awesomeyoit

Puas banget rasanya bisa menyelesaikan True Love selama hampir 2 bulan ini. Aku sadar AU ku masih punya banyak kekurangan, jadi mohon dimaklumi ya. Kritik dan saran juga aku terima, malah itu lebih baik lagi :)

Terima kasih banyak ya udah mau ngikutin kisah Awan-Kila sampai ending. Aku tau tema AU yang kayak gini tuh termasuk pasaran, makanya buat kalian yang tetap setia baca tuh aku apresiasi banget.

Maaf ya kalau di tengah-tengah cerita kalian merasa bosan atau aneh sama alur maupun karakter tokohnya, namun aku udah berusaha sebisa ku.

Selama nulis True Love tuh aku enjoy banget, mood ku selalu bagus gak tau kenapa. Apalagi setiap kali update tuh kalian sering kasih qrt lucu, dan aku terhibur. Buat yang rajin ngasih rt, likes, qrt, maupun yang ngisi cc ku, terima kasih banyak. Ngucapin sekali terima kasih tuh rasanya gak cukup ☹︎

Semoga kalian sehat selalu ya, have a nice day!

Bye~ awesomeyoit

Puas banget rasanya bisa menyelesaikan True Love selama hampir 2 bulan ini. Aku sadar AU ku masih punya banyak kekurangan, jadi mohon dimaklumi ya. Kritik dan saran juga aku terima, malah itu lebih bagus lagi :)

Terima kasih banyak ya udah mau ngikutin kisah Awan-Kila sampai ending. Aku tau tema AU yang kayak gini tuh termasuk pasaran, makanya buat kalian yang tetap setia baca tuh aku apresiasi banget.

Maaf ya kalau di tengah-tengah cerita kalian merasa bosan atau aneh sama alur maupun karakter tokohnya, namun aku udah berusaha sebisa ku.

Selama nulis True Love tuh aku enjoy banget, mood ku selalu bagus gak tau kenapa. Apalagi setiap kali update tuh kalian sering kasih qrt lucu, dan aku terhibur. Buat yang rajin ngasih rt, likes, qrt, maupun yang ngisi cc ku, terima kasih banyak. Ngucapin sekali terima kasih tuh rasanya gak cukup ☹︎

Semoga kalian sehat selalu ya, have a nice day!

Bye~ awesomeyoit

Puas banget rasanya bisa menyelesaikan True Love selama hampir 2 bulan ini. Aku sadar AU ku masih punya banyak kekurangan, jadi mohon dimaklumi ya. Kritik dan saran juga aku terima, malah itu lebih bagus lagi :)

Buat pembaca True Love semuanya, terima kasih banyak udah mau ngikutin kisah Awan-Kila sampai ending. Aku tau tema AU yang kayak gini tuh termasuk pasaran, makanya buat kalian yang tetap setia baca tuh aku apresiasi banget.

Maaf ya kalau di tengah-tengah cerita kalian merasa bosan atau aneh sama alur maupun karakter tokohnya, namun aku udah berusaha sebisa ku.

Selama nulis True Love tuh aku enjoy banget, mood ku selalu bagus gak tau kenapa. Apalagi setiap kali update tuh kalian sering kasih qrt lucu, dan aku terhibur. Buat yang rajin ngasih rt, likes, qrt, maupun yang ngisi cc ku, terima kasih banyak. Ngucapin sekali terima kasih tuh rasanya gak cukup ☹︎

Semoga kalian sehat selalu ya, have a nice day!

Bye~ awesomeyoit

Puas banget rasanya bisa menyelesaikan True Love selama hampir 2 bulan ini. Aku sadar AU ku masih punya banyak kekurangan, jadi mohon dimaklumi ya. Kritik dan saran juga aku terima, malah itu lebih bagus lagi :)

Buat pembaca True Love semuanya, terima kasih banyak udah mau ngikutin kisah Awan-Kila sampai ending. Aku tau tema AU yang kayak gini tuh termasuk pasaran, makanya buat kalian yang tetap setia baca tuh aku apresiasi banget. Maaf ya kalau di tengah-tengah cerita kalian merasa bosan atau aneh sama alur maupun karakter tokohnya, namun aku udah berusaha sebisa ku.

Selama nulis True Love tuh aku enjoy banget, mood ku selalu bagus gak tau kenapa. Apalagi setiap kali update tuh kalian sering kasih qrt lucu, dan aku terhibur. Buat yang rajin ngasih rt, likes, qrt, maupun yang ngisi cc ku, terima kasih banyak. Ngucapin sekali terima kasih tuh rasanya gak cukup ☹︎

Semoga kalian sehat selalu ya, have a nice day!

Bye~

“Udah enakan?”

Awan bertanya setelah Kila meminum teh hangat buatannya hingga tandas. Gadis itu mengangguk pelan, masih terlihat lemas dan tak bertenaga. Wajar saja, Kila tidak makan sampai lima hari lamanya. Sebuah keajaiban dia masih bisa bertahan hidup sampai sekarang.

Saat Kila mengirim imess tadi, Awan langsung pergi ke dapur untuk mengambilkannya makan siang, yang sebenarnya sudah terlalu sore untuk disebut makan siang, kemudian menyuruh Kila makan dulu. Awan tau gadis itu terlalu lemas untuk sekedar berbicara, maka dari itu Kila perlu asupan agar lebih bertenaga.

“Sekarang mau peluk,” pinta Kila dengan pipi yang kembali merona, tidak seperti tadi yang terlihat pucat layaknya mayat hidup.

Tidak bohong, Awan sempat kaget tadi saat melihatnya. Apalagi wajah gadis itu terlihat lebih tirus dari sebelumnya, begitupula dengan tubuhnya yang kian kurus. Kantung matanya membesar, juga terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. Singkatnya, keadaan Kila bisa dibilang sangat kacau.

Awan bantu menyingkirkan meja kecil di atas kasur, juga peralatan makan di atasnya ke lantai, agar nantinya Kila bisa leluasa memeluknya. Awan yang sejak tadi sudah duduk menyandar di kepala ranjang membiarkan istrinya tersebut bersandar di dadanya, tangan si gadis melingkar erat pada pinggang Awan. Sementara itu, Awan mengecup singkat puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.

Kilanya yang manja sudah kembali.

“Aku sedih, sedih banget,” Kila mulai membuka obrolan, mengeluarkan keluh kesah yang ia pendam selama beberapa hari terakhir. “kok kayaknya Tuhan jahat banget ya sama aku? Dia nggak hanya mengambil anak kita, tapi dia juga ambil Mami dari aku.”

“Tuhan nggak jahat, Shakila. Tapi Tuhan tau kamu adalah perempuan yang kuat, makanya dia kasih cobaan itu buat kamu.”

Kila menggeleng berulang kali, kelihatan tidak setuju. “Aku nggak sekuat itu.”

“Tapi kamu punya saya,” ucapan Awan membuat gadis itu mendongak menatapnya, “kalau kita sama-sama, kamu bakal jadi lebih kuat menjalani semua ini. Jangan hadapi semuanya sendirian ya, kita hadapi bareng-bareng aja, biar bisa saling menguatkan.”

“Kak....”

Hm?”

“Makasih.”

“Makasih buat apa?”

“Makasih karena udah biarin aku peluk kakak. Makasih karena selalu peduli sama aku. Makasih karena mencoba untuk tetap kuat, cuma buat menghibur aku kayak gini.”

Awan terkekeh pelan, yang entah kenapa justru membuat air matanya ikut menetes tanpa sadar. Buru-buru ia mengusapnya sebelum Kila sadar kalau ia baru saja menangis.

“Saya nggak mencoba buat kuat kok, saya kan emang kuat.”

“Bohong!”

Hng?”

“Aku dengar ya kamu nangis pas aku masih di rumah sakit. Waktu kamu jagain aku malam itu, sebenarnya aku kebangun. Tapi aku pura-pura tidur aja biar kamu bisa bebas lupain emosi kamu. Karena kalau aku bangun, atau ada orang lain di dekat kamu, pasti kamu bakal pura-pura kuat lagi.”

“Shakila—–”

“Maaf ya, aku egois karena cuma mikirin perasaan aku sendiri. Di sini yang kehilangan bukan cuma aku, tapi kamu juga,” Kila mengeratkan pelukannya pada pinggang Awan, menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu sambil menghirup aroma khas tubuh Awan yang membuatnya candu. “Nyatanya kita nggak sekuat itu, Kak. Tapi aku setuju sama ucapan kamu yang bilang, 'Kalau kita sama-sama, kita bakal jadi lebih kuat'.”

Lagi, pemuda itu tersenyum lalu mengecup pelan puncak kepala istrinya. Satu tangannya yang merangkul bahu Kila, mengusap lembut lengan gadis itu. Kemudian Awan berucap dengan suara pelan,

“Kalau gitu, ayo kita sama-sama kuat. Kita hadapi ini bersama, mulai kehidupan baru kita dengan versi yang lebih baik lagi. Setuju?”

“Setuju!”

Awan senang, Kilanya sudah kembali tersenyum seperti sedia kala.

Cukup lama Kila tak sadarkan diri. Begitu terbangun, ia sudah berada di tempat yang tak begitu asing menurutnya. Cat putih membosankan, bau obat yang khas, sudah pasti ini rumah sakit.

Mata gadis itu terbuka perlahan, keningnya agak berkerut sebab silau dengan cahaya lampu di langit-langit ruangan. Samar-samar telinganya menangkap suara-suara familiar di sekitarnya, mereka membicarakan banyak hal juga tak jarang menyebut namanya.

“Kila, kamu udah sadar?” Awan yang sejak tadi berjaga di sisi ranjang dengan wajah lelah dan mengantuk, menatapnya khawatir. “Ada yang sakit? Kasih tau saya.”

Kila memandangi satu persatu orang yang ada di ruangan itu, totalnya ada empat orang yang terdiri dari Awan, Papinya, juga kedua mertuanya. Hanya saja Maminya tidak terlihat di sejauh mata memandang.

“Shakila, ada yang sakit nggak? Kepalanya pusing?” Kali ini gantian Papi yang bertanya, wajahnya tak kalah khawatir.

“Perut aku ... sakit.”

Semua orang di ruangan itu terdiam kemudian saling pandang, tidak ada yang mau bicara setelahnya hingga Fany mendekat lalu mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Hanya saja wajahnya terlihat sedih.

“Istirahat dulu ya, sayang.”

“Ma, janin aku baik-baik aja kan?”

Itu yang sejak tadi Kila pikirkan. Walau bagaimana pun juga memori terakhir yang ia ingat adalah terguling jatuh dari tangga, Kila takut itu akan berakibat buruk pada keadaan janinnya. Namun empat orang di ruangan itu tak ada yang mau menjawabnya, termasuk Awan yang memilih untuk membuang pandangannya ke arah lain.

“Ma—–”

“Ini udah malam, Kila. Lebih baik kamu lanjut tidur dulu ya? Besok kami bakal jelasin semuanya.”

“Jelasin apa? Apa yang perlu dijelasin ke aku?” Gadis itu melihat pada sang Ayah yang menatapnya dengan pandangan nanar, reaksi yang ditunjukkan tak jauh berbeda seperti Alfi sekarang. Kila semakin tidak mengerti, pikirannya kini berisi berbagai macam kemungkinan buruk. “Nggak ada yang mau ngasih tau aku sekarang?”

“Kamu keguguran, Shakila.”

“APA?!”

“Awan!” Fany langsung memberikan pelototan tajam pada sang anak atas ucapan jujurnya barusan.

“Nggak ada gunanya juga ditutup-tutupin, Ma. Cepat atau lambat Kila juga pasti tau.”

“Ya tapi nggak dikasih tau sekarang juga dong, Awan. Keadaan Kila lagi nggak stabil!”

“Terus mau dikasih tau kapan? Aku mana tega sih liat Kila kayak gitu?!”

“Wan, Ma. Udah!” Akhirnya Alfi juga yang turun tangan, ia menarik tubuh istrinya sedikit menjauh dari Awan. “Lebih baik kita keluar sekarang, biarin Kila ditemenin sama Papinya juga Awan.”

Fany kelihatan sangat kesal sebenarnya, namun pada akhirnya memilih untuk ikut suaminya keluar dari ruangan dari pada lanjut ribut di depan Kila. Sekarang yang tersisa hanya tiga orang saja dengan wajah sama keruhnya. Kila kelihatan masih shock, Dimas meraup wajahnya frustasi, sementara Awan tertunduk sedih sambil memegangi jemari sang istri.

“Kila....”

“Aku beneran keguguran ya?” nada suara gadis itu bergetar, begitu juga dengan tangannya yang sejak tadi Awan genggam. “Aku kehilangan bayi aku.”

“Kila—–”

“Aku nggak becus jagain anak aku sendiri. Aku gagal ngasih anak buat kamu, Kak.”

“Shakila, jangan ngomong kayak gitu.” Pemuda itu meraih tubuh Kila, membawanya pada pelukan hangatnya, lalu menepuk punggung istrinya dengan lembut. “It's okay, nggak apa-apa ya? Yang penting kamunya baik-baik aja.”

Air mata yang sejak tadi Kila tahan tumpah juga di pelukan Awan, tangisnya terdengar pilu, membuat Awan semakin erat memeluk tubuh lemah istrinya yang terasa begitu lemah. Dimas tak kuasa mendengar isak tangis putri bungsunya tersebut, hingga akhirnya ia pun turut menangis tanpa suara.

It's okay. It's okay, Shakila,” Awan mengulangi ucapannya berulang kali, dengan suara bergetar menahan tangis, masih sambil menepuk pelan punggung Kila.

Tangis Kila semakin pecah, dadanya pun mulai terasa sesak. Rasanya seperti pasokan oksigen di ruangan itu semakin menipis, menciptakan rasa sakit di dadanya yang begitu menyiksa. Sementara Awan mencoba untuk tetap tegar, membisikkan kata-kata menenangkan untuk menghibur sang istri, mencoba menguatkan diri agar ia tidak ikut runtuh bersama Kila.

Awan harus tetap kuat, agar Kilanya juga bisa kuat. Jika ia ikut runtuh, siapa yang akan menguatkan Kila nantinya?

“Dokter, pasien bernama Sarah Adiva mengalami henti jantung!”

Kila sontak terdiam saat sayup-sayup suara ribut dari luar yang menyebut nama lengkap Maminya itu terdengar. Dia menatap ke arah Ayahnya yang kini wajahnya sudah dirundung panik tanpa bisa ditutup-tutupi. Lalu dengan suara bergetar dan mata memerah, Papinya yang berusaha untuk tetap tenang itu berucap pada Awan,

“Wan, tolong jagain Kila dulu ya. Saya mau ngecek kondisi Mami di sebelah, kasihan juga Shilla sendirian jaga di sana,” katanya sebelum kemudian buru-buru pergi dari ruang rawat Kila.

“Mami ... ada di rumah sakit ini juga?” Kila yang masih agak blank bertanya dengan pandangan kosong, tangannya kembali tremor dengan keringat dingin yang menyelimutinya. “Kak....”

“Iya, Kila. Mami kamu ada di kamar sebelah. Beliau shock banget sewaktu tau kamu jatuh dari tangga, ditambah lagi pas tau kalau kamu keguguran, jantungnya langsung kumat.”

“Mami, aku mau liat Mami.”

“La, kamu masih sakit!” cegah Awan saat istrinya itu memaksakan diri untuk turun dari ranjang. “Nanti ya, nanti kita liat Mami pas keadaan kamu lebih sehat.”

“Tapi aku mau liat Mami sekarang!”

“Shakila, dengerin saya. Hei, Shakila!” Awan menahan kedua sisi wajah Kila agar gadis itu berhenti panik dan mau menatap wajahnya. “Mami kamu bakal baik-baik aja, percaya sama saya.”

“MAMI AKU NGGAK BAIK-BAIK AJA, KAK. MAMI AKU NGGAK PERNAH BAIK-BAIK AJA!”

Teriakan histeris gadis itu sontak membuat Awan terdiam. Memang benar apa kata Kila, Sarah tidak pernah baik-baik saja. Sebagai orang yang menderita penyakit jantung kronis, kondisinya semakin memburuk setiap tahunnya. Jelas sekali, beliau tidak pernah baik-baik saja selama ini.

Maka wajar jika Kila selalu bereaksi begini setiap kali mendengar kabar buruk tentang Maminya, karena tiada hari yang terlewati tanpa rasa takut kehilangan Mami. Hampir di sepanjang hidup Kila, dia mengkhawatirkan kondisi Mami dengan segala skenario terburuknya.

Kila takut jika harus kehilangan Mami dengan cara seperti ini.

'Pak Bos lagi nggak ada di kantornya, dia ketemu klien di luar. Nanti kalau udah sampai hotel kabarin saya dulu ya, Bu Bos.'

Begitu kira-kira pesan terakhir El padanya sebelum Kila memutuskan untuk datang ke Cloud Sky Hotel. Tadinya dia memang ingin menghubungi El dulu seperti permintaan pemuda itu, namun matanya malah lebih dulu menemukan sosok Lian yang tengah duduk di sofa lobi. Secara kebetulan Lian juga ikut menatap ke arahnya, lalu tersenyum mengejek pada Kila yang secara impulsif berjalan menghampiri.

“Saya mau bicara,” ucap Kila dengan nada ketus.

Namun perempuan di depannya itu justru membalas dengan senyum sinis, “Saya nggak punya urusan sama kamu, Shakila.”

“Jadi Mbak Lian mau kita ribut di sini? Mau bikin satu hotel tau kalau Mbak Lian itu pelakor di rumah tangga saya?”

Ucapan Kila sukses membuat Lian tercengang. Terlebih lagi gadis itu tidak mengecilkan volume suaranya, membuat beberapa orang yang lewat juga resepsionis di dekat mereka jadi ikutan menoleh. Malu bercampur kesal, Lian mendengus kasar dan berjalan lebih dulu mendahului Kila untuk mencari tempat yang lebih sepi. Tangga darurat lantai tiga adalah pilihannya.

“Ngapain Mbak Lian datang nemuin suami saya?”

Itu adalah kalimat pertama yang Kila ucapkan saat mereka telah berada di ruang tangga darurat. Di sini sepi, jadi Kila pun bisa bebas berbicara apa saja dengan nada keras sekalipun.

“Saya rasa urusan saya bukan urusan kamu, jadi kamu nggak perlu tau,” Lian maju selangkah mendekat pada Kila, sambil tersenyum menyebalkan khasnya. “Saya punya banyak urusan sama suami kamu. Ah, apa mungkin calon suami saya ya?”

“Mbak Lian bisa halu juga ternyata,” Kila tertawa mengejek. “Mana mau Awan sama modelan kayak Mbak sih? Sadar diri dong!”

“Bukannya kamu yang harusnya sadar diri? Kamu tuh nggak bisa apa-apa, Shakila. Kamu nggak becus jadi istri, udah gitu malesan pula, bisanya cuma dandan sama ngabisin duit suami doang. Kamu pikir seberapa lama Awan bakalan tahan sama sikap kamu yang seperti itu?”

“Setidaknya saya bisa kasih anak ke suami saya, nggak kayak Mbak Lian kan?”

“Kurang ajar!”

Tangan Lian sudah terangkat dengan maksud menampar Kila atas ucapan kurang ajarnya barusan, tapi Kila yang lebih gesit sukses menahan pergelangan tangan Lian sebelum berhasil mendarat ke pipinya.

PLAK

Kini, satu tangan Kila yang bebas justru balik menampar wajah Lian. Wanita itu kelihatan shock, sambil memegangi sisi wajahnya yang pasti terasa panas setelah mendapat satu tamparan keras di pipi kiri.

Gadis itu melepaskan cekalan tangannya pada pergelengan Lian, lalu mendorong bahu wanita itu dengan jari telunjuknya agar posisi mereka tidak terlalu dekat.

“Itu balasan atas kelakuan kurang ajar Mbak ke saya selama ini.”

“Kamu emang nggak pernah diajarin sopan santun sama orang yang lebih tua ya?”

“Diajarin kok. Tapi sopan santunnya saya bukan ditujukan untuk pelakor murahan kayak Mbak Lian.”

“Kamu bilang saya apa barusan?”

Pelakor murahan. Apa mau saya kasih nama panggilan lain?”

“Brengsek!”

Arghh....”

Kila sontak memekik saat rambutnya ditarik paksa oleh Lian, wanita itu benar-benar mencari masalah rupanya. Tidak mau kalah, Kila balik menjambak rambut Lian tidak kalah kasar dan membuat wanita itu turut memekik kesakitan.

“Lepasin rambut saya sekarang juga, Shakila!”

“Mbak yang harusnya lepasin rambut saya!

Argh, Shakila!”

Jika sudah begini, seharusnya ada satu orang yang bantu melerai. Namun karena tangga darurat memang tempat yang sepi, alhasil pertengkaran mereka justru semakin parah. Entah sengaja atau tidak, Lian justru semakin menarik rambut Kila yang mana membuat si empunya turut melakukan hal yang sama.

Saking fokusnya pada pertengkaran itu, Kila sampai melupakan fakta bahwa mereka berada di tempat yang dekat sekali dengan tangga. Lian yang memang sudah kepalang kesal pada Kila, justru dengan sengaja mendorong gadis itu ke arah tangga yang menurun ke bawah.

Semua terjadi begitu cepat. Sebelum Kila sempat memprediksi, dia sudah lebih dulu kehilangan pijakannya. Maka yang terjadi selanjutnya adalah Kila yang terguling di tangga, dengan kepala yang lebih dulu terantuk besi pegangan lalu menghantam keras lantai keramik di bawahnya.

Lian terkejut saat menyaksikan apa yang baru saja ia perbuat, kepanikan langsung menyertainya saat itu juga. Berbagai macam pikiran turut berkecamuk dengan segala macam kemungkinan buruk.

“Dia ... nggak akan mati kan?” Monolognya dengan tangan bergetar, lututnya pun ikut melemas sebelum kemudian terduduk di lantai. Terlebih saat melihat bagaimana tubuh Kila sudah tak bergerak lagi dengan genangan darah di sekitarnya.

Di saat seperti itu pintu darurat terbuka, menampakkan sosok Rafael yang memandang bingung ke arah Lian yang wajahnya sudah pucat pasi. Namun sesaat kemudian ekspresinya langsung berubah panik saat melihat tubuh istri dari Bosnya tersebut sudah terkapar di bawah dengan keadaan penuh darah.

“ASTAGA, BU BOSS!”

'Pak Bos lagi nggak ada di kantornya, dia ketemu klien di luar. Nanti kalau udah sampai hotel kabarin saya dulu ya, Bu Bos.'

Begitu kira-kira pesan terakhir El padanya sebelum Kila memutuskan untuk datang ke Cloud Sky Hotel. Tadinya dia memang ingin menghubungi El dulu seperti permintaan pemuda itu, namun matanya malah lebih dulu menemukan sosok Lian yang tengah duduk di sofa lobi. Secara kebetulan Lian juga ikut menatap ke arahnya, lalu tersenyum mengejek pada Kila yang secara impulsif berjalan menghampiri.

“Saya mau bicara,” ucap Kila dengan nada ketus.

Namun perempuan di depannya itu justru membalas dengan senyum sinis, “Saya nggak punya urusan sama kamu, Shakila.”

“Jadi Mbak Lian mau kita ribut di sini? Mau bikin satu hotel tau kalau Mbak Lian itu pelakor di rumah tangga saya?”

Ucapan Kila sukses membuat Lian tercengang. Terlebih lagi gadis itu tidak mengecilkan volume suaranya, membuat beberapa orang yang lewat juga resepsionis di dekat mereka jadi ikutan menoleh. Malu bercampur kesal, Lian mendengus kasar dan berjalan lebih dulu mendahului Kila untuk mencari tempat yang lebih sepi. Tangga darurat lantai tiga adalah pilihannya.

“Ngapain Mbak Lian datang nemuin suami saya?”

Itu adalah kalimat pertama yang Kila ucapkan saat mereka telah berada di ruang tangga darurat. Di sini sepi, jadi Kila pun bisa bebas berbicara apa saja dengan nada keras sekalipun.

“Saya rasa urusan saya bukan urusan kamu, jadi kamu nggak perlu tau,” Lian maju selangkah mendekat pada Kila, sambil tersenyum menyebalkan khasnya. “Saya punya banyak urusan sama suami kamu. Ah, apa mungkin calon suami saya ya?”

“Mbak Lian bisa halu juga ternyata,” Kila tertawa mengejek. “Mana mau Awan sama modelan kayak Mbak sih? Sadar diri dong!”

“Bukannya kamu yang harusnya sadar diri? Kamu tuh nggak bisa apa-apa, Shakila. Kamu nggak becus jadi istri, udah gitu malesan pula, bisanya cuma dandan sama ngabisin duit suami doang. Kamu pikir seberapa lama Awan bakalan tahan sama sikap kamu yang seperti itu?”

“Setidaknya saya bisa kasih anak ke suami saya, nggak kayak Mbak Lian kan?”

“Kurang ajar!”

Tangan Lian sudah terangkat dengan maksud menampar Kila atas ucapan kurang ajarnya barusan, tapi Kila yang lebih gesit sukses menahan pergelangan tangan Lian sebelum berhasil mendarat ke pipinya.

PLAK

Kini, satu tangan Kila yang bebas justru balik menampar wajah Lian. Wanita itu kelihatan shock, sambil memegangi sisi wajahnya yang pasti terasa panas setelah mendapat satu tamparan keras di pipi kiri.

Gadis itu melepaskan cekalan tangannya pada pergelengan Lian, lalu mendorong bahu wanita itu dengan jari telunjuknya agar posisi mereka tidak terlalu dekat.

“Itu balasan atas kelakuan kurang ajar Mbak ke saya selama ini.”

“Kamu emang nggak pernah diajarin sopan santun sama orang yang lebih tua ya?”

“Diajarin kok. Tapi sopan santunnya saya bukan ditujukan untuk pelakor murahan kayak Mbak Lian.”

“Kamu bilang saya apa barusan?”

Pelakor murahan. Apa mau saya kasih nama panggilan lain?”

“Brengsek!”

Arghh....”

Kila sontak memekik saat rambutnya ditarik paksa oleh Lian, wanita itu benar-benar mencari masalah rupanya. Tidak mau kalah, Kila balik menjambak rambut Lian tidak kalah kasar dan membuat wanita itu turut memekik kesakitan.

“Lepasin rambut saya sekarang juga, Shakila!”

“Mbak yang harusnya lepasin rambut saya!

Argh, Shakila!”

Jika sudah begini, seharusnya ada satu orang yang bantu melerai. Namun karena tangga darurat memang tempat yang sepi, alhasil pertengkaran mereka justru semakin parah. Entah sengaja atau tidak, Lian justru semakin menarik rambut Kila yang mana membuat si empunya turut melakukan hal yang sama.

Saking fokusnya pada pertengkaran itu, Kila sampai melupakan fakta bahwa mereka berada di tempat yang dekat sekali dengan tangga. Lian yang memang sudah kepalang kesal pada Kila, justru dengan sengaja mendorong gadis itu ke arah tangga yang menurun ke bawah.

Semua terjadi begitu cepat. Sebelum Kila sempat memprediksi, dia sudah lebih dulu kehilangan pijakannya. Maka yang terjadi selanjutnya adalah Kila yang terguling di tangga, dengan kepala yang lebih dulu terantuk besi pegangan lalu menghantam keras lantai keramik di bawahnya.

Lian terkejut saat menyaksikan apa yang baru saja ia perbuat, kepanikan langsung menyertainya saat itu juga. Berbagai macam pikiran turut berkecamuk dengan segala macam kemungkinan buruk.

“Dia ... nggak akan mati kan?” Monolognya dengan tangan bergetar, lututnya pun ikut melemas sebelum kemudian terduduk di lantai. Terlebih saat melihat bagaimana tubuh Kila sudah tak bergerak lagi dengan genangan darah di sekitarnya.

Di saat seperti itu pintu darurat terbuka, menampakkan sosok Rafael yang memandang bingung ke arah Lian yang wajahnya pucat pasi. Namun sesaat kemudian ekspresinya langsung berubah saat melihat tubuh istri dari Bosnya tersebut sudah terkapar di bawah dengan keadaan penuh darah.

“ASTAGA, BU BOSS!”

'Pak Bos lagi nggak ada di kantornya, dia ketemu klien di luar. Nanti kalau udah sampai hotel kabarin saya dulu ya, Bu Bos.'

Begitu kira-kira pesan terakhir El padanya sebelum Kila memutuskan untuk datang ke Cloud Sky Hotel. Tadinya dia memang ingin menghubungi El dulu seperti permintaan pemuda itu, namun matanya malah lebih dulu menemukan sosok Lian yang tengah duduk di sofa lobi. Secara kebetulan Lian juga ikut menatap ke arahnya, lalu tersenyum mengejek pada Kila yang secara impulsif berjalan menghampiri.

“Saya mau bicara,” ucap Kila dengan nada ketus.

Namun perempuan di depannya itu justru membalas dengan senyum sinis, “Saya nggak punya urusan sama kamu, Shakila.”

“Jadi Mbak Lian mau kita ribut di sini? Mau bikin satu hotel tau kalau Mbak Lian itu pelakor di rumah tangga saya?”

Ucapan Kila sukses membuat Lian tercengang. Terlebih lagi gadis itu tidak mengecilkan volume suaranya, membuat beberapa orang yang lewat juga resepsionis di dekat mereka jadi ikutan menoleh. Malu bercampur kesal, Lian mendengus kasar dan berjalan lebih dulu mendahului Kila untuk mencari tempat yang lebih sepi. Tangga darurat lantai tiga adalah pilihannya.

“Ngapain Mbak Lian datang nemuin suami saya?”

Itu adalah kalimat pertama yang Kila ucapkan saat mereka telah berada di ruang tangga darurat. Di sini sepi, jadi Kila pun bisa bebas berbicara apa saja dengan nada keras sekalipun.

“Saya rasa urusan saya bukan urusan kamu, jadi kamu nggak perlu tau,” Lian maju selangkah mendekat pada Kila, sambil tersenyum menyebalkan khasnya. “Saya punya banyak urusan sama suami kamu. Ah, apa mungkin calon suami saya ya?”

“Mbak Lian bisa halu juga ternyata,” Kila tertawa mengejek. “Mana mau Awan sama modelan kayak Mbak sih? Sadar diri dong!”

“Bukannya kamu yang harusnya sadar diri? Kamu tuh nggak bisa apa-apa, Shakila. Kamu nggak becus jadi istri, udah gitu malesan pula, bisanya cuma dandan sama ngabisin duit suami doang. Kamu pikir seberapa lama Awan bakalan tahan sama sikap kamu yang seperti itu?”

“Setidaknya saya bisa kasih anak ke suami saya, nggak kayak Mbak Lian kan?”

“Kurang ajar!”

Tangan Lian sudah terangkat dengan maksud menampar Kila atas ucapan kurang ajarnya barusan, tapi Kila yang lebih gesit sukses menahan pergelangan tangan Lian sebelum berhasil mendarat ke pipinya.

PLAK

Kini, satu tangan Kila yang bebas justru balik menampar wajah Lian. Wanita itu kelihatan shock, sambil memegangi sisi wajahnya yang pasti terasa panas setelah mendapat satu tamparan keras di pipi kiri.

Gadis itu melepaskan cekalan tangannya pada pergelengan Lian, lalu mendorong bahu wanita itu dengan jari telunjuknya agar posisi mereka tidak terlalu dekat.

“Itu balasan atas kelakuan kurang ajar Mbak ke saya selama ini.”

“Kamu emang nggak pernah diajarin sopan santun sama orang yang lebih tua ya?”

“Diajarin kok. Tapi sopan santunnya saya bukan ditujukan untuk pelakor murahan kayak Mbak Lian.”

“Kamu bilang saya apa barusan?”

Pelakor murahan. Apa mau saya kasih nama panggilan lain?”

“Brengsek!”

Arghh....”

Kila sontak memekik saat rambutnya ditarik paksa oleh Lian, wanita itu benar-benar mencari masalah rupanya. Tidak mau kalah, Kila balik menjambak rambut Lian tidak kalah kasar dan membuat wanita itu turut memekik kesakitan.

“Lepasin rambut saya sekarang juga, Shakila!”

“Mbak yang harusnya lepasin rambut saya!

Argh, Shakila!”

Jika sudah begini, seharusnya ada satu orang yang bantu melerai. Namun karena tangga darurat memang tempat yang sepi, alhasil pertengkaran mereka justru semakin parah. Entah sengaja atau tidak, Lian justru semakin menarik rambut Kila yang mana membuat si empunya turut melakukan hal yang sama.

Saking fokusnya pada pertengkaran itu, Kila sampai melupakan fakta bahwa mereka berada di tempat yang dekat sekali dengan tangga. Lian yang memang sudah kepalang kesal pada Kila, justru dengan sengaja mendorong gadis itu ke arah tangga yang menurun ke bawah.

Semua terjadi begitu cepat. Sebelum Kila sempat memprediksi, dia sudah lebih dulu kehilangan pijakannya. Maka yang terjadi selanjutnya adalah Kila yang terguling di tangga, dengan kepala yang lebih dulu terantuk besi pegangan lalu menghantam keras lantai keramik di bawahnya.

Lian terkejut saat menyaksikan apa yang baru saja ia perbuat, kepanikan langsung menyertainya saat itu juga. Berbagai macam pikiran turut berkecamuk dengan segala macam kemungkinan buruk.

“Dia ... nggak akan mati kan?” Monolognya dengan tangan bergetar, lututnya pun ikut melemas sebelum kemudian terduduk di lantai. Terlebih saat melihat bagaimana tubuh Kila sudah tak bergerak lagi dengan genangan darah di sekitarnya.

Di saat seperti itu pintu darurat terbuka, menampakkan sosok Rafael yang memandang bingung ke arah Lian yang wajahnya pucat pasi. Namun sesaat kemudian ekspresinya langsung berubah saat melihat tubuh istri dari Bosnya tersebut sudah terkapar di bawah dengan keadaan penuh darah.

“ASTAGA, BU BOSS!”

'Pak Bos lagi nggak ada di kantornya, dia ketemu klien di luar. Nanti kalau udah sampai hotel kabarin saya dulu ya, Bu Bos.'

Begitu kira-kira pesan terakhir El padanya sebelum Kila memutuskan untuk datang ke Cloud Sky Hotel. Tadinya dia memang ingin menghubungi El dulu seperti permintaan pemuda itu, namun matanya malah lebih dulu menemukan sosok Lian yang tengah duduk di sofa lobi. Secara kebetulan Lian juga ikut menatap ke arahnya, lalu tersenyum mengejek pada Kila yang secara impulsif berjalan menghampiri.

“Saya mau bicara,” ucap Kila dengan nada ketus.

Namun perempuan di depannya itu justru membalas dengan senyum sinis, “Saya nggak punya urusan sama kamu, Shakila.”

“Jadi Mbak Lian mau kita ribut di sini? Mau bikin satu hotel tau kalau Mbak Lian itu pelakor di rumah tangga saya?”

Ucapan Kila sukses membuat Lian tercengang. Terlebih lagi gadis itu tidak mengecilkan volume suaranya, membuat beberapa orang yang lewat juga resepsionis di dekat mereka jadi ikutan menoleh. Malu bercampur kesal, Lian mendengus kasar dan berjalan lebih dulu mendahului Kila untuk mencari tempat yang lebih sepi. Tangga darurat lantai tiga adalah pilihannya.

“Ngapain Mbak Lian datang nemuin suami saya?”

Itu adalah kalimat pertama yang Kila ucapkan saat mereka telah berada di ruang tangga darurat. Di sini sepi, jadi Kila pun bisa bebas berbicara apa saja dengan nada keras sekalipun.

“Saya rasa urusan saya bukan urusan kamu, jadi kamu nggak perlu tau,” Lian maju selangkah mendekat pada Kila, sambil tersenyum menyebalkan khasnya. “Saya punya banyak urusan sama suami kamu. Ah, apa mungkin calon suami saya ya?”

“Mbak Lian bisa halu juga ternyata,” Kila tertawa mengejek. “Mana mau Awan sama modelan kayak Mbak sih? Sadar diri dong!”

“Bukannya kamu yang harusnya sadar diri? Kamu tuh nggak bisa apa-apa, Shakila. Kamu nggak becus jadi istri, udah gitu malesan pula, bisanya cuma dandan sama ngabisin duit suami doang. Kamu pikir seberapa lama Awan bakalan tahan sama sikap kamu yang seperti itu?”

“Setidaknya saya bisa kasih anak ke suami saya, nggak kayak Mbak Lian kan?”

“Kurang ajar!”

Tangan Lian sudah terangkat dengan maksud menampar Kila atas ucapan kurang ajarnya barusan, tapi Kila yang lebih gesit sukses menahan pergelangan tangan Lian sebelum berhasil mendarat ke pipinya.

PLAK

Kini, satu tangan Kila yang bebas justru balik menampar wajah Lian. Wanita itu kelihatan shock, sambil memegangi sisi wajahnya yang pasti terasa panas setelah mendapat satu tamparan keras di pipi kiri.

Gadis itu melepaskan cekalan tangannya pada pergelengan Lian, lalu mendorong bahu wanita itu dengan jari telunjuknya agar posisi mereka tidak terlalu dekat.

“Itu balasan atas kelakuan kurang ajar Mbak ke saya selama ini.”

“Kamu emang nggak pernah diajarin sopan santun sama orang yang lebih tua ya?”

“Diajarin kok. Tapi sopan santunnya saya bukan ditujukan untuk pelakor murahan kayak Mbak Lian.”

“Kamu bilang saya apa barusan?”

Pelakor murahan. Apa mau saya kasih nama panggilan lain?”

“Brengsek!”

Arghh....”

Kila sontak memekik saat rambutnya ditarik paksa oleh Lian, wanita itu benar-benar mencari masalah rupanya. Tidak mau kalah, Kila balik menjambak rambut Lian tidak kalah kasar dan membuat wanita itu turut memekik kesakitan.

“Lepasin rambut saya sekarang juga, Shakila!”

“Mbak yang harusnya lepasin rambut saya!

Argh, Shakila!”

Jika sudah begini, seharusnya ada satu orang yang bantu melerai. Namun karena tangga darurat memang tempat yang sepi, alhasil pertengkaran mereka justru semakin parah. Entah sengaja atau tidak, Lian justru semakin menarik rambut Kila yang mana membuat si empunya turut melakukan hal yang sama.

Saking fokusnya pada pertengkaran itu, Kila sampai melupakan fakta bahwa mereka berada di tempat yang dekat sekali dengan tangga. Lian yang memang sudah kepalang kesal pada Kila, justru dengan sengaja mendorong gadis itu ke arah tangga yang menurun ke bawah.

Semua terjadi begitu cepat. Sebelum Kila sempat memprediksi, dia sudah lebih dulu kehilangan pijakannya. Maka yang terjadi selanjutnya adalah Kila yang terguling di tangga, dengan kepala yang lebih dulu terantuk besi pegangan lalu menghantam keras lantai keramik di bawahnya.

Lian terkejut saat menyaksikan apa yang baru saja ia perbuat, kepanikan langsung menyertainya saat itu juga. Berbagai macam pikiran turut berkecamuk dengan segala macam kemungkinan buruk.

“Dia ... nggak akan mati kan?” Monolognya dengan tangan bergetar, lututnya pun ikut melemas sebelum kemudian terduduk di lantai. Terlebih saat melihat bagaimana tubuh Kila sudah tak bergerak lagi dengan genangan darah di sekitarnya.

Di saat seperti itu pintu darurat terbuka, menampakkan sosok Rafael yang memandang bingung ke arah Lian yang wajahnya pucat pasi. Namun sesaat kemudian ekspresinya langsung berubah saat melihat tubuh istri dari Bosnya tersebut sudah terkapar di bawah dengan keadaan penuh darah.

“ASTAGA, BU BOSS!”