awesomeyoit

“Awas, panas!”

Janu memperingati sesaat sebelum bakso itu menyentuh bibir Hera, beruntung setelah itu si gadis langsung sadar dan meniupnya dulu sebelum menyantapnya.

Wajah sumringah Hera saat mengunyah bakso membuat Janu tersenyum memperhatikannya, Hera makan dengan lahap.

“Enak?” tanyanya yang lantas diangguki Hera dengan penuh semangat.

Mood gadis itu jadi sedikit membaik setelah bertemu dengan makanan, beda sekali saat tadi Janu menjemputnya di kosan Savita. Wajahnya begitu muram, bibirnya agak membiru karena kedinginan, rambut dan bajunya lumayan basah sebab katanya ia berlari menembus hujan untuk pergi ke kosan Savita. Parahnya lagi benar kata Heru, hari ini Hera hanya memakai blouse tipis berwarna merah muda dan celana jeansnya yang juga basah. Namun gadis itu justru menolak untuk berganti pakaian, padahal Savita sudah menawarkan diri tadi untuk meminjamkannya.

Tangan Janu terulur untuk memperbaiki letak jaketnya yang tersampir di bahu Hera, sengaja agar tubuh Hera tidak kedinginan mengingat hujan yang masih belum juga reda. Bahkan di warung bakso yang mereka tempati sekarang pun masih terasa suhu dinginnya, Janu khawatir Hera akan terkena flu nanti.

“Rapetin jaketnya, diresleting gitu.”

“Nggak mau, jaket lo kegedean di badan gue. Nanti gue jadi keliatan kayak ondel-ondel!”

“Mana ada ondel-ondel secantik lo, Hera!”

Janu pindah posisi ke seberang meja, lalu duduk di sebelah kiri Hera. Si gadis yang tadinya sibuk menyuap kuah bakso terpaksa harus menghadap Janu saat pemuda itu menarik kedua bahunya. Jujur saja, Hera agak deg-degan. Mengingat posisi mereka yang lumayan dekat, membuatnya bisa mencium aroma parfum Janu yang berkolaborasi dengan aroma hujan.

“Masukin tangannya ke lengan jaket,” titah Janu yang mana langsung dituruti Hera tanpa banyak kata.

Setelah kedua tangan Hera masuk, Janu meresleting jaket tersebut hingga mencapai bagian teratasnya. Benar saja, jaket itu terlihat begitu besar di badan Hera. Membuat gadis itu jadi kelihatan mungil sekaligus imut, Janu jadi gemas sendiri dan berusaha keras menahan diri untuk tidak kelepasan memeluknya. Takut jika ia nekat melakukan itu, bisa-bisa Hera langsung menendangnya nanti.

Ekhem. Dimakan baksonya, Ra,” ucap Janu mencoba mengalihkan fokusnya.

Pemuda itu sudah berniat berdiri, pindah posisi ke tempat sebelumnya, namun tangan Hera yang tertutup separuh oleh lengan jaket itu menahan pergelangan Janu. Membuat Pemuda itu menatap ke arahnya dengan kening berkerut.

“Duduk di sini aja, di samping lo jadi kerasa hangat.”

Duh, Janu jadi salting sendiri saat mendengarnya. Dengan wajah memanas dan ia harap jangan sampai memerah juga, Janu mengangguk terpatah lalu kembali duduk di sebelah Hera. Mangkuk baksonya ia tarik mendekat, dari sana Janu pun sadar tangannya rada tremor ternyata.

Astaga, norak sekali memang Januari Baratadaya ini. Padahal baru juga digituin.

“Hera,”

“Hm?”

“Udah suka sama gue belum?”

On the way, kayaknya.”

Semalaman Hera nyaris tidak bisa tidur, ia sudah berusaha memejamkan matanya tapi berujung terbuka lagi. Perasaannya betul-betul tidak tenang karena terus memikirkan Heru yang entah berada di mana, juga rasa bersalahnya yang menghantui pikiran sepanjang malam.

Seharusnya ia tidak begitu, seharusnya ia tidak sekasar itu pada Heru. Pemuda itu selalu memperlakukannya dengan baik, menjaganya selama bertahun-tahun, juga memastikan dirinya selalu aman dan tidak kekurangan satu apapun. Tapi balasan Hera justru terlihat seolah ia tidak menghargai pengorbanan Heru selama ini, wajar saja kalau pemuda itu sampai tersinggung.

Pagi harinya pun Hera terbangun dengan kantung mata yang membesar karena kebanyakan menangis, ia bahkan baru sempat tidur menjelang pukul 5 pagi karena kelelahan. Dan hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek ponselnya, siapa tau Heru menghubunginya. Tapi ternyata harapannya berbanding terbalik dengan kenyataan.

Hera hanya bisa mendesah kecewa, ponselnya ia letakkan lagi ke kasur selagi ia berjalan mengambil handuk untuk mandi. Satu setengah jam lagi kelas pertamanya akan dimulai. Meskipun sejujurnya ia tidak bersemangat sama sekali untuk kuliah pagi ini, mood Hera benar-benar buruk.

“Heru?”

Gadis itu terkejut saat mendapati sang kembaran baru saja keluar dari kamar sebelah, sepertinya dia pulang saat Hera masih tidur. Penampilan Heru pagi ini terlihat segar dengan rambutnya yang masih agak basah, ketara sekali baru selesai mandi.

“Kapan lo pulang?”

Heru tidak menjawabnya, pemuda itu hanya meliriknya sekilas lalu melengos pergi ke lantai bawah. Jujur saja, dicuekin Heru membuat Hera nyaris menangis. Rasanya sakit sekali mengetahui fakta kalau Heru masih semarah itu padanya sampai-sampai menjawab pertanyaannya saja enggan.

Alhasil Hera hanya bisa berjalan lemah menuju kamar mandi lalu diam-diam menangis di antara berisiknya suara shower. Ah, pagi ini ia pasti jadi bahan ledekan di kelas karena datang dengan kantung mata super besar.

**

“Abis sarapan ini Eya langsung berangkat ke kampus?”

Ibun bertanya disela acara sarapan mereka bertiga. Ayah sudah pergi bekerja sejak beberapa menit yang lalu dan memutuskan untuk sarapan duluan, sementara dua anak Ibun hanya saling diam di meja makan dengan wajah masam.

“Iya, Bun.” jawab Hera saat sadar Ibun memperhatikannya terus-terusan.

“Abang ada kelas pagi juga?” kali ini pertanyaan ditujukan pada Heru yang memakan sarapannya dengan tenang, diam-diam Hera melirik ke arahnya.

“Nggak. Kelas ku masih jam sebelasan nanti, Bun.”

“Oh, kalau gitu Abang anterin Eya ke kampus dulu ya pagi ini?” pinta Ibun.

Hera langsung menatap sang kembaran dengan harap-harap cemas, dalam hati berharap agar Heru mau menyanggupi permintaan Ibun. Dengan begitu ia bisa mengobrol berdua dengan Heru sepanjang jalan. Tapi lagi-lagi kenyataan tak seindah harapan, Heru menolaknya tanpa pikir panjang.

“Nggak usah, Bun. Eya bisa sendiri kok. Dia kan udah besar, udah mandiri juga.”

Hera sadar kalau pemuda itu baru saja menyindirnya dengan kata-kata Hera sendiri, tapi tetap saja gadis itu merasa sakit hati. Terlebih lagi Heru berucap begitu sembari memandangnya dengan wajah datar, rasanya Hera ingin kembali menangis sekarang.

“Abang, kok ngomongnya gitu?”

Pertanyaan Ibun terabaikan, Heru justru menatap ke arah Hera dan berbicara padanya masih dengan wajahnya yang datar tanpa ekspresi.

“Bisa pesan gojek sendiri kan? pesan gituan doang sih nggak butuh gue ya. Karena udah besar harusnya bisa apa-apa sendiri, lagi pula gue juga udah nggak dibutuhin lagi tuh.”

Hiks...”

“Eya kok malah nangis?”

Ibun langsung panik dan menghampiri Eya di seberang meja. Gadis itu menutup wajahnya sendiri dengan lengan sembari berusaha menahan isak tangisnya, namun yang terjadi selanjutnya ia justru semakin menangis.

Sebelum ini, Heru tidak pernah menjutekinya sampai sebegininya. Bahkan kalaupun bertengkar pun tidak akan berlangsung lama, tapi marahnya Heru sekarang berbeda. Dan itu membuat Hera benar-benar sedih hingga berujung menangis di meja makan.

Lihat sekarang, bahkan Heru pun sama sekali tidak menoleh ke arahnya dan hanya mendengus sembari menikmati sarapan. Dia tidak terusik sama sekali dengan tangisan Hera, sementara Ibun sibuk menenangkannya.

“Kalian ini pada kenapa sih? Perasaan sejak Ayah sama Ibun pulang dari Jogja sikap kalian jadi beda begini? Berantem?”

Pura-pura tidak mendengar, Heru tetap sibuk mengunyah sarapannya. Ia bahkan tidak perduli saat mendengar tangis Hera semakin kencang. Kesal dengan ketidakpedulian sang anak laki-laki, Ibun sampai kelepasan membentak.

“Abang! Jawab kalau Ibun nanya!”

“Ya aku nggak tau, Bun. Yang nangis Eya kenapa malah jadi aku yang ditanyain?”

“Terus kenapa kamu jawabnya jutek gitu dari tadi?”

“Biasa aja kok, perasaan Ibun aja kali.”

“Abang!”

Prang

Heru meletakkan sendok garpunya dengan kasar ke atas piring, menciptakan suara gaduh yang membuat Hera maupun Ibun sama-saa menoleh ke arahnya. Pemuda itu berdiri dan mendorong kursinya ke belakang, matanya menatap sinis pada Hera yang masih sesegukan.

“Nggak usah nangis, berisik tau nggak? Kayak anak kecil aja, dasar cengeng!”

“ABANG!”

Tapi Heru tidak memperdulikan seruan Ibun dan malah menaiki anak tangga menuju kamarnya sendiri. Menyisakan Hera yang semakin terisak dan Ibun yang bingung harus bersikap bagaimana menghadapi dua anaknya tersebut.

“Astaga, kalian ini bikin Ibun pusing.”

Benar saja perkiraan Hera, kalau Heru main ke rumah Janu sudah pasti tidak ingat waktu.

Entah sejak kapan rumah Janu itu sudah dijadikan markas bagi anak-anak The Dreamers, mereka akan berkumpul di sana dan bermain layaknya di rumah sendiri. Rumah kedua lah istilahnya.

Dari cerita Heru, orang tuanya Janu itu baik sekali. Mereka akan sangat senang jika anak mereka membawa teman main ke rumah, karena dengan begitu Janu tidak akan merasa kesepian. Maklum lah orang tuanya Janu kan sibuk, sementara dia anak tunggal.

Makanya Heru, Emil, dan Rafa betah main di rumah Janu. Terlebih lagi ada PS di sini, ada studio band juga buat mereka latihan. Di rumah Janu pun disediakan ruang bermain layaknya timezone mini, juga tersedia kolam renang kalau-kalau mereka ingin berenang. Heru tentu saja betah ada di sana.

Saking betahnya dia sampai tidak sadar jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Langit di luar sana sudah gelap, namun Heru yang begitu fokus dengan games membuatnya lupa kalau Hera sendirian di rumah.

Beruntung celetukan Emil membuat Heru langsung tersadar.

“Eh katanya bakal ada pemadaman listrik ya?”

Rafa yang duduk di sebelah Emil langsung menoleh. “Hah? Yang bener? Mampus ini hp gue sisa 15%!”

Pemuda itu segera turun dari ranjang Janu lalu mengambil chargeran nganggur yang bisa dipakai untuk men-charge ponselnya, sebab chargeran Rafa ketinggalan di kosan. Janu yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala, untung ponselnya sudah ia charge dari tadi sore.

“Anjing!”

Umpatan Heru yang begitu nyaring membuat ketiganya refleks menoleh, termasuk Rafa yang dalam hati balik mengumpati Heru karena sudah membuatnya tersentak kaget. Mewakili teman-temannya, Janu bertanya.

“Kenapa lo?”

“Gue ninggalin Eya di rumah!”

Konsol game di tangannya ia lempar asal, membuat Janu si pemilik konsol mensumpah-serapahi Heru atas tindakannya tersebut. Masalahnya ya, itu tuh masih baru!

Tak memperdulikan wajah kesal Janu, Heru merogoh saku celananya untuk mengeluarkan ponsel yang tidak ia sadari sudah bergetar sejak tadi. Layarnya mati, dan begitu menyala Heru langsung dibuat panik saat tau ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Hera.

“Kenapa sih heboh banget? Hera kan udah besar, nggak apa-apa kali ditinggal.” Emil berkomentar.

“Bodoh! Sebentar lagi listrik mati, di rumah nggak ada lilin. Yang jadi masalah, Hera tuh takut gelap!”

Kelabakan Heru berdiri dan mengambil jaketnya yang tersampir di sofa kamar Janu.

“Gue balik duluan, bye.”

**

Sepanjang jalan, Heru terus saja mencoba menghubungi sang kembaran. Namun sayang, hingga panggilan kelima pun Hera tidak juga menjawabnya.

Heru panik sekali, sampai-sampai ia melupakan pesan Hera untuk membeli lilin begitu pulang ke rumah. Seolah itu belum cukup membuat panik, motor Heru justru mogok bersamaan dengan padamnya listrik dari rumah ke rumah. Rupanya sekarang sudah pukul tujuh malam, benar kata Ibun jam segitu listrik bakalan padam.

Berhubung Heru sudah masuk ke area komplek rumahnya, tanpa pikir panjang ia langsung berlari dengan kencang tanpa memperdulikan motornya yang ia tinggalkan sembarangan di depan rumah orang. Bodoamat kalau hilang, yang penting Eya baik-baik aja. Begitu pikir Heru.

“EYA! EYA!”

Heru berteriak di depan pagar rumah mereka, membukanya dengan terburu-buru, lalu langsung menerobos masuk ke rumah tanpa mengucap salam lebih dulu. Heru sama sekali tidak perduli jika setelah ini ia akan mendapat protesan dari tetangga karena membuat keributan, yang terpenting ia bisa melihat Hera.

Tapi, di mana gadis itu? Kenapa tidak kelihatan juga?

“EYA LO DI MANA??”

“ALMAHERA!”

“E—–”

“Apasih, Ru. Teriak-teriak? Berisik tau!”

Samar-samar, cahaya lilin dari arah dapur terlihat. Wajah Hera nampak gelap karena hanya sebagiannya saja yang terkena cahaya, namun hanya dengan begitu pun Heru sudah bisa bernapas lega. Dihampirinya sang kembaran lalu mengecek keadaannya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja, namun matanya langsung melotot begitu menemukan lebam di bagian lutut.

“Lo baik-baik aja? Ini lutut lo kenapa?”

Hera meletakkan lilin di piringan kaca tersebut ke atas meja.

“Tadi jatuh di tangga, karena gelap jadi gue nggak liat,” sesaat kemudian ekspresi gadis itu berubah kesal. “Lo kemana aja sih gue telponin berulang kali nggak diangkat?!”

Karena itulah Heru merasa bersalah, ia terlalu fokus dengan game-nya tadi sampai-sampai melupakan Hera di sini. Ditariknya bahu gadis itu agar mendekat, lalu memeluknya dengan cukup erat.

“Maaf, seharusnya gue datang lebih cepat. Lo masih takut sama gelap?”

“Sebenarnya udah nggak terlalu sih, cuma agak sesak aja kalau lagi di tempat gelap. Makin sesak lagi begitu lo peluk, Heru. Lepasin gue!”

Heru cengengesan, melepaskan pelukan mereka dan membiarkan tangannya mengacak-acak rambut saudara kembarnya yang agak basah.

Ah, lo tuh emang hobi ya bikin gue khawatir?”

“Lo-nya aja yang lebay!”

Benar saja perkiraan Hera, kalau Heru main ke rumah Janu sudah pasti tidak ingat waktu.

Entah sejak kapan rumah Janu itu sudah dijadikan markas bagi anak-anak The Dreamers, mereka akan berkumpul di sana dan bermain layaknya di rumah sendiri. Rumah kedua lah istilahnya.

Dari cerita Heru, orang tuanya Janu itu baik sekali. Mereka akan sangat senang jika anak mereka membawa teman main ke rumah, karena dengan begitu Janu tidak akan merasa kesepian. Maklum lah orang tuanya Janu kan sibuk, sementara dia anak tunggal.

Makanya Heru, Emil, dan Rafa betah main di rumah Janu. Terlebih lagi ada PS di sini, ada studio band juga buat mereka latihan. Di rumah Janu pun disediakan ruang bermain layaknya timezone mini, juga tersedia kolam renang kalau-kalau mereka ingin berenang. Heru tentu saja betah ada di sana.

Saking betahnya dia sampai tidak sadar jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Langit di luar sana sudah gelap, namun Heru yang begitu fokus dengan games membuatnya lupa kalau Hera sendirian di rumah.

Beruntung celetukan Emil membuat Heru langsung tersadar.

“Eh katanya bakal ada pemadaman listrik ya?”

Rafa yang duduk di sebelah Emil langsung menoleh. “Hah? Yang bener? Mampus ini hp gue sisa 15%!”

Pemuda itu segera turun dari ranjang Janu lalu mengambil chargeran nganggur yang bisa dipakai untuk men-charge ponselnya, sebab chargeran Rafa ketinggalan di kosan. Janu yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala, untung ponselnya sudah ia charge dari tadi sore.

“Anjing!”

Umpatan Heru yang begitu nyaring membuat ketiganya refleks menoleh, termasuk Rafa yang dalam hati balik mengumpati Heru karena sudah membuatnya tersentak kaget. Mewakili teman-temannya, Janu bertanya.

“Kenapa lo?”

“Gue ninggalin Eya di rumah!”

Konsol game di tangannya ia lempar asal, membuat Janu si pemilik konsol mensumpah-serapahi Heru atas tindakannya tersebut. Masalahnya ya, itu tuh masih baru!

Tak memperdulikan wajah kesal Janu, Heru merogoh saku celananya untuk mengeluarkan ponsel yang tidak ia sadari sudah bergetar sejak tadi. Layarnya mati, dan begitu menyala Heru langsung dibuat panik saat tau ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Hera.

“Kenapa sih heboh banget? Hera kan udah besar, nggak apa-apa kali ditinggal.” Emil berkomentar.

“Bodoh! Sebentar lagi listrik mati, di rumah nggak ada lilin. Yang jadi masalah, Hera tuh takut gelap!”

Kelabakan Heru berdiri dan mengambil jaketnya yang tersampir di sofa kamar Janu.

“Gue balik duluan, bye.”

**

Sepanjang jalan, Heru terus saja mencoba menghubungi sang kembaran. Namun sayang, hingga panggilan kelima pun Hera tidak juga menjawabnya.

Heru panik sekali, sampai-sampai ia melupakan pesan Hera untuk membeli lilin begitu pulang ke rumah. Seolah itu belum cukup membuat panik, motor Heru justru mogok bersamaan dengan padamnya listrik dari rumah ke rumah. Rupanya sekarang sudah pukul tujuh malam, benar kata Ibun jam segitu listrik bakalan padam.

Berhubung Heru sudah masuk ke area komplek rumahnya, tanpa pikir panjang ia langsung berlari dengan kencang tanpa memperdulikan motornya yang ia tinggalkan sembarangan di depan rumah orang. Bodoamat kalau hilang, yang penting Eya baik-baik aja. Begitu pikir Heru.

“EYA! EYA!”

Heru berteriak di depan pagar rumah mereka, membukanya dengan terburu-buru, lalu langsung menerobos masuk ke rumah tanpa mengucap salam lebih dulu. Heru sama sekali tidak perduli jika setelah ini ia akan mendapat protesan dari tetangga karena membuat keributan, yang terpenting ia bisa melihat Hera.

Tapi, di mana gadis itu? Kenapa tidak kelihatan juga?

“EYA LO DI MANA??”

“ALMAHERA!”

“E—–”

“Apasih, Ru. Teriak-teriak? Berisik tau!”

Samar-samar, cahaya lilin dari arah dapur terlihat. Wajah Hera nampak gelap karena hanya sebagiannya saja yang terkena cahaya, namun hanya dengan begitu pun Heru sudah bisa bernapas lega. Dihampirinya sang kembaran lalu mengecek keadaannya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja, namun matanya langsung melotot begitu menemukan lebam di bagian lutut.

“Lo baik-baik aja? Ini lutut lo kenapa?”

Hera meletakkan lilin di piringan kaca tersebut ke atas meja.

“Tadi jatuh di tangga, karena gelap jadi gue nggak liat,” sesaat kemudian ekspresi gadis itu berubah kesal. “Lo kemana aja sih gue telponin berulang kali nggak diangkat?!”

Karena itulah Heru merasa bersalah, ia terlalu fokus dengan game-nya tadi sampai-sampai melupakan Hera di sini. Ditariknya bahu gadis itu agar mendekat, lalu memeluknya dengan cukup erat.

“Maaf, seharusnya gue datang lebih cepat. Lo masih takut sama gelap?”

“Sebenarnya udah nggak terlalu sih, cuma agak sesak aja kalau lagi di tempat gelap. Makin sesak lagi begitu lo peluk, Heru. Lepasin gue!”

Heru cengengesan, melepaskan pelukan mereka dan membiarkan tangannya mengacak-acak rambut saudara kembarnya yang agak basah.

Ah, lo tuh emang hobi ya bikin gue khawatir.”

“Lo-nya aja yang lebay!”

Benar saja perkiraan Hera, kalau Heru main ke rumah Janu sudah pasti tidak ingat waktu.

Entah sejak kapan rumah Janu itu sudah dijadikan markas bagi anak-anak The Dreamers, mereka akan berkumpul di sana dan bermain layaknya di rumah sendiri. Rumah kedua lah istilahnya.

Dari cerita Heru, orang tuanya Janu itu baik sekali. Mereka akan sangat senang jika anak mereka membawa teman main ke rumah, karena dengan begitu Janu tidak akan merasa kesepian. Maklum lah orang tuanya Janu kan sibuk, sementara dia anak tunggal.

Makanya Heru, Emil, dan Rafa betah main di rumah Janu. Terlebih lagi ada PS di sini, ada studio band juga buat mereka latihan. Di rumah Janu pun disediakan ruang bermain layaknya timezone mini, juga tersedia kolam renang kalau-kalau mereka ingin berenang. Heru tentu saja betah ada di sana.

Saking betahnya dia sampai tidak sadar jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Langit di luar sana sudah gelap, namun Heru yang begitu fokus dengan games membuatnya lupa kalau Hera sendirian di rumah.

Beruntung celetukan Emil membuat Heru langsung tersadar.

“Eh katanya bakal ada pemadaman listrik ya?”

Rafa yang duduk di sebelah Emil langsung menoleh. “Hah? Yang bener? Mampus ini hp gue sisa 15%!”

Pemuda itu segera turun dari ranjang Janu lalu mengambil chargeran nganggur yang bisa dipakai untuk men-charge ponselnya, sebab chargeran Rafa ketinggalan di kosan. Janu yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala, untung ponselnya sudah ia charge dari tadi sore.

“Anjing!”

Umpatan Heru yang begitu nyaring membuat ketiganya refleks menoleh, termasuk Rafa yang dalam hati balik mengumpati Heru karena sudah membuatnya tersentak kaget. Mewakili teman-temannya, Janu bertanya.

“Kenapa lo?”

“Gue ninggalin Eya di rumah!”

Konsol game di tangannya ia lempar asal, membuat Janu si pemilik konsol mensumpah-serapahi Heru atas tindakannya tersebut. Masalahnya ya, itu tuh masih baru!

Tak memperdulikan wajah kesal Janu, Heru merogoh saku celananya untuk mengeluarkan ponsel yang tidak ia sadari sudah bergetar sejak tadi. Layarnya mati, dan begitu menyala Heru langsung dibuat panik saat tau ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Hera.

“Kenapa sih heboh banget? Hera kan udah besar, nggak apa-apa kali ditinggal.” Emil berkomentar.

“Bodoh! Sebentar lagi listrik mati, di rumah nggak ada lilin. Yang jadi masalah, Hera tuh takut gelap!”

Kelabakan Heru berdiri dan mengambil jaketnya yang tersampir di sofa kamar Janu.

“Gue balik duluan, bye.”

**

Sepanjang jalan, Heru terus saja menghubungi sang kembaran. Namun sayang, hingga panggilan kelima pun Hera tidak juga menjawabnya.

Heru panik sekali, sampai-sampai ia melupakan pesan Hera untuk membeli lilin begitu pulang ke rumah. Seolah itu belum cukup membuat panik, motor Heru justru mogok bersamaan dengan padamnya listrik dari rumah ke rumah. Rupanya sekarang sudah pukul tujuh malam, benar kata Ibun jam segitu listrik bakalan padam.

Berhubung Heru sudah masuk ke area komplek rumahnya, tanpa pikir panjang ia langsung berlari dengan kencang tanpa memperdulikan motornya yang ia tinggalkan sembarangan di depan rumah orang. Bodoamat kalau hilang, yang penting Eya baik-baik aja. Begitu pikir Heru.

“EYA! EYA!”

Heru berteriak di depan pagar rumah mereka, membukanya dengan terburu-buru, lalu langsung menerobos masuk ke rumah tanpa mengucap salam lebih dulu. Heru sama sekali tidak perduli jika setelah ini akan mendapat protesan dari tetangga karena membuat keributan, yang terpenting ia bisa melihat Hera.

Tapi, di mana gadis itu? Kenapa tidak kelihatan?

“EYA LO DI MANA??”

“ALAMAHERA!”

“E—–”

“Apasih, Ru. Teriak-teriak? Berisik tau.”

Samar-samar, cahaya lilin dari arah dapur terlihat. Wajah Hera nampak gelap dan hanya sebagiannya saja yang terkena cahaya, namun hanya dengan begitu Heru sudah bisa bernapas lega. Dihampirinya sang kembaran lalu mengecek keadaannya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja, namun matanya langsung melotot begitu menemukan lebam di bagian lutut.

“Lo baik-baik aja? Ini lutut lo kenapa?”

Hera meletakkan lilin di atas piringan kaca tersebut ke atas meja.

“Tadi jatuh di tangga, karena gelap jadi gue nggak liat,” sesaat kemudian ekspresi gadis itu berubah kesal. “Lo kemana aja sih gue telponin berulang kali nggak diangkat?!”

Karena itulah Heru merasa bersalah, ia terlalu fokus dengan game-nya tadi sampai-sampai melupakan Hera di sini. Ditariknya bahu gadis itu agar mendekat, lalu memeluknya dengan erat.

“Maaf, seharusnya gue datang lebih cepat. Lo masih takut sama gelap?”

“Sebenarnya udah nggak terlalu sih, cuma agak sesak aja kalau lagi di tempat gelap. Makin sesak lagi begitu lo peluk, Heru. Lepasin gue!”

Heru cengengesan, melepaskan pelukan mereka dan membiarkan tangannya mengacak-acak rambut saudara kembarnya yang agak basah.

“Ah, emang hobi bikin gue khawatir.”

“Lo-nya aja yang lebay!”

Benar saja perkiraan Hera, kalau Heru main ke rumah Janu sudah pasti tidak ingat waktu.

Entah sejak kapan rumah Janu itu sudah dijadikan markas bagi anak-anak The Dreamers, mereka akan berkumpul di sana dan bermain layaknya di rumah sendiri. Rumah kedua lah istilahnya.

Dari cerita Heru, orang tuanya Janu itu baik sekali. Mereka akan sangat senang jika anak mereka membawa teman main ke rumah, karena dengan begitu Janu tidak akan merasa kesepian. Maklum lah orang tuanya Janu kan sibuk, sementara dia anak tunggal.

Makanya Heru, Emil, dan Rafa betah main di rumah Janu. Terlebih lagi ada PS di sini, ada studio band juga buat mereka latihan. Di rumah Janu pun disediakan ruang bermain layaknya timezone mini, juga tersedia kolam renang kalau-kalau mereka ingin berenang. Heru tentu saja betah ada di sana.

Saking betahnya dia sampai tidak sadar jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Langit di luar sana sudah gelap, namun Heru yang begitu fokus dengan games membuatnya lupa kalau Hera sendirian di rumah.

Beruntung celetukan Emil membuat Heru langsung tersadar.

“Eh katanya bakal ada pemadaman listrik ya?”

Rafa yang duduk di sebelah Emil langsung menoleh. “Hah? Yang bener? Mampus ini hp gue sisa 15%!”

Pemuda itu segera turun dari ranjang Janu lalu mengambil chargeran nganggur yang bisa dipakai untuk men-charge ponselnya, sebab chargeran Rafa ketinggalan di kosan. Janu yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala, untung ponselnya sudah ia charge dari tadi sore.

“Anjing!”

Umpatan Heru yang begitu nyaring membuat ketiganya refleks menoleh, termasuk Rafa yang dalam hati balik mengumpati Heru karena sudah membuatnya tersentak kaget. Mewakili teman-temannya, Janu bertanya.

“Kenapa lo?”

“Gue ninggalin Eya di rumah!”

Konsol game di tangannya ia lempar asal, membuat Janu si pemilik konsol mensumpah-serapahi Heru atas tindakannya tersebut. Masalahnya ya, itu tuh masih baru!

Tak memperdulikan wajah kesal Janu, Heru merogoh saku celananya untuk mengeluarkan ponsel yang tidak ia sadari sudah bergetar sejak tadi. Layarnya mati, dan begitu menyala Heru langsung dibuat panik saat tau ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Hera.

“Kenapa sih heboh banget? Hera kan udah besar, nggak apa-apa kali ditinggal.” Emil berkomentar.

“Bodoh! Sebentar lagi listrik mati, di rumah nggak ada lilin. Yang jadi masalah, Hera tuh takut gelap!”

Kelabakan Heru berdiri dan mengambil jaketnya yang tersampir di sofa kamar Janu.

“Gue balik duluan, bye.”

**

Sepanjang jalan, Heru terus saja menghubungi sang kembaran. Namun sayang, hingga panggilan kelima pun Hera tidak juga menjawabnya.

Heru panik sekali, sampai-sampai ia melupakan pesan Hera untuk membeli lilin begitu pulang ke rumah. Seolah itu belum cukup membuat panik, motor Heru justru mogok bersamaan dengan padamnya listrik dari rumah ke rumah. Rupanya sekarang sudah pukul tujuh malam, benar kata Ibun jam segitu listrik bakalan padam.

Berhubung Heru sudah masuk ke area komplek rumahnya, tanpa pikir panjang ia langsung berlari dengan kencang tanpa memperdulikan motornya yang ia tinggalkan sembarangan di depan rumah orang. Bodoamat kalau hilang, yang penting Eya baik-baik aja. Begitu pikir Heru.

“EYA! EYA!”

Heru berteriak di depan pagar rumah mereka, membukanya dengan terburu-buru, lalu langsung menerobos masuk ke rumah tanpa mengucap salam lebih dulu. Heru sama sekali tidak perduli jika setelah ini akan mendapat protesan dari tetangga karena membuat keributan, yang terpenting ia bisa melihat Hera.

Tapi, di mana gadis itu? Kenapa tidak kelihatan?

“EYA LO DI MANA??”

“ALAMAHERA!”

“E—–”

“Apasih, Ru. Teriak-teriak? Berisik tau.”

Samar-samar, cahaya lilin dari arah dapur terlihat. Wajah Hera nampak gelap dan hanya sebagiannya saja yang terkena cahaya, namun hanya dengan begitu Heru sudah bisa bernapas lega. Dihampirinya sang kembaran lalu mengecek keadaannya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja, namun matanya langsung melotot begitu menemukan lebam di bagian lutut.

“Lo baik-baik aja? Ini lutut lo kenapa?”

Hera meletakkan lilin di atas piringan kaca tersebut ke atas meja.

“Tadi jatuh di tangga, karena gelap jadi gue nggak liat,” sesaat kemudian ekspresi gadis itu berubah kesal. “Lo kemana aja sih gue telponin berulang kali nggak diangkat?!”

Karena itulah Heru merasa bersalah, ia terlalu fokus dengan game-nya tadi sampai-sampai melupakan Hera di sini. Ditariknya bahu gadis itu agar mendekat, lalu memeluknya dengan erat.

“Maaf, seharusnya gue datang lebih cepat. Lo masih takut sama gelap?”

“Sebenarnya udah nggak terlalu sih, cuma agak sesak aja kalau lagi di tempat gelap. Makin sesak lagi begitu lo peluk, Heru. Lepasin gue!”

Heru cengengesan, melepaskan pelukan mereka dan membiarkan tangannya mengacak-acak rambut saudara kembarnya yang agak basah.

“Ah, emang hobi bikin gue khawatir.”

“Lo-nya aja yang lebay!”

Meskipun kelihatannya tidak nampak peduli, sejujurnya Hera penasaran juga lagu apa yang bakal dibawakan Janu setelah ini.

Selagi menunggu penampilan The Dreamers selanjutnya, Hera menikmati makanan yang tersaji di atas meja sembari sesekali menanggapi fangirling-annya Savita pada sosok Rafa beberapa saat lalu. Temannya itu tidak hentinya memuji Rafa. Mengatainya punya suara seindah surga, wajah tampan seperti malaikat, dan berbagai kalimat hiperbola lainnya. Hera sih iya-iya saja, bermaksud menghargai kesukaan Savita tersebut.

Hingga tidak lama kemudian datanglah Heru bersama Emil juga seorang gadis yang tentu saja Hera kenal. Itu Misel, teman sekelompoknya sewaktu ospek. Dia juga berhasil menyabet predikat sebagai Queen Ospek NCU 2021, dan membuat namanya jadi terkenal di kalangan anak-anak kedokteran maupun di kampus. Tidak mengherankan memang karena Misel itu pintar dan kompeten, dengar-dengar sih anak akselerasi juga. Cantik pula.

“Loh, Hera?” Misel yang menyapa lebih dulu.

“Misel, lo di sini juga?”

“Hah? Kalian saling kenal?” Emil ikut menyahuti, pandangan Hera kemudian tertuju pada tautan tangan Emil dan Misel.

“Kalian ....”

“Mereka pacaran, udah nggak usah kepo.” jawab Heru sembari iseng meraup wajah Hera dan duduk di sebelahnya.

Saking shocknya dengan fakta tersebut, Hera sampai tidak sempat protes pada tindakan menyebalkan Heru barusan. Ia malah fokus pada Emil dan Misel yang sama-sama mengambil tempat di depannya.

“Beneran pacaran?”

Emil memamerkan tautan jari mereka pada Hera. “Iya, backstreet tapi. Jangan bilang siapa-siapa ya? Soalnya Misel nggak mau diteror fans-fans gue katanya.”

Misel yang mendengar itu kontan meringis, tatapan matanya seolah memohon agar Hera mau tutup mulut perihal hubungan mereka. Berhubung Hera ini paham bagaimana rasanya pacaran dengan laki-laki yang punya banyak fans, jadi ia pun berjanji akan menutup mulutnya rapat-rapat.

“Selamat malam semuanya...”

Suara lembut Rafa menyapa gendang telinga semua orang, membuatnya kembali menjadi pusat perhatian. Savita shock berat begitu tau Rafa kembali naik ke atas panggung karena sempat mengira penampilan The Dreamers telah berakhir tadi, rupanya masih ada penampilan lainnya.

Hera juga tidak kalah kaget saat menemukan Janu duduk di salah satu kursi tinggi sembari memangku sebuah gitar, nampaknya mereka akan berduet.

“Sejujurnya penampilan yang bakal gue sama Janu bawakan ini nggak terencana sih, kami baru sempat latihan beberapa kali atas dasar iseng doang. Eh katanya si Janu mau bawakan lagu ini sekarang, dan untuk yang pertama kalinya kalian bakal dengar Janu nyanyi.”

Sontak saja gemuruh tepuk tangan dari orang-orang terdengar, terlebih lagi setelah mendengar kalimat lanjutan dari Rafa yang membuat penonton semakin bersemangat.

“Judul lagunya Cantik, kata Janu lagunya khusus buat perempuan cantik yang pakai baju warna biru dan duduk di sebelah sana.”

Seisi kafe langsung menujukan pandangannya pada Hera, kebetulan sekali satu-satunya perempuan yang memakai baju warna biru sekarang hanyalah dia. Tidak hanya pengunjung kafe saja yang sibuk ngecengin Hera, sampai Savita dan Misel pun ikut berucap seperti...

“ciee ... ciee ... Hera.” Lalu tertawa bersamaan.

Hera hanya bisa menunduk, malu. Ia paling tidak suka jadi pusat perhatian begini. Seolah tidak mengerti akan hal itu, Janu justru semakin menambah rasa malunya.

“Almahera, jangan nunduk gitu dong. Nanti wajah cantiknya nggak kelihatan.”

Cieee....”

ihiw!!”

kiw kiw neng cantik ...”

Astaga, ini satu kafe niat banget ngecie-ciein Hera. Savita juga sibuk menyenggol lengannya agar Hera mau mendongak, tapi ia tidak mau sebab masih mencoba menutupi rasa malunya. Beruntung setelah itu suasana kafe langsung senyap, digantikan oleh suara petikan gitar yang Janu mainkan dan disusul suara lembut Rafa yang menyanyikan lirik awal lagu Cantik dari Kahitna tersebut.

Cantik... Ingin rasa hati berbisik Untuk melepas keresahan Dirimu

Cantik... Bukan ku ingin mengganggumu Tapi apa arti merindu Selalu... Ooo...

Walau mentari terbit di utara Hatiku hanya untukmu...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Kali ini di bagian lirik selanjutnya, gantian Janu yang bernyanyi. Dia kelihatan tampan dengan jaket merah serta gitar di pangkuan, sesekali mata pemuda itu akan melirik ke arah Hera dan tersenyum di sela nyanyian.

Cantik... Bukan kuingin mengganggumu Tapi apa arti merindu Selalu... Ooo...

Walau mentari terbit di utara Hatiku hanya untukmu...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Ingin ku berjalan menyusuri cinta Cinta yang abadi untukmu selamanya...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Suara Janu terdengar lebih berat ketimbang Rafa, dan meski teknik bernyanyinya tidak sebaik Rafa, harus Hera akui kalau Janu memiliki bakat dalam bernyanyi. Dia hanya kurang terasah saja, ditambah lagi penghayatannya saat bernyanyi membuat semua orang termasuk Hera menjadi kagum.

Hingga sampailah di akhir lagu, semua orang memberikan tepuk tangan yang meriah dan memuji betapa baiknya mereka menyanyi. Rafa sibuk mengucap terima kasih, sedangkan Janu mendekatkan mic-nya lalu berkata dengan suara lantang.

“Hera, aku sayang kamu!!”

Sungguh, Hera malu banget malam ini. Tapi di lain sisi, entah kenapa ia justru merasa senang.

Janu, sepertinya kamu mulai berhasil merebut perhatian Hera sekarang. Dan yang pasti, perhatian semua orang malam ini.

Meskipun kelihatannya tidak nampak peduli, sejujurnya Hera penasaran juga lagu apa yang bakal dibawakan Janu setelah ini.

Selagi menunggu penampilan The Dreamers selanjutnya, Hera menikmati makanan yang tersaji di atas meja sembari sesekali menanggapi fangirling-annya Savita pada sosok Rafa beberapa saat lalu. Temannya itu tidak hentinya memuji Rafa. Mengatainya punya suara seindah surga, wajah tampan seperti malaikat, dan berbagai kalimat hiperbola lainnya. Hera sih iya-iya saja, bermaksud menghargai kesukaan Savita tersebut.

Hingga tidak lama kemudian datanglah Heru bersama Emil juga seorang gadis yang tentu saja Hera kenal. Itu Misel, teman sekelompoknya sewaktu ospek. Dia juga berhasil menyabet predikat sebagai Queen Ospek NCU 2021, dan membuat namanya jadi terkenal di kalangan anak-anak kedokteran maupun di kampus. Tidak mengherankan memang karena Misel itu pintar dan kompeten, dengar-dengar sih anak akselerasi juga. Cantik pula.

“Loh, Hera?” Misel yang menyapa lebih dulu.

“Misel, lo di sini juga?”

“Hah? Kalian saling kenal?” Emil ikut menyahuti, pandangan Hera kemudian tertuju pada tautan tangan Emil dan Misel.

“Kalian ....”

“Mereka pacaran, udah nggak usah kepo.” jawab Heru sembari iseng meraup wajah Hera dan duduk di sebelahnya.

Saking shocknya dengan fakta tersebut, Hera sampai tidak sempat protes pada tindakan menyebalkan Heru barusan. Ia malah fokus pada Emil dan Misel yang sama-sama mengambil tempat di depannya.

“Beneran pacaran?”

Emil memamerkan tautan jari mereka pada Hera. “Iya, backstreet tapi. Jangan bilang siapa-siapa ya? Soalnya Misel nggak mau diteror fans-fans gue katanya.”

Misel yang mendengar itu kontan meringis, tatapan matanya seolah memohon agar Hera mau tutup mulut perihal hubungan mereka. Berhubung Hera ini paham bagaimana rasanya pacaran dengan laki-laki yang punya banyak fans, jadi ia pun berjanji akan menutup mulutnya rapat-rapat.

“Selamat malam semuanya...”

Suara lembut Rafa menyapa gendang telinga semua orang, membuatnya kembali menjadi pusat perhatian. Savita shock berat begitu tau Rafa kembali naik ke atas panggung karena sempat mengira penampilan The Dreamers telah berakhir tadi, rupanya masih ada penampilan lainnya.

Hera juga tidak kalah kaget saat menemukan Janu duduk di salah satu kursi tinggi sembari memangku sebuah gitar, nampaknya mereka akan berduet.

“Sejujurnya penampilan yang bakal gue sama Janu bawakan ini nggak terencana sih, kami baru sempat latihan beberapa kali atas dasar iseng doang. Eh katanya si Janu mau bawakan lagu ini sekarang, dan untuk yang pertama kalinya kalian bakal dengar Janu nyanyi.”

Sontak saja gemuruh tepuk tangan dari orang-orang terdengar, terlebih lagi setelah mendengar kalimat lanjutan dari Rafa yang membuat penonton semakin bersemangat.

“Judul lagunya Cantik, kata Janu lagunya khusus buat perempuan cantik yang pakai baju warna biru dan duduk di sebelah sana.”

Seisi kafe langsung menujukan pandangannya pada Hera, kebetulan sekali satu-satunya perempuan yang memakai baju warna biru sekarang hanyalah dia. Tidak hanya pengunjung kafe saja yang sibuk ngecengin Hera, sampai Savita dan Misel pun ikut berucap seperti...

“ciee ... ciee ... Hera.” Lalu tertawa bersamaan.

Hera hanya bisa menunduk, malu. Ia paling tidak suka jadi pusat perhatian begini. Seolah tidak mengerti akan hal itu, Janu justru semakin menambah rasa malunya.

“Almahera, jangan nunduk gitu dong. Nanti wajah cantiknya nggak kelihatan.”

Cieee....”

ihiw!!”

kiw kiw neng cantik ...”

Astaga, ini satu kafe niat banget ngecie-ciein Hera. Savita juga sibuk menyenggol lengannya agar Hera mau mendongak, tapi ia tidak mau sebab masih mencoba menutupi rasa malunya. Beruntung setelah itu suasana kafe langsung senyap, digantikan oleh suara petikan gitar yang Janu mainkan dan disusul suara lembut Rafa yang menyanyikan lirik awal lagu Cantik dari Kahitna tersebut.

Cantik... Ingin rasa hati berbisik Untuk melepas keresahan Dirimu

Cantik... Bukan ku ingin mengganggumu Tapi apa arti merindu Selalu... Ooo...

Walau mentari terbit di utara Hatiku hanya untukmu...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Kali ini di bagian lirik selanjutnya, gantian Janu yang bernyanyi. Dia kelihatan tampan dengan jaket merah serta gitar di pangkuan, sesekali mata pemuda itu akan melirik ke arah Hera dan tersenyum di sela nyanyiannya.

Cantik... Bukan kuingin mengganggumu Tapi apa arti merindu Selalu... Ooo...

Walau mentari terbit di utara Hatiku hanya untukmu...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Ingin ku berjalan menyusuri cinta Cinta yang abadi untukmu selamanya...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Suara Janu terdengar lebih berat ketimbang Rafa, dan meski teknik bernyanyinya tidak sebaik Rafa, harus Hera akui kalau Janu memiliki bakat dalam bernyanyi. Dia hanya kurang terasah saja, ditambah lagi penghayatannya saat bernyanyi membuat semua orang termasuk Hera menjadi kagum.

Hingga sampailah di akhir lagu, semua orang memberikan tepuk tangan yang meriah dan memuji betapa baiknya mereka menyanyi. Rafa sibuk mengucap terima kasih, sedangkan Janu mendekatkan mic-nya lalu berkata dengan suara lantang.

“Hera, aku sayang kamu!!”

Sungguh, Hera malu banget malam ini. Tapi di lain sisi, entah kenapa ia justru merasa senang.

Janu, sepertinya kamu mulai berhasil merebut perhatian Hera sekarang. Dan yang pasti, perhatian semua orang juga malam ini.

Meskipun kelihatannya tidak nampak peduli, sejujurnya Hera penasaran juga lagu apa yang bakal dibawakan Janu setelah ini.

Selagi menunggu penampilan The Dreamers selanjutnya, Hera menikmati makanan yang ada di atas meja sembari sesekali menanggapi fangirling-annya Savita pada sosok Rafa beberapa saat lalu. Temannya itu tidak ada hentinya memuji Rafa. Mengatainya punya suara seindah surga, wajah tampan seperti malaikat, dan berbagai kalimat hiperbola lainnya. Hera sih iya-iya saja, bermaksud menghargai kesukaan Savita tersebut.

Hingga tidak lama kemudian datanglah Heru bersama Emil juga seorang gadis yang tentu saja Hera kenal. Itu Misel, teman sekelompoknya sewaktu ospek. Dia juga berhasil menyabet predikat sebagai Queen Ospek NCU 2021, dan membuat namanya jadi terkenal di kalangan anak-anak kedokteran maupun di kampus. Tidak mengherankan memang karena Misel itu pintar dan kompeten, dengar-dengar sih anak akselerasi juga. Cantik pula.

“Loh, Hera?” Misel yang menyapa lebih dulu.

“Misel lo di sini juga?”

“Hah? Kalian saling kenal?” Emil ikut menyahuti, pandangan Hera kemudian tertuju pada tautan tangan Emil dan Misel.

“Kalian ....”

“Mereka pacaran, udah nggak usah kepo.” jawab Heru sembari iseng meraup wajah Hera dan duduk di sebelahnya.

Saking shocknya dengan fakta tersebut, Hera sampai tidak sempat protes pada tindakan menyebalkan Heru harusan. Ia malah fokus pada Emil dan Misel yang sama-sama mengambil tempat di depannya.

“Beneran pacaran?”

Emil memamerkan tautan jari mereka pada Hera. “Iya, backstreet tapi. Jangan bilang siapa-siapa ya? Soalnya Misel nggak mau diteror fans-fans gue katanya.”

Misel yang mendengar itu kontan meringis, tatapan matanya seolah memohon agar Hera mau tutup mulut perihal hubungan mereka. Berhubung Hera paham bagaimana rasanya pacaran dengan laki-laki yang punya banyak fans, jadi ia pun berjanji akan menutup mulutnya rapat-rapat.

“Selamat malam semuanya...”

Suara lembut Rafa menyapa gendang telinga semua orang, membuatnya kembali menjadi pusat perhatian. Savita shock berat begitu tau Rafa kembali naik ke atas panggung karena sempat mengira penampilan The Dreamers telah berakhir tadi, rupanya masih ada penampilan lain.

Hera juga tidak kalah kaget saat menemukan Janu duduk di salah satu kursi tinggi sembari memangku sebuah gitar, nampaknya mereka akan berduet.

“Sejujurnya penampilan yang bakal gue sama Janu bawakan ini nggak terencana sih, kami baru sempat latihan beberapa kali atas dasar iseng doang. Eh katanya si Janu mau bawakan lagu ini sekarang, dan untuk yang pertama kalinya kalian bakal dengar Janu nyanyi.”

Sontak saja gemuruh tepuk tangan dari orang-orang terdengar, terlebih lagi setelah mendengar kalimat lanjutan dari Rafa yang membuat penonton semakin bersemangat.

“Judul lagunya Cantik, kata Janu lagunya khusus buat perempuan cantik yang pakai baju warna biru dan duduk di sebelah sana.”

Seisi kafe langsung menujukan pandangannya pada Hera, kebetulan sekali satu-satunya perempuan yang memakai baju warna biru malam ini hanyalah dia. Tidak hanya pengunjung kafe yang sibuk ngecengin Hera, sampai Savita dan Misel pun ikut berucap seperti...

“ciee ... ciee ... Hera.” Lalu tertawa bersama.

Hera hanya bisa menunduk, malu. Ia paling tidak suka jadi pusat perhatian begitu. Seolah tidak mengerti akan hal itu, Janu justru semakin menambah rasa malunya.

“Almahera, jangan nunduk gitu dong. Nanti wajah cantiknya nggak kelihatan.”

“Cieee....”

“ihiw!!”

“kiw kiw neng cantik ...”

Astaga, ini satu kafe niat banget ngecie-ciein Hera. Savita juga sibuk menyenggol lengannya agar Hera mau mendongak, tapi ia tidak mau sebab masih mencoba menutupi rasa malunya. Beruntung setelah itu suasana kafe langsung senyap, digantikan oleh suara petikan gitar yang Janu mainkan dan disusul suara lembut Rafa yang menyanyikan lirik awal lagu Cantik dari Kahitna tersebut.

Cantik... Ingin rasa hati berbisik Untuk melepas keresahan Dirimu

Cantik... Bukan ku ingin mengganggumu Tapi apa arti merindu Selalu... Ooo...

Walau mentari terbit di utara Hatiku hanya untukmu...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Kali ini di bagian lirik selanjutnya, gantian Janu yang bernyanyi. Dia kelihatan tampan dengan jaket merah serta gitar di pangkuan, sesekali mata pemuda itu akan melirik ke arah Hera dan tersenyum di sela nyanyiannya.

Cantik... Bukan kuingin mengganggumu Tapi apa arti merindu Selalu... Ooo...

Walau mentari terbit di utara Hatiku hanya untukmu...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Ingin ku berjalan menyusuri cinta Cinta yang abadi untukmu selamanya...

Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan Sungguh aku sayang kamu

Suara Janu terdengar lebih berat ketimbang Rafa, dan meski teknik bernyanyinya tidak sebaik Rafa, harus Hera akui kalau Janu memiliki bakat dalam bernyanyi. Dia hanya kurang terasah saja, ditambah lagi penghayatannya saat bernyanyi membuat semua orang termasuk Hera menjadi kagum.

Hingga sampailah di akhir lagu, semua orang memberikan tepuk tangan yang meriah dan memuji betapa baiknya mereka menyanyi. Rafa sibuk mengucap terima kasih, sedangkan Janu mendekatkan mic-nya lalu berkata dengan suara lantang.

“Hera, aku sayang kamu!!”

Sungguh, Hera malu banget malam ini. Tapi di lain sisi, entah kenapa ia justru merasa senang.

Janu, sepertinya kamu mulai berhasil merebut perhatian Hera sekarang. Dan yang pasti, perhatian semua orang juga malam ini.

Setelah menerima pesan dari si kembaran, Hera kembali fokus menonton drakor di laptopnya.

Nyeri perutnya tadi pagi sudah sembuh, jadi Hera bisa bersantai dulu sekarang. Namun, saking santainya Hera jadi keblablasan dan hampir lupa kalau teman-teman Heru bakalan datang ke rumah. Gadis itu kontan kelabakan begitu mendengar suara bel pintu berbunyi. Masalahnya di rumah sekarang hanya ada Hera sendiri, jadi kalau bukan dia ya bukain pintu siapa lagi?

Alhasil Hera langsung meloncat turun dari ranjangnya lalu berlari menuruni anak tangga, ia sampai lupa pesan Heru di chat tadi. Karena malas naik lagi ke atas untuk mengambil baju, Hera memutuskan untuk berlari ke jemuran belakang dan mengambil kaos kedodoran milik Heru. Berhubung kaosnya memang lumayan besar bahkan di badan Heru sendiri, begitu Hera pakai justru kelihatan seperti daster selutut.

“Eh, ada Hera.” sapa Janu begitu pintu terbuka. Pemuda itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar, sayangnya Hera tidak merespon apa-apa.

“Masuk dulu, Herunya masih di luar.”

Janu dan Rafa mengekor Hera yang membawa mereka ke ruang tamu. Keadaan rumah yang sepi membuat Rafa bertanya,

“Ibun lo kemana, Ra? Sepi banget nih rumah.”

“Kayaknya tadi ke luar deh, nggak tau kemana dari tadi gue di kamar.”

“Nggak kuliah?”

“Libur dulu.”

“Kenapa?”

Janu menyikut pelan perut Rafa. “Kepo banget lo tanya-tanya, pacar gue nih!”

“Buset dah lo sama Heru sama aja ya, sama-sama posesif!”

Hera merotasikan bola matanya jengah melihat tingkah Janu barusan. Baru pacaran taruhan saja dia sudah begitu, tidak kebayang pacaran betulan kayak gimana. Eh, bukan maksud Hera ingin pacaran betulan dengan Janu ya. Ini pengandaian saja.

“Oh, ada tamu ya?”

Baru saja Hera ingin ke dapur untuk membuatkan minum, tau-tau Ibun sudah muncul di ambang pintu dengan tangan menenteng plastik berisi sayuran segar.

Kehadiran Ibun membuat Hera menghela napas lega, dengan begitu kan dia jadi bisa balik lagi ke kamar. Biar Ibun yang mengurus tamu-tamu Heru seperti biasanya.