“Udahan dong marahnya”

Ceklek

Hera baru saja meletakkan ponselnya ke nakas saat pintu kamarnya dibuka tanpa diketuk lebih dulu oleh Heru.

Mata pemuda itu membulat, mungkin kaget karena menemukan Hera sudah bangun dan kini duduk di atas kasur. Namun tidak lama setelahnya Heru berhasil menguasai diri dan merubah raut wajahnya kembali datar, seperti sebelum-sebelumnya.

“Heru....”

Tidak ada jawaban, Heru masih saja bergerak dalam diam. Pemuda itu meletakkan nampan berisi sup ayam beserta nasinya, segelas air putih, juga pil obat untuk Hera. Tangan Heru terulur ke kening sang kembaran untuk mengecek suhu tubuhnya. Wajahnya masih datar memang, tapi diam-diam dia menghela napas lega saat tau demam Hera sudah turun.

“Lain kali jangan hujan-hujanan, kalau demam nyusahin orang.”

Huh, Heru masih saja menjutekinya. Hera hanya bisa mengangguk pasrah, kepalanya tertunduk sambil mencoba menahan tangis. Lalu dengan suara pelan ia berucap,

“Maaf,”

“Supnya diabisin, Ibun udah capek-capek bikinnya.”

“Iya.”

“Obatnya juga jangan lupa diminum.”

Hm.”

“Ya udah kalau gitu.”

“Heru,”

Saat tau Heru hendak berniat pergi, Hera sudah lebih dulu menahannya karena masih ada sesuatu yang ingin ia bicarakan pada pemuda itu.

Pandangan Heru turun pada jari kelingkingnya yang baru saja digenggam Hera, membuat pemuda itu diam-diam mengulum senyum. Hera sendiri masih menunduk, menyembunyikan wajah di antara helai rambut panjangnya yang tergerai kusut.

“Udahan dong marahnya, gue kangen Heru yang biasanya.”

“Emang Heru yang biasanya gimana?”

“Yang bawel, yang usil, yang berisik, yang nyebelin. Bukan Heru yang cuek, pendiam, sinis, jutek ke gue,” masih dengan menggenggam kelingking Heru, Hera mendongakkan kepalanya hingga pandangan mereka bisa bertemu. “Maafin gue ya, Heru.”

Sejujurnya Heru pun tidak tega melihat Hera seperti ini, apalagi gadis itu ketara sekali ingin menangisnya. Matanya sudah berkaca-kaca, sekali berkedip saja air matanya pasti langsung turun.

“Heru ... hiks. Jangan diemin gue,”

Tuh kan, nangis anaknya.

Heru menghela napas dan kembali duduk di kasur Hera, diraihnya tubuh Hera mendekat dan memeluknya seperti biasa seperti saat mereka selesai bertengkar. Ini Pelukan Damai.

Cup, cup, cup. Masa gitu dong nangis sih?”

Tangis Hera semakin kencang dibuatnya, lengannya pun melingkar erat di tubuh Heru. Pemuda itu terkekeh pelan selagi tangannya mengusap lembut rambut panjang Hera.

“Iya deh, gue maafin. Tapi udahan nangisnya, lo jadi makin jelek kalau nangis,” ejek Heru dengan usilnya.

Pelukan mereka mengendur. Dengan wajah sembab dan masih sesegukan, Hera menatap Heru dengan tatapan puppy eyes miliknya.

“Beneran dimaafin?”

“Iya.”

“Berarti nggak marah lagi?”

“Iya.”

“Nggak jutekin gue lagi kan?”

“Iya.”

Bibir Hera mengerucut, sementara itu air matanya kembali mengumpul. Sebelum itu benar-benar tumpah, Hera sudah lebih dulu memeluk Heru dan menyembunyikan wajahnya di sana.

“Makasih, Heru. Dan maaf sekali lagi, gue janji nggak bakal gituin lo lagi.”

“Maaf juga karena udah diemin lo kemarin-kemarin, Eya. Janji nggak gitu lagi.”