Lian and Her Life

Sepanjang acara makan siang mereka, Awan tidak terlalu banyak bicara. Bukan karena Lian juga sama diamnya, tapi entah kenapa ia malah merasa tidak nyaman berada di meja yang sama dengan perempuan itu. Malah yang paling banyak bicara justru Kila, yang secara tidak langsung jadi menginterograsi Lian dengan berbagai macam pertanyaannya.

“Dulu pas pacaran sama Awan berapa lama mbak?” tanya Kila begitu selesai dengan makan siangnya di atas meja, Awan hanya meliriknya sekilas sedangkan Lian nampak menatapnya keheranan.

“Mbak?”

“Kila lebih muda dari kamu, dia 21.” Awan yang bertugas menjawab kebingungan perempuan tersebut.

Lian nampak terkejut awalnya, sama sekali tidak menyangka kalau mantannya itu akan menikahi seorang gadis yang usianya terpaut cukup jauh darinya. Padahal dia sudah berekspetasi akan menemui seorang gadis anggun nan elegan yang menurutnya akan sangat cocok jika bersanding dengan Awan, namun ternyata realitanya justru berbanding terbalik.

Shakila Azalea jauh dari kata anggun maupun elegan. Dia lebih terlihat seperti remaja labil yang semaunya sendiri, bahkan dilihat dari cara makan dan gaya berpakaiannya saja sangat kontras dengan Awan yang begitu tenang dan rapi. Dibanding istri, menurut Lian gadis itu lebih cocok menjadi adiknya Awan saja.

Woy, mbak? Pertanyaan saya belum dijawab loh.” Kila kembali bertanya guna menyadarkan Lian yang entah sadar atau tidak, memandanginya sejak tadi dengan pandangan aneh.

“Yang berapa lama pacarannya itu?” Lian bertanya balik sambil memandang ke arah Awan yang balik memandanginya. “Lumayan lama, kurang lebih empat tahunan dari semester awal kuliah.”

Mendengar penuturan dari perempuan di depannya itu tak gagal membuat mata Kila membulat, kaget. Bukankah waktu empat tahun bukan waktu yang sebentar, agaknya disayangkan sekali jika pacaran selama itu tapi tidak berakhir bersama. Sangat membuang-buang waktu. Ia saja paling lama pacaran enam bulan, itupun cuma dengan satu orang. Sisa mantannya yang lain paling hanya bertahan dua atau tiga bulan pacaran.

“Saya denger Mbak putus sama Awan karena milih buat nikah sama laki-laki lain ya? Dan itu anaknya?”

Anak laki-laki bernama Arfan yang sejak tadi duduk di sebelah Lian, nampak memandang bingung pada ketiga orang dewasa yang kini memandanginya secara bersamaan. Anak itu kemudian menoleh pada Lian dan menyodorkan potongan daging di garpu, namun Lian menolaknya dengan halus agar Arfan saja yang memakan dagingnya.

“Saya memang putus sama Awan karena milih buat nikah sama orang lain—–”

“Jahat banget.” potong Kila sebelum Lian selesai dengan penjelasannya.

“Tapi saya nggak pernah cinta sama laki-laki itu.” Tatapan Lian kini beralih pada Awan, memandangnya dengan penuh rasa bersalah yang tak mampu lagi disembunyikan. “Sejujurnya, saya cuma cinta sama Awan.”

“Waduh, makin jahat dong?”

“Saya terpaksa menikah dengan Bayu dulu karena keluarga saya terlilit utang dengan keluarga dia, Ayah saya bilang kalau saya mau menikahi Bayu maka semua utangnya dianggap lunas. Jahat sih memang, tapi saya nggak mampu berbuat apa-apa. Orang tua saya cuma punya satu anak, kalau saya tidak bisa membantu mereka maka nggak ada lagi yang bisa menolong. Jadi saya terpaksa menikah dengan Bayu lalu kemudian pergi ke Canada dan tinggal di sana.” Sekali lagi, Lian memandang ke arah Awan dengan tatapan nanar. “Maaf kalau itu menyakiti kamu, Awan.”

Awan tak bereaksi apa-apa, mungkin juga masih terkejut dengan fakta yang baru saja dibeberkan Lian tersebut. Selama ini ia kira Lian hanya ingin cepat-cepat menikah begitu lulus kuliah, makanya perempuan itu selalu mencecarnya agar segera dilamar. Namun Awan tidak bisa mengabulkannya saat itu karena dia belum punya apa-apa, dia tidak bisa menikahi anak orang jika finansialnya saja belum cukup matang. Karena jangankan uang untuk melamar, pekerjaan tetap saja ia belum punya.

“Nggak apa-apa.” Akhirnya hanya itu kata yang keluar dari mulut si pemuda.

Kila menoleh ke arah suaminya sejenak, cukup menaruh simpati pada perubahan suasana hati Awan yang agak mendung di siang cerah hari ini. Salahnya juga sih menyinggung topik sensitif, tapi ya gimana Kila kan penasaran. Mumpung bisa bertemu langsung dengan mantan Awan yang membuat pemuda itu sempat takut menjalin hubungan dengan perempuan lain, jadi ya sudah dituntaskan saja rasa penasarannya.

“Kalau nikahnya udah lama berarti anaknya udah banyak dong, Mbak? Yang ini anak bungsu?” Kila kembali menginterogasi Lian.

Untungnya Lian juga tidak merasa keberatan dengan itu, justru ia senang karena secara tidak langsung jadi bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Awan.

“Sejujurnya dia anak suami saya dengan istri keduanya.”

What?!”

Bersyukur ada Kila yang begitu ekspresif di sini, jadi rasa keterkejutan Awan bisa terwakilkan olehnya.

“Selama bertahun-tahun menikah, saya belum bisa kasih keturunan ke Bayu. Saya sering kali mengalami keguguran karena memang punya kandungan yang lemah. Gara-gara itu Bayu memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Nggak lama setelah mereka menikah, istri Bayu hamil dan lahirlah Arfan. Usianya empat tahun sekarang, dua bulan lagi genap lima tahun.”

Satu lagi fakta yang mengejutkan bagi Awan hari ini, dia tidak akan bisa menduga kalau kehidupan Lian akan sebegini rumitnya. Ia pikir Lian baik-baik saja dan hidup bahagia dengan lelaki pilihannya, namun ternyata dia salah. Salah besar.

“Hai, Arfan!” Kila menyapa anak laki-laki yang sejak tadi hanya duduk sambil menikmati makanannya, sama sekali tidak pernah bicara entah karena terlalu malu atau apa. Bahkan ketika Kila menyapanya dengan ramah sekalipun, anak itu hanya tersenyum memandanginya.

“Dia—–”

“Arfan berhenti bicara sejak satu tahun yang lalu.”

“Kok bisa?” Awan tak mampu lagi menutupi rasa penasarannya itu, entah hal apa lagi yang akan membuatnya terkejut setelah ini.

“Satu tahun lalu sewaktu kami masih tinggal di Canada, Arfan dan kedua orang tuanya pernah mengalami kecelakaan mobil. Orang tuanya meninggal di tempat, sementara Arfan masih sadar saat itu dan segera dibawa ke rumah sakit. Keadaan Arfan nggak begitu parah memang, hanya luka-luka kecil di badan. Tapi karena kejadian itu ternyata meninggalkan trauma tersendiri bagi Arfan, dan karena traumanya itu pula yang membuat dia berhenti bicara sampai sekarang.”

Ah, Awan baru menyadari alasan kenapa sejak pertama bertemu anak itu di lobi, dia selalu saja diam. Arfan hanya menjawabnya dengan anggukan, gelengan kepala, atau sekedar senyuman. Awan pikir Arfan adalah anak yang pemalu, tapi ternyata dia bisu akibat dari trauma setahun yang lalu.

“Udah dibawa ke psikiater anak belum?”

“Udah kok. Aku rutin ngantar dia ke psikiater sejak pindah kemari dua minggu yang lalu.”

“Berarti Mbak Lian dong yang jadi orang tua tunggalnya Arfan sekarang?”

Lian mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Kila barusan. “Karena saya adalah istri dari Bayu yang merupakan Ayahnya Arfan, maka Arfan tetaplah anak saya. Meskipun bukan anak kandung, saya tetap punya tanggung jawab atas Arfan.”

“Kamu perempuan yang kuat, Lian.”

Pujian dari Awan tersebut berhasil menarik ke atas kedua sudut bibir Lian yang sebelumnya sempat menghilang. Entahlah, tapi hanya dengan begitu saja Lian sudah merasa cukup senang. Dia juga merasa puas setelah menceritakan kisahnya yang sebenarnya pada pemuda itu, setidaknya Awan bisa berhenti membencinya.

Karena sejak mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan, setiap harinya Lian habiskan untuk menyalahkan diri sendiri. Jika saja dulu keadaannya jauh lebih baik, mungkin yang sekarang menyandang gelar sebagai 'Istri Marcelino Herdiawan' adalah dirinya. Bukan Kila atau yang lainnya.

Lian menyesal atas keputusannya di masa lalu.