After Breakup
Lima hari yang lalu, sejak kata putus itu terucap di antara keduanya, baik Cetta maupun Amel tidak lagi saling bertemu.
Cetta tidak lagi mencoba menghubunginya, Amel pun tidak sama sekali menyesali keputusannya untuk mengakhiri hubungan mereka. Semua sudah berakhir, hubungan mereka berhenti terjalin dalam waktu kurang lebih satu bulan.
Sebuah hubungan yang singkat memang, sesingkat kedekatan mereka, dan sesimple cara awal pacaran mereka. Sudah Amel katakan bukan, hubungan mereka ini terkesan main-main?
Pada dasarnya Cetta memang sudah lelah menghadapi kecemburuan Amel pada Renata, lelah jika terus-terusan bertengkar hanya karena masalah yang sama. Mungkin putus memang pilihan yang terbaik, ini jelas lebih baik ketimbang mempertahankan hubungan dan membuat luka di antara mereka semakin dalam. Cetta hanya takut jika tanpa sadar ia justru menyakiti gadis itu.
Namun kabar putusnya mereka belum sampai ke telinga orang tua keduanya, bahkan teman-temannya saja banyak yang tidak tau. Mami hanya sempat berkata agar Cetta menyuruh Amel main ke rumah, tapi Cetta dengan wajah datarnya justru membalas kalau Amel sedang sibuk. Jadi Mami pun tidak banyak mendebat.
Sebenarnya tidak sepenuhnya bohong juga sih, sebentar lagi menjelang Ujian Tengah Semester, belum lagi tugas yang kian bertumpuk, Amel sibuk dengan itu semua. Apalagi gadis itu tergolong anak yang pintar, dibanding main dan bersenang-senang ia lebih memilih mengerjakan semua tugasnya hingga tuntas dan belajar jika belum merasa lelah. Sibuk adalah salah satu cara Amel agar ia tidak terus-terusan merasa sedih.
Tapi ya kadang ada saja yang suka mengungkit-ungkit masalah itu, salah satunya gadis yang tumben sekali duduk di sebelahnya hari ini. Ratissa Mikaila.
“Gue perhatikan kok lo jarang sih bareng sama Cetta? Biasanya dia suka nungguin lo di depan gedung buat ngajak makan siang bareng, atau kalian upload foto berdua di twitter.” Tissa memiringkan tubuhnya menghadap Amel saat gadis itu baru saja kembali dari mengumpul print-an tugas kelompok mereka ke meja dosen.
Amel hanya mengedipkan matanya malas, agak mengantuk juga sebenarnya karena tadi malam begadang mengerjakan tugas. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sebelum kemudian menjawab dengan nada malas.
“Udah putus.”
Mata Tissa kontan terbeliak. Begitu pula dengan Naka yang selalu duduk di sisi kanannya, diam-diam mulai pasang telinga untuk menguping obrolan dua gadis di sebelahnya itu.
“Putus? Maksudnya lo sama Cetta putus?” Tissa bertanya ulang, takut salah dengar.
Pandangan Amel tertuju pada Bu Asti (dosen mereka) yang kini mulai sibuk menerangkan materi di depan kelas, memastikan wanita itu tidak sampai mendengar obrolan mereka. Untungnya Tissa bertanya dengan suara pelan.
“Iya,” jawab Amel seadanya.
Di sebelahnya, Naka mencolek lengan Amel. “Mel, lo serius? Sejak kapan?”
“Idih, nguping!” cela Tissa dengan wajah meledek, Naka tak abai padanya.
“Udah dari beberapa hari yang lalu.”
“Biar gue tebak!” Tissa meletakkan jari telunjuknya di antara dua alis, memasang ekspresi layaknya orang yang sedang berpikir keras sebelum kemudian menjentikkan jari, “pasti karena cewek itu kan? Yang sempat gue liat di kafe Hotsa?”
Kali ini tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Amel, gadis itu memilih untuk diam. Membiarkan saja Tissa berasumsi sebebasnya dia, juga Naka yang diam-diam mulai kepikiran sesuatu.
'Ini berita buruk atau justru berita baik?'
“Abis ini mau ke mana?”
Naka bertanya saat mereka berjalan beriringan di koridor sehabis kelas Perencanaan Bisnis berakhir. Sebenarnya mereka masih ada kelas jam empat sore ini, tapi berhubung sekarang masih jam satu siang, Amel memutuskan untuk pulang dulu.
“Balik ke rumah deh. Kalau lo?”
“Sama, mau bareng nggak?”
“Boleh.”
Pemuda itu tersenyum simpul sambil membenarkan letak tali ranselnya yang melorot di bahu kanan. Keduanya kemudian berjalan menuju parkiran gedung sebelah, lebih tepatnya parkiran gedung B tempat di mana Cetta biasa memarkirkan motor. Sepertinya tadi pagi Naka tidak kebaikan tempat parkir di gedung kelas mereka, makanya parkir ke gedung sebelah.
Jujur saja sekarang Amel jadi mendadak flashback, teringat awal hubungannya dengan Cetta adalah dari sini, parkiran gedung B. Amel bahkan bisa langsung menemukan motor merah Cetta di salah satu slot parkir, bagian belakangnya yang dulu lecet karena sempat Amel tabrak kini sudah tidak kelihatan lagi. Cetta merawat motornya dengan baik, tapi tidak dengan perasaannya.
“Mel,” Naka menyerahkan helm cadangan yang berada di jok motornya pada Amel, gadis itu pun menerimanya dan mulai memakai helm pemberian Naka tersebut. “Buruan naik!”
Amel menurut, gadis itu berpegang pada salah satu bahu Naka sambil naik ke motor scoopy pemuda itu. Saat ia tengah membetulkan pengait helm, tanpa sengaja mata Amel justru bertemu pandang dengan Cetta yang sepertinya baru keluar dari gedung. Bersama dengan Darrel yang ada di sampingnya, keduanya berdiri diam di sana sambil memperhatikannya juga Naka yang rupanya tidak menyadari keberadaan dua temannya tersebut.
Cetta menatapnya dengan tatapan tajam meski wajahnya tidak berekspresi apa-apa, namun tidak juga sekali pun pemuda itu berkedip sejak di detik pertama mata mereka bertemu.
“Udah belum?” tanya Naka sambil sedikit menoleh ke belakang, memastikan Amel telah duduk dengan benar.
“Iya, udah.”
Naka mengangguk, lalu mulai menstater motornya meninggalkan area parkiran gedung B. Juga meninggalkan Cetta dan Darrel yang masih menatap kepergian mereka dengan ekspresi berbeda. Cetta dengan wajah yang sebisa mungkin dibuat datar, dan Darrel yang nampak sekali kebingungan.
“Pacar lo dibawa Naka tuh,” senggol Darrel sesaat setelah motor Naka menghilang di tikungan jalan.
Cetta hanya mendengus, lalu berjalan ke arah motornya.
“Biarin aja,” jawabnya dingin.