Pelukan Damai
“Kenapa?”
Heru mengernyitkan kening saat dilihatnya pintu diketuk, disusul kepala Hera juga setengah badannya yang menyembul di baliknya.
Tidak seperti biasanya di mana Hera akan langsung mendatangi Heru yang duduk di atas ranjang, kali ini Hera justru diam di ambang pintu dengan ekspresi puppy eyes-nya.
“Gue boleh masuk nggak?”
“Nggak ada tulisan dilarang masuk kan tuh di depan pintu? Berarti boleh.”
Si gadis mengerucutkan bibirnya sebal, seandainya saja ini dalam keadaan normal udah Hera geplak kepala Heru pakai bantal.
“Udah nggak marah lagi ya?” tanya Heru saat sang kembaran duduk di atas ranjang yang sama dengannya.
“Pertanyaannya nggak kebalik?”
“Hah?”
“Lo udah nggak marah sama gue? Apa masih marah?” balas Hera yang membuat perasaan Heru jadi campur aduk.
Apa ia tadi terlalu kasar pada gadis itu? Heru takut menyakiti Hera dengan ucapannya.
“Maaf, gue nggak bermaksud marahin lo tadi. Cuma kebawa kesel aja gara-gara Angel tadi siang.” jawab Heru jujur.
“Hm, salah gue juga sih. Seharusnya gue bilang makasih ke lo karena udah belain gue. Bukan malah balik marah-marahin lo.”
“Kata makasihnya mau diganti aja nggak?”
Pertanyaan Heru membuat Hera mengernyitkan dahi. “Diganti pakai apa?”
“Pelukan.”
“Emang lo mau dipeluk sama gue?”
“Ya mau lah!” Heru membalas dengan penuh semangat, membuat Hera terkekeh geli dibuatnya.
Begitu saja, Heru merentangkan kedua tangannya menunggu pelukan damai dari si kembaran. Tidak butuh waktu lama tubuh Hera sudah tenggelam di dekapan Heru, pemuda itu memeluknya tidak begitu erat namun terasa sangat nyaman.
Memang sudah jadi kebiasaan mereka sejak kecil setiap kali selesai bertengkar, mereka akan saling meminta maaf dan mengakhirinya dengan pelukan yang mereka sebut sebagai pelukan damai. Biasanya pertengkaran mereka tidak akan berlangsung lama, paling-paling hitungan jam atau bahkan pernah dulu cuma sepuluh menit setelah itu baikan lagi.
Bagi Hera dan Heru pertengkaran itu salah satu love languange yang membuat mereka jadi semakin dekat seiring dengan seringnya mereka bertengkar untuk hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting.
Selagi si kembar berpelukan, di sisi lain tepatnya di depan pintu kamar Heru yang terbuka, Ayah yang kebetulan lewat justru sukses dibuat kaget. Dengan heboh Ayah berteriak memanggil Ibun yang sedang sibuk di dapur.
“Bun, Ibun! Kesini bentar deh!”
Kehebohan yang Ayah ciptakan membuat Ibun tergopoh-gopoh lari menaiki atas tangga mendatangi sang suami.
“Ada apa sih, Yah, teriak-teriak gitu? Ikan Ibun ntar gosong di penggorengan!”
“Ituloh, Bun. Sini liat, masa Eya sama Abang akur gitu sih? Biasanya gelut mulu, tanda-tanda akhir zaman apa ya?”
Kesal atas kehebohan Ayah yang dirasa berlebihan, Ibun memukul punggung Ayah dengan sutil yang tanpa sengaja terbawa.
“Huss, Ayah mulutnya!”
“Bun, itu sutilnya loh panas! Kenapa malah dipukul ke badan Ayah?!”
Ya beginilah kira-kira suasana rumah keluarga cemara, kalau bukan Hera sama Heru yang ribut paling keributan diisi oleh Ayah sama Ibun. Bagi keluarga ini, pertengkaran dan keributan is a love languange.