Sebuah Fakta
Tadinya, Heru sudah sampai ke kampus di jam sebelas pagi. Tapi sialnya ia justru meninggalkan makalah presentasinya di rumah, mau minta tolong Hera tapi gadis itu juga sama ada kelas. Alhasil, mau tidak mau Heru terpaksa balik ke rumah untuk mengambil makalahnya yang tertinggal.
“Lah kok ada mobil Ayah?”
Kening Heru berkerut dalam saat mendapati mobil abu-abu milik Ayahnya terparkir di pekarangan rumah. Seharusnya di jam segini Ayah masih di kantor, tapi kenapa sekarang jutru ada di rumah?
Di tengah kebingungannya tersebut, Heru melepas helm di kepala dan memarkirkan motornya di samping mobil Ayah. Pemuda itu berjalan santai menuju teras rumah sambil jemari telunjuknya sibuk memutar-mutar kunci motor, namun langkahnya langsung terhenti tepat di depan pintu yang celahnya sedikit terbuka. Dari sini, Heru bisa melihat Ayahnya yang masih mengenakan setelan kantornya sedang berbincang dengan Ibun yang wajahnya nampak gusar.
“Jadi, Heru kemarin beneran nemuin Surya?”
Deg
Pertanyaan Ibun membuat Heru langsung memusatkan perhatiannya pada wanita tersebut, wajah gusarnya membuat Heru kebingungan. Terlebih lagi topik yang sedang mereka bicarakan adalah dirinya sendiri.
“Iya, Bun. Ayah udah konfirmasi langsung sama Surya pagi tadi, dia betul-betul menemui Heru di kafe kemarin.”
“Surya cerita semuanya?”
“Iya.”
“Astaga....” Ibun tampak memijat batang hidungnya frustasi. “Terus sekarang gimana, Yah? Heru gimana?”
Tidak jauh berbeda dengan Ibun, Ayah pun nampak pusing dengan keadaan ini. Dasi yang semula terikat rapi di kerah kemejanya mulai mengendur.
“Melihat dari reaksi Heru kemarin, sepertinya Heru mulai percaya kalau dia anak Davira dan Surya. Tapi memang begitu kan kenyataannya? Heru bukan anak kandung kita, Bun. Kita juga nggak bisa terus-terusan menyembunyikan fakta itu dari dia.”
Ucapan Ayah membuat lutut Heru sontak melemas, pemuda itu berpegang erat pada gagang pintu guna menyangga tubuhnya agar tidak jatuh terduduk di lantai. Pandangannya mulai mengabur seiring dengan air matanya yang mulai menggenang di pelupuk mata, memandang jauh pada Ayah dan Ibun yang masih belum menyadari kehadirannya.
“Jadi benar kalau aku bukan anak Ayah sama Ibun?” monolog Heru dengan pandangan yang masih tertuju pada kedua orang tuanya yang tengah berbincang di sofa.
“Jadi menurut Ayah kita juga harus jujur sama Heru?”
“Setidaknya itu yang terbaik buat kita semua, terlebih lagi buat Heru. Dia udah 19 tahun, Bun. Dia udah cukup dewasa untuk mengerti semua itu.”
Ibun menggeleng berulang kali, wajahnya mulai basah oleh air matanya sendiri.
“Nggak bisa, Yah. Ibun nggak mau. Gimana kalau setelah itu Heru benci sama kita? Ibun sayang banget sama Heru, Ibun udah anggap Heru kayak anak sendiri. Ibun nggak mau kalau suatu saat nanti Heru pergi ninggalin kita dan tinggal sama Surya, Ibun nggak rela, Yah.”
Ayah menarik tubuh Ibun ke pelukannya saat melihat wanita itu semakin terisak. Kalau boleh jujur, Ayah juga tidak mau kalau Heru tau fakta ini. Kalau bisa, seumur hidupnya Heru cukup tau kalau dia anak Jo dan Zia. Bukan anak Surya dan Davira. Setengah hidupnya sudah ia habiskan untuk menutupi kebenaran tersebut dari anak-anak, namun kehadiran mendadak Surya membuat semuanya jadi kacau.
“Bun, kalau bisa Ayah juga nggak mau Heru sampai tau kalau dia anak adopsi. Ayah nggak mau Heru merasa dirinya buruk dan berpikir yang macam-macam, Ayah juga sayang banget sama Heru. Tapi menutupi fakta itu dari Heru juga bukan keputusan yang baik, cepat atau lambat Heru juga pasti bakalan tau. Hera juga pasti bakalan tau.”
“Ayah ... Ibun.”
Keduanya sontak terkejut saat mendapati orang yang kini sedang mereka bicarakan sudah berdiri di ambang pintu, setetes air matanya jatuh di atas lantai yang mana membuat Ayah dan Ibun sama-sama tertegun.
“Aku bukan anak kalian ya?”
'Sudah berapa lama Heru berdiri di sana dan mendengar semuanya?'