Sisi Egois Cetta

Sesampainya Cetta di studio foto yang dimaksud Renata, pemuda itu langsung mengirim pesan pada sang pacar untuk mengabari bahwa ia sudah sampai dan menunggu di depan.

Tak berselang lama kemudian, seorang gadis dengan high heels tujuh senti tersebut langsung keluar dari studio lalu menghampirinya. Senyum Renata langsung mengembang ceria saat ia telah masuk ke mobil, menemukan Cetta yang balas tersenyum ke arahnya dengan wajah agak lelah.

Satu tangan si gadis terulur untuk mengusap sisi wajah sang pacar. “Kamu keliatan kurang tidur, Ta.”

“Kamu bisa bilang itu ke diri kamu sendiri, Ren.”

Renata terkekeh seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Sebuah jaket abu-abu pun langsung ia terima saat si empunya menyerahkannya, Cetta memberikan jaket ukuran besar sekaligus tebal tersebut agar sang pacar tidak merasa kedinginan. Sejak pacaran dengan Amel, ia jadi punya kebiasaan seperti itu.

Cetta buru-buru menggelengkan kepalanya saat lagi-lagi teringat kenangannya dengan sang mantan pacar, ia rasa mulai sekarang ia harus belajar untuk melupakan Amel. Meskipun itu sulit, sangat sulit.

“Maaf ya, aku ngerepotin kamu pasti.” celetuk Renata memecah keheningan di dalam mobil.

Masih dengan tangan yang berada di stir kemudi, Cetta menoleh sekilas ke arah Renata seraya tersenyum. “Nggak sama sekali kok, aku malah senang kalau bisa jadi seseorang yang kamu butuhkan.”

Renata melingkarkan tangannya ke lengan Cetta sembari menyandar ke bahu si pemuda. Masih dengan senyum manis di wajahnya, ia menatap jalanan malam kota yang agak lengang di jam satu dini hari. Sejujurnya ia sangat lelah dan mengantuk sekarang, terpikir mau langsung tidur saja kalau bisa. Akan tetapi membiarkan Cetta tetap terjaga dan menyetir mobil sendirian juga tidak terdengar bagus, pemuda itu sudah meluangkan waktu untuk menjemputnya, setidaknya Renata harus mengajaknya mengobrol agar tidak kesepian.

Akan tetapi baru juga berniat membuka mulut untuk melontarkan obrolan lain, suara Cetta sudah lebih dulu menginterupsinya.

“Aku tau kamu capek, Ren. Tidur aja sana, nanti kalau udah sampai aku bangunin.”

“Nggak, kalau aku tidur nanti siapa yang nemenin kamu ngobrol?”

“Aku nggak masalah kok. Udah tidur aja, besok pagi kamu ada photoshoot lagi kan?”

Si gadis mengangguk pelan, ekspresinya masih terlihat keberatan. “Beneran nggak apa-apa?”

“Iya.”

“Ya udah, aku tidur kalau gitu.”

Setelahnya, Renata langsung mengubah kembali posisinya menjadi menyandar ke sandaran kursi. Jaket milik Cetta yang melekat di tubuhnya ia rapatkan lagi, sebelum kemudian perlahan mulai memejamkan mata. Entah mungkin saking lelahnya karena sudah bekerja dari siang hari, hanya butuh waktu lima menit Renata sudah jatuh terlelap. Membuat Cetta tersenyum ke arahnya sambil mengusap lembut kepala Renata.

Gadis itu sudah bekerja sangat keras selama ini. Cetta ingat tempo hari Renata bilang kalau lusa adalah jadwal pengobatan sang Ayah, jadi ia harus bekerja sangat keras untuk membayar biaya rumah sakitnya. Sebagai pacar, Cetta tidak bisa banyak membantu. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengantar jemput Renata saat ke studio ataupun lokasi foto yang kadang bisa sampai ke luar kota, menyempatkan waktu membalas pesan yang dikirim sang gadis, atau kadang video call-an jika gadis itu merindukannya namun mereka tidak bisa saling bertemu. Hanya sekedar perhatian-perhatian kecil yang bisa ia berikan agar Renata tidak merasa kesepian.

Berhubung letak studio tadi tidak seberapa jauh dari apartemen Renata, tidak butuh waktu lama mereka sudah sampai di sana. Cetta memarkirkan mobilnya di depan gedung apartemen, mematikan mesinnya, lalu menepuk pelan bahu sang gadis hingga berhasil mengusik tidur lelapnya.

“Bangun, kita udah sampai nih.”

Tidak langsung menjawab, Renata menyipitkan mata terlebih dahulu guna menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke retina. Matanya yang agak sayu menatap lurus pada Cetta lalu tersenyum, kedua tangannya terangkat ke arah sang pacar yang langsung paham apa maksudnya.

Cetta membawa Renata ke dalam pelukan hangatnya, menepuk pelan punggung si gadis, lalu meninggalkan beberapa kecupan di puncak kepalanya. Ini sudah menjadi rutinitas mereka sebelum berpisah.

“Besok mau aku antar lagi nggak ke studio?”

“Emangnya kamu nggak ada kelas?”

“Kamu jadwalnya jam berapa emang?”

“Sebelas.”

“Masih sempat, aku kelasnya jam setengah dua belas.”

Renata tersenyum, kemudian mengangguk. Betapa ia merasa beruntung memiliki pacar seperhatian Cetta, sifatnya sejak dulu sampai sekarang juga tidak pernah berubah. Pemuda itu selalu lembut dan perhatian padanya, selalu paham apa yang ia inginkan, tau apa yang ia rasakan, dan mengerti bagaimana keadaannya. Cetta seolah terlahir untuk melengkapi hidupnya yang serba kekurangan.

Kemudian, pelukan mereka terlepas. Renata mencondongkan tubuhnya ke arah Cetta, menatap wajah sang pacar dengan jarak super dekat, sebelum kemudian mendaratkan bibir terpoles lipgloos miliknya ke bibir Cetta. Si pemuda nampak menegang sesaat, mencoba mengerti situasinya, sebelum kemudian membalas ciuman sang pacar saat telah berhasil menguasai diri.

Secara impulsif kedua lengan Renata melingkar ke leher Cetta, mempersempit jarak di antara mereka, juga sekaligus memperdalam ciumannya. Sementara itu, lengan kekar Cetta pun turut melingkar di pinggang sang gadis. Napas keduanya nampak memburu saat lumatan demi lumatan itu terjalin, saling bertukar saliva dengan penuh cinta, hingga baru berhenti saat Renata mulai kehabisan napasnya.

Thank you, Cetta.” ucap Renata sembari memeluk Cetta sekali lagi, lalu keluar dari mobil dengan wajah yang memerah.

Ngomong-ngomong, itu ciuman kedua mereka. Pertama kali mereka berciuman itu sewaktu SMA, Cetta ingat kala itu ia dan Renata hanya berdua saja di rumahnya saat sedang mengerjakan tugas kelompok bersama. Beruntung tidak ada Mami yang memergokinya saat itu.

Cetta tersenyum saat kenangannya bersama Renata kembali hadir, bahkan terulang lagi dengan situasi yang berbeda. Hanya saja senyumnya tidak berlangsung lama, sebab entah kenapa ingatannya justru terputar kembali saat ia tengah menunggu hujan reda di halte bersama Amel. Kala itu, ia juga hampir mencium Amel seandainya saja gadis itu tidak bersin. Cetta tertawa tanpa sadar, itu momen yang lucu.

Ah, bahkan sampai sekarang pun ia masih memikirkan Amel.


“Sial!”

Cetta memukul stir kemudi saat mobilnya berhenti di depan sebuah rumah dua lantai di sisi kanannya. Tidak tau kenapa ia justru datang kemari, tadi di perjalanan ia memang sempat melamun dan begitu sadar ia sudah ada di depan rumah Amel. Konyol sekali memang.

Pandangan matanya kemudian tertuju pada kamar Amel yang masih kelihatan jelas dari tempatnya berada sekarang, lampunya menyala terang, mudah bagi Cetta menyimpulkan bahwa si gadis pasti belum tidur. Amel terbiasa tidur dengan lampu mati, entah apa yang sedang dia lakukan di jam dua dini hari ini sampai-sampai belum tidur juga.

Cetta meraih ponselnya di atas dashboard mobil, tadinya ia berniat mengirim pesan pada Amel. Beberapa kata sudah ia ketik di ponselnya, namun pada akhirnya ia merasa ragu apakah kira-kira ia masih pantas mengirimi Amel pesan saat hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Saat sudah putus begini pun, Cetta rasa Amel berusaha keras menjauhi dirinya terutama saat tidak sengaja bertemu di kampus.

Frustasi, Cetta mengacak rambutnya sendiri. Dia tidak bisa membohongi diri kalau ia merindukan Amel, Cetta rindu momen kebersamaannya dengan sang gadis. Cetta rindu senyumnya, perhatiannya, tawanya, tingkahnya, manjanya, Cetta rindu semua yang ada pada diri Amel. Tapi di sisi lain ia juga sadar kalau itu bukanlah hal yang benar. Sekarang ia sudah berpacaran dengan Renata, sudah seharusnya dia fokus pada hubungannya saat ini, bukan malah terus-terusan menggalaukan Amel seperti orang bodoh.

Akan tetapi sisi egois Cetta ternyata jauh lebih kuat dibanding akal sehatnya. Meski tau ini adalah perbuatan yang salah, pada akhirnya ia tetap mengirim pesan pada Amel. Entah akan dibalas ataupun tidak, Cetta tidak perduli. Ia melempar ponselnya ke jok penumpang di samping sebelum kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan area perumahan Amel.

Yang Cetta tidak ketahui adalah berselang beberapa detik saat ia mengirim pesan, ada Amel yang langsung mengintip dibalik tirai kamarnya, mendapati mobil hitam Cetta yang menyala sebelum kemudian pergi begitu saja.

“Apa yang lo lakuin sekarang, Cetta?”