Liliana Maheswari
Di hotelnya, Awan terkenal sebagai atasan yang baik juga ramah pada karyawan. Meskipun sesekali ia akan bersikap galak, atau mungkin lebih tepat jika disebut tegas, hal itu tentu dengan alasan yang masih masuk di akal. Apalagi kalau bukan untuk mendisiplinkan karyawannya. Maka dari itu agaknya tidak mengherankan jika ia begitu disegani di tempat kerja. Karena Awan selalu pintar menempatkan diri kapan dia harus bersikap ramah, dan kapan ia harus bersikap lebih tegas.
Karyawan yang berlalu lalang di sekitarnya, pun yang berjaga dibalik meja tak pernah lupa tersenyum sebagai bentuk sapaan kepada Awan yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Begitu ia balas tersenyum, karyawan wanita yang merangkap sebagai penggemarnya itu langsung menutup mulut menahan pekik. Memang sudah bukan rahasia umum lagi kalau pemuda itu selalu jadi idola banyak orang, tidak hanya perempuan namun juga karyawan laki-laki pun menaruh kagum padanya.
Mereka bilang, Marcelino Herdiawan itu mengagumkan. Di umurnya yang sekarang ini dia telah berhasil membangun perusahaan perhotelannya sendiri, bahkan sekarang tercatat sudah ada tiga cabang hotel di kota besar yang berbeda. Meskipun dikatakan bagian dari Sky Group yang merupakan perusahaan milik keluarga Ayahnya, nyatanya hotel ini dibangun atas kerja kerasnya sendiri. Tidak mudah memang, tapi nyatanya dia berhasil mewujudkannya. Tentu saja tidak lepas dari dukungan kedua orang tuanya juga.
Sekarang di umur yang ke-29 ini, Awan telah menjadi lelaki dewasa yang mapan dan berkecukupan. Memiliki bisnis sendiri dan menjadi bagian dari pemilik saham terbanyak kedua di Sky Group di bawah Ayahnya. Belum sampai kepala tiga Awan telah memiliki hidup yang nyaman, ditambah lagi dia juga punya istri yang cantik.
Hidupnya nyaris sempurna andai saja dia juga bisa memiliki anak dari Kila, tapi tentu saja itu bukan hal yang mudah. Namun tak apa, begini saja ia sudah bersyukur. Setidaknya sikap Kila padanya sudah tidak sejutek dulu lagi, meski sampai sekarang Kila masih menolak untuk tidur berdua dengannya di kamar utama.
Duk!
“Eh?”
Awan sontak merunduk saat kakinya baru saja menabrak sesuatu yang kecil. Sesuatu itu, eum ralat, maksudnya seorang anak kecil yang mungkin seumuran Bian baru saja jatuh terduduk sambil meratapi nasib es krimnya yang sudah tak berbentuk di lantai. Anak berjenis kelamin laki-laki itu tak menangis, untungnya. Namun tatapannya yang nanar membuat Awan merasa bersalah meski sebenarnya bukan dia yang menabrak anak itu, tapi anak kecil tersebut yang lari terburu-buru saat Awan baru saja keluar dari lift.
“Hei, kamu nggak apa-apa kan?” Awan bertanya sembari membantu anak itu berdiri dan menepis debu-debu halus di pakaiannya.
Namun anak itu justru mengarahkan jari telunjuknya pada es krim di lantai, mungkin merasa sedih karena gagal memakannya tadi. Awan semakin tak enak hati, dia menaruh kedua tangannya pada lengan si anak sambil bersimpuh dengan lututnya.
“Maaf ya, mau Om ganti aja nggak es krimnya?”
Lagi-lagi anak itu tak menjawab, dia hanya menggerakkan tubuhnya sebagai pengganti jawaban. Dan sekarang anak itu nampak menggeleng, sebuah pertanda kalau Awan tidak harus mengganti es krimnya yang jatuh.
Agak di luar dugaan sebenarnya. Normalnya, anak seumuran itu pasti akan langsung menangis saat melihat es krimnya jatuh ke lantai. Dia mungkin akan berteriak histeris dan baru akan berhenti saat es krimnya telah diganti dengan yang baru, tapi anak laki-laki di depannya ini justru tersenyum menatapnya dengan wajah lugu.
Pipinya yang gempal juga rambutnya yang agak keriting membuat Awan merasa gemas saat melihatnya, jadi dia mengusap kepala si anak yang untungnya tidak ditepis oleh si empunya.
“Arfan!”
Seruan seorang perempuan dari arah kanannya membuat si anak laki-laki juga Awan langsung menoleh secara bersamaan. Anak itu, yang tadi dipanggil Arfan, langsung terlonjak kegirangan menyambut pelukan dari perempuan yang baru saja datang menghampiri mereka.
“Kamu gimana sih, kan tadi Mama bilang jangan jalan duluan. Nanti kalau kamu tersesat terus hilang gimana?” ucapnya khawatir, tangannya pun tak hentinya mengusap tubuh si anak untuk memastikan kalau dia baik-baik saja.
Semula tak ada yang aneh memang, agaknya itu wajar dilakukan semua orang tua yang merasa cemas saat anaknya tak berada dalam jangkauan. Namun side profile perempuan yang kini berada di sampingnya itu berhasil membuat Awan sontak terdiam. Lalu bertepatan saat perempuan itu menoleh ke arahnya, Awan merasakan lututnya yang menumpu pada lantai mendadak lemas. Terlebih saat perempuan itu menyebut namanya dengan suara lembut khasnya yang sampai kapanpun tak akan pernah bisa Awan lupa.
“Awan? Kamu Awan kan?”
Dia, Liliana Maheswari. Perempuan pertama yang berhasil membuatnya jatuh hati namun juga menorehkan luka hati di saat yang bersamaan. Dia mantan pacar Awan saat kuliah dulu, yang kemudian memutuskan hubungan mereka karena dipaksa untuk menikah dengan laki-laki lain begitu mereka lulus kuliah.
Dan sekarang mereka bertemu lagi, setelah bertahun-tahun lamanya tak saling melihat satu sama lain.
“Lian—–”
“Pak Bos!” ucapan Awan terinterupsi kala di kejauhan Rafael nampak sibuk berlari menghampirinya. “Pak Bos ini gimana sih? Saya tungguin di meeting room nggak nongol-nongol taunya malah bengong di sini!”
“El—–”
“Ayo!” Tanpa babibu Rafael langsung menarik pergelangan tangan bosnya tersebut dan membawanya ke meeting room. Sejujurnya mereka ini sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal yang telah ditentukan, tidak biasanya Pak Bosnya ini tidak tepat waktu.
“Awan!”
Baik Awan maupun Rafael sama-sama menoleh ke belakang saat Lian memanggil, Rafael sendiri hanya bisa menatap bergantian bosnya juga perempuan itu dengan pandangan bingung.
“Kita ... bisa ketemu lagi kan?” tanya Lian dengan nada ragu.
Namun Awan memutuskan untuk tidak menjawabnya, sebelum kemudian berbalik pergi melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.