Mati Listrik

Benar saja perkiraan Hera, kalau Heru main ke rumah Janu sudah pasti tidak ingat waktu.

Entah sejak kapan rumah Janu itu sudah dijadikan markas bagi anak-anak The Dreamers, mereka akan berkumpul di sana dan bermain layaknya di rumah sendiri. Rumah kedua lah istilahnya.

Dari cerita Heru, orang tuanya Janu itu baik sekali. Mereka akan sangat senang jika anak mereka membawa teman main ke rumah, karena dengan begitu Janu tidak akan merasa kesepian. Maklum lah orang tuanya Janu kan sibuk, sementara dia anak tunggal.

Makanya Heru, Emil, dan Rafa betah main di rumah Janu. Terlebih lagi ada PS di sini, ada studio band juga buat mereka latihan. Di rumah Janu pun disediakan ruang bermain layaknya timezone mini, juga tersedia kolam renang kalau-kalau mereka ingin berenang. Heru tentu saja betah ada di sana.

Saking betahnya dia sampai tidak sadar jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Langit di luar sana sudah gelap, namun Heru yang begitu fokus dengan games membuatnya lupa kalau Hera sendirian di rumah.

Beruntung celetukan Emil membuat Heru langsung tersadar.

“Eh katanya bakal ada pemadaman listrik ya?”

Rafa yang duduk di sebelah Emil langsung menoleh. “Hah? Yang bener? Mampus ini hp gue sisa 15%!”

Pemuda itu segera turun dari ranjang Janu lalu mengambil chargeran nganggur yang bisa dipakai untuk men-charge ponselnya, sebab chargeran Rafa ketinggalan di kosan. Janu yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala, untung ponselnya sudah ia charge dari tadi sore.

“Anjing!”

Umpatan Heru yang begitu nyaring membuat ketiganya refleks menoleh, termasuk Rafa yang dalam hati balik mengumpati Heru karena sudah membuatnya tersentak kaget. Mewakili teman-temannya, Janu bertanya.

“Kenapa lo?”

“Gue ninggalin Eya di rumah!”

Konsol game di tangannya ia lempar asal, membuat Janu si pemilik konsol mensumpah-serapahi Heru atas tindakannya tersebut. Masalahnya ya, itu tuh masih baru!

Tak memperdulikan wajah kesal Janu, Heru merogoh saku celananya untuk mengeluarkan ponsel yang tidak ia sadari sudah bergetar sejak tadi. Layarnya mati, dan begitu menyala Heru langsung dibuat panik saat tau ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Hera.

“Kenapa sih heboh banget? Hera kan udah besar, nggak apa-apa kali ditinggal.” Emil berkomentar.

“Bodoh! Sebentar lagi listrik mati, di rumah nggak ada lilin. Yang jadi masalah, Hera tuh takut gelap!”

Kelabakan Heru berdiri dan mengambil jaketnya yang tersampir di sofa kamar Janu.

“Gue balik duluan, bye.”

**

Sepanjang jalan, Heru terus saja menghubungi sang kembaran. Namun sayang, hingga panggilan kelima pun Hera tidak juga menjawabnya.

Heru panik sekali, sampai-sampai ia melupakan pesan Hera untuk membeli lilin begitu pulang ke rumah. Seolah itu belum cukup membuat panik, motor Heru justru mogok bersamaan dengan padamnya listrik dari rumah ke rumah. Rupanya sekarang sudah pukul tujuh malam, benar kata Ibun jam segitu listrik bakalan padam.

Berhubung Heru sudah masuk ke area komplek rumahnya, tanpa pikir panjang ia langsung berlari dengan kencang tanpa memperdulikan motornya yang ia tinggalkan sembarangan di depan rumah orang. Bodoamat kalau hilang, yang penting Eya baik-baik aja. Begitu pikir Heru.

“EYA! EYA!”

Heru berteriak di depan pagar rumah mereka, membukanya dengan terburu-buru, lalu langsung menerobos masuk ke rumah tanpa mengucap salam lebih dulu. Heru sama sekali tidak perduli jika setelah ini akan mendapat protesan dari tetangga karena membuat keributan, yang terpenting ia bisa melihat Hera.

Tapi, di mana gadis itu? Kenapa tidak kelihatan?

“EYA LO DI MANA??”

“ALAMAHERA!”

“E—–”

“Apasih, Ru. Teriak-teriak? Berisik tau.”

Samar-samar, cahaya lilin dari arah dapur terlihat. Wajah Hera nampak gelap dan hanya sebagiannya saja yang terkena cahaya, namun hanya dengan begitu Heru sudah bisa bernapas lega. Dihampirinya sang kembaran lalu mengecek keadaannya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja, namun matanya langsung melotot begitu menemukan lebam di bagian lutut.

“Lo baik-baik aja? Ini lutut lo kenapa?”

Hera meletakkan lilin di atas piringan kaca tersebut ke atas meja.

“Tadi jatuh di tangga, karena gelap jadi gue nggak liat,” sesaat kemudian ekspresi gadis itu berubah kesal. “Lo kemana aja sih gue telponin berulang kali nggak diangkat?!”

Karena itulah Heru merasa bersalah, ia terlalu fokus dengan game-nya tadi sampai-sampai melupakan Hera di sini. Ditariknya bahu gadis itu agar mendekat, lalu memeluknya dengan erat.

“Maaf, seharusnya gue datang lebih cepat. Lo masih takut sama gelap?”

“Sebenarnya udah nggak terlalu sih, cuma agak sesak aja kalau lagi di tempat gelap. Makin sesak lagi begitu lo peluk, Heru. Lepasin gue!”

Heru cengengesan, melepaskan pelukan mereka dan membiarkan tangannya mengacak-acak rambut saudara kembarnya yang agak basah.

“Ah, emang hobi bikin gue khawatir.”

“Lo-nya aja yang lebay!”