awesomeyoit

“Gimana hasilnya?”

Awan yang menunggu di depan kamar mandi dengan perasaan harap-harap cemas itu langsung menodong pertanyaan pada sang istri yang baru saja keluar. Ekspresi gadis itu tak terlihat baik sekarang, dia malah nampak gusar seperti orang kebanyakan pikiran.

“Kila?”

Akhirnya gadis itu mendongak setelah sejak tadi sibuk memandangi lantai alih-alih wajah si suami. Kalau membaca dari raut wajahnya, apapun hasil testpack yang ada di tangan Kila sekarang, pasti bukan kabar baik untuknya.

Kila menyerahkan testpack tersebut pada Awan, sebelum kemudian memeluk tubuh suaminya dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang berlapiskan kemeja putih tersebut. Awan memperhatikan garis yang tercetak di testpack pemberian Kila, sengaja ia lihat benar-benar untuk memastikan bahwa yang ia lihat memang tidak salah. Setelahnya dia tersenyum dan balik memeluk tubuh sang istri sambil mengusap pelan punggungnya.

“Kenapa, hm?” Awan bertanya saat Kila mengeratkan pelukannya padanya.

Gadis itu menggeleng, lantas menjawab. “Nggak tau.”

“Nggak suka ya kalau hamil?”

“Nggak tau.”

“Kok nggak tau?”

“Ya nggak tau.”

“Shakila,” Pelukan mereka sedikit Awan longgarkan agar ia bisa melihat dengan jelas wajah sang istri sekarang. Ekspresinya masih sama seperti awal dia keluar dari kamar mandi tadi, dan Awan paham betul perasaan Kila sekarang. “Saya nggak masalah kok kalau kamu nggak mau mempertahankan janin itu.”

“Nggak gitu,” si gadis menunduk, bibirnya mengerucut sembari tangannya sibuk memilin ujung dasi milik Awan. “Maaf, seharusnya aku merasa senang sekarang. Tapi nggak tau kenapa aku malah bereaksi begini, perasaan aku nggak sesenang itu, tapi ya nggak marah atau sedih juga sampai harus ngelepasin janin ini. Aku cuma—– Akh, nggak tau! Kayaknya aku emang aneh.”

“Hei, nggak kok. Kamu nggak aneh,” Awan mengangkat kembali dagu Kila agar tatapan mereka bisa bertemu. “Kamu cuma kaget, Shakila. Walau gimana pun juga ini kehamilan pertama kamu di umur yang masih sangat muda, kamu pasti ngerasa bingung juga sekarang. Di satu sisi kamu ngerasa belum siap jadi seorang Ibu, tapi di sisi lain kamu juga nggak setega itu membuang janin yang tumbuh di perut kamu. Pikiran kamu berkecamuk, perasaan kamu campur aduk. Kamu bingung mendeskripsikan apa yang kamu rasa sekarang, iya kan?”

Awan benar, tidak ada satupun dari kata-katanya yang meleset. Semuanya benar seperti apa yang ia rasakan sekarang. Oleh karena itu Kila merasa bersalah, tidak seharusnya kan dia bereaksi begini. Awan pasti merasa sangat bahagia karena akan menjadi seorang Ayah, tapi demi menjaga perasaan Kila, dia menahan semua itu. Dan perasaan bersalah inilah yang kemudian membuat Kila menangis, yang mana membuat Awan terheran-heran saat menyaksikan bagaimana istrinya sesegukan di pelukannya sekarang.

“Saya salah bicara ya, Kila? Maaf.”

“Nggak,” Kila menggeleng kuat-kuat, menyangkal apa yang dikatakan Awan barusan. “Aku cuma pengen nangis aja.”

Pemuda itu terkekeh pelan, menepuk-nepuk pelan punggung istrinya, lalu mendaratkan satu kecupan singkat di puncak kepalanya.

“Maaf ya, seharusnya aku nggak kayak gini. Maksud aku—–”

“Saya ngerti kok, saya paham perasaan kamu. Udah nggak apa-apa, nangis aja dulu sampai puas. Nanti saya beliin es krim banyak-banyak buat kamu.”

“Tapi aku nggak mau es krim.”

“Yaudah, kamu maunya apa?”

“Kepiting.”

“Oke, nanti saya pesenin kepiting ya?”

Namun Kila justru menggeleng kuat-kuat, melepaskan pelukan mereka, dan memandang kesal ke arah Awan yang menatapnya bingung.

“Aku mau nangkap sendiri kepitingnya!” katanya yang mana membuat Awan melongo seketika.

“La, yang bener aja? Kalau ada cara yang mudah kenapa milih yang susah sih? Kan kita bisa pesan di restoran seafood yang nggak jauh dari sini.”

“Nggak mau, Kak. Maunya nangkap sendiri!” sekarang gadis itu mulai sibuk menarik-narik lengan Awan. “Ayo kita pergi ke laut buat tangkap kepiting!”

Baru juga sehari jadi calon ayah, Awan sudah sukses dibuat stres oleh tingkah istri dan calon anaknya tersebut. Tapi ya mau gimana, ujung-ujungnya tetap saja mereka pergi ke laut untuk menangkap kepiting.

Pokoknya apapun yang Kila inginkan sebisa mungkin akan Awan kabulkan, demi calon anak mereka juga sih sebenarnya. Biar nggak ileran, kalau kata orang.

Efek pisah tiga hari ternyata berhasil membuat Awan jadi super manja begini.

Terhitung sudah hampir satu jam sejak Kila pulang ke apartemen, Awan masih belum juga mau melepaskan gadis itu. Sejak tadi istrinya dia peluk terus-terusan, sesekali pipi atau kening sang istri dicium, yang mana membuat Kila menggeliat kegelian. Tingkah Awan yang satu ini benar-benar berbanding terbalik dari citranya saat di kantor, El kalau lihat sisi lain dari bosnya ini pasti bakalan kaget.

“Saya kangen sama kamu,” kata Awan sambil ndusel ke leher sang istri yang kini duduk menyandar di sofa ruang tamu mereka.

“Iya tau, kamu udah bilang kayak gitu sampai enam kali.”

“Saya kangen sama kamu, saya kangen sama kamu, saya kangen sama kamu, saya kangen sama kamu.”

“Heh! Kok malah diulang-ulangin terus sih?”

“Biar pas sepuluh kali.”

“Astaga....”

Kemana perginya sisi dewasa dan karismatik seorang Marcelino Herdiawan? Kenapa yang ada di sebelahnya ini malah Awan versi super manja layaknya bayi yang tidak mau berpisah dari Ibunya?

Kila agak ngeri membayangkan kalau mereka harus pisah sampai seminggu bahkan berbulan-bulan lamanya, berani bertaruh Awan pasti tidak akan berhenti memeluknya setiap saat selama setidaknya seminggu ke depan. Baru tiga hari saja kelakuan pemuda itu sudah begini manjanya, dibanding suami dia lebih cocok dijadikan bayi. Tingkahnya bahkan lebih menggemaskan dari Bian yang baru berumur empat tahun.

“Emangnya nggak apa-apa ya kalau kamu pulang duluan kayak gini? Terus El gimana?” tanya Kila membuka obrolan sambil menyuap cookies bawaan dari rumahnya itu ke mulut.

“Nggak apa-apa kok, El juga nggak masalah. Lagian siang nanti tuh rapat terakhir, problem-nya juga udah nemu titik terang. Bahkan sebenarnya kalau saya mau pulang nanti malam juga bisa kok, nggak perlu nunggu sampai besok.”

Kila mengangguk mengerti, satu tangannya yang bersih mengusap puncak kepala Awan saat pemuda itu memintanya. Ngomong-ngomong, Awan itu suka sekali diusap kepalanya. Itu membuatnya merasa lebih rileks dan cepat tertidur, biasanya kalau sedang lelah Awan sering minta Kila untuk mengusap kepalanya seperti itu.

Memang dasar bayi besar dia tuh!

“Aku mau tanya deh, kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa sih.”

Awan yang sejak tadi memejamkan mata saking nyamannya bersandar sambil memeluk Kila hanya membalas dengan nada lirih. “Apa?”

“Perasaan kamu ke Lian tuh gimana sih? Udah move on kan? Maaf ya kalau aku lancang nanyanya, cuma penasaran aja.”

“Nggak apa-apa, saya senang kalau kamu penasaran tentang saya,” Awan tersenyum sambil membuka kembali matanya, pelukannya pada Kila semakin mengerat. “Saya udah lama lupain Lian kok, bahkan jauh sebelum saya ketemu kamu lagi saya udah move on dari dia. Jujur saya sempat kaget sih pas ketemu dia lagi di hotel waktu itu, tapi perasaan saya ke dia udah terlanjur mati. Jadi kamu nggak perlu khawatir kalau saya bakal balik lagi sama dia, itu nggak bakal terjadi kok. Karena untuk sekarang dan ke depannya, fokus saya hanya ke kamu aja, Shakila.”

Pemuda itu berkata jujur. Kila bisa merasakan ketulusannya lewat nada bicara dan tatapan Awan yang menyorot padanya. Awan mengatakan apa yang sebenarnya ada di hatinya, jadi Kila pun tidak akan ragu untuk mempercayai ucapannya. Sebab Awan memang orang yang dapat dipercaya, setidaknya itu yang ia sadari sejak menjadi istri Awan dua bulan terakhir ini.

“Kila, can i kiss you?”

Pertanyaan Awan yang terkesan tiba-tiba juga tak terduga itu membuat Kila mematung di tempatnya, terlebih lagi pemuda itu menatapnya begitu intens. Kila salah tingkah, tentu saja. Dia mencoba untuk tetap tenang namun debaran jantungnya justru semakin menggila, Kila frustasi dibuatnya.

“Shakila, boleh?” Awan bertanya lagi untuk memastikan, dan jika gadis itu menolak maka ia pun tidak akan melakukannya.

Namun setelah beberapa menit berpikir, jawaban Kila adalah berupa anggukan. Dia mempersilakan Awan untuk menciumnya, dan Awan pun tidak akan menyianyiakan kesempatan yang satu ini.

Pemuda itu mendekatkan wajahnya, pelan namun pasti, sampai akhirnya bibir keduanya pun bisa saling menyentuh. Rasanya Kila seperti baru saja terkena sengatan listrik yang berujung berefek pada debaran jantungnya yang semakin tidak wajar. Kila bahkan bisa mendengar suara debaran jantungnya sendiri, atau mungkin suara jantung Awan yang sampai ke telinganya saat ini. Sebab, Awan juga tidak kalah deg-degannya dari Kila.

Jemari Kila refleks meremas kaos rumahan yang Awan kenakan saat pemuda itu menggerakkan bibirnya, melumatnya dengan gerakan super lembut, juga meraih tengkuknya untuk memperdalam ciuman mereka. Kila hampir gila rasanya.

Iya sih ini memang bukan ciuman pertama mereka, tapi entah kenapa sensasi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya selalu saja terasa. Geli namun juga menyenangkan, membuat Kila tidak ingin jika semua ini cepat berakhir. Namun pemuda itu melepaskan tautan bibir mereka, menciptakan benang tipis di antara keduanya, seraya berkata dengan suara lirih bercampur seraknya.

Thank you for loving me, Shakila Azalea.” begitu katanya.

Ah, ini benar-benar membuatnya gila. Gadis itu sengaja tidak menjawab ucapan Awan dengan kata-kata. Namun sebaliknya, dia justru menarik tengkuk Awan dan mendaratkan kembali bibirnya pada bibir si pemuda. Membuat Awan terkesiap sejenak sebelum kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

Tangan pemuda itu meraih tubuh sang istri lalu mendudukkannya ke atas pangkuan tanpa melepaskan tautan bibir mereka, Awan rasa dengan begini membuat posisi keduanya jadi lebih nyaman. Bahkan sekarang kedua lengan Kila telah melingkar di lehernya, sementara tangan Awan memeluk pinggang si gadis dengan posesif.

Semakin lama ciuman mereka jadi semakin panas, tangan Awan pun tidak mau tinggal diam. Jemarinya menelusup masuk ke dalam baju Kila, mengusap punggung telanjangnya yang hangat dengan gerakan lembut. Bibirnya kemudian turun pada tengkuk si gadis, menyesap juga menggigit permukaan bersih tersebut hingga meninggalkan tanda kemerahan di sana. Tidak hanya satu, namun dia sengaja membuat banyak tanda di sana seolah ingin memberi tau seluruh dunia kalau Shakila Azalea adalah miliknya.

“Kak....” si gadis menahan gerakan tangan Awan yang entah sadar atau tidak sudah membuka kancing baju yang Kila kenakan.

Ia tidak bodoh untuk menyadari kalau pemuda itu sudah mulai terbawa suasana, bahkan dari tatapan matanya saja telah berbeda dibandingkan saat mereka pertama bertemu tadi. Maka dari itu Kila pun tidak ragu untuk bertanya,

“Mau pindah ke kamar aja nggak?”

Yang mana kemudian langsung disambut senyum cerah dari suaminya.

Sepanjang acara makan siang mereka, Awan tidak terlalu banyak bicara. Bukan karena Lian juga sama diamnya, tapi entah kenapa ia malah merasa tidak nyaman berada di meja yang sama dengan perempuan itu. Malah yang paling banyak bicara justru Kila, yang secara tidak langsung jadi menginterograsi Lian dengan berbagai macam pertanyaannya.

“Dulu pas pacaran sama Awan berapa lama mbak?” tanya Kila begitu selesai dengan makan siangnya di atas meja, Awan hanya meliriknya sekilas sedangkan Lian nampak menatapnya keheranan.

“Mbak?”

“Kila lebih muda dari kamu. Dia 21,” Awan yang bertugas menjawab kebingungan perempuan tersebut.

Lian nampak terkejut awalnya, sama sekali tidak menyangka kalau mantannya itu akan menikahi seorang gadis yang usianya terpaut cukup jauh darinya. Padahal dia sudah berekspetasi akan menemui seorang gadis anggun nan elegan yang menurutnya akan sangat cocok jika bersanding dengan Awan, namun ternyata realitanya justru berbanding terbalik.

Shakila Azalea jauh dari kata anggun maupun elegan. Dia lebih terlihat seperti remaja labil yang semaunya sendiri, bahkan dilihat dari cara makan dan gaya berpakaiannya saja sangat kontras dengan Awan yang begitu tenang dan rapi. Dibanding istri, menurut Lian gadis itu lebih cocok menjadi adiknya Awan saja.

Woy, Mbak? Pertanyaan saya belum dijawab loh,” Kila kembali bertanya guna menyadarkan Lian yang entah sadar atau tidak, memandanginya sejak tadi dengan pandangan aneh.

“Yang berapa lama pacarannya itu?” Lian bertanya balik sambil memandang ke arah Awan yang balik memandanginya. “Lumayan lama, kurang lebih empat tahunan dari semester awal kuliah.”

Mendengar penuturan dari perempuan di depannya itu tak gagal membuat mata Kila membulat, kaget. Bukankah waktu empat tahun bukan waktu yang sebentar, agaknya disayangkan sekali jika pacaran selama itu tapi tidak berakhir bersama. Sangat membuang-buang waktu. Ia saja paling lama pacaran enam bulan, itupun cuma dengan satu orang. Sisa mantannya yang lain paling hanya bertahan dua atau tiga bulan pacaran.

“Saya denger Mbak putus sama Awan karena milih buat nikah sama laki-laki lain ya? Dan itu anaknya?”

Anak laki-laki bernama Arfan yang sejak tadi duduk di sebelah Lian, nampak memandang bingung pada ketiga orang dewasa yang kini memandanginya secara bersamaan. Anak itu kemudian menoleh pada Lian dan menyodorkan potongan daging di garpu, namun Lian menolaknya dengan halus agar Arfan saja yang memakan dagingnya.

“Saya memang putus sama Awan karena milih buat nikah sama orang lain—–”

“Jahat banget,” potong Kila sebelum Lian selesai dengan penjelasannya.

“Tapi saya nggak pernah cinta sama laki-laki itu,” Tatapan Lian kini beralih pada Awan, memandangnya dengan penuh rasa bersalah yang tak mampu lagi disembunyikan. “Sejujurnya, saya cuma cinta sama Awan.”

“Waduh, makin jahat dong?”

“Saya terpaksa menikah dengan Bayu dulu karena keluarga saya terlilit utang dengan keluarga dia, Ayah saya bilang kalau saya mau menikahi Bayu maka semua utangnya dianggap lunas. Jahat sih memang, tapi saya nggak mampu berbuat apa-apa. Orang tua saya cuma punya satu anak, kalau saya tidak bisa membantu mereka maka nggak ada lagi yang bisa menolong. Jadi saya terpaksa menikah dengan Bayu lalu kemudian pergi ke Canada dan tinggal di sana,” Sekali lagi, Lian memandang ke arah Awan dengan tatapan nanar. “Maaf kalau itu menyakiti kamu, Awan.”

Awan tak bereaksi apa-apa, mungkin juga masih terkejut dengan fakta yang baru saja dibeberkan Lian tersebut. Selama ini ia kira Lian hanya ingin cepat-cepat menikah begitu lulus kuliah, makanya perempuan itu selalu mencecarnya agar segera dilamar. Namun Awan tidak bisa mengabulkannya saat itu karena dia belum punya apa-apa, dia tidak bisa menikahi anak orang jika finansialnya saja belum cukup matang. Karena jangankan uang untuk melamar, pekerjaan tetap saja ia belum punya.

“Nggak apa-apa,” Akhirnya hanya itu kata yang keluar dari mulut si pemuda.

Kila menoleh ke arah suaminya sejenak, cukup menaruh simpati pada perubahan suasana hati Awan yang agak mendung di siang cerah hari ini. Salahnya juga sih menyinggung topik sensitif, tapi ya gimana Kila kan penasaran. Mumpung bisa bertemu langsung dengan mantan Awan yang membuat pemuda itu sempat takut menjalin hubungan dengan perempuan lain, jadi ya sudah dituntaskan saja rasa penasarannya.

“Kalau nikahnya udah lama berarti anaknya udah banyak dong, Mbak? Yang ini anak bungsu?” Kila kembali menginterogasi Lian.

Untungnya Lian juga tidak merasa keberatan dengan itu, justru ia senang karena secara tidak langsung jadi bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Awan.

“Sejujurnya dia anak suami saya dengan istri keduanya.”

What?!”

Bersyukur ada Kila yang begitu ekspresif di sini, jadi rasa keterkejutan Awan bisa terwakilkan olehnya.

“Selama bertahun-tahun menikah, saya belum bisa kasih keturunan ke Bayu. Saya sering kali mengalami keguguran karena memang punya kandungan yang lemah. Gara-gara itu Bayu memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Nggak lama setelah mereka menikah, istri Bayu hamil dan lahirlah Arfan. Usianya empat tahun sekarang, dua bulan lagi genap lima tahun.”

Satu lagi fakta yang mengejutkan bagi Awan hari ini, dia tidak akan bisa menduga kalau kehidupan Lian akan sebegini rumitnya. Ia pikir Lian baik-baik saja dan hidup bahagia dengan lelaki pilihannya, namun ternyata dia salah. Salah besar.

“Hai, Arfan!” Kila menyapa anak laki-laki yang sejak tadi hanya duduk sambil menikmati makanannya, sama sekali tidak pernah bicara entah karena terlalu malu atau apa. Bahkan ketika Kila menyapanya dengan ramah sekalipun, anak itu hanya tersenyum memandanginya.

“Dia—–”

“Arfan berhenti bicara sejak satu tahun yang lalu.”

“Kok bisa?” Awan tak mampu lagi menutupi rasa penasarannya itu, entah hal apa lagi yang akan membuatnya terkejut setelah ini.

“Satu tahun lalu sewaktu kami masih tinggal di Canada, Arfan dan kedua orang tuanya pernah mengalami kecelakaan mobil. Orang tuanya meninggal di tempat, sementara Arfan masih sadar saat itu dan segera dibawa ke rumah sakit. Keadaan Arfan nggak begitu parah memang, hanya luka-luka kecil di badan. Tapi karena kejadian itu ternyata meninggalkan trauma tersendiri bagi Arfan, dan karena traumanya itu pula yang membuat dia berhenti bicara sampai sekarang.”

Ah, Awan baru menyadari alasan kenapa sejak pertama bertemu anak itu di lobi, dia selalu saja diam. Arfan hanya menjawabnya dengan anggukan, gelengan kepala, atau sekedar senyuman. Awan pikir Arfan adalah anak yang pemalu, tapi ternyata dia bisu akibat dari trauma setahun yang lalu.

“Udah dibawa ke psikiater anak belum?”

“Udah kok. Aku rutin ngantar dia ke psikiater sejak pindah kemari dua minggu yang lalu.”

“Berarti Mbak Lian dong yang jadi orang tua tunggalnya Arfan sekarang?”

Lian mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Kila barusan. “Karena saya adalah istri dari Bayu yang merupakan Ayahnya Arfan, maka Arfan tetaplah anak saya. Meskipun bukan anak kandung, saya tetap punya tanggung jawab atas Arfan.”

“Kamu perempuan yang kuat, Lian.”

Pujian dari Awan tersebut berhasil menarik ke atas kedua sudut bibir Lian yang sebelumnya sempat menghilang. Entahlah, tapi hanya dengan begitu saja Lian sudah merasa cukup senang. Dia juga merasa puas setelah menceritakan kisahnya yang sebenarnya pada pemuda itu, setidaknya Awan bisa berhenti membencinya.

Karena sejak mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan, setiap harinya Lian habiskan untuk menyalahkan diri sendiri. Jika saja dulu keadaannya jauh lebih baik, mungkin sekarang yang menyandang gelar sebagai 'Istri Marcelino Herdiawan' adalah dirinya. Bukan Kila atau yang lainnya.

Lian menyesal atas keputusannya di masa lalu.

Sepanjang acara makan siang mereka, Awan tidak terlalu banyak bicara. Bukan karena Lian juga sama diamnya, tapi entah kenapa ia malah merasa tidak nyaman berada di meja yang sama dengan perempuan itu. Malah yang paling banyak bicara justru Kila, yang secara tidak langsung jadi menginterograsi Lian dengan berbagai macam pertanyaannya.

“Dulu pas pacaran sama Awan berapa lama mbak?” tanya Kila begitu selesai dengan makan siangnya di atas meja, Awan hanya meliriknya sekilas sedangkan Lian nampak menatapnya keheranan.

“Mbak?”

“Kila lebih muda dari kamu, dia 21.” Awan yang bertugas menjawab kebingungan perempuan tersebut.

Lian nampak terkejut awalnya, sama sekali tidak menyangka kalau mantannya itu akan menikahi seorang gadis yang usianya terpaut cukup jauh darinya. Padahal dia sudah berekspetasi akan menemui seorang gadis anggun nan elegan yang menurutnya akan sangat cocok jika bersanding dengan Awan, namun ternyata realitanya justru berbanding terbalik.

Shakila Azalea jauh dari kata anggun maupun elegan. Dia lebih terlihat seperti remaja labil yang semaunya sendiri, bahkan dilihat dari cara makan dan gaya berpakaiannya saja sangat kontras dengan Awan yang begitu tenang dan rapi. Dibanding istri, menurut Lian gadis itu lebih cocok menjadi adiknya Awan saja.

Woy, mbak? Pertanyaan saya belum dijawab loh.” Kila kembali bertanya guna menyadarkan Lian yang entah sadar atau tidak, memandanginya sejak tadi dengan pandangan aneh.

“Yang berapa lama pacarannya itu?” Lian bertanya balik sambil memandang ke arah Awan yang balik memandanginya. “Lumayan lama, kurang lebih empat tahunan dari semester awal kuliah.”

Mendengar penuturan dari perempuan di depannya itu tak gagal membuat mata Kila membulat, kaget. Bukankah waktu empat tahun bukan waktu yang sebentar, agaknya disayangkan sekali jika pacaran selama itu tapi tidak berakhir bersama. Sangat membuang-buang waktu. Ia saja paling lama pacaran enam bulan, itupun cuma dengan satu orang. Sisa mantannya yang lain paling hanya bertahan dua atau tiga bulan pacaran.

“Saya denger Mbak putus sama Awan karena milih buat nikah sama laki-laki lain ya? Dan itu anaknya?”

Anak laki-laki bernama Arfan yang sejak tadi duduk di sebelah Lian, nampak memandang bingung pada ketiga orang dewasa yang kini memandanginya secara bersamaan. Anak itu kemudian menoleh pada Lian dan menyodorkan potongan daging di garpu, namun Lian menolaknya dengan halus agar Arfan saja yang memakan dagingnya.

“Saya memang putus sama Awan karena milih buat nikah sama orang lain—–”

“Jahat banget.” potong Kila sebelum Lian selesai dengan penjelasannya.

“Tapi saya nggak pernah cinta sama laki-laki itu.” Tatapan Lian kini beralih pada Awan, memandangnya dengan penuh rasa bersalah yang tak mampu lagi disembunyikan. “Sejujurnya, saya cuma cinta sama Awan.”

“Waduh, makin jahat dong?”

“Saya terpaksa menikah dengan Bayu dulu karena keluarga saya terlilit utang dengan keluarga dia, Ayah saya bilang kalau saya mau menikahi Bayu maka semua utangnya dianggap lunas. Jahat sih memang, tapi saya nggak mampu berbuat apa-apa. Orang tua saya cuma punya satu anak, kalau saya tidak bisa membantu mereka maka nggak ada lagi yang bisa menolong. Jadi saya terpaksa menikah dengan Bayu lalu kemudian pergi ke Canada dan tinggal di sana.” Sekali lagi, Lian memandang ke arah Awan dengan tatapan nanar. “Maaf kalau itu menyakiti kamu, Awan.”

Awan tak bereaksi apa-apa, mungkin juga masih terkejut dengan fakta yang baru saja dibeberkan Lian tersebut. Selama ini ia kira Lian hanya ingin cepat-cepat menikah begitu lulus kuliah, makanya perempuan itu selalu mencecarnya agar segera dilamar. Namun Awan tidak bisa mengabulkannya saat itu karena dia belum punya apa-apa, dia tidak bisa menikahi anak orang jika finansialnya saja belum cukup matang. Karena jangankan uang untuk melamar, pekerjaan tetap saja ia belum punya.

“Nggak apa-apa.” Akhirnya hanya itu kata yang keluar dari mulut si pemuda.

Kila menoleh ke arah suaminya sejenak, cukup menaruh simpati pada perubahan suasana hati Awan yang agak mendung di siang cerah hari ini. Salahnya juga sih menyinggung topik sensitif, tapi ya gimana Kila kan penasaran. Mumpung bisa bertemu langsung dengan mantan Awan yang membuat pemuda itu sempat takut menjalin hubungan dengan perempuan lain, jadi ya sudah dituntaskan saja rasa penasarannya.

“Kalau nikahnya udah lama berarti anaknya udah banyak dong, Mbak? Yang ini anak bungsu?” Kila kembali menginterogasi Lian.

Untungnya Lian juga tidak merasa keberatan dengan itu, justru ia senang karena secara tidak langsung jadi bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Awan.

“Sejujurnya dia anak suami saya dengan istri keduanya.”

What?!”

Bersyukur ada Kila yang begitu ekspresif di sini, jadi rasa keterkejutan Awan bisa terwakilkan olehnya.

“Selama bertahun-tahun menikah, saya belum bisa kasih keturunan ke Bayu. Saya sering kali mengalami keguguran karena memang punya kandungan yang lemah. Gara-gara itu Bayu memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Nggak lama setelah mereka menikah, istri Bayu hamil dan lahirlah Arfan. Usianya empat tahun sekarang, dua bulan lagi genap lima tahun.”

Satu lagi fakta yang mengejutkan bagi Awan hari ini, dia tidak akan bisa menduga kalau kehidupan Lian akan sebegini rumitnya. Ia pikir Lian baik-baik saja dan hidup bahagia dengan lelaki pilihannya, namun ternyata dia salah. Salah besar.

“Hai, Arfan!” Kila menyapa anak laki-laki yang sejak tadi hanya duduk sambil menikmati makanannya, sama sekali tidak pernah bicara entah karena terlalu malu atau apa. Bahkan ketika Kila menyapanya dengan ramah sekalipun, anak itu hanya tersenyum memandanginya.

“Dia—–”

“Arfan berhenti bicara sejak satu tahun yang lalu.”

“Kok bisa?” Awan tak mampu lagi menutupi rasa penasarannya itu, entah hal apa lagi yang akan membuatnya terkejut setelah ini.

“Satu tahun lalu sewaktu kami masih tinggal di Canada, Arfan dan kedua orang tuanya pernah mengalami kecelakaan mobil. Orang tuanya meninggal di tempat, sementara Arfan masih sadar saat itu dan segera dibawa ke rumah sakit. Keadaan Arfan nggak begitu parah memang, hanya luka-luka kecil di badan. Tapi karena kejadian itu ternyata meninggalkan trauma tersendiri bagi Arfan, dan karena traumanya itu pula yang membuat dia berhenti bicara sampai sekarang.”

Ah, Awan baru menyadari alasan kenapa sejak pertama bertemu anak itu di lobi, dia selalu saja diam. Arfan hanya menjawabnya dengan anggukan, gelengan kepala, atau sekedar senyuman. Awan pikir Arfan adalah anak yang pemalu, tapi ternyata dia bisu akibat dari trauma setahun yang lalu.

“Udah dibawa ke psikiater anak belum?”

“Udah kok. Aku rutin ngantar dia ke psikiater sejak pindah kemari dua minggu yang lalu.”

“Berarti Mbak Lian dong yang jadi orang tua tunggalnya Arfan sekarang?”

Lian mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Kila barusan. “Karena saya adalah istri dari Bayu yang merupakan Ayahnya Arfan, maka Arfan tetaplah anak saya. Meskipun bukan anak kandung, saya tetap punya tanggung jawab atas Arfan.”

“Kamu perempuan yang kuat, Lian.”

Pujian dari Awan tersebut berhasil menarik ke atas kedua sudut bibir Lian yang sebelumnya sempat menghilang. Entahlah, tapi hanya dengan begitu saja Lian sudah merasa cukup senang. Dia juga merasa puas setelah menceritakan kisahnya yang sebenarnya pada pemuda itu, setidaknya Awan bisa berhenti membencinya.

Karena sejak mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan, setiap harinya Lian habiskan untuk menyalahkan diri sendiri. Jika saja dulu keadaannya jauh lebih baik, mungkin yang sekarang menyandang gelar sebagai 'Istri Marcelino Herdiawan' adalah dirinya. Bukan Kila atau yang lainnya.

Lian menyesal atas keputusannya di masa lalu.

Di hotelnya, Awan terkenal sebagai atasan yang baik juga ramah pada karyawan. Meskipun sesekali ia akan bersikap galak, atau mungkin lebih tepat jika disebut tegas, hal itu tentu dengan alasan yang masih masuk di akal. Apalagi kalau bukan untuk mendisiplinkan karyawannya. Maka dari itu agaknya tidak mengherankan jika ia begitu disegani di tempat kerja. Karena Awan selalu pintar menempatkan diri kapan dia harus bersikap ramah, dan kapan ia harus bersikap lebih tegas.

Karyawan yang berlalu lalang di sekitarnya, pun yang berjaga dibalik meja tak pernah lupa tersenyum sebagai bentuk sapaan kepada Awan yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Begitu ia balas tersenyum, karyawan wanita yang merangkap sebagai penggemarnya itu langsung menutup mulut menahan pekik. Memang sudah bukan rahasia umum lagi kalau pemuda itu selalu jadi idola banyak orang, tidak hanya perempuan namun juga karyawan laki-laki pun menaruh kagum padanya.

Mereka bilang, Marcelino Herdiawan itu mengagumkan. Di umurnya yang sekarang ini dia telah berhasil membangun perusahaan perhotelannya sendiri, bahkan sekarang tercatat sudah ada tiga cabang hotel di kota besar yang berbeda. Meskipun dikatakan bagian dari Sky Group yang merupakan perusahaan milik keluarga Ayahnya, nyatanya hotel ini dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Tidak mudah memang, tapi nyatanya dia berhasil mewujudkannya. Tentu saja tidak lepas dari dukungan kedua orang tuanya juga.

Sekarang di umur yang ke-29 ini, Awan telah menjadi lelaki dewasa yang mapan dan berkecukupan. Memiliki bisnis sendiri dan menjadi bagian dari pemilik saham terbanyak kedua di Sky Group di bawah Ayahnya. Belum sampai kepala tiga Awan telah memiliki hidup yang nyaman, ditambah lagi dia juga punya istri yang cantik.

Hidupnya nyaris sempurna andai saja dia juga bisa memiliki anak dari Kila, tapi tentu saja itu bukan hal yang mudah. Namun tak apa, begini saja ia sudah bersyukur. Setidaknya sikap Kila padanya sudah tidak sejutek dulu lagi, meski sampai sekarang Kila masih menolak untuk tidur berdua dengannya di kamar utama.

Duk!

“Eh?”

Awan sontak merunduk saat kakinya baru saja menabrak sesuatu yang kecil. Sesuatu itu, eum ralat, maksudnya seorang anak kecil yang mungkin seumuran Bian baru saja jatuh terduduk sambil meratapi nasib es krimnya yang sudah tak berbentuk di lantai. Anak berjenis kelamin laki-laki itu tak menangis, untungnya. Namun tatapannya yang nanar membuat Awan merasa bersalah meski sebenarnya bukan dia yang menabrak anak itu, tapi anak kecil tersebut yang lari terburu-buru saat Awan baru saja keluar dari lift.

“Hei, kamu nggak apa-apa kan?” Awan bertanya sembari membantu anak itu berdiri dan menepis debu-debu halus di pakaiannya.

Namun anak itu justru mengarahkan jari telunjuknya pada es krim di lantai, mungkin merasa sedih karena gagal memakannya tadi. Awan semakin tak enak hati, dia menaruh kedua tangannya pada lengan si anak sambil bersimpuh dengan lututnya.

“Maaf ya, mau Om ganti aja nggak es krimnya?”

Lagi-lagi anak itu tak menjawab, dia hanya menggerakkan tubuhnya sebagai pengganti jawaban. Dan sekarang anak itu nampak menggeleng, sebuah pertanda kalau Awan tidak harus mengganti es krimnya yang jatuh.

Agak di luar dugaan sebenarnya. Normalnya, anak seumuran itu pasti akan langsung menangis saat melihat es krimnya jatuh ke lantai. Dia mungkin akan berteriak histeris dan baru akan berhenti saat es krimnya telah diganti dengan yang baru, tapi anak laki-laki di depannya ini justru tersenyum menatapnya dengan wajah lugu.

Pipinya yang gempal juga rambutnya yang agak keriting membuat Awan merasa gemas saat melihatnya, jadi dia mengusap kepala si anak yang untungnya tidak ditepis oleh si empunya.

“Arfan!”

Seruan seorang perempuan dari arah kanannya membuat si anak laki-laki juga Awan langsung menoleh secara bersamaan. Anak itu, yang tadi dipanggil Arfan, langsung terlonjak kegirangan menyambut pelukan dari perempuan yang baru saja datang menghampiri mereka.

“Kamu gimana sih, kan tadi Mama bilang jangan jalan duluan. Nanti kalau kamu tersesat terus hilang gimana?” ucapnya khawatir, tangannya pun tak hentinya mengusap tubuh si anak untuk memastikan kalau dia baik-baik saja.

Semula tak ada yang aneh memang, agaknya itu wajar dilakukan semua orang tua yang merasa cemas saat anaknya tak berada dalam jangkauan. Namun side profile perempuan yang kini berada di sampingnya itu berhasil membuat Awan sontak terdiam. Lalu bertepatan saat perempuan itu menoleh ke arahnya, Awan merasakan lututnya yang menumpu pada lantai mendadak lemas. Terlebih saat perempuan itu menyebut namanya dengan suara lembut khasnya yang sampai kapanpun tak akan pernah bisa Awan lupa.

“Awan? Kamu Awan kan?”

Dia, Liliana Maheswari. Perempuan pertama yang berhasil membuatnya jatuh hati namun juga menorehkan luka hati di saat yang bersamaan. Dia mantan pacar Awan saat kuliah dulu, yang kemudian memutuskan hubungan mereka karena dipaksa untuk menikah dengan laki-laki lain begitu mereka lulus kuliah.

Dan sekarang mereka bertemu lagi, setelah bertahun-tahun lamanya tak saling melihat satu sama lain.

“Lian—–”

“Pak Bos!” ucapan Awan terinterupsi kala di kejauhan Rafael nampak sibuk berlari menghampirinya. “Pak Bos ini gimana sih? Saya tungguin di meeting room nggak nongol-nongol taunya malah bengong di sini!”

“El—–”

“Ayo!” Tanpa babibu Rafael langsung menarik pergelangan tangan bosnya tersebut dan membawanya ke meeting room. Sejujurnya mereka ini sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal yang telah ditentukan, tidak biasanya Pak Bosnya ini tidak tepat waktu.

“Awan!”

Baik Awan maupun Rafael sama-sama menoleh ke belakang saat Lian memanggil, Rafael sendiri hanya bisa menatap bergantian bosnya juga perempuan itu dengan pandangan bingung.

“Kita ... bisa ketemu lagi kan?” tanya Lian dengan nada ragu.

Namun Awan memutuskan untuk tidak menjawabnya, sebelum kemudian berbalik pergi melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

“Shakila,”

Yang dipanggil tak bergeming di tempatnya. Tak perduli meski Awan sudah menepuk pundaknya, Kila tetap bertahan pada posisinya duduk di sebelah kiri ranjang Mami yang kini nampak lelap dalam tidur.

Kurang lebih dua jam yang lalu, wanita itu telah berhasil melewati masa kritisnya. Hanya saja karena keadaannya yang tak kunjung membaik meski telah melewati berbagai pengobatan, dokter sempat menyarankan mereka untuk mencari pendonor untuk jantung Mami. Mendapatkannya tentu saja tidak mudah, apalagi kesehatan Mami semakin menurun setiap harinya.

“Kila, makan makan dulu yuk. Nanti kamu sakit,” Awan mencoba membujuk sang istri, berlutut di sebelah kursi Kila untuk menyamai tingginya. “Shakila, kamu dengar saya?”

“Gue nggak lapar.”

“Kamu belum makan dari siang kan? Nanti perutnya sakit.”

“Nanti nggak ada yang jagain Mami.”

“Papi bentar lagi balik kok, dia tadi pulang sebentar buat ngambil barang-barang keperluan Mami. Shilla juga ikut nginep nanti malam buat jagain Mami.”

Kila tetap bersikeras pada pendiriannya, gadis itu menggeleng pelan. “Gue nggak mau ninggalin Mami.”

“Sebentar aja kok, Kila. Kita makan sebentar, nggak bakalan lama. Nanti kita balik lagi ke sini ya?”

“Nggak mau.”

“Shakila,” pemuda itu menarik kedua bahu Kila agar mau menatapnya. “Saya nggak mau kalau kamu jadi ikutan sakit, Mami kamu juga pasti nggak bakalan suka kalau tau anaknya jadi mengabaikan kesehatannya sendiri gini. Kalau kamu mau jagain Mami ya udah, nggak apa-apa. Yang penting kamu makan dulu, yang kuat dulu, sehat dulu, biar bisa jagain Mami.”

“Tapi—–”

“Shakila, sebentar aja kok. Ya?”

Gadis itu menghela napas berat. Pandangannya kembali mengarah pada sosok wanita paruh baya yang kini terbaring lemah di atas ranjang pasien, napasnya terlihat teratur meski wajahnya agak pucat. Kila tidak tega saat melihatnya, Mami terlihat kurus sejak terakhir kali mereka bertemu di apartemen kala itu.

“Kila, yuk?”

Pada akhirnya Kila memilih untuk menuruti saran Awan. Gadis itu beranjak dari tempat duduk yang hampir dua jam ini tak ia tinggali barang semenit pun, lalu berbalik pergi mengikuti Awan keluar dari ruang inap Mami.

Di sepanjang lorong rumah sakit, Kila jadi sadar kalau perutnya memang terasa lapar. Anehnya saat berada di samping Mami ia justru tidak merasakan itu, mungkin perasaan khawatirnya lebih kuat dibanding rasa laparnya.

“Tadi Papi kamu sempat bilang katanya makanan di kantin rumah sakit nggak begitu enak, mau coba cari makan di luar aja nggak?”

Tawaran Awan hanya berbalas anggukan kepala dari sang gadis. Kila sudah terlalu lelah karena merasa khawatir juga lemas karena belum makan, jadi ia rasa mau makan apapun dan di manapun terserah saja karena ia tidak terlalu memperdulikan. Ia bahkan membiarkan saja saat tangan Awan melingkar di pundaknya, juga saat pemuda itu mencoba merapihkan helai rambutnya yang berantakan ke belakang telinga. Jika dalam kondisi normal, ia pasti akan memberi jarak sejauh-jauhnya dari pemuda itu.

Bertepatan saat keduanya bertolak ke arah kiri menuju pintu keluar, dari sisi yang berlawanan seseorang telah sejak tadi memperhatikan dengan pandangan bingung sekaligus penasaran. Hanya saja, ia lebih memilih untuk tetap diam di tempatnya.

Lalu perlahan mulai menaikkan salah satu sudut bibirnya.

Kila pikir dengan datang ke kamar Awan ia benar-benar akan diberi tau sesuatu yang penting, kenyataannya justru di luar dugaan.

Begitu Kila masuk, yang ia dapati justru Awan yang duduk meringkuk di atas ranjang sambil menatapnya penuh cengiran. Kila jelas saja kebingungan atas apa yang terjadi pada pemuda itu, namun saat Awan menjelaskan maksudnya Kila seketika langsung ternganga.

Katanya, “Kila, kamu berani nggak sama kecoa? Kalau iya tolong usirin kecoanya dong, tuh ada di kamar mandi. Saya dari tadi mau mandi nggak jadi-jadi karena kecoanya nggak mau pergi.”

Bayangkan seorang Marcelino Herdiawan dengan tubuh gagah dan tinggi menjulang, juga limpahan otot yang ada di tubuhnya lebih memilih untuk menunda mandi hanya karena kecoa di kamar mandinya tidak mau pergi. Lucu tapi juga nyebelin!

Kila pikir Awan adalah orang yang serius dan tidak pernah main-main. Tapi begitu tau pemuda itu menyuruhnya ke kamar dan mengatakan bahwa itu sesuatu yang penting padahal hanya kecoa saja, Kila rasanya mau marah. Gadis itu merotasikan bola matanya jengah seraya mendengus keras-keras.

“Lo nyuruh gue kesini cuma buat ngusirin kecoa?”

Polosnya, Awan langsung mengangguk. “Saya takut banget sama kecoa, Kila. Bisa dibilang saya punya kenangan buruk sama makhluk satu itu.”

Please, itu cuma kecoa. Lebay bangey sih!”

“Cuma?!” Mata Awan kontan melotot hingga kebukaan maksimal, “itu kecoa, Shakila. Kecoa. Bukan cuma!”

“Lebih besaran mana kecoa sama badan lo coba?”

“Ini bukan masalah besar kecilnya badan. Yang namanya takut ya takut, Shakila!”

Hadeh....” Kila tepok jidat, sudah mulai lelah menghadapi panik alay ala Awan saat ini.

Namun meskipun begitu, dia tetap berbaik hati membantu. Kila mengambil sebuah sapu yang tersandar di pojokan kamar Awan, sepertinya sempat digunakan pemuda itu juga untuk mengusir kecoa. Jadi berbekal dengan sapu tersebut Kila berjalan mendekati kamar mandi, disusul oleh Awan yang meloncat dari ranjang lalu mengekor di belakang tubuh Kila.

“Di mana kecoanya?” tanya Kila yang langsung mendapat jawaban dari Awan yang berdiri terlalu mepet di belakangnya.

“Itu tuh, di pojokan kanan.”

Kila langsung mengikuti arah telunjuk Awan dan mendapati seekor kecoa berukuran cukup besar sedang menempel di dinding kamar mandi. Gadis itu langsung menghela napas berat, kalau boleh jujur sebenarnya dia juga rada takut sih. Tapi mencoba sedikit lebih berani meski batin terasa ketar-ketir.

“Om, jangan dorong-dorong gue dong!” Kila protes karena merasa tubuhnya semakin terdorong masuk mendekati kecoa incarannya.

Awan tentu saja tidak mau mengaku, dia berkilah dengan nada panik. “Saya nggak dorong-dorong kamu kok!”

“Nggak dorong-dorong apaan tangan lo aja nyampir di pundak gue!”

“Saya cuma pegang.”

Ck, awas, jangan terlalu mepet ke gue! Bisa-bisanya lo malah jadiin istri lo tameng buat menghadapi kecoa!”

Di belakang sana, Awan justru senyam-senyum dibuatnya. Bagaimana mungkin Kila berucap 'Istri lo' saja sudah sanggup membuat perasaan Awan berbunga-bunga?

Saking fokusnya dengan lamunannya sendiri, Awan sampai tidak sadar Kila sudah berhasil mengalahkan kecoa yang tadi nemplok di dinding kamar mandinya. Pemuda itu sampai melongo di tempat begitu menyaksikan kecoa itu telah terkapar di lantai kamar mandi.

“Wow!” Awan berdecak kagum.

“Gini doang sih kecil!” Gadis itu menepuk tangannya dengan bangga. Dan harus Awan akui Kila memang keren sih, setidaknya lebih keren darinya dalam hal menghadapi kecoa.

Tadinya setelah berhasil mengalahkan makhluk kecil meresahkan di lantai kamar mandi Awan, Kila sudah berniat untuk langsung kembali ke kamarnya. Namun begitu ia balik badan, Kila yang baru ingat masih ada Awan di belakangnya seketika menyesal. Gadis itu refleks menjauhkan wajahnya saat hidungnya tak sengaja terantuk dada atas Awan yang tertutup kemeja hitam kantorannya malam ini.

“Awas!” Awan berseru panik begitu Kila mundur impulsif, kakinya sempat terpeleset dan nyaris jatuh andai saja pemuda itu tidak buru-buru menangkap tubuh Kila. “Hati-hati, Shakila. Lantainya licin!”

Kila langsung kehilangan fokus saat Awan menariknya mendekat hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain, seperti sedang berpelukan ia rasa. Ditambah lagi aroma parfum yang masih tertinggal di tubuh Awan membuat Kila semakin hanyut pada lamunannya memandangi pemuda itu terus-terusan.

“Shakila, muka kamu merah.”

Sial!

Kila langsung buru-buru menjauh dari Awan dan memberi jarak seaman mungkin. Sebenarnya bukan hanya mukanya saja yang merah, jantungnya pun ikut berdebar tidak karuan sekarang. Kila malu kalau Awan juga menyadari hal itu.

“Panas, makanya muka gue merah.” ucap Kila berkilah.

“Padahal kamar saya ada AC-nya.”

“Nggak berasa.”

“Oh, oke. Kirain tadi kamu merah karena saya.” Pemuda itu terkekeh geli dengan tampannya, harus Kila akui. “kamu gemesin kalau mukanya merah.”

“Apa sih gemesin-gemesin mulu? Gue nggak gemesin!”

“Di mata saya kamu tuh gemes, Shakila.”

Ah, terserah deh. Nggak jelas lo!”

Untuk menutupi kesaltingannya tersebut, Kila memutuskan untuk segera pergi dari kamar Awan sebelum nanti pipinya bertambah merah dan jadi bahan ledekan pemuda itu lebih parah lagi.

Memang menyebalkan!

Tapi kok jantung Kila terus berdebar gini ya? Padahal biasanya tidak begitu.

Duh, jantung. Jangan norak dong!' batin Kila kesal sendiri.

Keesokan harinya kedua orang tua Awan dan Kila betulan mengunjungi apartemen mereka. Suasana apartemen yang biasanya sepi, entah karena Awan yang sibuk di kantor atau Kila yang memilih untuk mengurung diri di kamar jika tidak main ke luar, hari ini terlihat begitu ramai. Bahkan Bian, anaknya Kak Shilla pun turut dibawa kemari oleh Sarah (Maminya Kila).

Tidak terbayang jika Shilla dan suaminya ikut datang juga akan seramai apa apartemen Awan hari ini, apalagi katanya mereka semua berencana ingin menginap nanti malam.

“Awan sama Kila keliatan serasi banget ya, Sar?” Fany, Mamanya Awan bertanya pada Sarah sembari menatap pigura besar foto pernikahan Awan dan Kila yang terpajang di dinding ruang tamu.

“Iya, Mbak. Nggak nyangka juga ya anak-anak udah pada besar, udah nikah pula. Sebelumnya saya nggak terpikir kalau kita bakal jadi besan.” Sarah menanggapi dengan kekehan ringan di akhir kalimat, yang kemudian membuat Fany jadi ikut tertawa bersamanya.

Selagi para Ibu-ibu sibuk bercengkrama di ruang tamu, Dimas dan Alfi lebih memilih untuk tour di apartemen Awan. Mengontrol satu demi satu ruangan yang ada di sini sambil membicarakan perihal indeks harga saham yang katanya diperkirakan akan meningkat tahun ini.

Sementara itu di sisi lain, ada Awan dan Kila yang bertugas menemani Bian bermain. Anak laki-laki berumur empat tahunan itu sedang lincah-lincahnya sekarang, sibuk berlari kesana kemari yang mana membuat Kila kewalahan, sedangkan Awan sendiri hanya tertawa-tawa gemas saat menyaksikan polah keponakannya itu.

“Bian, hati-hati. Nanti jatuh!” peringat Kila ngeri sendiri saat Bian mencoba naik ke kursi meja makan dan berdiri dengan tawa riang.

Onty!!” teriak anak itu sambil bertepuk tangan heboh saat menemukan potongan cheese cake di atas meja makan. “Mau, onty, mau!”

“Beneran mau?”

Anak itu mengangguk mantap. “Eung!”

“Turun dulu tapi, duduk di sini sama Om Awan. Aunty ambilin cheese cake-nya.”

Untunglah Bian bukan tipe anak yang susah diatur. Dia langsung mengerti perintah Kila lalu turun dengan hati-hati dari atas kursi, sebelum kemudian berlari menghampiri Awan yang sigap meraih tubuhnya.

“Bian suka cheese cake ya?” Awan iseng bertanya sambil mencubit gemas pipi Bian.

Anak laki-laki itu mengangguk antusias. “Suka, Om suka?” dia bertanya balik.

“Om juga suka.”

Perhatian Bian kemudian teralihkan saat Kila datang menghampiri mereka dengan potongan cheese cake di piring kecil. Anak itu kembali bertepuk tangan heboh di pangkuan Awan, “Onty, cepat!” desaknya tak sabaran.

“Iya, Bian, sabar. Buka mulutnya,” perintah Kila langsung dituruti Bian, anak itu segera membuka mulutnya lebar-lebar dan tersenyum senang saat kue itu berhasil masuk ke mulutnya. “Enak nggak, Bi?”

Bian mengangkat jempolnya sambil tertawa senang. “Enaakkk!” Anak itu kemudian menepuk paha Awan seraya berseru ke arah Kila yang menaikkan alisnya bingung. “Om, mau.”

“Hah? Apa, Bian?” tanya Kila agar Bian memperjelas kalimatnya.

“Om Wan, mau kue. Suapin, Onty!

Gadis itu kemudian melirik pada Awan yang sudah lebih dulu menatapnya. “Om Awan kalau mau kuenya bisa makan sendiri kok, Bi, nggak perlu Aunty suapin.”

Namun anak itu justru bersikeras meminta Kila untuk menyuapi Awan, dia sampai merengek dan berteriak kencang agar Kila mau menurutinya. Jadi dari pada ribut, Kila sanggupi saja permintaan Bian. Gadis itu memberikan satu potongan kecil di sendok dan mengarahkannya pada Awan.

“Om, ayo!” desak Bian karena Awan sejak tadi hanya bengong sambil menatap Tantenya itu

Seperti baru tersadar, Awan langsung mengerjap lalu memajukan tubuhnya pada Kila sambil menerima suapan kue dari gadis itu. Kedua sudut bibir Awan lantas tertarik ke atas membentuk satu senyuman di wajahnya yang tampan, hatinya sedang berbunga-bunga sekarang. Kapan lagi coba Kila akan menyuapinya begini jika saja bukan atas permintaan Bian.

“Enak nggak, Om?” Bian bertanya pendapatnya sambil mendongak menatap ke arah Awan.

Pemuda itu langsung mengangguk setuju. “Enak kok, Bi.”

'Apalagi kalau Tante kamu yang suapin.' lanjutnya dalam hati.


“Hubungan kamu sama Awan gimana, La? Baik-baik aja kan?”

Sarah bertanya saat dirinya dan sang anak sedang berdua saja di dapur untuk menyiapkan makan siang hari ini. Fany dan suaminya pergi ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan, sedangkan Dimas dan Awan sibuk menjaga Bian di ruang tamu.

Kila yang sejak tadi membantu Maminya memotong bawang itu menyahut, “Baik kok, Mi. Nggak ada masalah.”

“Syukurlah, akur terus ya kalian. Jujur aja Mami senang pas tau kamu setuju buat menikah sama Awan waktu itu, apalagi setau Mami Awan emang anak yang baik. Dari kecil dia udah sopan dan lemah lembut, terlebih lagi dia sayang banget sama Mamanya. Dia pasti bisa memperlakukan wanitanya sama baiknya seperti dia memperlakukan Mamanya. Kamu beruntung loh bisa mendapatkan laki-laki baik seperti Awan.”

Apa yang dikatakan Maminya memang benar sih, Awan sebaik itu, Kila pun mengakuinya. Bahkan ketika sikap dan perilakunya begitu buruk, Awan tidak pernah bertindak kasar padanya. Dia selalu sabar menghadapi kekeras kepalaan Kila dan cenderung memilih untuk mengalah dari pada memperpanjang masalah. Namun mau dilihat dari sudut manapun sebenarnya Kila dan Awan tidak begitu cocok. Kila kadang merasa dia terlalu buruk untuk Awan yang sebaik itu, apalagi sifat mereka sangat bertolak belakang.

Tapi kenapa Awan tetap memilihnya sebagai istri di saat dia bisa mencari perempuan yang jauh lebih baik darinya?

Pandangan Kila kemudian beralih dari bawang yang ia potong, menjadi menatap sosok Awan yang kini duduk memangku Bian yang sedang minum susu di botolnya. Bahkan meski yang terlihat hanya punggung dan kepala bagian belakangnya saja, Awan sudah terlihat begitu menakjubkan. Dia punya aura yang begitu memikat, membuat siapa saja akan senang hati menolehkan kepala dan menatap ke arahnya dengan pandangan kagum.

Awan tidak hanya baik, sopan, dan lemah lembut. Tapi dia juga punya tingkat kesabaran yang tinggi saat menghadapi Kila, dan kalau boleh jujur itulah nilai plus Awan di mata Kila. Karena ia tau tidak semua orang sanggup menghadapi dirinya yang menyebalkan ini, tapi Awan bisa. Sejauh ini ia bahkan tidak pernah melihat Awan marah atau sekedar meninggikan nada bicaranya.

Bukan hanya itu sih, Awan juga tampan. Tinggi badan mencapai 177cm, dengan tubuh yang dipenuhi otot di sana sini. Jangan lupakan pula hidung mancungnya yang begitu memukau, rahangnya yang tegas, namun memiliki mata yang terbilang imut saat tersenyum. Mata Awan cenderung akan menghilang saat ia tersenyum, menyisakan lengkungan bulan sabit yang merupakan turunan dari sang Ibu.

Mau dilihat dari sisi manapun Awan itu nyaris sempurna, Kila sampai bertanya-tanya apa pemuda itu punya setidaknya satu saja kekurangan?

Mungkin, Kila harus mengenali Awan lebih jauh lagi untuk mengetahui tentang hal itu.

“Kila, jangan melamun. Yang bener motong bawangnya!” peringat Mami yang kemudian membuat Kila tersentak dan tersadar dari lamunannya.

Ah, iya. Maaf, Mi.”

Duh, kenapa juga tadi isi kepalanya malah memikirkan Awan sih?

Fokus, Kila, fokus!

Keesokan harinya kedua orang tua Awan dan Kila betulan mengunjungi apartemen mereka. Suasana apartemen yang biasanya sepi, entah karena Awan yang sibuk di kantor atau Kila yang memilih untuk mengurung diri di kamar jika tidak main ke luar, hari ini terlihat begitu ramai. Bahkan Bian, anaknya Kak Shilla pun turut dibawa kemari oleh Sarah (Maminya Kila).

Tidak terbayang jika Shilla dan suaminya ikut datang juga akan seramai apa apartemen Awan hari ini, apalagi katanya mereka semua berencana ingin menginap nanti malam.

“Awan sama Kila keliatan serasi banget ya, Sar?” Fany, Mamanya Awan bertanya pada Sarah sembari menatap pigura besar foto pernikahan Awan dan Kila yang terpajang di dinding ruang tamu.

“Iya, Mbak. Nggak nyangka juga ya anak-anak udah pada besar, udah nikah pula. Sebelumnya saya nggak terpikir kalau kita bakal jadi besan.” Sarah menanggapi dengan kekehan ringan di akhir kalimat, yang kemudian membuat Fany jadi ikut tertawa bersamanya.

Selagi para Ibu-ibu sibuk bercengkrama di ruang tamu, Dimas dan Alfi lebih memilih untuk tour di apartemen Awan. Mengontrol satu demi satu ruangan yang ada di sini sambil membicarakan perihal indeks harga saham yang katanya diperkirakan akan meningkat tahun ini.

Sementara itu di sisi lain, ada Awan dan Kila yang bertugas menemani Bian bermain. Anak laki-laki berumur empat tahunan itu sedang lincah-lincahnya sekarang, sibuk berlari kesana kemari yang mana membuat Kila kewalahan, sedangkan Awan sendiri hanya tertawa-tawa gemas saat menyaksikan polah keponakannya itu.

“Bian, hati-hati. Nanti jatuh!” peringat Kila ngeri sendiri saat Bian mencoba naik ke kursi meja makan dan berdiri dengan tawa riang.

Onty!!” teriak anak itu sambil bertepuk tangan heboh saat menemukan potongan cheese cake di atas meja makan. “Mau, onty, mau!”

“Beneran mau?”

Anak itu mengangguk mantap. “Eung!”

“Turun dulu tapi, duduk di sini sama Om Awan. Aunty ambilin cheese cake-nya.”

Untunglah Bian bukan tipe anak yang susah diatur. Dia langsung mengerti perintah Kila lalu turun dengan hati-hati dari atas kursi, sebelum kemudian berlari menghampiri Awan yang sigap meraih tubuhnya.

“Bian suka cheese cake ya?” Awan iseng bertanya sambil mencubit gemas pipi Bian.

Anak laki-laki itu mengangguk antusias. “Suka, Om suka?” dia bertanya balik.

“Om juga suka.”

Perhatian Bian kemudian teralihkan saat Kila datang menghampiri mereka dengan potongan cheese cake di piring kecil. Anak itu kembali bertepuk tangan heboh di pangkuan Awan, “Onty, cepat!” desaknya tak sabaran.

“Iya, Bian, sabar. Buka mulutnya,” perintah Kila langsung dituruti Bian, anak itu segera membuka mulutnya lebar-lebar dan tersenyum senang saat kue itu berhasil masuk ke mulutnya. “Enak nggak, Bi?”

Bian mengangkat jempolnya sambil tertawa senang. “Enaakkk!” Anak itu kemudian menepuk paha Awan seraya berseru ke arah Kila yang menaikkan alisnya bingung. “Om, mau.”

“Hah? Apa, Bian?” tanya Kila agar Bian memperjelas kalimatnya.

“Om Wan, mau kue. Suapin, Onty!

Gadis itu kemudian melirik pada Awan yang sudah lebih dulu menatapnya. “Om Awan kalau mau kuenya bisa makan sendiri kok, Bi, nggak perlu Aunty suapin.”

Namun anak itu justru bersikeras meminta Kila untuk menyuapi Awan, dia sampai merengek dan berteriak kencang agar Kila mau menurutinya. Jadi dari pada ribut, Kila sanggupi saja permintaan Bian. Gadis itu memberikan satu potongan kecil di sendok dan mengarahkannya pada Awan.

“Om, ayo!” desak Bian karena Awan sejak tadi hanya bengong sambil menatap Tantenya itu

Seperti baru tersadar, Awan langsung mengerjap lalu memajukan tubuhnya pada Kila sambil menerima suapan kue dari gadis itu. Kedua sudut bibir Awan lantas tertarik ke atas membentuk satu senyuman di wajahnya yang tampan, hatinya sedang berbunga-bunga sekarang. Kapan lagi coba Kila akan menyuapinya begini jika saja bukan atas permintaan Bian.

“Enak nggak, Om?” Bian bertanya pendapatnya sambil mendongak menatap ke arah Awan.

Pemuda itu langsung mengangguk setuju. “Enak kok, Bi.”

'Apalagi kalau Tante kamu yang suapin.' lanjutnya dalam hati.


“Hubungan kamu sama Awan gimana, La? Baik-baik aja kan?”

Sarah bertanya saat dirinya dan sang anak sedang berdua saja di dapur untuk menyiapkan makan siang hari ini. Fany dan suaminya pergi ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan, sedangkan Dimas dan Awan sibuk menjaga Bian di ruang tamu.

Kila yang sejak tadi membantu Maminya memotong bawang itu menyahut, “Baik kok, Mi. Nggak ada masalah.”

“Syukurlah, akur terus ya kalian. Jujur aja Mami senang pas tau kamu setuju buat menikah sama Awan waktu itu, apalagi setau Mami Awan emang anak yang baik. Dari kecil dia udah sopan dan lemah lembut, terlebih lagi dia sayang banget sama Mamanya. Dia pasti bisa memperlakukan wanitanya sama baiknya seperti dia memperlakukan Mamanya. Kamu beruntung loh bisa mendapatkan laki-laki baik seperti Awan.”

Apa yang dikatakan Maminya memang benar sih, Awan sebaik itu, Kila pun mengakuinya. Bahkan ketika sikap dan perilakunya begitu buruk, Awan tidak pernah bertindak kasar padanya. Dia selalu sabar menghadapi kekeras kepalaan Kila dan cenderung memilih untuk mengalah dari pada memperpanjang masalah. Namun mau dilihat dari sudut manapun sebenarnya Kila dan Awan tidak begitu cocok. Kila kadang merasa dia terlalu buruk untuk Awan yang sebaik itu, apalagi sifat mereka sangat bertolak belakang.

Tapi kenapa Awan tetap memilihnya sebagai istri di saat dia bisa mencari perempuan yang jauh lebih baik darinya?

Pandangan Kila kemudian beralih dari bawang yang ia potong, menjadi menatap sosok Awan yang kini duduk memangku Bian yang sedang minum susu di botolnya. Bahkan meski yang terlihat hanya punggung dan kepala bagian belakangnya saja, Awan sudah terlihat begitu menakjubkan. Dia punya aura yang begitu memikat, membuat siapa saja akan senang hati menolehkan kepala dan menatap ke arahnya dengan pandangan kagum.

Awan tidak hanya baik, sopan, dan lemah lembut. Tapi dia juga punya tingkat kesabaran yang tinggi saat menghadapi Kila, dan kalau boleh jujur itulah nilai plus Awan di mata Kila. Karena ia tau tidak semua orang sanggup menghadapi dirinya yang menyebalkan ini, tapi Awan bisa. Sejauh ini ia bahkan tidak pernah melihat Awan marah atau sekedar meninggikan nada bicaranya.

Bukan hanya itu sih, Awan juga tampan. Tinggi badan mencapai 177cm, dengan tubuh yang dipenuhi otot di sana sini. Jangan lupakan pula hidung mancungnya yang begitu memukau, rahangnya yang tegas, namun memiliki mata yang terbilang imut saat tersenyum. Mata Awan cenderung akan menghilang saat ia tersenyum, menyisakan lengkungan bulan sabit yang merupakan turunan dari sang Ibu.

Mau dilihat dari sisi manapun Awan itu nyaris sempurna, Kila sampai bertanya-tanya apa pemuda itu punya setidaknya satu saja kekurangan?

Mungkin, Kila harus mengenali Awan lebih jauh lagi untuk mengetahui tentang hal itu.

“Kila, jangan melamun. Yang bener motong bawangnya!” peringat Mami yang kemudian membuat Kila tersentak dan tersadar dari lamunannya.

Ah, iya. Maaf, Mi.”

Duh, kenapa juga tadi isi kepalanya malah memikirkan Awan sih?*

Fokus, Kila, fokus!

“La, kita ini teman kan?”

Sore itu, sambil mengunyah chicken katsu di food court lantai empat sebuah pusat perbelanjaan, Audy bertanya pada Kila dengan nada santai. Pertanyaannya yang terkesan tiba-tiba itu tentu saja membuat Kila kebingungan, kesannya seperti pertemanan mereka sedang diragukan sekarang.

“Apa banget deh lo nanyanya gini, ya iyalah kita ini teman,” jawab Kila keheranan.

“Kalau gitu nggak ada yang perlu ditutupin dari gue kali.”

'Waduh, apa nih maksudnya?' Kila sukses dibuat panik, pikirannya pun mulai melayang kesana kemari mencoba menebak apa maksud pertanyaan Audy. Menyerah sebab tidak mampu menemui jawabannya, Kila memutuskan untuk bertanya.

“Maksudnya gimana, Dy?”

Gadis dengan rambut panjang bergelombang serta poni yang menutupi kening itu nampak tersenyum simpul, pipinya turut bergerak guna mengunyah makanan yang ada di mulutnya saat ini. Selama beberapa saat hening di antara mereka, Audy sibuk menikmati makanannya sementara pikiran Kila mulai berkecamuk.

“Dy, jawab!” seru Kila tidak sabaran.

Audy mulai memusatkan atensinya pada Kila, menatapnya dalam selama beberapa saat, sebelum kemudian kalimat itu keluar dari bibirnya.

“Lo udah nikah kan, La? Sama pemilik Cloud Sky Hotel, Marcelino Herdiawan.”

Seakan baru saja mendengar suara petir yang membuat telinga berdenging, Kila terdiam tanpa suara. Pupil matanya membesar, sebab terkejut atas pernyataan yang baru saja dilontarkan temannya tersebut. Kila ingin sekali menyangkal, mengatakan bahwa semua itu tidak benar, semua ini hanya salah paham. Tapi nyatanya yang keluar dari bibirnya justru pertanyaan lain.

“Lo tau dari mana?” Yang kemudian langsung disesali Kila saat itu juga.

Audy kontan terbahak, chicken katsunya pun sejenak terabaikan. Kila yang kebetulan duduk di seberang meja itu hanya bisa meruntuki kecerobohannya sendiri. Seharusnya dari awal langsung ia sangkal saja tadi, bukan malah menanyakan dari mana Audy tau masalah ini. Kalau begini ceritanya sih sama saja Kila membongkar rahasia sendiri.

“Tadinya gue cuma mau ngetes aja sih, dan ternyata beneran ya?”

“Audy, gue—–”

“Tenang aja, Kila, gue gak bakal bilang ke siapa-siapa kok tentang hal ini. Lo bisa percaya sama gue.”

Meskipun luarnya tampak menyebalkan dan asal ceplas-ceplos, aslinya Audy memang teman yang baik. Kila sudah mengenalnya sejak berada di bangku sekolah menengah pertama, kebetulan mereka satu sekolah waktu itu sebelum kemudian bertemu kembali di kampus yang sama. Mereka cukup akrab waktu SMP, dan Kila tau betul kalau Audy memang bisa dipercaya. Gadis itu bukan tipe orang yang akan menyebarkan rahasia pribadi seseorang, terlebih lagi temannya sendiri.

“Sejak kapan lo tau, Dy?” Kila bertanya lagi, kali ini benar-benar penasaran. Pantas saja selama di grup chat gadis itu sering sekali meledekinya perihal pernikahan, ternyata dia memang tau.

“Sejak hari pernikahan kalian,” Audy menyeruput minumannya terlebih dahulu sebelum kemudian melanjutkan ceritanya. “Hari itu kan si, siapa itu nama panggilan laki lo?”

“Awan.”

“Iya itu, si Awan. Dia kan ada ngeupload foto pernikahan kalian di twitter. Muka lo emang nggak begitu jelas sih, fotonya juga diambil dari jarak yang jauh, ditambah lagi dia nggak ngetag ataupun follow lo sama sekali. Tapi di hari itu ternyata salah satu mutual gue ada reply di salah satu postingannya si Awan, makanya foto itu bisa lewat di tl gue. Kita kan temenan udah lama ya, La, jadi gue cukup bisa mengenali fitur wajah lo yang ada di foto itu. Tadinya emang nggak mau percaya, tapi mau dilihat berulang kali pun yang gue liat itu tetap lo.”

“Terus kenapa selama ini lo diam aja? Kenapa nggak nanya ke gue kebenarannya?”

“Karena gue yakin lo punya alasannya, Shakila. Lo pasti nggak mau kan kalau gue, Nao, Vano, ataupun anak-anak kampus pada tau tentang ini? Makanya di berita dan artikel manapun nggak ada yang ngepublish muka lo, bahkan identitas lo pun benar-benar dirahasiakan. Lo mencoba untuk menutupi pernikahan ini supaya nggak ada satupun yang tau. Awalnya gue nggak ngerti sih kenapa berita bahagia kayak gini harus lo tutup-tutupin, tapi gue berusaha coba menghargai keputusan lo makanya gue memilih buat diam aja.”

“Audy....”

Nggak bohong sih, rasanya Kila mau nangis setelah mendengar penjelasan dari Audy. Gadis itu betul-betul mengerti dirinya dengan sangat baik, dan Kila bersyukur bisa memiliki teman sebaik Audy.

“Nggak usah nangis terharu gitu kali, malu-maluin!”

Kila terkekeh pelan hingga air di sudut matanya jadi ikutan menetes, Audy sendiri hanya geleng-geleng kepala tak habis pikir saat melihat reaksi Kila yang menurutnya berlebihan.

“Nao sama Vano masih belum tau tentang ini, gue juga bakal tutup mulut dan bersikap seolah nggak tau apa-apa. Tapi gue minta sama lo buat jujur ya, nggak harus sekarang kok, mungkin suatu saat nanti. Walau bagaimana pun juga Nao sama Vano kan teman kita, berita kayak gini harusnya mereka juga tau.”

“Iya, Dy. Gue ngerti kok.”

“Bagus kalau lo ngerti.”

Bersamaan dengan kalimat terakhir yang dilontarkan Audy, ponsel Kila yang berada di atas meja bergetar. Sebuah pop up notifikasi terlihat di lockscreen ponselnya, menampakkan kontak bernama 'Awan bawel' yang tanpa sengaja terlihat oleh mata Audy. Gadis itu langsung cengengesan tidak jelas, sisi menyebalkannya pun kembali kumat.

Cie cieee, suami lo tuh, La.”

“Audy, diem!”

Meskipun tidak memiliki perasaan lebih pada Awan, nyatanya Kila tetap tersipu saat Audy menyinggung perihal suami. Jadi gadis itu buru-buru meraih ponselnya dan membuka imess yang baru saja dikirim oleh suam—– Eum, ralat. Maksudnya Awan,

Awan bawel.