Day 1
“Gimana hasilnya?”
Awan yang menunggu di depan kamar mandi dengan perasaan harap-harap cemas itu langsung menodong pertanyaan pada sang istri yang baru saja keluar. Ekspresi gadis itu tak terlihat baik sekarang, dia malah nampak gusar seperti orang kebanyakan pikiran.
“Kila?”
Akhirnya gadis itu mendongak setelah sejak tadi sibuk memandangi lantai alih-alih wajah si suami. Kalau membaca dari raut wajahnya, apapun hasil testpack yang ada di tangan Kila sekarang, pasti bukan kabar baik untuknya.
Kila menyerahkan testpack tersebut pada Awan, sebelum kemudian memeluk tubuh suaminya dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang berlapiskan kemeja putih tersebut. Awan memperhatikan garis yang tercetak di testpack pemberian Kila, sengaja ia lihat benar-benar untuk memastikan bahwa yang ia lihat memang tidak salah. Setelahnya dia tersenyum dan balik memeluk tubuh sang istri sambil mengusap pelan punggungnya.
“Kenapa, hm?” Awan bertanya saat Kila mengeratkan pelukannya padanya.
Gadis itu menggeleng, lantas menjawab. “Nggak tau.”
“Nggak suka ya kalau hamil?”
“Nggak tau.”
“Kok nggak tau?”
“Ya nggak tau.”
“Shakila,” Pelukan mereka sedikit Awan longgarkan agar ia bisa melihat dengan jelas wajah sang istri sekarang. Ekspresinya masih sama seperti awal dia keluar dari kamar mandi tadi, dan Awan paham betul perasaan Kila sekarang. “Saya nggak masalah kok kalau kamu nggak mau mempertahankan janin itu.”
“Nggak gitu,” si gadis menunduk, bibirnya mengerucut sembari tangannya sibuk memilin ujung dasi milik Awan. “Maaf, seharusnya aku merasa senang sekarang. Tapi nggak tau kenapa aku malah bereaksi begini, perasaan aku nggak sesenang itu, tapi ya nggak marah atau sedih juga sampai harus ngelepasin janin ini. Aku cuma—– Akh, nggak tau! Kayaknya aku emang aneh.”
“Hei, nggak kok. Kamu nggak aneh,” Awan mengangkat kembali dagu Kila agar tatapan mereka bisa bertemu. “Kamu cuma kaget, Shakila. Walau gimana pun juga ini kehamilan pertama kamu di umur yang masih sangat muda, kamu pasti ngerasa bingung juga sekarang. Di satu sisi kamu ngerasa belum siap jadi seorang Ibu, tapi di sisi lain kamu juga nggak setega itu membuang janin yang tumbuh di perut kamu. Pikiran kamu berkecamuk, perasaan kamu campur aduk. Kamu bingung mendeskripsikan apa yang kamu rasa sekarang, iya kan?”
Awan benar, tidak ada satupun dari kata-katanya yang meleset. Semuanya benar seperti apa yang ia rasakan sekarang. Oleh karena itu Kila merasa bersalah, tidak seharusnya kan dia bereaksi begini. Awan pasti merasa sangat bahagia karena akan menjadi seorang Ayah, tapi demi menjaga perasaan Kila, dia menahan semua itu. Dan perasaan bersalah inilah yang kemudian membuat Kila menangis, yang mana membuat Awan terheran-heran saat menyaksikan bagaimana istrinya sesegukan di pelukannya sekarang.
“Saya salah bicara ya, Kila? Maaf.”
“Nggak,” Kila menggeleng kuat-kuat, menyangkal apa yang dikatakan Awan barusan. “Aku cuma pengen nangis aja.”
Pemuda itu terkekeh pelan, menepuk-nepuk pelan punggung istrinya, lalu mendaratkan satu kecupan singkat di puncak kepalanya.
“Maaf ya, seharusnya aku nggak kayak gini. Maksud aku—–”
“Saya ngerti kok, saya paham perasaan kamu. Udah nggak apa-apa, nangis aja dulu sampai puas. Nanti saya beliin es krim banyak-banyak buat kamu.”
“Tapi aku nggak mau es krim.”
“Yaudah, kamu maunya apa?”
“Kepiting.”
“Oke, nanti saya pesenin kepiting ya?”
Namun Kila justru menggeleng kuat-kuat, melepaskan pelukan mereka, dan memandang kesal ke arah Awan yang menatapnya bingung.
“Aku mau nangkap sendiri kepitingnya!” katanya yang mana membuat Awan melongo seketika.
“La, yang bener aja? Kalau ada cara yang mudah kenapa milih yang susah sih? Kan kita bisa pesan di restoran seafood yang nggak jauh dari sini.”
“Nggak mau, Kak. Maunya nangkap sendiri!” sekarang gadis itu mulai sibuk menarik-narik lengan Awan. “Ayo kita pergi ke laut buat tangkap kepiting!”
Baru juga sehari jadi calon ayah, Awan sudah sukses dibuat stres oleh tingkah istri dan calon anaknya tersebut. Tapi ya mau gimana, ujung-ujungnya tetap saja mereka pergi ke laut untuk menangkap kepiting.
Pokoknya apapun yang Kila inginkan sebisa mungkin akan Awan kabulkan, demi calon anak mereka juga sih sebenarnya. Biar nggak ileran, kalau kata orang.