Yang Sebenarnya
“Heru ... ternyata kamu sudah sebesar ini ya?”
Heru memandangi laki-laki seumuran Ayahnya yang kini duduk di seberang meja.
Wajah laki-laki itu, yang memperkenalkan namanya sebagai Surya, nampak asing. Heru belum pernah sekalipun bertemu dengannya, ini kali pertama Heru bisa melihat sosok Surya yang mengaku-ngaku sebagai Papa kandungnya tersebut.
“Langsung aja, Om. Saya nggak punya banyak waktu.”
Di seberang sana, Surya nampak tertegun. Dipandanginya wajah sang anak yang menurutnya sangat mirip dengan mendiang Davira, bahkan hingga ke warna kulitnya yang rada kecokelatan pun menurun dari perempuan itu. Satu-satunya yang membuat Surya merasa mirip dengan Heru hanyalah bagian mata dan hidungnya yang tidak terlalu mancung, namun meskipun begitu melihat dari caranya bicara sekarang mengingatkan Surya pada dirinya sendiri di masa lalu.
“Sejujurnya ada banyak hal yang mau saya obrolin sama kamu, tapi keliatannya kamu nggak tertarik ya?”
Suasana kafe di jam enam sore membuatnya kelihatan begitu ramai, Surya sampai harus sedikit meninggikan suaranya agar bisa terdengar sampai ke telinga Heru.
“Heru, mungkin setelah kamu mendengar semua penjelasan saya kamu bakalan benci sama saya.”
“Biar saya putuskan sendiri nanti mau benci apa enggak sama, Om. Bisa nggak langsung ke intinya aja? Saudara saya udah ngechatin dari tadi nyuruh pulang.”
“Baiklah, saya akan langsung menjelaskan.” Laki-laki berumur awal empat puluhan itu terlihat menarik napas panjang, sebelum kemudian lanjut bicara. “22 tahun yang lalu saya pertama kali bertemu dengan Davira, kamu sendiri mengenalnya kan?”
Heru mengangguk mengiyakan. “Tapi cuma dengar cerita dari Ibun aja, saya nggak pernah sekalipun bertemu dengan dia.”
“Jelas saja kamu nggak pernah ketemu Davira, karena setau saya Davira meninggal begitu melahirkan kamu.”
Tunggu, apa maksudnya itu....
“Saya menyukai Davira sejak pandangan pertama, begitupula dengan dia. Singkat cerita, kami menjalin hubungan semasa kuliah hingga menjelang wisuda. Kebetulan saat itu saya baru saja mendapat kabar bahwa beasiswa S2 yang saya ajukan di Australia diterima, saya senang sekali. Tapi Davira kelihatan sedih, saya kira dia sedih karena kami harus berpisah. Tapi ternyata alasannya lebih dari itu.”
Surya mengangkat kepalanya hingga pandangan mereka bisa bertemu. “Saat itu Davira bilang kalau dia hamil anak saya, dan anak itu adalah—–”
“Saya?” Heru memotong ucapan Surya lebih dulu. “Cih, Om pasti bohong kan?”
Namun jawaban Surya berkebalikan dari harapan Heru.
“Anak yang dikandung Davira memang kamu, Heru. Tapi waktu itu saya nggak mau percaya, saya malah menuduh Davira hamil karena laki-laki lain. Davira marah pada saya, begitu pun dengan saya yang masih shock dengan kenyataan kalau saat itu saya akan menjadi seorang Ayah. Saya nggak bisa terima itu, Heru. Saya tidak ingin Davira menghalangi saya untuk mengejar cita-cita dan karir saya, maka dari itu tanpa pamit saya meninggalkan Davira di sini untuk pergi ke Australia. Sebuah keputusan yang bodoh, sebab setelah itu saya menyesal. Saya menyesal meninggalkan Davira dan kamu, Heru.”
Sebuah kenyataan pahit yang baru Heru sadari hari ini, fakta bahwa ia tidak pernah diharapkan oleh Surya benar-benar menyakiti perasaan Heru ketimbang kenyataan bahwa ia bukanlah anak kandung Ayah dan Ibun.
“Terus kenapa sekarang Om baru datang ke saya? Kenapa nggak dari dulu aja?”
Surya nampak menghela napas, wajahnya menunjukkan ekspresi penyesalan yang begitu ketara. Tidak dibuat-buat.
“Itu lah kesalahan saya. Seharusnya saya tidak meninggalkan Davira dulu, seharusnya saya menemani dia saat melahirkan kamu, dan membesarkan kamu bersama Davira sama-sama. Tapi saat itu saya sangat egois, Heru. Saya tetap pergi ke Australia dan baru kembali begitu S2 saya selesai. Tapi itu sudah terlambat, Davira meninggal saat melahirkan kamu dan tanpa sempat mendengar permintaan maaf dari saya. Selama bertahun-tahun pun saya sudah coba cari kamu, Heru. Yang saya tau kamu cuma diadopsi oleh Jovanka dan Zia, karena pihak rumah sakit menginformasikan begitu. Tapi saya selalu gagal menemukan mereka, saya gagal menemukan kamu Heru.”
Heru ingat sewaktu kecil ia dan keluarganya memang kerap kali berpindah rumah. Pertama di Jogja, lalu pindah ke Bandung, pindah lagi ke Lampung, pindah lagi ke Banjarmasin, hingga akhirnya memilih untuk menetap di Jakarta saat ia dan Hera masuk SMA. Itulah kenapa Heru tidak memiliki teman akrab sewaktu sekolah, karena mereka terlalu sering berpindah-pindah. Tapi sekarang Heru paham kenapa orang tuanya melakukan itu dulu, mungkin karena mereka tidak ingin ia bertemu dengan Surya.
“Heru....” Surya meraih sebelah tangan Heru yang ada di atas meja. “Maafkan saya ya, saya terlambat menemui kamu.”
Namun secara tak terduga, Heru justru menarik tangannya dan menjauhkan itu dari Surya. Laki-laki di depannya nampak tertegun, dadanya mencelos saat menyaksikan bagaimana tatapan dingin Heru berhasil menusuk perasaannya.
“Setelah apa yang Om lakukan di masa lalu, emangnya Om pantas dapat permintaan maaf dari saya?”
“Heru....”
“Dari awal saya adalah anak yang nggak diharapkan kan, Om? Kehadiran saya dianggap ancaman bagi pendidikan dan karir, Om. Jadi seharusnya Om pun nggak perlu repot-repot buat cari saya, Om nggak usah menemui saya, karena Om nggak berhak buat itu.”
Kepala Surya tertunduk seiring dengan air mata Heru yang menggenang di pelupuk matanya. Perasaan bersalahnya selama bertahun-tahun akan selalu menghantui Surya sampai kapanpun, karena bahkan anak itu pun tidak bisa memaafkannya. Kesalahannya di masa lalu memang tidak termaafkan.
“Ayah sama Ibun merawat saya dengan baik kok, mereka menyayangi saya layaknya anak sendiri. Saya bisa hidup dan tumbuh sebesar ini karena mereka, Om nggak berkontribusi apapun dalam hidup saya. Om ada ataupun nggak ada saya nggak perduli, karena di mata saya Om hanyalah orang asing. Saya nggak butuh Om dalam hidup saya.”
“Saya mengerti kamu marah, Heru. Saya juga nggak berniat sama sekali buat ngerebut kamu dari Jo dan Zia. Saya menemui kamu hanya ingin memberitahu kebenarannya, saya hanya ingin diakui Ayah sama kamu. Tapi sepertinya keinginan dan harapan saya terlalu berlebihan ya?”
“Dalam hidup saya, saya hanya memiliki satu orang Ayah yaitu Ayah Jo. Bukan anda,”
Heru berdiri, menciptakan suara gesekan kursi yang beradu dengan lantai berlapis semen di bawahnya. “Anggap aja kita nggak pernah ketemu, dan saya pun bakal menganggap pembicaraan ini nggak pernah ada. Tolong jangan temui saya lagi, dan berhenti mengirim pesan setelah ini karena kontak Om bakal saya block. Permisi.”