Night With Naka
Naka sudah duduk di atas jok motor scoopy-nya saat Amel membuka pagar rumah. Pemuda itu lantas tersenyum saat pandangan mata mereka bertemu, hanya saja sesaat kemudian senyumnya langsung memudar kala menyadari sesuatu.
“Pakai jaket yang benar, nanti masuk angin.” peringat Naka saat Amel memakai helm yang telah ia sediakan sebelumnya.
“Ini udah benar kok.”
“Benar apanya? Liat tuh jaketnya aja nggak diresleting. Sini!”
Tau-tau Naka sudah menarik pergelangan tangan Amel secara mendadak, membuat si gadis yang belum siap secara refleks tertarik mendekat hingga menubruk tubuh Naka yang duduk menyamping di atas motor. Sadar jaraknya terlalu dekat, Amel berniat menjauhkan diri. Akan tetapi Naka justru menahan jaketnya agar ia tetap berdiri di posisi yang sama.
Si gadis tak berkutik dibuatnya, ia biarkan saja Naka membetulkan resleting jaketnya yang terbuka dengan jantung yang entah kenapa mendadak berdebar. Dari jarak sedekat ini, Amel jadi salah fokus dengan rahang tegas milik Naka yang baru ia sadari terlihat begitu indah. Wajahnya bersih, tidak ada sedikitpun bulu-bulu halus di sekitar atas bibir ataupun dagu karena setau Amel pemuda itu memang rajin bercukur.
Aroma tubuh Naka juga enak, dia wangi sekali malam ini, namun wanginya tidak yang membuat pusing. Singkatnya sih, Amel suka dengan aromanya. Entah sejak kapan ia terlalu fokus pada Naka, Amel sampai terkesiap saat pemuda itu menggoyangkan tangannya di depan wajah bermaksud untuk menyadarkan.
Gadis itu berdehem sejenak. “Oh, udah ya?” katanya sedikit gagap, Amel bahkan baru sadar resleting jaketnya sudah Naka tarik hingga ke dagunya.
“Ya udah yuk, berangkat.”
Amel mengangguk, lalu naik ke atas motor si pemuda. Saat motor tersebut menyala, tangan Amel yang semula bertumpu di atas paha justru ditarik mendekat oleh Naka dan dibawa ke dalam saku jaketnya. Amel berkedip dengan ekspresi bingung.
“Kenapa?”
“Di sini aja, biar tangan lo nggak dingin.” kata Naka.
“Oh, o-oke.”
Setelah itu mereka tidak bicara lagi karena Amel sibuk menenangkan detak jantungnya yang menggila, sedangkan Naka fokus menyetir dengan senyum yang diam-diam tersembunyi di balik helm hitamnya.
“Lo sering makan di sini ya?”
Amel bertanya sekembalinya Naka dari memesan dua porsi mie ayam pada si penjual, pemuda itu kemudian duduk di bangku sebelahnya sebelum kemudian menjawab.
“Nggak juga, baru tiga kali ini.”
“Biasanya ke sini sendirian?”
“Hm, ini pertama kalinya gue ngajak orang lain ke sini.”
Si gadis mengangguk paham. Tangannya sibuk memainkan kotak tisu, mengeluarkan isinya, lalu merobek tisunya menjadi ukuran kecil-kecil. Tidak tau kenapa tapi Amel punya kebiasaan seperti itu jika sedang gabut, Naka sendiri hanya memperhatikannya tanpa berniat menegur.
“Lo nggak bawa ikat rambut ya? Susah tau makan rambut tergerai gitu.”
“Hah?” Seolah baru menyadari sesuatu, Amel refleks memegangi rambutnya yang memang tergerai saat ini. “Perasaan tadi gue pakai ikat rambut deh, apa mungkin putus ya pas di jalan?”
“Bisa jadi, sebentar.”
“Eh, mau kemana?” Amel menahan pergelangan tangan Naka saat pemuda itu berniat bangkit dari duduknya.
“Minta karet rambut.”
Setelah itu cengkraman tangan Amel terlepas dari Naka. Pemuda itu kembali menghampiri si penjual mie ayam, mereka tampak berbicara sesuatu sebelum kemudian Naka tersenyum saat menerima karet rambut dari laki-laki paruh baya tersebut.
“Ada nih satu, mau gue ikatkan nggak rambutnya?”
Amel menggeleng atas tawaran Naka dan lebih memilih untuk mengikat rambutnya sendiri. Naka kembali duduk di bangkunya, sambil memperhatikan Amel yang sedang merapihkan rambut. Sisi wajah sang gadis yang semula terhalangi oleh helaian rambut kini sudah terlihat jelas, membuat Naka tersenyum tanpa sadar saat menatapnya. Amel yang malam ini mengenakan piyama panjang bermotif beruang yang bagian atasnya ditutupi dengan jaket kedodoran, jika dilihat dari ukurannya sih sepertinya milik Gabriel, terlihat begitu cantik malam ini. Ditambah lagi oleh bare face-nya yang memukau, rambutnya yang terikat satu, juga poni yang menutupi kening Amel membuatnya terlihat begitu manis.
“Ngapain?” tanya Amel yang merasa heran dipandangi sejak tadi oleh si pemuda.
Naka terkekeh, menggeleng kecil, sebelum kemudian mengacak pelan poni lucu Amel yang membuatnya terlihat imut seperti anak kecil. Naka tidak bisa berhenti gemas pada gadis itu, entah sudah berapa kali ia dibuat jatuh cinta pada orang yang sama.
“Muka lo lucu.” komentar Naka yang kemudian mengundang ekspresi bingung dari Amel.
Baru juga berniat protes, bibir Amel kembali tertutup kala si penjual mengantarkan mie ayam pesanan mereka beserta teh hangat yang tadi juga dipesan Naka.
“Jangan pakai sambal ya, ini pedas.” peringat Naka saat Amel berniat mengambil wadah sambal di sisi kanannya.
“Namanya juga sambal di mana-mana ya pedas kali, Ka.” Amel merebut sambal yang semula berniat Naka jauhkan darinya, tapi karena tidak mau mengalah pada akhirnya sambalnya pun berhasil Amel dapatkan.
“Jangan banyak-banyak tapi, nanti diare.”
“I—– IH, NAKA!”
Naka terbeliak kaget, begitu juga dengan Amel yang memandang mie ayamnya yang kini berubah warna menjadi agak kemerahan. Tadi itu niatnya Naka mau mengambil kecap yang ada di sebelah Amel, namun lengannya malah tidak sengaja menyenggol tangan Amel yang tengah menuangkan sambal. Alhasil, sambalnya jadi tumpah terlalu banyak ke mangkuk. Naka memandang horror ke arah si gadis yang memandangnya seolah ingin menangis.
“Mel, sorry.”
“Naka, ini gimana caranya gue makan?”
Si pemuda menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung juga harus bagaimana. Mau dibuang sayang, mau dimakan ya tidak mungkin juga bisa-bisa Amel langsung masuk rumah sakit besok karena diare. Jadi ya sudah, karena ini kesalahannya, jadi Naka mengambil mangkuk mie ayam penuh sambal milik Amel dan menukarnya dengan miliknya sendiri.
Amel langsung menatapnya tak percaya. “Ka?”
“Udah, lo makan aja punya gue. Punya lo biar gue yang habisin.”
“Ih, jangan. Nanti lo bisa sakit perut, itu sambalnya banyak banget loh!”
“Nggak apa-apa, Mel. Gue doyan pedas kok.”
“Ya nggak bi—–”
“Husst, udah ya lo makan aja sekarang. Nggak usah ribut.”
Kalau sambalnya sebanyak ini sih, biar kata doyan juga Naka yakin besok bakalan sakit perut. Tapi ya sudah lah, dibanding Amel lebih baik dia saja yang mengorbankan diri. Kan ini juga karena kecerobohannya sendiri tadi.
Si gadis menyuap mie ayamnya dengan mata yang terus saja memandangi Naka. Hanya dengan sekali lihat pun Amel bisa membaca raut tidak enak Naka sekarang, hal itu membuatnya jadi tidak tega.
“Nggak usah dimakan lagi deh, Ka, ganti aja sama yang baru. Gue pesenin ya?”
“Nggak, nggak usah, Mel.”
“Beneran?” tanya Amel khawatir, terlebih sekarang wajah Naka mulai memerah dan berkeringat. Tapi dia terus saja makan seolah tidak terjadi apa-apa. “Lo keringatan gitu loh, Ka!”
“Namanya juga pedas, Mel. Tapi gue kuat kok, gue kan nggak kayak lo.”
“Ck, terserah lo deh. Kalau besok lo diare bukan salah gue loh ya, tapi lo sendiri yang ngeyel!”
“Iya, iya. Bawel banget sih, Mel.” ucap Naka yang kemudian diakhiri oleh kekehan ringan darinya.