Ending of Us

Amel tersenyum memandangi motor Cetta dari dinding kaca yang mengarah keluar kafe, mendadak teringat kembali kecerobohannya saat tidak sengaja menabrak motor itu dan membuat takdir mempertemukan keduanya.

Rasanya seperti sudah berlalu cukup lama, padahal kenyataannya baru sekitar tiga bulanan. Dan selama rentang waktu itu, ada banyak sekali hal yang terjadi. Awal pertemuan mereka yang tidak terlalu menyenangkan, masa-masa saling mengenal, berpacaran, hingga akhirnya putus dan kini sudah memiliki pasangan masing-masing. Dalam waktu tiga bulan mereka telah melewati semua masa itu.

Sekarang yang tersisa hanyalah kenangannya saja, sebab mereka tidak lagi mengukir kisah kasih bersama.

“Udah lama?”

Seorang pemuda dengan hoodie hitam datang menghampirinya sambil tersenyum, Amel membalas senyumannya lalu menyuruhnya untuk duduk.

“Baru aja sih, kayaknya gue datang kecepatan.”

Cetta kembali menarik sudut bibirnya, mencoba tersenyum walau terpaksa saat mendengar bagaimana cara bicara Amel yang kini telah berubah. Sekarang panggilan aku-kamu sudah tidak berlaku lagi di antara mereka, dan entah kenapa Cetta jadi merasa asing dengan semua ini.

“Ngomong-ngomong, lo mau ngomong apa?”

“Boleh pesan minum dulu nggak?”

Ah, iya. Lupa.”

Maka keduanya pun memesan dua gelas minuman yang berbeda pada pelayan kafe, mereka tidak saling bicara hingga pesanan mereka datang dan Cetta menikmati ice americano kesukaannya dengan nikmat.

“Yang nabrak lo waktu itu, lo udah tau siapa orangnya?”

Amel berhenti menyedot jus alpukatnya saat Cetta bertanya tiba-tiba. “Nggak, belum. Lebih tepatnya gue nggak terlalu perduli juga sih.”

“Kenapa?”

“Ya nggak apa-apa. Toh, sekarang gue baik-baik aja kan? Waktu itu juga gue nggak ada luka apa gimana, jadi biarin aja lah. Udah lewat juga.”

Amel memang begitu, dia aslinya paling malas terlibat konflik dengan siapa pun. Jadi kalau dirasa masalah itu bisa dia abaikan, maka ia akan mengabaikannya begitu saja. Tapi Cetta berbeda, ia tidak bisa hanya diam saja di saat ia sendiri tau siapa pelakunya. Maka tujuan ia mengajak Amel bertemu adalah karena ia ingin mengatakan semuanya, jujur pada Amel bahwa Rena lah yang melakukan itu.

Tapi saat ia sudah berniat untuk mengatakannya, lidah Cetta justru mendadak kelu. Di otaknya mulai terpikir tentang harus kah ia mengatakan yang sejujurnya?

Dan jawabannya tentu saja harus.

“Rena.”

“Hah?”

Kepala Cetta yang semula tertunduk memandangi gelasnya di atas meja mulai mendongak agar dapat menatap ekspresi Amel yang kelihatan bingung. Paham bahwa si gadis meminta penjelasan lebih lanjut atas maksud ucapannya yang ambigu, Cetta kembali berkata.

“Rena yang hampir mencelakakan lo waktu itu, Mel.”

“Astaga....” Amel menggelengkan kepalanya tak habis pikir, sejauh itu kah Rena akan bertindak?

“Lo yakin nggak salah orang, Ta?”

“Gue udah coba konfirmasi sama Rena, dan dia ngaku kalau emang dia pelakunya. Maafin gue ya, Mel. Semua emang salah gue.”

“Kenapa jadi lo yang minta maaf?”

“Sehari sebelumnya gue sama Rena sempat bertengkar, dia nyalahin lo karena nganggap Mami lebih sayang sama lo ketimbang dia. Gue coba kasih pengertian ke Rena tapi dia nangkapnya kalau gue lagi belain lo. Makanya dia marah, dan berakhir nekat mencelakakan lo.”

Ah, itu.” Amel tersenyum miris seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, “di hari gue makan siang sama Tante Bunga kan? Dia juga sempat nyalahin gue saat itu, terus ngirim kata-kata yang mungkin maksudnya ancaman? Nggak secara jelas memang, makanya waktu itu gue nggak sadar.”

“Maaf.”

Kepala Cetta kembali tertunduk lesu, membuat Amel jadi tak enak hati padanya. Padahal Cetta sama sekali tak bersalah, keegoisan Rena lah yang membuat semua ini terjadi.

“Gue baik-baik aja, nggak masalah kok. Lagian lo juga yang udah nyelametin gue waktu itu, jadi jangan merasa bersalah.”

“Mulai sekarang, gue janji hal yang sama nggak bakal terulang kembali. Gue nggak akan biarin Rena gangguin hidup lo lagi, Mel. Dan gue pun sama ... gue nggak bakal gangguin lo lagi.”

“Ta....”

“Sekarang lo udah bahagia kan sama Naka? Gue ikut senang kalau lo ketemu sama laki-laki baik. Tetap bahagia ya, Mel, biar gue juga bisa bahagia tanpa lo.”

Tak nyaman dengan situasi sekarang yang berubah sendu, Amel iseng menendang kaki Cetta di bawah meja, membuat si empunya meringis menahan sakit. Namun tidak lama setelah itu justru ikut tertawa bersama Amel.

“Omongan lo seolah bakal pergi jauh aja, Ta.” Si gadis bergurau.

“Secara teknis itu nggak bakal bisa sih, karena kita kan masih satu kampus. Gedung kita juga sebelahan, secara nggak sengaja pasti bakalan tetap ketemu. Tapi kalau itu sampai terjadi, lo bisa pura-pura nggak lihat gue. Lo bisa abaikan gue, lo juga bisa benci gue kalau lo mau. Apapun itu asal bisa bikin lo merasa lebih tenang dan bahagia. Intinya, gue bakal menjauh dari lo, Amelia.”

“Harus sampai segitunya ya?”

“Bukannya itu yang lo mau? Kata lo, mulai sekarang kita masing-masing aja. Kita nggak usah saling sapa, pura-pura nggak kenal aja kalau ketemu. Jadi, ayo kita lakukan itu. Bersikap seolah kita nggak pernah saling kenal sebelumnya.”

Memang benar ia sempat mengatakan itu pada Cetta, tapi saat pemuda itu menyanggupi permintaannya juga mengatakannya secara langsung seperti ini justru membuat Amel jadi serba salah. Amel senang kalau Cetta berniat untuk tidak mengganggunya lagi, tapi kalau caranya harus saling menjauh begini Amel rasa ia seperti telah berbuat jahat pada Cetta.

Apa kata-katanya waktu itu memang sudah keterlaluan ya?. Amel bertanya-tanya dalam hati.

“Gue nggak akan membenci lo, karena di sini kesalahan sepenuhnya bukan ada di lo. Gue emang risih kalau lo selalu ngerusuhin gue, terlebih lagi kalau Renata ikut campur. Tapi cukup sampai di situ, cukup sampai kita urus masalah kita masing-masing, nggak saling ganggu ataupun merecoki, nggak perlu saling membenci.”

Telapak tangan Amel mendarat pada punggung tangan Cetta yang berada di atas meja. Gadis itu menggenggamnya, membuat pandangan si pemuda turut pergi ke arah sana.

“Gue pernah bahagia sama lo, Cetta. Dan alasan kita putus juga bukan sepenuhnya salah lo, di sini juga gue salah kok. Jadi jangan saling membenci satu sama lain ya?”

Perlahan kedua sudut bibir Cetta tertarik melawan gravitasi, membentuk satu senyuman tulus juga air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Cetta membalik tangannya, membuat kedua telapak tangan mereka saling bertemu, lalu menggenggam erat tangan si gadis yang kini tidak lagi menjadi kekasihnya.

“Sejujurnya, gue juga nggak akan sanggup dibenci sama lo.” ucapnya diselingi kekehan kecil, Amel sendiri hanya menatapnya dengan pandangan nanar. Tidak tau kenapa tapi rasanya seperti ingin menangis. “Makasih karena udah jadi bagian dari kenangan indah di hidup gue.”

“Gue juga mau bilang makasih sama lo.”

Cetta mengangguk, sorot matanya menatap lurus bola mata Amel yang berwarna cokelat gelap di hadapannya saat ini. “Jadi ini akhir dari kita?”

Si gadis membuang pandangannya ke arah lain, suasana sendu di antara keduanya semakin menguat seiring dengan berjalannya waktu. Jika ia nekat menatap wajah Cetta sekarang, niscaya Amel akan menangis saat ini juga.

“Meski sedih, gue tetap bakal bilang iya. Ini akhir dari kita, Cetta.”

Amel mengeratkan genggamannya pada tangan si pemuda. “Jangan lupa bahagia ya, lo pantes dapetin itu. Jadi ayo kita bahagia sama-sama, dengan siapapun pasangan kita saat ini ataupun nanti. Oke?”