Pasar Malam

Gara-gara imess-nya diblock Amel, Cetta jadi tidak bersemangat pergi ke pasar malam.

Tapi karena sudah terlanjur janji, jadi ya mau tidak mau Cetta tetap pergi. Lagipula ia tidak ingin membiarkan Amel jadi obat nyamuk di antara Darrel dan Alisha, kan kasihan.

“Bianglala aja gimana?” Alisha mengusulkan wahana ketiga yang ingin mereka naiki setelah komedi putar dan Viking tadi.

Terhitung sudah lebih dari satu jam mereka berada di pasar malam, menaiki satu demi satu wahana sambil mencicipi makanan ringan yang ada. Sudah bisa ditebak kalau yang paling bersemangat adalah Alisha dan Amel, sementara Darrel dan Cetta bagian iya-iya saja alias manut pada sang gadis.

“Gue takut ketinggian, Ca. Kalian aja deh gue nggak ikutan,” tolak Amel yang mana langsung membuat Cetta mengangguk setuju.

“Gue juga nggak ikutan, takut.”

Darrel yang mendengar itu langsung mengerutkan dahi. “Lah, sejak kapan lo takut ketinggian?”

“Sejak hari ini,” Cetta menukas asal.

Alisha sempat kecewa awalnya karena dia hanya naik berdua saja dengan Darrel, tapi kalau Amel dan Cetta tidak mau ikut ya dia tidak bisa memaksa. Alhasil keduanya pergi berdua saja meninggalkan Amel dan Cetta yang memilih untuk menunggu di bangku panjang tidak jauh dari wahana bianglala.

“Haus, nyari minuman yuk!”

Amel berdiri dari tempatnya, membuat Cetta jadi ikutan berdiri lalu mengangguk setuju. Keduanya berjalan di antara kerumunan orang yang memenuhi jalan, terutama yang mengantri di beberapa stan penjual minuman maupun makanan ringan. Mungkin karena baru hari pertama jadi pasar malam begitu dipadati pengunjung. Saking padatnya Cetta sampai refleks merangkul bahu Amel, menjaga gadis itu agar tidak sampai jatuh karena kesenggol atau terdorong orang di belakang.

“Seharusnya tadi aku aja yang beli minumannya, kamu tunggu di sana,” keluh Cetta dengan kening berkerut, siapapun yang tidak sengaja menyenggol bahu Amel tidak lepas dari tatapan tajamnya.

“Cetta, ih!” Amel menusuk pinggang Cetta dengan jarinya. “Jangan galak gitu mukanya.”

“Dia tadi nabrak bahu kamu kasar banget!”

“Namanya juga nggak sengaja. Sini,” si gadis segera menarik tangan si pemuda ke salah satu stan penjual es jeruk, letaknya yang tidak begitu jauh dari mereka membuat Amel memutuskan untuk jajan di sana.

Kalau mereka berjalan lebih jauh lagi, maka tak terhitung sudah berapa banyak korban tatapan tajam Cetta malam ini. Apalagi mukanya beneran kayak orang mau ngajak ribut, takutnya malah ribut betulan nanti.

“Es jeruk aja ya, mau kan?”

Cetta mengangguk, dia memang tidak pemilih untuk urusan beginian. Segera saja Amel memesan dua buah es jeruk dan menyerahkan uangnya pada si penjual. Butuh waktu kurang lebih lima menit sampai pesanan mereka selesai dibuat.

“Suka sosis bakar nggak?” tawar Cetta sembari menunjuk salah satu stan tak jauh dari mereka.

Si gadis mengangguk mengiyakan. “Suka-suka aja.”

“Aku beliin ya? Kan kamu udah traktir es jeruk.”

“Oke.”

Kali ini gantian Cetta yang memesan, itu pun mereka masih harus menunggu karena masih ada beberapa antrian di depan mereka sekarang. Cetta menoleh pada Amel yang berdiri di sebelahnya.

“Ngomong-ngomong, ublock imess aku dong. Kan tadi aku cuma bercanda kenapa di block beneran?”

“Ya abisnya kamu ngeselin!” cibir si gadis dengan wajah kesal. “Lain kali jangan suka ngirim foto tak senonoh begitu.”

Husstt, Amel! Kecilkan suara kamu, nanti kalau ada yang dengar dikiranya aku ngirim foto yang aneh-aneh ke kamu!”

Amel mendengus seraya merotasikan bola mata. Gadis itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, mengotak-atiknya sebentar, sebelum kemudian menunjukkan layarnya pada Cetta.

“Udah aku unblock, puas?”

Tentu saja Cetta langsung tersenyum senang, pemuda itu mengulurkan satu tangannya untuk mengusap puncak kepala Amel. Refleks saja sih sebenarnya, tapi sukses membuat Amel berdebar. Tidak tau kenapa tapi tindakan sederhana yang Cetta lakukan ini bisa berdampak besar ke jantungnya.

“Amel, kepanasan ya? Kok pipinya merah?”

Entah apa maksud Cetta bertanya dengan wajah polos begitu, Amel buru-buru menunduk sembari memegangi pipinya sendiri. Dia pasti terlihat norak saat ini, masa iya baru dielus kepala udah merah aja sih.

Eh, nggak kok. Aku nggak apa-apa.”

“Beneran?”

“Iya.”

Cetta mengangguk saja. Namun perubahan ekspresi di wajahnya membuat Amel tidak tahan untuk tidak bertanya.

“Ta, kenapa?”

“Aku kok mendadak sakit perut ya?”

Hah? Ya udah kalau gitu buruan ke toilet sana, biar aku tunggu di sini.”

“Nggak apa-apa emang?”

“Iya, buruan udah sana pergi.”

“Maaf, Amel. “

Setelah berucap begitu Cetta langsung berjalan cepat ke salah satu arah, tempat toilet berada. Amel hanya geleng-geleng kepala menyaksikannya sembari menunggu pemuda itu kembali.

Saat hendak mengembalikan ponsel ke dalam tas, Amel tersadar kalau layar ponsel Cetta menyala. Pemuda itu memang sempat menitipkan ponselnya pada Amel karena tidak memiliki saku untuk menaruh ponsel.

Tadinya Amel pikir Darrel yang mengirim pesan pada Cetta dan bertanya keberadaan mereka sekarang, tapi ternyata Amel salah. Justru nomor tak dikenal lah yang mengirimi Cetta pesan.

Amel sontak terdiam saat matanya tidak sengaja membaca salah satu pesan yang tertera di lockscreen notifikasi Cetta.

Seorang gadis mengiriminya pesan.