Meet Him Again
Sesuai janji mereka tadi pagi, sekitar jam dua siang setelah kelasnya selesai Kila langung bergegas menuju Limitless Kafe yang merupakan tempat janjian mereka.
Sejujurnya ia sudah terlambat lima belas menit akibat macet di perjalanan, dan begitu sampai di kafe matanya langsung menemukan sosok pemuda berjas warna navy yang tengah duduk sendiri bertemankan iPad dan segelas ice americano. Kila berjalan mendekat ke arah si pemuda, lalu tanpa merasa bersalah duduk di hadapannya dengan wajah pongah dan tangan kanan terulur.
“Mana gelangnya?”
Awan mendongak, mengalihkan sejenak perhatiannya dari layar iPad dengan alis terangkat satu. Sejurus kemudian atensinya terpusat pada arloji bermerk Rolex di pergelangan tangan kirinya.
“Kamu baru aja terlambat lima belas menit, Shakila.”
“Iya tau, Om pasti sibuk kan?” Kila berdehem sejenak saat mata Awan menatapnya tajam, gadis itu buru-buru meralat. “Lo pasti orang sibuk kan dan nggak punya banyak waktu buat nemuin gue, makanya kita to the point aja langsung. Kembalikan gelang gue sekarang biar setelah itu lo bisa balik lagi ke kantor.”
Pemuda itu tersenyum saat Kila berucap demikian, tangannya kemudian beralih pada gelas americano-nya dan meminumnya dengan wajah santai. “Saya udah ngeluangin waktu saya khusus buat kamu kok.”
'Dih, apa banget deh?' Shakila membatin dengan wajah sangsi.
Di depannya, Awan merogoh saku bagian dalam jas untuk mengeluarkan sebuah gelang dan menaruhnya di depan Kila. Gadis itu langsung mengambilnya dan menyimpannya ke dalam sling bag. Tadinya setelah itu ia berniat untuk segera pergi karena urusan mereka juga sudah selesai, tapi Awan justru kembali mengajaknya bicara.
“Kekanakan sekali gelang kamu.” komentar Awan tidak sama sekali membuat Kila tersinggung, karena ya bukan hanya dia saja yang beranggapan begitu tapi teman-temannya yang lain juga. Dengan kata lain, Kila sudah terbiasa dengan komentar semacam itu.
Jadi gadis itu hanya mengangguk santai sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Namanya juga gelang waktu kecil.”
“Selalu kamu pakai sampai sekarang?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Ya nggak apa-apa, pengen aja. Lagi pula itu gelang pemberian dari seseorang.”
Awan mengangguk mengerti, dalam hati juga merasa senang begitu tau Kila masih menyimpan bahkan memakai gelang pemberiannya dulu. Padahal itu sudah lama sekali.
“Tapi begitu gue liat-liat lagi, kayaknya gelang itu udah seharusnya dibuang.”
Lanjutan kalimat yang keluar dari mulut Kila membuat Awan mengernyitkan dahi. “Kenapa gitu?”
Kila tidak langsung menjawab, matanya terfokus pada gelang perak yang kini sudah berada di dalam tasnya. Gadis itu tersenyum miris, sebelum kemudian menggeleng.
“Itu udah lama banget, gelangnya keliatan udah tua. Mana sering putus lagi, nggak kehitung udah berapa kali gue benerinnya. Udah seharusnya dibuang lalu diganti dengan yang baru kan?” tanya Kila seolah meminta persetujuan dari Awan.
Jujur saja Awan bingung harus menjawab apa. Entah alasan yang diungkapkan Kila memang benar adanya, atau justru ada alasan lain yang mendasarinya hingga berpikir untuk membuang pemberiannya tersebut. Tidak bohong, hati Awan merasa terluka saat mendengar Kila berucap begitu. Apa sekarang Shakila sudah benar-benar melupakannya?
“Eh, Shakila. Itu minuman saya!” peringat Awan saat si gadis dengan santainya meminum ice americano miliknya yang ada di atas meja tanpa rasa canggung.
Kila meletakkan kembali gelas kopi tersebut setelah meminumnya beberapa tegukan. “Bagi dikit lah, gue haus tapi nggak mau buang duit buat sekedar beli minuman. Lagian kartu gue juga masih diblokir sama Papi.”
“Diblokir? Kenapa?”
“Ya gitu deh, katanya gue boros. Perasaan biasa aja deh!”
Awan terkekeh tanpa sadar saat Kila menggerutu dengan wajah lucu, benar-benar mengingatkannya pada sosok Kila kecil. Memang tidak banyak yang berubah dari gadis itu selain wajahnya yang semakin cantik dan dewasa, juga tinggi badannya tentu saja. Kila semakin tinggi sekarang, kira-kira sebahu Awan lah.
“Bujuk dong Papi kamu buat batalin blokirannya.”
“Udah, tapi Papi malah ngajuin persyaratan yang nggak masuk di akal. Mau tau nggak apa syaratnya?”
Sepertinya obrolan mereka ini semakin menarik saja. Jadi Awan menyingkirkan sejenak iPad di tangannya dan menaruh kedua lengannya di atas meja, menatap antusias pada wajah Kila yang masih memberengut kesal.
“Papi malah mau jodohin gue sama anak temannya yang gue aja nggak kenal dia siapa. Gila banget nggak sih? Gue nggak habis pikir kok masih ada aja orang tua modelan Papi ini, harusnya udah di museumkan nggak sih?”
Ah, rupanya Om Dimas juga sudah membicarakan perihal perjodohan itu pada Shakila. Awan tersenyum senang, namun buru-buru merubah ekspresinya menjadi biasa saja untuk menghargai kekesalan Kila saat ini.
“Kenapa nggak mau dijodohin? Siapa tau anak temen Papi kamu ganteng, baik, terus mapan. Nggak rugi kali kalau nikah sama dia.”
Kila langsung memandangnya tak percaya. “Loh, Papi juga ngedeskripsikan anak temannya begitu. Lo cenayang ya?”
“Hah?” Sejenak Awan merasakan kepanikan, tapi sebisa mungkin mengontrol mimik wajahnya agar terlihat normal. “Hng, cuma asal nebak kok.”
“Ah, tetap aja gue nggak mau dijodoh-jodohin!”
“Kamu udah punya pacar ya?”
“Nggak, belum. Gue—– AH, IYA PACAR!”
Seruan tiba-tiba Kila tak gagal membuat Awan tersentak di tempatnya. Pemuda itu refleks menjauh saat mendadak Kila mendekatkan wajahnya dengan ekspresi penuh harap.
“Lo mau nggak jadi pacar bohongan gue? Sehari ini aja kok, ketemuan sama Papi terus ngaku jadi pacar gue.”
“Biar apa?”
“Biar gue nggak dijodohin sama anak teman Papi.”
Bukan jawaban ataupun penolakan yang keluar dari bibir Awan, melainkan semburan tawa lepas yang entah sudah berapa lama tidak ia tunjukkan. Mereka baru bertemu beberapa menit saja tapi Kila sudah berhasil membuat Awan seterhibur ini. Di saat pemuda itu sibuk dengan tawanya, ada Kila yang memandanginya dengan wajah aneh sekaligus kesal.
“Kenapa lo ketawa?”
“Nggak, cuma lucu aja.” Awan masih berusaha meredam tawa, namun gagal sebab kekehannya masih saja keluar. Dia bahkan sampai harus mengusap sudut matanya yang sedikit berair. “Tapi ini beneran kamu pengen saya jadi pacar kamu?”
“Ya beneran lah, sehari aja kok. Nanti malam ketemu sama Papi gue.”
Lalu Awan mengangguk, senyuman misterius itu tampil di wajahnya yang tampan. Hanya saja Kila tidak menyadari hal itu.
“Baik, saya bersedia jadi pacar bohongan kamu.”
Shakila tidak tau saja kalau senjatanya untuk membuat Papi berhenti menjodohkannya, justru akan berbalik menyerangnya.