Heartbeat
Kila pikir dengan datang ke kamar Awan ia benar-benar akan diberi tau sesuatu yang penting, kenyataannya justru di luar dugaan.
Begitu Kila masuk, yang ia dapati justru Awan yang duduk meringkuk di atas ranjang sambil menatapnya penuh cengiran. Kila jelas saja kebingungan atas apa yang terjadi pada pemuda itu, namun saat Awan menjelaskan maksudnya Kila seketika langsung ternganga.
Katanya, “Kila, kamu berani nggak sama kecoa? Kalau iya tolong usirin kecoanya dong, tuh ada di kamar mandi. Saya dari tadi mau mandi nggak jadi-jadi karena kecoanya nggak mau pergi.”
Bayangkan seorang Marcelino Herdiawan dengan tubuh gagah dan tinggi menjulang, juga limpahan otot yang ada di tubuhnya lebih memilih untuk menunda mandi hanya karena kecoa di kamar mandinya tidak mau pergi. Lucu tapi juga nyebelin!
Kila pikir Awan adalah orang yang serius dan tidak pernah main-main. Tapi begitu tau pemuda itu menyuruhnya ke kamar dan mengatakan bahwa itu sesuatu yang penting padahal hanya kecoa saja, Kila rasanya mau marah. Gadis itu merotasikan bola matanya jengah seraya mendengus keras-keras.
“Lo nyuruh gue kesini cuma buat ngusirin kecoa?”
Polosnya, Awan langsung mengangguk. “Saya takut banget sama kecoa, Kila. Bisa dibilang saya punya kenangan buruk sama makhluk satu itu.”
“Please, itu cuma kecoa. Lebay bangey sih!”
“Cuma?!” Mata Awan kontan melotot hingga kebukaan maksimal, “itu kecoa, Shakila. Kecoa. Bukan cuma!”
“Lebih besaran mana kecoa sama badan lo coba?”
“Ini bukan masalah besar kecilnya badan. Yang namanya takut ya takut, Shakila!”
“Hadeh....” Kila tepok jidat, sudah mulai lelah menghadapi panik alay ala Awan saat ini.
Namun meskipun begitu, dia tetap berbaik hati membantu. Kila mengambil sebuah sapu yang tersandar di pojokan kamar Awan, sepertinya sempat digunakan pemuda itu juga untuk mengusir kecoa. Jadi berbekal dengan sapu tersebut Kila berjalan mendekati kamar mandi, disusul oleh Awan yang meloncat dari ranjang lalu mengekor di belakang tubuh Kila.
“Di mana kecoanya?” tanya Kila yang langsung mendapat jawaban dari Awan yang berdiri terlalu mepet di belakangnya.
“Itu tuh, di pojokan kanan.”
Kila langsung mengikuti arah telunjuk Awan dan mendapati seekor kecoa berukuran cukup besar sedang menempel di dinding kamar mandi. Gadis itu langsung menghela napas berat, kalau boleh jujur sebenarnya dia juga rada takut sih. Tapi mencoba sedikit lebih berani meski batin terasa ketar-ketir.
“Om, jangan dorong-dorong gue dong!” Kila protes karena merasa tubuhnya semakin terdorong masuk mendekati kecoa incarannya.
Awan tentu saja tidak mau mengaku, dia berkilah dengan nada panik. “Saya nggak dorong-dorong kamu kok!”
“Nggak dorong-dorong apaan tangan lo aja nyampir di pundak gue!”
“Saya cuma pegang.”
“Ck, awas, jangan terlalu mepet ke gue! Bisa-bisanya lo malah jadiin istri lo tameng buat menghadapi kecoa!”
Di belakang sana, Awan justru senyam-senyum dibuatnya. Bagaimana mungkin Kila berucap 'Istri lo' saja sudah sanggup membuat perasaan Awan berbunga-bunga?
Saking fokusnya dengan lamunannya sendiri, Awan sampai tidak sadar Kila sudah berhasil mengalahkan kecoa yang tadi nemplok di dinding kamar mandinya. Pemuda itu sampai melongo di tempat begitu menyaksikan kecoa itu telah terkapar di lantai kamar mandi.
“Wow!” Awan berdecak kagum.
“Gini doang sih kecil!” Gadis itu menepuk tangannya dengan bangga. Dan harus Awan akui Kila memang keren sih, setidaknya lebih keren darinya dalam hal menghadapi kecoa.
Tadinya setelah berhasil mengalahkan makhluk kecil meresahkan di lantai kamar mandi Awan, Kila sudah berniat untuk langsung kembali ke kamarnya. Namun begitu ia balik badan, Kila yang baru ingat masih ada Awan di belakangnya seketika menyesal. Gadis itu refleks menjauhkan wajahnya saat hidungnya tak sengaja terantuk dada atas Awan yang tertutup kemeja hitam kantorannya malam ini.
“Awas!” Awan berseru panik begitu Kila mundur impulsif, kakinya sempat terpeleset dan nyaris jatuh andai saja pemuda itu tidak buru-buru menangkap tubuh Kila. “Hati-hati, Shakila. Lantainya licin!”
Kila langsung kehilangan fokus saat Awan menariknya mendekat hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain, seperti sedang berpelukan ia rasa. Ditambah lagi aroma parfum yang masih tertinggal di tubuh Awan membuat Kila semakin hanyut pada lamunannya memandangi pemuda itu terus-terusan.
“Shakila, muka kamu merah.”
Sial!
Kila langsung buru-buru menjauh dari Awan dan memberi jarak seaman mungkin. Sebenarnya bukan hanya mukanya saja yang merah, jantungnya pun ikut berdebar tidak karuan sekarang. Kila malu kalau Awan juga menyadari hal itu.
“Panas, makanya muka gue merah.” ucap Kila berkilah.
“Padahal kamar saya ada AC-nya.”
“Nggak berasa.”
“Oh, oke. Kirain tadi kamu merah karena saya.” Pemuda itu terkekeh geli dengan tampannya, harus Kila akui. “kamu gemesin kalau mukanya merah.”
“Apa sih gemesin-gemesin mulu? Gue nggak gemesin!”
“Di mata saya kamu tuh gemes, Shakila.”
“Ah, terserah deh. Nggak jelas lo!”
Untuk menutupi kesaltingannya tersebut, Kila memutuskan untuk segera pergi dari kamar Awan sebelum nanti pipinya bertambah merah dan jadi bahan ledekan pemuda itu lebih parah lagi.
Memang menyebalkan!
Tapi kok jantung Kila terus berdebar gini ya? Padahal biasanya tidak begitu.
Duh, jantung. Jangan norak dong!' batin Kila kesal sendiri.