Tangis Hera

Semalaman Hera nyaris tidak bisa tidur, ia sudah berusaha memejamkan matanya tapi berujung terbuka lagi. Perasaannya betul-betul tidak tenang karena terus memikirkan Heru yang entah berada di mana, juga rasa bersalahnya yang menghantui pikiran sepanjang malam.

Seharusnya ia tidak begitu, seharusnya ia tidak sekasar itu pada Heru. Pemuda itu selalu memperlakukannya dengan baik, menjaganya selama bertahun-tahun, juga memastikan dirinya selalu aman dan tidak kekurangan satu apapun. Tapi balasan Hera justru terlihat seolah ia tidak menghargai pengorbanan Heru selama ini, wajar saja kalau pemuda itu sampai tersinggung.

Pagi harinya pun Hera terbangun dengan kantung mata yang membesar karena kebanyakan menangis, ia bahkan baru sempat tidur menjelang pukul 5 pagi karena kelelahan. Dan hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek ponselnya, siapa tau Heru menghubunginya. Tapi ternyata harapannya berbanding terbalik dengan kenyataan.

Hera hanya bisa mendesah kecewa, ponselnya ia letakkan lagi ke kasur selagi ia berjalan mengambil handuk untuk mandi. Satu setengah jam lagi kelas pertamanya akan dimulai. Meskipun sejujurnya ia tidak bersemangat sama sekali untuk kuliah pagi ini, mood Hera benar-benar buruk.

“Heru?”

Gadis itu terkejut saat mendapati sang kembaran baru saja keluar dari kamar sebelah, sepertinya dia pulang saat Hera masih tidur. Penampilan Heru pagi ini terlihat segar dengan rambutnya yang masih agak basah, ketara sekali baru selesai mandi.

“Kapan lo pulang?”

Heru tidak menjawabnya, pemuda itu hanya meliriknya sekilas lalu melengos pergi ke lantai bawah. Jujur saja, dicuekin Heru membuat Hera nyaris menangis. Rasanya sakit sekali mengetahui fakta kalau Heru masih semarah itu padanya sampai-sampai menjawab pertanyaannya saja enggan.

Alhasil Hera hanya bisa berjalan lemah menuju kamar mandi lalu diam-diam menangis di antara berisiknya suara shower. Ah, pagi ini ia pasti jadi bahan ledekan di kelas karena datang dengan kantung mata super besar.

**

“Abis sarapan ini Eya langsung berangkat ke kampus?”

Ibun bertanya disela acara sarapan mereka bertiga. Ayah sudah pergi bekerja sejak beberapa menit yang lalu dan memutuskan untuk sarapan duluan, sementara dua anak Ibun hanya saling diam di meja makan dengan wajah masam.

“Iya, Bun.” jawab Hera saat sadar Ibun memperhatikannya terus-terusan.

“Abang ada kelas pagi juga?” kali ini pertanyaan ditujukan pada Heru yang memakan sarapannya dengan tenang, diam-diam Hera melirik ke arahnya.

“Nggak. Kelas ku masih jam sebelasan nanti, Bun.”

“Oh, kalau gitu Abang anterin Eya ke kampus dulu ya pagi ini?” pinta Ibun.

Hera langsung menatap sang kembaran dengan harap-harap cemas, dalam hati berharap agar Heru mau menyanggupi permintaan Ibun. Dengan begitu ia bisa mengobrol berdua dengan Heru sepanjang jalan. Tapi lagi-lagi kenyataan tak seindah harapan, Heru menolaknya tanpa pikir panjang.

“Nggak usah, Bun. Eya bisa sendiri kok. Dia kan udah besar, udah mandiri juga.”

Hera sadar kalau pemuda itu baru saja menyindirnya dengan kata-kata Hera sendiri, tapi tetap saja gadis itu merasa sakit hati. Terlebih lagi Heru berucap begitu sembari memandangnya dengan wajah datar, rasanya Hera ingin kembali menangis sekarang.

“Abang, kok ngomongnya gitu?”

Pertanyaan Ibun terabaikan, Heru justru menatap ke arah Hera dan berbicara padanya masih dengan wajahnya yang datar tanpa ekspresi.

“Bisa pesan gojek sendiri kan? pesan gituan doang sih nggak butuh gue ya. Karena udah besar harusnya bisa apa-apa sendiri, lagi pula gue juga udah nggak dibutuhin lagi tuh.”

Hiks...”

“Eya kok malah nangis?”

Ibun langsung panik dan menghampiri Eya di seberang meja. Gadis itu menutup wajahnya sendiri dengan lengan sembari berusaha menahan isak tangisnya, namun yang terjadi selanjutnya ia justru semakin menangis.

Sebelum ini, Heru tidak pernah menjutekinya sampai sebegininya. Bahkan kalaupun bertengkar pun tidak akan berlangsung lama, tapi marahnya Heru sekarang berbeda. Dan itu membuat Hera benar-benar sedih hingga berujung menangis di meja makan.

Lihat sekarang, bahkan Heru pun sama sekali tidak menoleh ke arahnya dan hanya mendengus sembari menikmati sarapan. Dia tidak terusik sama sekali dengan tangisan Hera, sementara Ibun sibuk menenangkannya.

“Kalian ini pada kenapa sih? Perasaan sejak Ayah sama Ibun pulang dari Jogja sikap kalian jadi beda begini? Berantem?”

Pura-pura tidak mendengar, Heru tetap sibuk mengunyah sarapannya. Ia bahkan tidak perduli saat mendengar tangis Hera semakin kencang. Kesal dengan ketidakpedulian sang anak laki-laki, Ibun sampai kelepasan membentak.

“Abang! Jawab kalau Ibun nanya!”

“Ya aku nggak tau, Bun. Yang nangis Eya kenapa malah jadi aku yang ditanyain?”

“Terus kenapa kamu jawabnya jutek gitu dari tadi?”

“Biasa aja kok, perasaan Ibun aja kali.”

“Abang!”

Prang

Heru meletakkan sendok garpunya dengan kasar ke atas piring, menciptakan suara gaduh yang membuat Hera maupun Ibun sama-saa menoleh ke arahnya. Pemuda itu berdiri dan mendorong kursinya ke belakang, matanya menatap sinis pada Hera yang masih sesegukan.

“Nggak usah nangis, berisik tau nggak? Kayak anak kecil aja, dasar cengeng!”

“ABANG!”

Tapi Heru tidak memperdulikan seruan Ibun dan malah menaiki anak tangga menuju kamarnya sendiri. Menyisakan Hera yang semakin terisak dan Ibun yang bingung harus bersikap bagaimana menghadapi dua anaknya tersebut.

“Astaga, kalian ini bikin Ibun pusing.”