Thank You, Cetta
“Di mana?”
Amel menjepit ponselnya di antara telinga dan bahu kanan, sebab kedua tangannya sibuk memegang dua plastik makanan ringan untuk stok ngemil di rumah. Dia juga sengaja membeli banyak cemilan karena Gabriel suka ikutan menghabiskan cemilan yang sudah ia sembunyikan sedemikian rupa.
“Minimarket yang dekat kampus, kenapa?”
“Gue mau ngajakin pulang bareng padahal, lo mau pulang sendiri?”
“Bareng aja sini, tapi gue mau ke toko kue dulu bentar. Mama nitip brownies di tempat biasa.”
“Oke, tunggu lima belas menitan lagi ya. Gue lagi antri minjem buku di perpus.”
“Iya. Nggak usah buru-buru, Ka, gue bisa nunggu kok.”
Setelah mendapat balasan kata 'oke' dari Naka, Amel mematikan sambungan telpon lebih dulu lalu memasukkannya ke dalam tas. Cuaca panas siang ini mampu membuat mata Amel menyipit, gadis itu memandang toko roti yang berada di seberang jalan di hadapannya sekarang, sebelum kemudian menghela napas lelah. Di dekat sini tidak ada zebra cross, jembatan penyeberangn orang pun kejauhan, jadi terpaksa Amel harus berusaha sendiri menyebrang. Ini bagian paling merepotkan memang.
Setelah menengok ke kanan dan kiri jalan untuk memastikan perjalanannya aman, Amel mulai melangkahkan kaki dari trotoar ke jalan beraspal hitam. Beruntung kendaraan yang berlalu lalang siang ini tidak seberapa ramai, jadi Amel bisa melewati jalan dengan tenang. Hanya saja baru beberapa meter melangkah, tepat di pertengahan jalan Amel sukses dibuat terbeliak kala sebuah sedan melaju kencang ke arahnya. Entah apa yang sedang dipikirkan pengendaranya saat ini, Amel yakin orang itu melihatnya menyebrang tapi kenapa tidak menurunkan laju mobilnya?
Otak Amel mendadak blank, ia kesulitan berpikir dan kakinya jadi ikutan membeku. Alih-alih melangkahkan kakinya untuk menghindar, ia justru berdiri mematung di tempatnya seperti orang bodoh. Adegan saat ini sama persis seperti sinetron murahan yang sering ia tonton di televisi bersama Mama, ia sering kesal pada si aktris yang seringkali berdiri bengong saat hendak ditabrak mobil. Namun saat ia berada di posisi yang sama, Amel mengerti kenapa si aktris mendadak bodoh seperti itu. Bukan tidak mau menghindar, tapi tubuhnya mendadak kaku saat bahaya datang menghampiri.
Dan saat mobil hanya tinggal berjarak beberapa senti dari tubuhnya, seseorang langsung menarik lengan Amel dan yang ia lihat selanjutnya hanyalah gelap dan suara detak jantung yang terdengar cepat. Amel memejamkan matanya di pelukan orang itu, tubuhnya bergetar hebat dan entah jantung siapa yang detakannya lebih keras sekarang.
Suara klakson kendaraan mulai bersahutan, mengutuk siapa saja yang mengganggu jalan lewat mereka sekarang. Namun di saat yang bersamaan Amel jadi sadar, mereka masih berdiri di tengah jalan. Masih dengan wajah pucat dan bibir yang mendadak kering, Amel mendongak untuk melihat siapa orang yang baru saja menyelamatkannya tadi. Bersamaan dengan itu, orang tersebut ikut menunduk dengan wajah tak kalah pucatnya.
“Mel, kamu baik-baik aja?”
“Cetta?”
Pemuda itu tidak menjawab, pandangannya mengarah pada sebuah sedan hitam yang hampir menabraknya tadi terparkir asal di bahu jalan. Keadaan si pengendara kelihatannya baik-baik saja, sebab tidak lama setelah itu mesin mobilnya kembali menyala lalu pergi begitu saja tanpa rasa bersalah. Orang itu bahkan tidak keluar dari mobil untuk sekedar bertanya apa Amel baik-baik saja, walau bagaimana pun juga ia hampir mati konyol tadi.
“Kita ke rumah sakit sekarang ya? Aku takut kamu kenapa-napa.”
“Amel!”
Keduanya sontak menoleh bersamaan saat Naka berlari tergesa menghampiri Amel yang terduduk di ranjang pasien. Pemuda itu langsung memeluknya dengan erat, menyembunyikan wajah si gadis pada dekapnya dan membuat Cetta mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jujur saja, hatinya memanas melihat permandangan romantis barusan.
“Lo nggak apa-apa? Ada yang luka nggak? Sakit nggak?” Naka mengecek keadaan tubuh Amel, membalik dan memutarinya untuk memastikan gadisnya baik-baik saja.
“Sebentar, Naka. Lo tau dari mana gue ada di sini?”
Naka melirik sekilas ke arah Cetta sebelum kemudian mengalihkan pandangannya lagi pada Amel. “Cetta yang ngasih tau, dia juga cerita semuanya sama gue. Maaf seharusnya gue datang lebih awal dan nggak ngebiarin lo nyebrang sendirian.”
“Kok jadi lo yang minta maaf sih, kan lo nggak salah.”
“Tetap aja, Amel....”
“No, no, no, jangan gitu. Lagian gue baik-baik aja kok, cuma rada shock aja tadi jadi badan gue masih agak lemas.”
“Bisa jalan nggak? Mau digendong?”
“Heh!” Amel memukul bahu Naka dengan kasar, membuat si empunya meringis menahan sakit. Meski sebenarnya tidak sesakit itu juga. “Gue nggak lumpuh ya, Ka. Masih bisa jalan!”
“Kirain.” pemuda itu terkekeh pelan, atensinya berpindah pada Cetta yang berdiri kaku di samping ranjang Amel. “Thanks, udah nolongin Amel tadi dan ngasih tau gue keadaannya.”
Cetta tersenyum meski agak terpaksa, matanya melirik pada Amel yang menatapnya lebih ramah dari biasanya.
“Bukan apa-apa, tapi karena sekarang lo pacarnya jadi gue pikir kewajiban gue buat ngasih tau lo.”
Tepukan pelan di bahu kiri ia dapatkan, Naka tersenyum tulus pada Cetta sebagai ungkapan rasa senang sekaligus syukur karena pacarnya selamat berkat pemuda itu.
“Yuk, Mel, gue antar pulang.”
Amel mengangguk, dibantu oleh Naka untuk berdiri karena kakinya masih agak lemas, tangannya juga melingkar pada lengan si pemuda. Gadis itu kemudian berdiri menghadap Cetta, menepuk bahunya pelan seperti yang Naka lakukan beberapa menit lalu, sebelum kemudian berucap,
“Makasih ya, karena udah nolongin gue tadi.”
Si pemuda terdiam, menatap nanar ke arah Amel yang kini tersenyum tulus padanya. Senyum itu selalu Amel berikan saat mereka masih berpacaran dulu. Tapi semenjak putus, seringkali Amel hanya menatapnya dengan wajah datar.
“Sama-sama.”
Setelahnya, yang Cetta lihat hanyalah punggung Amel dan Naka yang berjalan menjauh meninggalkannya sendiri masih di tempat yang sama. Tubuhnya merosot turun, terduduk pada salah satu kursi sebelum kemudian mengacak rambutnya frustasi. Orang-orang yang berlalu lalang memandanginya bingung, tapi Cetta bersikap seolah tak perduli.
Pikirannya terbawa pada kejadian beberapa menit lalu yang hampir saja mencelakakan Amel. Sebelum ia berhasil menarik tangan Amel menjauhi mobil yang hendak menabrak gadis itu, sekilas Cetta bisa melihat seseorang dibalik kursi kemudi. Seseorang yang tentu saja ia kenali dengan baik.
Renata Laurentina.