Terakhir Kali
Sama seperti sebelumnya, kali ini pun Surya kembali datang lebih dulu ke kafe sebelum Heru.
Laki-laki itu tersenyum menyambut kedatangannya, lalu mengode salah satu pelayan untuk memesan minuman. Tapi Heru langsung menolaknya, dia bilang dia tidak akan lama. Surya mengangguk mengerti.
“Karena saya tau kamu nggak bisa lama-lama di sini, jadi saya pun nggak akan membuang waktu kamu terlalu banyak.”
Surya membenarkan posisi duduknya, pandangan matanya pun setia menatap ke arah anak itu. Mencoba mengingat setiap detil wajah Heru yang lagi-lagi mengingatkannya pada sosok Davira.
“Besok saya bakalan pergi ke Lampung dan tinggal di sana, di kampung halaman istri saya. Setelah itu mungkin bakal sulit buat saya ketemu kamu lagi, maka dari itu sebelum saya pergi saya mengajak kamu bertemu. Saya ingin melihat dan mengobrol sama kamu dulu, karena setelah itu nggak tau kapan saya bisa melihat kamu lagi.”
Jujur saja, saat mendengar itu semua langsung dari mulut Surya, Heru sama sekali tidak merasa sedih. Pertemuan mereka singkat, hanya dua kali, obrolan mereka pun tidak berlangsung lama. Heru tidak memiliki kesan yang mendalam pada sosok Surya, bahkan setelah ia tau kalau laki-laki itu adalah Ayah kandungnya.
Karena di mata Heru, Surya tetaplah orang asing.
“Saya minta maaf ya, Heru. Atas kesalahan saya di masa lalu, atas keegoisan saya, buat semuanya. Saya minta maaf, saya melakukan hal bodoh saat itu.”
“Saya ngerti kok, semua orang kan pernah melakukan kesalahan, nggak terkecuali Om. Yang penting mulai sekarang, saya harap Om bisa hidup dengan baik bersama keluarga Om di sana. Sayangi istri dan anak-anak Om, jangan sia-siakan mereka lagi.”
“Heru....”
“Makasih ya Om, udah bikin saya ada. Meskipun Om nggak bantu merawat saya sewaktu kecil, setidaknya saya cukup berterima kasih sama Om. Ada atau nggak adanya Om di sisi saya nggak masalah kok, saya masih punya Ayah, Ibun, sama Eya yang mau nerima dan sayang sama saya.”
Heru bilang dia tidak merasa sedih, dan itu terbukti dengan senyuman yang hadir di bibirnya. Dia tersenyum dengan tulus, menghargai setiap keputusan Surya dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi di masa lalu.
“Saya udah maafin Om kok, saya nggak mau menyimpan amarah apapun di hati saya buat Om karena kata Ayah itu nggak baik. Beliau berhasil mendidik saya jadi anak yang baik, yang sehat, nggak kekurangan satu apapun, sampai saya bisa sebesar ini. Om nggak perlu khawatirin saya, karena keluarga saya mengurus saya dengan baik.”
Di depannya sekarang, Surya menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Bersamaan dengan itu air matanya mulai jatuh membasahi pipi, memandang ke arah Heru dengan wajah menyesal sekaligus terharu.
Anak itu, tumbuh dengan sangat baik. Surya tidak akan mampu membayangkan seberapa besar kasih sayang yang telah Jo dan Zia berikan pada Heru selama sembilan belas tahun ini.
“Saya mengerti, dan saya tau Jo dan Zia mengurus kamu dengan baik. Maka dari itu saya pun nggak harus khawatir meninggalkan kamu bersama mereka.”
Surya mengusap air matanya yang kembali jatuh ke pipi.
“Tetap jadi anak yang baik ya, Heru. Buat diri kamu sendiri, buat Jo, buat Zia, buat Hera, buat semua orang yang sayang sama kamu. Saya bangga sama kamu, Heru.”
“Saya pamit.”