About My Dreams

“Nggak bisa, Kila. Masa malam pertama pernikahan kalian kamu mau tidur sama Mami Papi sih?”

“Kali ini aja, Mi. Kan besok-besok nggak lagi. Lagian malu tau masa tidur sama si Awan?”

“Ya kan Awan suami kamu, ngapain malu?”

Ih, tetap malu, Mi.”

Pukul setengah dua belas malam, Kila berdebat dengan Maminya di depan pintu kamar orang tuanya. Berhubung ia maupun Awan sama-sama lelah dan belum sempat pindahan, jadi untuk malam ini mereka akan menginap dulu di rumah orang tua Kila. Rencananya besok siang bakalan pindah ke apartemen Awan, barang-barang Kila di kosan juga belum semuanya di packing sih.

“Udah sana balik ke kamar kamu, Awan pasti udah nungguin tuh.”

“Justru itu, Mami. Please, izinin aku buat tidur di sini.”

“Nggak, nggak boleh gitu. Pokoknya tidur sama Awan malam ini.”

Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Mami yang mengunci pintu kamarnya dari dalam dan sama sekali tidak membiarkan anaknya untuk masuk. Gadis itu mendengus frustasi, lututnya lemas hingga akhirnya terduduk di lantai keramik yang dingin. Tangannya mengetuk-ngetuk pelan pintu kamar, namun Papinya justru berseru dari dalam.

“Nggak usah banyak drama, Shakila. Buruan tidur sana!”

Yang kemudian membuatnya tidak punya pilihan lain selain tidur dengan Awan malam ini.


“Habis dari mana?”

Awan bertanya saat Kila baru saja masuk ke kamarnya dengan wajah cemberut. Gadis itu mendengus keras disertai tatapan tajam, mungkin sengaja untuk menunjukkan kekesalannya pada pemuda itu. Sebenarnya bukan salah Awan juga sih, tapi karena Kila bingung mau melampiaskannya ke siapa jadi Awan lah sasarannya.

Pemuda dengan kaos putih dan celana pendek selutut yang kini duduk menyandar di headboard ranjang Kila menatap sang istri kebingungan, dalam hati turut bertanya-tanya apakah dia buat salah barusan?

“Shakila—–”

“Bisa nggak ... jangan tidur di ranjang gue.”

Dibanding pertanyaan, nada bicara Kila lebih terdengar seperti perintah. Tapi Awan tidak tersinggung kok, dari awal ia sudah menduga hal tersebut akan keluar dari bibir Kila. Gadis itu mana mau tidur seranjang dengannya. Meski mereka berdua sudah resmi menjadi suami istri sekalipun, Awan masih belum berhasil mendapatkan hati gadis itu.

Tidak masalah, Awan akan berusaha lebih keras lagi ke depannya. Toh, mau seberapa keras pun Kila menolak, berdasarkan hukum dan agama mereka sudah terlanjur terikat.

“Saya udah duga kalau kamu bakal keberatan,” Awan tersenyum sambil beranjak dari ranjang Kila yang sebenarnya muat untuk ditempati dua orang dewasa seperti mereka. “Maka dari itu saya udah minta asisten saya buat bawain kasur lipat.”

Awan menunjuk sebuah kasur lipat yang tersandar di pojokan kamar, sebelum kemudian tersenyum pada Kila.

“Kalau saya tidur di samping ranjang kamu nggak apa-apa kan? Jaga-jaga kalau kamu jatuh dari ranjang pas lagi tidur. Saya juga nggak mungkin kan tidur di luar? Nanti orang tua kamu bakalan mikir macam-macam.”

Kila memandangi pergerakan Awan yang mengambil kasur lipat bawaannya dan betulan menggelarnya di samping ranjang, pemuda itu juga membawa selimut tambahan sendiri. Benar-benar sudah dipersiapkan secara matang, atau pikiran Kila saja yang mudah ditebak?

Ah, terserah saja lah. Kila tidak akan peduli!

“Boleh minjam bantalnya nggak, Kila? Asisten saya lupa bawa bantal tambahan tadi,” katanya sambil nyengir.

Sejenak, Kila merasa tidak tega. Dia sadar sih apa yang ia lakukan saat ini sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin ia membiarkan suaminya tidur di tempat terpisah saat malam pertama pernikahan mereka, ditambah lagi usia Awan itu lebih tua darinya. Tapi dibanding perasaan tidak tega, rasa gengsinya jauh lebih tinggi dari itu.

Jadi, ia serahkan salah satu bantalnya pada Awan yang langsung diterimanya dengan senang hati. Gadis itu kembali mendengus kasar seraya rebahan di atas kasur, serta memasukkan tubuhnya ke dalam selimut hingga sebatas dada.

“Shakila, jangan tidur dulu ya. Saya mau bicara sebentar.”

Kila menolehkan kepala pada sosok Awan yang kini juga sudah rebahan di atas kasur lipat serta berlapiskan selimut. Kemudian gadis itu kembali menatap langit kamarnya yang berwarna cokelat seraya membalas, “Bicara apa?”

“Tentang kita sebagai suami istri.”

Awan ikut menatap langit kamar Kila dengan senyum di wajah. Sepanjang hari ini dia memang banyak tersenyum, agaknya wajar saja karena hari ini merupakan hari pertamanya berganti status dari lajang menjadi menikah. Awan sudah jadi suami Kila sekarang, secara sah berdasarkan agama dan hukum negara.

“Waktu saya bilang nggak akan membebankan kamu dengan tanggung jawab sebagai seorang istri, saya serius, Shakila. Saya nggak akan maksa kamu buat masakin saya setiap hari, karena saya juga bisa kok ngelakuin itu sendiri. Saya juga nggak akan nyuruh kamu nyuci ataupun nyetrikain baju saya, karena saya juga bisa melakukan itu kok, kadang kalau sibuk saya antar aja ke laundry. Untuk masalah kebersihan apartemen, saya biasanya minta ART di rumah buat bersih-bersih juga di apart saya. Jadi kamu nggak perlu repot melakukan semua itu, Shakila.”

Ada jeda sejenak dari ucapan Awan, mungkin dia sedang berpikir dan merasa ragu untuk mengatakannya. Jadi Kila sengaja menunggu untuk beberapa saat sampai akhirnya suara Awan kembali terdengar.

“Masalah itu ... kamu tau? Anak? Saya nggak akan maksa kamu. Beberapa kesempatan mungkin Mama saya bakalan nanya dan bikin kamu merasa terganggu. Tapi tenang aja, saya bakal kasih tau mama buat nggak menyinggung masalah itu di depan kamu.” Awan menarik napasnya dalam-dalam sebelum kemudian lanjut bicara. “Kamu masih boleh kok main sama teman-teman kamu, kalau mau nonton atau shopping di mall juga silakan. Saya nggak akan larang kamu, Kila. Asal masih dalam batas wajar.”

“Saya menghargai kamu sebagai perempuan juga sebagai istri saya. Dari awal kamu juga udah bilang kok kalau menikah dengan saya hanya karena terpaksa. Jadi saya nggak akan menuntut kamu macam-macam dalam pernikahan ini, setidaknya sampai kamu siap dan mau menerima saya sebagai suami kamu. Saya mungkin bakalan cerewet dalam beberapa hal, tapi yang harus kamu tau adalah kalau saya melakukan itu tandanya saya sayang dan peduli sama kamu. Tolong jangan diartikan buruk ya?”

Masih tidak ada balasan dari sang istri, tapi Awan tau kalau gadis itu belum tidur. Dia bisa melirik mata Kila yang berkedip dalam beberapa detik, jadi ia kembali meneruskan.

“Kalau boleh jujur, sebelum menikah sama kamu saya punya banyak sekali impian yang ingin saya capai. Tapi setelah menikah sama kamu, saya pikir impian-impian itu akhirnya tergeser karena yang menjadi fokus utamanya sekarang adalah kamu. Tentang gimana saya bisa bikin kamu merasa lebih bahagia setelah menikah dengan saya nantinya. Saya nggak akan membuat kamu menyesali pernikahan ini, Shakila. Itu impian saya.”

Karena sejak tadi tidak ada jawaban langsung dari Kila, Awan sampai harus mengecek sekali lagi ke atas ranjang siapa tau sang istri ketiduran. Tapi ternyata tidak, Kila belum tidur dan mendengarkannya dengan seksama saat Awan bicara. Bohong kalau dia tidak tersentuh dengan ucapan Awan. Kila juga sadar kok kalau ia menikahi orang yang baik, orang yang akan memastikan dirinya merasa aman sekaligus nyaman. Tapi sifat keras kepala Kila juga tidak mau kalah, ia tetap pada pendiriannya untuk tidak akan jatuh cinta pada pemuda itu.

Tapi, bisa kah?

“Udah, diem, nggak usah ngomong lagi. Gue ngantuk.”

Akhirnya, hanya itu saja kalimat yang keluar dari bibir Kila.

Mendengar suara sang istri membuat senyum Awan kembali mengembang, membuat matanya kian menyipit dan yang tersisa hanyalah lengkungan bulan sabit yang menawan.

Dia berkata dengan suara lirih, “Ya udah kalau gitu tidur aja, Kila. Kalau bisa nggak usah mimpi ya, tidur aja yang nyenyak. Aku bakal jaga kamu dari sini.”