinya, segelas air putih, juga pil obat untuk Hera. Tangan Heru terulur ke kening sang kembaran untuk mengecek suhu tubuhnya. Wajahnya masih datar memang, tapi diam-diam dia menghela napas lega saat tau demam Hera sudah turun.
“Lain kali jangan hujan-hujanan, kalau demam nyusahin orang.”
Huh, Heru masih saja menjutekinya. Hera hanya bisa mengangguk pasrah, kepalanya tertunduk sambil mencoba menahan tangis. Lalu dengan suara pelan ia berucap,
“Maaf,”
“Supnya diabisin, Ibun udah capek-capek bikinnya.”
“Iya.”
“Obatnya juga jangan lupa diminum.”
“Hm.”
“Ya udah kalau gitu.”
“Heru,”
Saat tau Heru hendak berniat pergi, Hera sudah lebih dulu menahannya karena masih ada sesuatu yang ingin ia bicarakan pada pemuda itu.
Pandangan Heru turun pada jari kelingkingnya yang baru saja digenggam Hera, membuat pemuda itu diam-diam mengulum senyum. Hera sendiri masih menunduk, menyembunyikan wajah di antara helai rambut panjangnya yang tergerai kusut.
“Udahan dong marahnya, gue kangen Heru yang biasanya.”
“Emang Heru yang biasanya gimana?”
“Yang bawel, yang usil, yang berisik, yang nyebelin. Bukan Heru yang cuek, pendiam, sinis, jutek ke gue,” masih dengan menggenggam kelingking Heru, Hera mendongakkan kepalanya hingga pandangan mereka bisa bertemu. “Maafin gue ya, Heru.”
Sejujurnya Heru pun tidak tega melihat Hera seperti ini, apalagi gadis itu ketara sekali ingin menangisnya. Matanya sudah berkaca-kaca, sekali berkedip saja air matanya pasti langsung turun.
“Heru ... hiks. Jangan diemin gue,”
Tuh kan, nangis anaknya.
Heru menghela napas dan kembali duduk di kasur Hera, diraihnya tubuh Hera mendekat dan memeluknya seperti biasa seperti saat mereka selesai bertengkar. Ini Pelukan Damai.
“Cup, cup, cup. Masa gitu dong nangis sih?”
Tangis Hera semakin kencang dibuatnya, lengannya pun melingkar erat di tubuh Heru. Pemuda itu terkekeh pelan selagi tangannya mengusap lembut rambut panjang Hera.
“Iya deh, gue maafin. Tapi udahan nangisnya, lo jadi makin jelek kalau nangis,” ejek Heru dengan usilnya.
Pelukan mereka mengendur. Dengan wajah sembab dan masih sesegukan, Hera menatap Heru dengan tatapan puppy eyes miliknya.
“Beneran dimaafin?”
“Iya.”
“Berarti nggak marah lagi?”
“Iya.”
“Nggak jutekin gue lagi kan?”
“Iya.”
Bibir Hera mengerucut, sementara itu air matanya kembali mengumpul. Sebelum itu benar-benar tumpah, Hera sudah lebih dulu memeluk Heru dan menyembunyikan wajahnya di sana.
“Makasih, Heru. Dan maaf sekali lagi, gue janji nggak bakal gituin lo lagi.”
“Maaf juga karena udah diemin lo kemarin-kemarin, Eya. Janji nggak gitu lagi.”