Bertahan ya, Ka.
Hari-hari setelahnya pun tetap sama, Cetta masih sering mengirim pesan pada Amel meski gadis itu menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan.
Apa yang dikatakan Cetta memang benar, Amel sengaja menghindari pemuda itu saat tidak sengaja bertemu di kampus, ia juga sengaja mengabaikan pesan yang dikirim padanya. Bukan karena Amel takut tidak bisa move on dari Cetta, bahkan kalau boleh jujur sedikit demi sedikit ia sudah mulai melupakan pemuda itu, hanya saja Amel merasa risih.
Mungkin kedengarannya memang jahat, tapi begitulah kenyataannya. Amel sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Cetta, selain kata brengsek, sepertinya kata tidak tau diri juga pantas disematkan padanya.
Kala itu, sewaktu kata putus terucap, sebenarnya Amel tidak benar-benar menginginkannya. Yang ia harapkan adalah Cetta akan membujuknya, berusaha sekeras mungkin untuk meyakinkannya, membuat Amel yang hampir di titik kehilangan kepercayaan itu perlahan akan membaik. Amel hanya ingin melihat usaha Cetta dalam memperjuangkannya sekaligus membuat pemuda itu memilih siapa yang patut dia cintai, tapi nyatanya semua justru berbanding terbalik.
Cetta tidak berusaha, dia tidak meyakinkannya, dia terlalu mudah menyerah pada keadaan yang mana membuat Amel semakin yakin kalau pemuda itu memang tidak serius padanya. Karena jika Cetta benar-benar serius mencintainya, mau sesulit apapun Amel diyakinkan ia akan tetap berusaha. Tapi Cetta tidak begitu, pemuda itu malah menghancurkan perasaannya dengan balikan dengan sang mantan.
Pada akhirnya putus memang pilihan terbaik yang bisa diambil, berpisah sudah seharusnya dilakukan agar masing-masing dari mereka tidak saling menyakiti ataupun tersakiti. Toh, Amel yakin mereka masih bisa berbahagia di jalan masing-masing. Dan ia harap Cetta juga berpikir hal yang sama, ia ingin pemuda itu fokus pada hubungan yang dia jalani saat ini tanpa bayang-bayang Amel di kepalanya.
Amel tidak sepenuhnya menyalahkan Cetta kok, karena dia pun sadar di sini dia juga salah. Amel yang terlalu cemburuan, terlalu overthinking, dan seringkali bertindak tanpa memikirkan apa risiko ke depannya. Bahkan Amel pula yang meminta putus pada Cetta pertama kali. Jadi, berakhirnya hubungan mereka saat ini bukan sepenuhnya salah Cetta.
Mereka hanya belum terlalu dewasa dalam menyikapi permasalahan, terlalu mengandalkan emosi yang kemudian berujung pada penyesalan. Tapi Amel belajar dari kesalahannya itu agar nantinya tidak melakukan hal yang sama pada Naka dan fokus pada hubungannya sekarang, bukan pada masa lalunya.
Sebab hidup masih harus berjalan, waktu juga tidak akan mau berhenti hanya karena kamu sedang patah hati saat ini.
“Kak, pacar lo nunggu di depan tuh.”
Gabriel berjalan menghampiri Amel yang sedang duduk menonton televisi bersama kedua orang tua mereka. Dengan mata yang berfokus pada layar ponsel yang dimiringkan, anak itu menjatuhkan tubuhnya di salah satu ruang kosong di sofa yang Amel tempati.
“Ngapain dia ke sini?” Amel malah balik bertanya.
“Ya nggak tau lah, gue nggak nanya tadi.”
“Bawa motor nggak?”
“Nggak, kayaknya jalan kaki aja orang deket kok.”
Setelahnya, Amel bangkit dari sofa untuk keluar menghampiri Naka. Sekilas ia bisa merasakan Mama memperhatikannya sejak Gabriel berkata 'pacar lo nunggu di depan tuh', dengan pandangan tidak biasa. Mama tau kalau Amel sudah putus dari Cetta, dia juga tau kalau Amel sekarang pacaran dengan Naka, hanya saja wanita itu memilih untuk tetap diam. Hal yang kemudian patut ia syukuri karena Amel malas diinterogasi ini dan itu. Beda lagi dengan sang Ayah yang memang dari awal tidak terlalu tertarik dengan kisah percintaannya, yang paling sering kepo ya cuma Gabriel.
“Ka, kenapa?” tanya Amel saat menemukan Naka yang berdiri di depan pagar rumah yang dibiarkan terbuka oleh Gabriel.
“Sibuk nggak? Gue mau ngajak lo jalan nih.”
“Nggak sibuk sih, malam ini cuma leha-leha aja kerjaan gue dari tadi. Emang mau jalan kemana?”
“Sini-sini aja, kita jalan kaki sambil menikmati malam berdua. Jiakhh, bahasa gue.” Kemudian Naka tertawa, membuat Amel jadi ikutan tertawa karena keanehannya.
Gadis itu mengangguk, mengiyakan ajakan sang pacar sebelum kemudian menutup pintu pagar. Jalan-jalan mereka tidak ada tujuan sebenarnya, ya pokoknya jalan aja gitu yang penting berdua. Selain itu juga sebenarnya ada sesuatu yang mau Naka bicarakan pada Amel.
“Naka/Amel.”
Keduanya terdiam, saling menatap, lalu tertawa bersama. Tidak tau kenapa saat sedang bersama pemuda itu Amel jadi sering tertawa, seringnya sih menertawai tingkahnya, terlebih lagi Naka semenjak jadi pacar tidak begitu menyebalkan lagi. Masih rada tengil sih kadang, tapi di saat yang sama juga terasa lebih hangat dibanding sebelumnya.
“Mau ngomong apa? Lo duluan aja.”
“Nggak-nggak. Lo aja yang duluan, Mel.”
“Oke,” Amel mengusap hidungnya yang agak dingin akibat terkena angin malam, sebelum kemudian lanjut bicara. “Sampai saat ini Cetta masih sering ngehubungin gue, Ka. Awalnya sih gue nggak begitu memperdulikan ya, seringnya nggak gue balas malah. Tapi lama kelamaan gue jadi risih, mau gue block tapi kasihan. Nggak tau kenapa gitu nggak tega aja padahal dulu pas pacaran gue sering ngancam mau block imessnya dia.”
“Gitu ya?”
“Iya. Eh, sorry banget ya ini nggak penting emang tapi gue rasa lo harus tau. Karena kita pacaran dan Cetta itu, eum, mantan gue. Jadi—–”
“Iya, gue ngerti kok.” Naka terkekeh di sebelahnya, satu tangannya merangkul bahu kiri Amel lalu mengusapkan perlahan. Mungkin sadar kalau gadisnya itu sedang kedinginan sekarang. “Lo ingat nggak dulu gue pernah ngomong sama lo kalau ada sesuatu yang mau lo ceritain ke gue, cerita aja. Apapun itu pasti gue dengerin kok, seenggak penting apapun itu menurut lo, gue senang kalau lo mau berbagi sama gue.”
Dibalik wajahnya yang sering Amel katai tengil, mulut Naka cukup manis saat bicara. Sesuatu yang sebenarnya sudah sejak lama ia ketahui, tapi anehnya justru tidak ia anggap istimewa saat itu. Tapi sekarang, rasanya hati Amel berbunga-bunga hanya karena serentetan kalimat sederhana yang keluar dari mulut Naka.
Gadis itu melingkarkan lengannya pada pinggang Naka, lalu mendongak ke atas karena pemuda itu bertubuh lebih tinggi darinya. “Lo sendiri mau ngomong apa tadi?”
“Nggak terlalu penting juga sih sebenarnya, cuma cukup jadi beban pikiran gue beberapa hari ini.”
“Waah, apa tuh?”
“Kita pacaran udah berapa lama sih, Mel?”
“Berapa ya?” Amel mencoba mengingat-ingat lagi, sebelum kemudian berucap dengan nada tidak yakin. “Tiga mingguan nggak sih? Gue lupa kapan tepatnya.”
“Hampir sebulan lah ya, terus gimana?”
“Apanya?”
“Perasaan lo ke gue, ada perubahan nggak? Kira-kira ... lo berhasil nggak mencintai gue?”
Pertanyaan Naka membuat kaki Amel berhenti melangkah. Gadis itu terdiam sejenak di tempatnya, membuat Naka ikutan berhenti berjalan untuk sekedar menatap raut wajah Amel yang mendadak berubah. Naka jadi merasa bersalah. Sejak tadi mood Amel kelihatan cukup baik, karena ucapannya barusan Naka takut menghancurkan mood gadis itu.
“Mel, kenapa?” Tangan Naka mendarat di pundak Amel, membuat si gadis mendongak menatapnya.
“Udah berapa lama lo kepikiran hal itu?”
“Hah?” Naka nge-bug sebentar, sebelum kemudian ia paham apa maksud ucapan Amel barusan. “Gue rasa ... dari awal kita pacaran? Jujur aja gue selalu merasa khawatir kalau ternyata lo nggak berhasil mencintai gue, seringkali gue terpikir kalau gimana lo ngucapin kata putus ke gue dengan alasan perasaan lo nggak bisa berubah. Gue takut lo bakal menjauh dari gue karena merasa nggak enak hati, atau menjauh karena alasan nggak mau menyakiti gue lagi. Kemungkinan-kemungkinan itu bikin gue ngerasa nggak tenang akhir-akhir ini.”
“Maaf, seharusnya gue menunjukkan kasih sayang gue secara terang-terangan. Gue baru sadar kalau selama ini perlakuan gue ke lo masih sama kayak pas kita masih temanan, kayak mau kita pacaran ataupun nggak seolah nggak ada bedanya. Kita bahkan masih ngobrol pakai gue-lo sampai sekarang.”
“Nggak, gue nggak mempermasalahkan panggilan gue-lo kok. Selama itu bisa bikin lo ngerasa nyaman ya udah, gue nggak masalah.”
Naka memang begini, dia selalu baik dan pengertian. Sifatnya yang satu itu tidak pernah berubah sejak dulu, dan karena itulah entah sejak kapan Amel rasa ia mulai jatuh hati pada Naka. Tidak sepenuhnya memang, karena ia masih butuh waktu entah sampai seberapa lama untuk meyakinkan diri.
Ujung sandal Amel mengenai milik Naka saat gadis itu berdiri menghadap si pemuda. Naka awalnya kaget, sudah refleks hendak menjauh namun tangan Amel sudah lebih dulu menangkup kedua wajahnya.
“Mel—–”
Setelahnya yang terjadi adalah Amel yang menarik wajah Naka mendekat, lalu mendaratkan satu kecupan singkat di bibirnya.
“Bertahan ya, Ka. Gue masih perlu waktu buat mastiin kalau gue benar-benar cinta sama lo. Lo mau nunggu kan?”
Naka yang masih cukup shock dengan apa yang barusan terjadi tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Pemuda itu hanya berdiri mematung dengan wajah bengong, membuat Amel harus menepuk pipinya agar dia kembali sadar.
“Eh, iya.” katanya, agak salah tingkah. Naka mengusap lehernya dengan wajah memerah yang tidak begitu ketara akibat lampu jalan yang remang-remang.
“Ngomong-ngomong, boleh cium lagi nggak, Mel? Yang barusan nggak berasa.”
Idih, dia malah ketagihan.
Dasar Naka!