Hospital

“Shakila,”

Yang dipanggil tak bergeming di tempatnya. Tak perduli meski Awan sudah menepuk pundaknya, Kila tetap bertahan pada posisinya duduk di sebelah kiri ranjang Mami yang kini nampak lelap dalam tidur.

Kurang lebih dua jam yang lalu, wanita itu telah berhasil melewati masa kritisnya. Hanya saja karena keadaannya yang tak kunjung membaik meski telah melewati berbagai pengobatan, dokter sempat menyarankan mereka untuk mencari pendonor untuk jantung Mami. Mendapatkannya tentu saja tidak mudah, apalagi kesehatan Mami semakin menurun setiap harinya.

“Kila, makan makan dulu yuk. Nanti kamu sakit,” Awan mencoba membujuk sang istri, berlutut di sebelah kursi Kila untuk menyamai tingginya. “Shakila, kamu dengar saya?”

“Gue nggak lapar.”

“Kamu belum makan dari siang kan? Nanti perutnya sakit.”

“Nanti nggak ada yang jagain Mami.”

“Papi bentar lagi balik kok, dia tadi pulang sebentar buat ngambil barang-barang keperluan Mami. Shilla juga ikut nginep nanti malam buat jagain Mami.”

Kila tetap bersikeras pada pendiriannya, gadis itu menggeleng pelan. “Gue nggak mau ninggalin Mami.”

“Sebentar aja kok, Kila. Kita makan sebentar, nggak bakalan lama. Nanti kita balik lagi ke sini ya?”

“Nggak mau.”

“Shakila,” pemuda itu menarik kedua bahu Kila agar mau menatapnya. “Saya nggak mau kalau kamu jadi ikutan sakit, Mami kamu juga pasti nggak bakalan suka kalau tau anaknya jadi mengabaikan kesehatannya sendiri gini. Kalau kamu mau jagain Mami ya udah, nggak apa-apa. Yang penting kamu makan dulu, yang kuat dulu, sehat dulu, biar bisa jagain Mami.”

“Tapi—–”

“Shakila, sebentar aja kok. Ya?”

Gadis itu menghela napas berat. Pandangannya kembali mengarah pada sosok wanita paruh baya yang kini terbaring lemah di atas ranjang pasien, napasnya terlihat teratur meski wajahnya agak pucat. Kila tidak tega saat melihatnya, Mami terlihat kurus sejak terakhir kali mereka bertemu di apartemen kala itu.

“Kila, yuk?”

Pada akhirnya Kila memilih untuk menuruti saran Awan. Gadis itu beranjak dari tempat duduk yang hampir dua jam ini tak ia tinggali barang semenit pun, lalu berbalik pergi mengikuti Awan keluar dari ruang inap Mami.

Di sepanjang lorong rumah sakit, Kila jadi sadar kalau perutnya memang terasa lapar. Anehnya saat berada di samping Mami ia justru tidak merasakan itu, mungkin perasaan khawatirnya lebih kuat dibanding rasa laparnya.

“Tadi Papi kamu sempat bilang katanya makanan di kantin rumah sakit nggak begitu enak, mau coba cari makan di luar aja nggak?”

Tawaran Awan hanya berbalas anggukan kepala dari sang gadis. Kila sudah terlalu lelah karena merasa khawatir juga lemas karena belum makan, jadi ia rasa mau makan apapun dan di manapun terserah saja karena ia tidak terlalu memperdulikan. Ia bahkan membiarkan saja saat tangan Awan melingkar di pundaknya, juga saat pemuda itu mencoba merapihkan helai rambutnya yang berantakan ke belakang telinga. Jika dalam kondisi normal, ia pasti akan memberi jarak sejauh-jauhnya dari pemuda itu.

Bertepatan saat keduanya bertolak ke arah kiri menuju pintu keluar, dari sisi yang berlawanan seseorang telah sejak tadi memperhatikan dengan pandangan bingung sekaligus penasaran. Hanya saja, ia lebih memilih untuk tetap diam di tempatnya.

Lalu perlahan mulai menaikkan salah satu sudut bibirnya.