Dinner
Malam harinya, Cetta dan Maminya betulan datang ke rumah Amel.
Gadis itu sedang asik menonton acara TV saat bel pintu berbunyi, Mama yang awalnya sibuk menata piring di meja makan pun langsung beranjak membuka pintu. Akan tetapi sebelum melakukan itu, Mama menyempatkan diri untuk menepuk kasar kaki Amel yang sedang selonjoran di atas meja.
“Tadi Mama suruh apa coba sama kamu?”
“Hah?” Amel mengecilkan sedikit volume TV di depannya. “Emangnya tadi Mama nyuruh aku apa?”
“Hihh, kamu tuh ya!” tangan Mama mendarat di telinga sang anak untuk menjewernya, kontan saja Amel menjerit kesakitan. “Pakai baju yang sopan, jangan kaosan sama celana pendek gitu! Kita nih mau kedatangan tamu loh.”
Si anak mendelik tidak suka seraya menjauhkan tangan Mamanya dari telinga. “Emang siapa yang bakal datang sih, kayak yang penting banget gitu. Lagian paling nanti kalau tamunya masuk aku bakal ngendep di kamar.”
“Penting banget, tamu kita itu teman Mama. Jadi kamu nggak boleh sembunyi di kamar!”
“Loh, kok—–”
“Permisi~”
“Astaga, Mama sampai lupa kan tamunya udah nunggu di depan. Kamu sih!” ucap Mama sambil berjalan cepat ke depan pintu.
Amel dibuat melongo karenanya. “KOK JADI AKU YANG DISALAHIN SIH?!”
***
Saat Mama berkata kalau ada tamu yang akan datang, Amel tidak kepikiran kalau itu adalah Tante Bunga dan anaknya, Cetta!
Astaga, ini benar-benar di luar ekspetasi. Ia hanya bisa meringis malu ke arah Tante Bunga yang tersenyum di seberang meja makan, juga Cetta yang menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Di sebelahnya, Mama menyikut perutnya sambil memberi kode ke atas kepala. Amel awalnya bingung, tapi beberapa detik kemudian langsung sadar dan buru-buru merapihkan ikatan rambutnya yang berantakan.
Gara-gara rebahan nonton TV tadi, rambutnya jadi lumayan berantakan. Pantas saja tadi Cetta sempat menertawainya, di mata pemuda itu Amel pasti terlihat seperti pembantu dengan dandanan lusuhnya dibanding anak pemilik rumah.
Duh, malu banget!
Amel meruntuki penampilannya sendiri malam ini. Kalau saja ia tau Cetta yang akan datang, Amel pasti sudah berlari kabur ke kamarnya sejak awal dan tidak turun sampai dia pulang. Tapi mau gimana lagi, sudah nasib.
“Amel, ingat sama Tante nggak?” Wanita di depannya bertanya, suara lembut khasnya langsung menyapa gendang telinga Amel.
“Eung, maaf. Aku lupa, Tan. Taunya cuma kalau Tante temennya Mama.”
Amel menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tak gatal, lalu meringis ke arah wanita itu dengan wajah bersalah. Amel memang gampang sekali melupakan wajah orang, terlebih lagi orang yang sudah tidak ia temui selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, dia selalu mengingat nama orang itu, tak terkecuali Tante Bunga.
Untung saja Tante Bunga tidak tersinggung. Wanita cantik nan lembut itu justru tersenyum maklum.
“Wajar aja sih, soalnya terakhir kali kita ketemu pas kamu sama Cetta baru masuk SMA. Eh, iya nggak sih, Hel?” Tante Bunga bertanya pada Mama untuk memastikan.
“Iya bener. Berarti udah lima tahunan dong ya, anak-anak sekarang udah pada semester empat. Udah pada besar-besar.”
Tante Bunga tertawa menanggapi. “Iya nih, udah pada bujangan. Siap-siap, bentar lagi kita gendong cucu.”
Mama ikut tertawa, sementara Amel hanya tersenyum canggung. Beda lagi dengan Cetta yang ikutan tersenyum sambil menyuap semur daging buatan Mama dengan tenang, pemuda itu tidak kelihatan terganggu sama sekali.
“Ngomong-ngomong, suami sama anak kamu yang satunya kemana, Hel?”
“Oh, Papanya Amel lembur malam ini jadi nggak bisa ikut dinner bareng kita. Kalau Gabriel—–”
“Ma, aku keluar du—– Eh, ada tamu ya?”
Gabriel, adik laki-laki Amel yang baru keluar dari kamar itu tersenyum canggung ke arah Tante Bunga lalu berjalan menghampiri meja makan, tempat mereka berkumpul.
“Iyel, salim dulu sana sama Tante Bunga dan kak Cetta.”
Anak bungsunya itu menurut, tanpa banyak kata langsung mencium punggung tangan Bunga juga Cetta bergantian.
“Kamu mau kemana, Yel? Rapi amat,” tanya Mama keheranan.
Gabriel hanya tersenyum malu sambil berucap, “Keluar bentar, Ma. Ketemu teman.”
Jawaban adiknya tidak terdengar meyakinkan di telinga Amel, jadi gadis itu langsung memasang wajah curiga.
“Teman apa teman? Mau ngapelin pacar lo kan?”
Si adik langsung mendelik tidak suka. “Apa sih, sok tau!”
“Ingat ya, lo tuh masih kecil nggak boleh pacar-pacaran. Duit masih minta sama orang tua tuh nggak usah sok!”
“Kita cuma beda dua tahun ya kalau lo lupa, gue bukan anak kecil!”
“Husstt, udah-udah jangan berantem. Iyel kalau mau main ya main aja, yang penting pulang jangan lewat dari jam sepuluh.”
“Oke, siap!” Gabriel tersenyum sumringah ke arah Mama, namun langsung memasang wajah permusuhan pada kakaknya.
Amel tidak mau kalah dong, jadi dia balas memelototi Gabriel dan membuat sang adik iseng mendorong keningnya sebelum berlari kabur ke luar rumah.
“IYELLL!!” gadis itu berteriak murka, hampir lupa dengan keberadaan Bunga dan Cetta di seberang meja.
“Duh, maafin kelakuan anak-anak ya. Mereka berdua ini emang sering berantem, nggak pernah akur” ucap Mama tidak enak hati.
Tapi rupanya Tante Bunga tidak menganggap itu hal yang serius dan memaklumi tingkah Amel dan Gabriel barusan.
“Yang kayak gitu malah bikin rumah rame tau, Hel. Soalnya di rumah kami sepi banget, cuma ada aku sama Cetta.”
“Kamu nggak ada kepikiran mau nikah lagi gitu, Nga? Buat nemenin di rumah. Cetta juga udah dewasa, waktu berlalu nggak terasa loh. Tau-tau dia nanti udah punya keluarga sendiri, kamu pasti kesepian.”
“Nggak dulu deh, jujur kelamaan sendiri bikin aku nyaman.”
Rahel hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti, sengaja juga tidak ingin membahas hal itu lagi karena takut menyinggung perasaan temannya. Wanita itu pun mengalihkan pandangannya pada Cetta yang masih makan dengan tenang.
“Ganteng ya anak cowok mu, Nga. Keliatannya sopan dan lembut banget,” puji Rahel yang mana membuat Cetta tersenyum malu.
Amel yang menyaksikan itu mengangkat sebelah alisnya, meragukan ucapan Mamanya barusan. Karena ya mau dilihat dari sisi manapun muka Cetta tuh nyeremin, galak gitu. Lembut dari mananya coba. Tapi karena tidak ingin merusak suasana, Amel memilih untuk mendengarkan saja tanpa banyak bicara.
Mendengar anaknya dipuji begitu membuat Bunga jadi ikutan balik menatap Amel.
“Anak gadis mu juga cantik loh, Hel,” pujinya yang juga dibalas senyum malu oleh Amel.
“Makasih, Tante.”
“Kata Cetta kalian sekampus ya, Mel? Dekat nggak?”
“Ah, itu. Iya kami sekampus, Tan. Tapi nggak dekat.”
“Aku sama Amel beda jurusan, Mi. Beda gedung juga, jadi hampir nggak pernah ketemu.”
Bunga mengangguk mengerti. “Mulai sekarang sering-sering ketemu ya, biar kalian bisa dekat juga kayak Mami sama Mamanya Amel. Dulunya kita juga temen sekampus loh.”
Karena bingung harus menjawab apa, Amel hanya bisa nyengir di hadapan Bunga. Cetta pun hanya tersenyum sambil mengangguk.
Setelahnya acara makan malam mereka berlanjut dengan Bunga dan Rahel yang berbincang tentang masa lalu, sesekali akan melempar pujian pada satu sama lain. Beda lagi dengan Cetta dan Amel yang tidak banyak bicara, hanya makan dengan tenang sambil diam-diam saling melirik.
Ngomong-ngomong, Cetta kelihatan tampan hari ini. Ah, apa memang dia sudah setampan itu sejak dulu?
Amel baru menyadarinya.