Tidak berjalan baik
“Eh, eh, itu Cetta bukan sih?”
“Hah? Mana? Lah iya, ngapain dia di depan toilet cewek gitu?”
“Dih, mana gue tau?”
Sosok yang sejak tadi jadi pusat perhatian dan omongan dari beberapa mahasiswa Ekonomi itu hanya melirik sekilas dua gadis yang tadi membicarakannya, lalu kembali menunduk sambil pura-pura bermain ponsel.
Sebenarnya tidak mengherankan juga sih mengingat sebagian besar orang tau dirinya adalah anak Ilmu Komunikasi, untuk apa juga ada di departemen Ekonomi Bisnis gitu. Terlebih lagi berdiri layaknya pengawal yang berjaga di depan pintu toilet wanita, pasti Cetta kelihatan aneh di mata banyak orang.
“Cetta.”
Si pemuda sontak menoleh saat suara Amel terdengar dari pintu toilet yang sedikit terbuka, gadis itu tidak membiarkan pintunya terbuka lebar. Amel meringis sambil tersenyum paksa ke arah Cetta yang lantas mengerutkan kening kebingungan.
“Udah, Mel?”
“Udah, Ta. Tapi....”
“Kenapa?”
Amel menggaruk pelipisnya, agak malu juga kalau harus bicara jujur. Tapi ya sudah lah, dia juga sudah kepalang malu minta tolong Cetta untuk membelikannya pembalut.
“Bocornya parah ternyata, nembus sampai celana.”
Si pemuda mengangguk paham. Sesaat kemudian langsung membuka tas ransel yang sejak tadi ia sampirkan di salah satu bahu, lalu mengeluarkan sebuah kemeja flanel dari dalam sana.
“Pakai nih, panjang kok itu. Kalau kamu yang makai sih kayaknya lebih dari setengah paha.”
Amel memandangi kemeja yang disodorkan Cetta padanya, kemejanya terlihat familiar memang. Amel ingat tadi pagi saat mereka berangkat ke kampus bersama pemuda itu memakai kemeja, tapi sekarang sudah berganti dengan jaket jeans berwarna sandwash blue. Kemejanya justru diberikan pada Amel.
“Bukannya tadi pagi kamu pakai kemeja ini ya? Kok tau-tau ganti jaket?” tanya Amel, penasaran saja sebenarnya sembari melapisi kaosnya dengan kemeja Cetta. Benar ternyata, panjangnya sampai setengah paha. Cukup untuk menutupi noda di bagian belakang celananya.
“Aku emang biasa ninggal jaket di jok, jaga-jaga kalau pulang kuliah kemalaman. Eh, tapi kemeja aku nggak bau kan? Aku lupa nyemprotin parfum lagi soalnya.”
“Masih wangi kok,” kekeh Amel yang mana setelah itu membuat Cetta tersenyum salah tingkah. “Udah makan siang belum? Aku laper nih.”
“Belum, ya udah yuk makan. Mau di kantin biasa?”
Kantin biasa yang disebut Cetta barusan pasti kantin samping gedung F, jadi Amel buru-buru menggelengkan kepalanya. Takut kejadian tempo hari terulang kembali.
“Nggak usah, kita makannya di kantin FEB aja.”
“Loh, tumben? Nggak mau makan siomay?”
“Nggak, maunya ayam geprek!”
“Naka!”
Saat mereka memasuki area kantin, mata Amel langsung bisa menemukan sosok laki-laki berambut agak gondrong berada di salah satu meja kantin. Dia sendirian di sana, sibuk bermain ponsel, sepertinya menunggu pesanannya selesai dibuat.
“Hei, Amel!” Naka membalas sapaan temannya itu lalu tersenyum ke arah Cetta yang mengekor Amel di belakang.
“Tumben makan di sini?” tanya pemuda itu pada Cetta.
“Nih, dia yang ngajak.”
Saat jemari Cetta tertuju ke arahnya, Amel hanya membalas dengan kekehan kecil. Gadis itu mengambil duduk di salah satu kursi di depan Naka, sementara Cetta ada di sebelah kanannya.
“Oh iya, belum pesan!” Amel menoleh ke arah sang pacar sembari menepuk keningnya. “Aku atau kamu aja nih yang pesan, Ta?”
“Aku aja, ayam geprek kan?”
“Iya, thanks Cetta.”
Pemuda itu mengangguk, lalu beranjak dari kursinya untuk memesan makanan mereka. Naka mengikuti arah kepergian temannya itu sebelum kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Amel yang sibuk bermain ponsel.
“Udah baikan lo sama dia? Nggak bete lagi?”
Amel menjawab dengan anggukan dan seulas senyum. “Emang kayaknya gue nggak bisa marah lama-lama deh.”
“Bagus kalau gitu.”
“Oh iya,” Amel ikut memajukan sedikit tubuhnya ke arah Naka, membuat si pemuda terbelalak lalu refleks memundurkan kepalanya agar wajah mereka tidak terlalu dekat. “Tugas kelompok perencanaan bisnis lo gimana? Udah selesai?”
Tidak langsung menjawab, Naka berdehem sejenak. “Hampir. Tinggal bikin cover, sama penutupnya aja sih. Punya kalian gimana?”
“Baru 80% lah kira-kira. Kami baru bab dua sama tiga doang yang udah diketik, sisanya belum sama sekali. Kesel banget anak-anak grup pada slow respon, kalau diajak kerkom banyak banget alasannya. Nanti ujung-ujungnya pasti gue juga yang ngerjain,” keluh Amel sambil melipat tangannya ke dada. “Giliran ngejulidin gue aja gercep banget!”
“Tissa and friends? Sabarin aja lah, mereka emang gitu.”
“Ya, sabarin aja. Toh, seminggu lagi juga udah deadline dan itu artinya gue bakal terlepas dari mereka.”
Tidak lama setelah itu Cetta kembali dengan nampan di tangannya, membawa dua porsi ayam gerpek dan nasi tidak lupa minumannya juga. Pemuda itu memberitahu Naka kalau pesanan dia juga sudah selesai, jadi pemuda itu buru-buru pergi untuk mengambilnya.
“Antri banget ya?” tanya Amel saat Cetta memberikan ayam geprek dengan cabai ulek melimpah di atasnya.
“Lumayan lah, ngobrolin apa aja tadi sama Naka? Kayaknya seru banget.”
“Cuma masalah tugas kok.”
“Oh.”
“Buset. Itu cabenya apa nggak kebanyakan, Mel?” komentar Naka begitu kembali ke meja mereka, dia membawa seporsi mie ayam dengan beberapa butir baso di atasnya.
“Nggak kok, pas aja ini.”
Naka menoleh ke arah Cetta yang terlihat bingung. “Ta, kurangin itu cabenya si Amel. Takutnya nanti diare kayak waktu SD dulu.”
“Waktu SD?”
“Iya, gara-gara nge-sok makan bakso pakai banyak sambal dianya jadi diare di sekolah. Udah tau nggak bisa makan yang pedes-pedes masih aja ngeyel! Gue satu sekolah sama dia pas SD dulu.”
Entah kenapa mendengar bagaimana Naka lebih tau tentang Amel ketimbang dirinya sendiri membuat perasaan Cetta jadi agak kesal. Tau sih ini mungkin terlalu kekanakan gitu, tapi ya gimana dia nggak suka aja. Kesannya seperti dia kalah satu langkah dari Naka, padahal kan mereka tidak sedang berlomba sekarang.
“Ya itu kan dulu, sekarang gue udah dewasa dan bisa makan yang pedas-pedas. Nggak bakal diare kok cuma segini do—– Ta, kok cabenya diambilin sih?!” protes Amel.
Namun Cetta yang masih diliputi perasaan kesal itu justru tanpa sadar menyahut dengan suara ketus. “Biar nggak diare!”
Naka terdiam mengamati reaksi temannya tersebut. Perasaan tadi biasa saja, sekarang wajah Cetta justru berubah jutek dan suaranya pun jadi agak ketus begitu. Selain pernah jadi teman Amel sewaktu SD, Naka juga pernah jadi teman Cetta saat SMA. Jadi ia cukup memahami dengan baik setiap reaksi yang temannya itu tunjukkan.
Cetta sedang cemburu.
“Cetta, ada pesan tuh.”
“Hah?”
“Dari Renata,” lanjut Amel yang tadi tanpa sengaja membawa notifikasi imess yang baru saja masuk di ponsel Cetta.
Pemuda itu langsung sadar lalu mengambil ponselnya. Ternyata benar Renata mengiriminya pesan, jadi Cetta dengan cepat membalas pesannya.
“Kenapa dia?” tanya Amel penasaran, agak kesal juga sih sebenarnya.
Pokoknya kalau sudah bersangkutan dengan yang namanya Renata, Amel auto sensi. Bawaannya pengen marah-marah juga, mungkin juga efek haid emosi Amel jadi tidak terkontrol dengan baik.
“Renata mau minta tolong sama aku.”
“Oh.”
'Lagi-lagi Renata, menyebalkan!'. Batinnya menggerutu.
Amel sengaja tidak bertanya lebih lanjut minta tolong apa yang dimaksud, ya karena malas saja mendengarnya saat nama Renata diucapkan langsung oleh Cetta.
Naka yang sejak tadi hanya jadi saksi memilih untuk tidak berucap satu patah kata pun, namun matanya tak lepas memandangi kedua temannya itu.
'Sepertinya akhir-akhir ini hubungan keduanya sedang tidak berjalan baik. Maksudnya, mereka jadi sering sensi pada satu sama lain dan tidak jarang terlibat cekcok meski tidak berlangsung lama. Terlebih, sejak ada Renata.'