Insiden Parkiran

“Loh, kok balik lagi?”

Mama bertanya kebingungan saat menemukan anak sulungnya masuk ke rumah dengan cara mendobrak pintu terburu-buru. Tindakan Amel tersebut berhasil mengejutkan Mama yang baru kembali dari halaman belakang, mungkin sehabis menjemur pakaian.

Flashdisk aku ketinggalan, Ma. Mana dua puluh menit lagi presentasi pula!” jawab Amel sembari berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya berada.

Mama dibuat mendengus karena ulahnya tersebut. “Lain kali kalau ada hal penting tuh diingetin! Kebiasaan banget pelupa.”

Samar-samar terdengar suara Amel yang berteriak dari dalam kamar.

“MAMA ENGGAK NGINGETIN!”

“KOK JADI MAMA YANG DISALAHIN?!”

Tidak ada jawaban balik dari sang anak, di kamarnya Amel tampak sibuk mengubek-ubek laci meja belajar guna mencari sebuah flashdisk dengan gantungan akrilik berbentuk bunga mawar tersebut. Begitu menemukannya di antara tumpukan kertas fotokopian, senyum di wajah Amel langsung mengembang. Gadis itu menghela napas lega sebelum kemudian buru-buru keluar, waktunya semakin menipis sekarang.

“MA ... AKU BALIK KE KAMPUS YA!” serunya dengan suara nyaring, sepertinya Mama sedang berada di kamar mandi sekarang. Sebab, ia hanya bisa mendengar suara Mama yang terdengar samar.

“IYA, HATI-HATI.”

***

♫︎fuck you, fuck you, fuck you very very much...♫︎

Suara nada dering ponsel milik Amel terdengar sesaat setelah ia dan motor Naka memasuki area parkiran gedung B. Sebenarnya ini area parkir FISIP sih, tapi karena parkiran gedung C yang merupakan area FEB sedang penuh-penuhnya, jadi Amel terpaksa membawa motor Naka ke sana.

“Aduh, ini siapa yang nelpon sih!” dengus Amel sembari menarik ke atas kaca helmnya.

Karena ponselnya tidak juga mau berhenti berbunyi, Amel terpaksa mengangkat telpon dulu alih-alih memarkirkan motor. Dan ternyata yang menelpon adalah Naka, si pemilik motor.

“Amel! Dosennya udah masuk ini lo di mana?”

“Gue masih di parkiran, belum lagi ngeprint. Suruh dosennya tunggu bentar ya, kasih gue waktu buat—–”

Tin, Tin, Tin!!

Klakson motor dari salah satu mahasiswa di belakangnya berhasil membuat emosi Amel tersulut. Mana ngeklaksonnya ngegas banget pula, orangnya pun tidak kalah ngegas.

“Minggir woy! Gue mau lewat ini udah telat, lo ngalangin jalan!”

“GUE JUGA UDAH TELAT INI, BRENGSEK!” Amel balas ngegas, berhasil membuat Naka refleks menjauhkan ponselnya dari daun telinga.

“Anjing! Lo yang salah kenapa jadi lo yang marah?!”

“Lo ngeselin!”

“Mel, telponnya gue matiin aja deh ya.”

Tanpa menunggu sahutan dari Amel, sambungan telpon telah diputuskan lebih dulu oleh Naka. Pemuda ber-hoodie navy di belakangnya masih kekeuh ngeklakson, membuat telinga Amel pengang seketika.

“Lewat mah lewat aja kali, ngeselin banget lo!” protes Amel sekaligus menghentikan tindakan pemuda berkaca mata di belakangnya sekarang.

“Ya lo minggir sedikit dong, motor gue nggak bisa lewat. Lo pikir ini parkiran punya nenek moyang lo apa?!”

Astaga, seandainya saja Amel lupa kalau ia sudah terlambat, pasti pertengkaran mereka akan semakin berlanjut. Tapi karena mereka berdua sama-sama terlambat, dan Amel merasa ia lebih waras dibanding pemuda itu, jadi ia memutuskan untuk mengalah. Kalau tidak begini pertengkaran mereka tidak akan selesai.

“Gitu aja lama!” gertak si pemuda dengan wajah sinisnya setelah motornya berhasil lewat.

“Nyolot aja lo terus!”

Setelah mendapat slot parkir, pemuda itu kembali menoleh sinis pada Amel sembari menyugar rambutnya sok kegantengan. Amel berdecih melihat tingkahnya tersebut, namun pada akhirnya tetap membiarkan pemuda itu pergi meski dengan perasaan dongkol.

“Dasar cowok aneh!” Amel melirik arloji di pergelangan tangannya untuk mengecek jam berapa sekarang, sebelum kemudian memekik kaget. “Buset, gue udah telat sepuluh menit!”

Saking paniknya, Amel sampai buru-buru memarkirkan motor Naka di salah satu slot yang kosong. Hanya saja karena terlalu gegabah, ia tidak sengaja memutar gas berlebih hingga berujung ....

BRAK!

Menabrak salah satu motor Yamaha Byson berwarna merah hitam di dekatnya.

“ASTAGA!”

Panik, Amel buru-buru turun dari motor Naka dan mengecek keadaan motor yang tidak sengaja ia tabrak barusan. Matanya kontan melotot saat menemukan adanya lecet memanjang di bagian body belakang motor, mana motornya kelihatan mulus banget lagi.

“Aduh, ini gimana motor orang gue bikin lecet!”

Amel refleks menggigiti kuku jarinya, salah satu kebiasaan gadis itu saat sedang panik. Ya memang sih lecetnya tidak seberapa parah, tapi tetap saja ia merasa bersalah. Karena kecerobohannya tersebut, motor orang justru jadi korban.

“Gue kabur aja apa ya? Mumpung nggak ada yang liat juga nih parkiran sepi.”

“Tapi, gue jahat banget nggak sih kalau kayak gini?”

“AKHHH INI GIMANA???”

Entah kesialan macam apa lagi yang akan menantinya di depan sana, segini saja Amel rasanya mau nangis saking frustasinya.

“Nggak tau, ah. Bodo amat!”