Cheese Cake & Awan
Keesokan harinya kedua orang tua Awan dan Kila betulan mengunjungi apartemen mereka. Suasana apartemen yang biasanya sepi, entah karena Awan yang sibuk di kantor atau Kila yang memilih untuk mengurung diri di kamar jika tidak main ke luar, hari ini terlihat begitu ramai. Bahkan Bian, anaknya Kak Shilla pun turut dibawa kemari oleh Sarah (Maminya Kila).
Tidak terbayang jika Shilla dan suaminya ikut datang juga akan seramai apa apartemen Awan hari ini, apalagi katanya mereka semua berencana ingin menginap nanti malam.
“Awan sama Kila keliatan serasi banget ya, Sar?” Fany, Mamanya Awan bertanya pada Sarah sembari menatap pigura besar foto pernikahan Awan dan Kila yang terpajang di dinding ruang tamu.
“Iya, Mbak. Nggak nyangka juga ya anak-anak udah pada besar, udah nikah pula. Sebelumnya saya nggak terpikir kalau kita bakal jadi besan.” Sarah menanggapi dengan kekehan ringan di akhir kalimat, yang kemudian membuat Fany jadi ikut tertawa bersamanya.
Selagi para Ibu-ibu sibuk bercengkrama di ruang tamu, Dimas dan Alfi lebih memilih untuk tour di apartemen Awan. Mengontrol satu demi satu ruangan yang ada di sini sambil membicarakan perihal indeks harga saham yang katanya diperkirakan akan meningkat tahun ini.
Sementara itu di sisi lain, ada Awan dan Kila yang bertugas menemani Bian bermain. Anak laki-laki berumur empat tahunan itu sedang lincah-lincahnya sekarang, sibuk berlari kesana kemari yang mana membuat Kila kewalahan, sedangkan Awan sendiri hanya tertawa-tawa gemas saat menyaksikan polah keponakannya itu.
“Bian, hati-hati. Nanti jatuh!” peringat Kila ngeri sendiri saat Bian mencoba naik ke kursi meja makan dan berdiri dengan tawa riang.
“Onty!!” teriak anak itu sambil bertepuk tangan heboh saat menemukan potongan cheese cake di atas meja makan. “Mau, onty, mau!”
“Beneran mau?”
Anak itu mengangguk mantap. “Eung!”
“Turun dulu tapi, duduk di sini sama Om Awan. Aunty ambilin cheese cake-nya.”
Untunglah Bian bukan tipe anak yang susah diatur. Dia langsung mengerti perintah Kila lalu turun dengan hati-hati dari atas kursi, sebelum kemudian berlari menghampiri Awan yang sigap meraih tubuhnya.
“Bian suka cheese cake ya?” Awan iseng bertanya sambil mencubit gemas pipi Bian.
Anak laki-laki itu mengangguk antusias. “Suka, Om suka?” dia bertanya balik.
“Om juga suka.”
Perhatian Bian kemudian teralihkan saat Kila datang menghampiri mereka dengan potongan cheese cake di piring kecil. Anak itu kembali bertepuk tangan heboh di pangkuan Awan, “Onty, cepat!” desaknya tak sabaran.
“Iya, Bian, sabar. Buka mulutnya,” perintah Kila langsung dituruti Bian, anak itu segera membuka mulutnya lebar-lebar dan tersenyum senang saat kue itu berhasil masuk ke mulutnya. “Enak nggak, Bi?”
Bian mengangkat jempolnya sambil tertawa senang. “Enaakkk!” Anak itu kemudian menepuk paha Awan seraya berseru ke arah Kila yang menaikkan alisnya bingung. “Om, mau.”
“Hah? Apa, Bian?” tanya Kila agar Bian memperjelas kalimatnya.
“Om Wan, mau kue. Suapin, Onty!“
Gadis itu kemudian melirik pada Awan yang sudah lebih dulu menatapnya. “Om Awan kalau mau kuenya bisa makan sendiri kok, Bi, nggak perlu Aunty suapin.”
Namun anak itu justru bersikeras meminta Kila untuk menyuapi Awan, dia sampai merengek dan berteriak kencang agar Kila mau menurutinya. Jadi dari pada ribut, Kila sanggupi saja permintaan Bian. Gadis itu memberikan satu potongan kecil di sendok dan mengarahkannya pada Awan.
“Om, ayo!” desak Bian karena Awan sejak tadi hanya bengong sambil menatap Tantenya itu
Seperti baru tersadar, Awan langsung mengerjap lalu memajukan tubuhnya pada Kila sambil menerima suapan kue dari gadis itu. Kedua sudut bibir Awan lantas tertarik ke atas membentuk satu senyuman di wajahnya yang tampan, hatinya sedang berbunga-bunga sekarang. Kapan lagi coba Kila akan menyuapinya begini jika saja bukan atas permintaan Bian.
“Enak nggak, Om?” Bian bertanya pendapatnya sambil mendongak menatap ke arah Awan.
Pemuda itu langsung mengangguk setuju. “Enak kok, Bi.”
'Apalagi kalau Tante kamu yang suapin.' lanjutnya dalam hati.
“Hubungan kamu sama Awan gimana, La? Baik-baik aja kan?”
Sarah bertanya saat dirinya dan sang anak sedang berdua saja di dapur untuk menyiapkan makan siang hari ini. Fany dan suaminya pergi ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan, sedangkan Dimas dan Awan sibuk menjaga Bian di ruang tamu.
Kila yang sejak tadi membantu Maminya memotong bawang itu menyahut, “Baik kok, Mi. Nggak ada masalah.”
“Syukurlah, akur terus ya kalian. Jujur aja Mami senang pas tau kamu setuju buat menikah sama Awan waktu itu, apalagi setau Mami Awan emang anak yang baik. Dari kecil dia udah sopan dan lemah lembut, terlebih lagi dia sayang banget sama Mamanya. Dia pasti bisa memperlakukan wanitanya sama baiknya seperti dia memperlakukan Mamanya. Kamu beruntung loh bisa mendapatkan laki-laki baik seperti Awan.”
Apa yang dikatakan Maminya memang benar sih, Awan sebaik itu, Kila pun mengakuinya. Bahkan ketika sikap dan perilakunya begitu buruk, Awan tidak pernah bertindak kasar padanya. Dia selalu sabar menghadapi kekeras kepalaan Kila dan cenderung memilih untuk mengalah dari pada memperpanjang masalah. Namun mau dilihat dari sudut manapun sebenarnya Kila dan Awan tidak begitu cocok. Kila kadang merasa dia terlalu buruk untuk Awan yang sebaik itu, apalagi sifat mereka sangat bertolak belakang.
Tapi kenapa Awan tetap memilihnya sebagai istri di saat dia bisa mencari perempuan yang jauh lebih baik darinya?
Pandangan Kila kemudian beralih dari bawang yang ia potong, menjadi menatap sosok Awan yang kini duduk memangku Bian yang sedang minum susu di botolnya. Bahkan meski yang terlihat hanya punggung dan kepala bagian belakangnya saja, Awan sudah terlihat begitu menakjubkan. Dia punya aura yang begitu memikat, membuat siapa saja akan senang hati menolehkan kepala dan menatap ke arahnya dengan pandangan kagum.
Awan tidak hanya baik, sopan, dan lemah lembut. Tapi dia juga punya tingkat kesabaran yang tinggi saat menghadapi Kila, dan kalau boleh jujur itulah nilai plus Awan di mata Kila. Karena ia tau tidak semua orang sanggup menghadapi dirinya yang menyebalkan ini, tapi Awan bisa. Sejauh ini ia bahkan tidak pernah melihat Awan marah atau sekedar meninggikan nada bicaranya.
Bukan hanya itu sih, Awan juga tampan. Tinggi badan mencapai 177cm, dengan tubuh yang dipenuhi otot di sana sini. Jangan lupakan pula hidung mancungnya yang begitu memukau, rahangnya yang tegas, namun memiliki mata yang terbilang imut saat tersenyum. Mata Awan cenderung akan menghilang saat ia tersenyum, menyisakan lengkungan bulan sabit yang merupakan turunan dari sang Ibu.
Mau dilihat dari sisi manapun Awan itu nyaris sempurna, Kila sampai bertanya-tanya apa pemuda itu punya setidaknya satu saja kekurangan?
Mungkin, Kila harus mengenali Awan lebih jauh lagi untuk mengetahui tentang hal itu.
“Kila, jangan melamun. Yang bener motong bawangnya!” peringat Mami yang kemudian membuat Kila tersentak dan tersadar dari lamunannya.
“Ah, iya. Maaf, Mi.”
Duh, kenapa juga tadi isi kepalanya malah memikirkan Awan sih?
Fokus, Kila, fokus!