After That Incident
Cukup lama Kila tak sadarkan diri. Begitu terbangun, ia sudah berada di tempat yang tak begitu asing menurutnya. Cat putih membosankan, bau obat yang khas, sudah pasti ini rumah sakit.
Mata gadis itu terbuka perlahan, keningnya agak berkerut sebab silau dengan cahaya lampu di langit-langit ruangan. Samar-samar telinganya menangkap suara-suara familiar di sekitarnya, mereka membicarakan banyak hal juga tak jarang menyebut namanya.
“Kila, kamu udah sadar?” Awan yang sejak tadi berjaga di sisi ranjang dengan wajah lelah dan mengantuk, menatapnya khawatir. “Ada yang sakit? Kasih tau saya.”
Kila memandangi satu persatu orang yang ada di ruangan itu, totalnya ada empat orang yang terdiri dari Awan, Papinya, juga kedua mertuanya. Hanya saja Maminya tidak terlihat di sejauh mata memandang.
“Shakila, ada yang sakit nggak? Kepalanya pusing?” Kali ini gantian Papi yang bertanya, wajahnya tak kalah khawatir.
“Perut aku ... sakit.”
Semua orang di ruangan itu terdiam kemudian saling pandang, tidak ada yang mau bicara setelahnya hingga Fany mendekat lalu mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Hanya saja wajahnya terlihat sedih.
“Istirahat dulu ya, sayang.”
“Ma, janin aku baik-baik aja kan?”
Itu yang sejak tadi Kila pikirkan. Walau bagaimana pun juga memori terakhir yang ia ingat adalah terguling jatuh dari tangga, Kila takut itu akan berakibat buruk pada keadaan janinnya. Namun empat orang di ruangan itu tak ada yang mau menjawabnya, termasuk Awan yang memilih untuk membuang pandangannya ke arah lain.
“Ma—–”
“Ini udah malam, Kila. Lebih baik kamu lanjut tidur dulu ya? Besok kami bakal jelasin semuanya.”
“Jelasin apa? Apa yang perlu dijelasin ke aku?” Gadis itu melihat pada sang Ayah yang menatapnya dengan pandangan nanar, reaksi yang ditunjukkan tak jauh berbeda seperti Alfi sekarang. Kila semakin tidak mengerti, pikirannya kini berisi berbagai macam kemungkinan buruk. “Nggak ada yang mau ngasih tau aku sekarang?”
“Kamu keguguran, Shakila.”
“APA?!”
“Awan!” Fany langsung memberikan pelototan tajam pada sang anak atas ucapan jujurnya barusan.
“Nggak ada gunanya juga ditutup-tutupin, Ma. Cepat atau lambat Kila juga pasti tau.”
“Ya tapi nggak dikasih tau sekarang juga dong, Awan. Keadaan Kila lagi nggak stabil!”
“Terus mau dikasih tau kapan? Aku mana tega sih liat Kila kayak gitu?!”
“Wan, Ma. Udah!” Akhirnya Alfi juga yang turun tangan, ia menarik tubuh istrinya sedikit menjauh dari Awan. “Lebih baik kita keluar sekarang, biarin Kila ditemenin sama Papinya juga Awan.”
Fany kelihatan sangat kesal sebenarnya, namun pada akhirnya memilih untuk ikut suaminya keluar dari ruangan dari pada lanjut ribut di depan Kila. Sekarang yang tersisa hanya tiga orang saja dengan wajah sama keruhnya. Kila kelihatan masih shock, Dimas meraup wajahnya frustasi, sementara Awan tertunduk sedih sambil memegangi jemari sang istri.
“Kila....”
“Aku beneran keguguran ya?” nada suara gadis itu bergetar, begitu juga dengan tangannya yang sejak tadi Awan genggam. “Aku kehilangan bayi aku.”
“Kila—–”
“Aku nggak becus jagain anak aku sendiri. Aku gagal ngasih anak buat kamu, Kak.”
“Shakila, jangan ngomong kayak gitu.” Pemuda itu meraih tubuh Kila, membawanya pada pelukan hangatnya, lalu menepuk punggung istrinya dengan lembut. “It's okay, nggak apa-apa ya? Yang penting kamunya baik-baik aja.”
Air mata yang sejak tadi Kila tahan tumpah juga di pelukan Awan, tangisnya terdengar pilu, membuat Awan semakin erat memeluk tubuh lemah istrinya yang terasa begitu lemah. Dimas tak kuasa mendengar isak tangis putri bungsunya tersebut, hingga akhirnya ia pun turut menangis tanpa suara.
“It's okay. It's okay, Shakila,” Awan mengulangi ucapannya berulang kali, dengan suara bergetar menahan tangis, masih sambil menepuk pelan punggung Kila.
Tangis Kila semakin pecah, dadanya pun mulai terasa sesak. Rasanya seperti pasokan oksigen di ruangan itu semakin menipis, menciptakan rasa sakit di dadanya yang begitu menyiksa. Sementara Awan mencoba untuk tetap tegar, membisikkan kata-kata menenangkan untuk menghibur sang istri, mencoba menguatkan diri agar ia tidak ikut runtuh bersama Kila.
Awan harus tetap kuat, agar Kilanya juga bisa kuat. Jika ia ikut runtuh, siapa yang akan menguatkan Kila nantinya?
“Dokter, pasien bernama Sarah Adiva mengalami henti jantung!”
Kila sontak terdiam saat sayup-sayup suara ribut dari luar yang menyebut nama lengkap Maminya itu terdengar. Dia menatap ke arah Ayahnya yang kini wajahnya sudah dirundung panik tanpa bisa ditutup-tutupi. Lalu dengan suara bergetar dan mata memerah, Papinya yang berusaha untuk tetap tenang itu berucap pada Awan,
“Wan, tolong jagain Kila dulu ya. Saya mau ngecek kondisi Mami di sebelah, kasihan juga Shilla sendirian jaga di sana,” katanya sebelum kemudian buru-buru pergi dari ruang rawat Kila.
“Mami ... ada di rumah sakit ini juga?” Kila yang masih agak blank bertanya dengan pandangan kosong, tangannya kembali tremor dengan keringat dingin yang menyelimutinya. “Kak....”
“Iya, Kila. Mami kamu ada di kamar sebelah. Beliau shock banget sewaktu tau kamu jatuh dari tangga, ditambah lagi pas tau kalau kamu keguguran, jantungnya langsung kumat.”
“Mami, aku mau liat Mami.”
“La, kamu masih sakit!” cegah Awan saat istrinya itu memaksakan diri untuk turun dari ranjang. “Nanti ya, nanti kita liat Mami pas keadaan kamu lebih sehat.”
“Tapi aku mau liat Mami sekarang!”
“Shakila, dengerin saya. Hei, Shakila!” Awan menahan kedua sisi wajah Kila agar gadis itu berhenti panik dan mau menatap wajahnya. “Mami kamu bakal baik-baik aja, percaya sama saya.”
“MAMI AKU NGGAK BAIK-BAIK AJA, KAK. MAMI AKU NGGAK PERNAH BAIK-BAIK AJA!”
Teriakan histeris gadis itu sontak membuat Awan terdiam. Memang benar apa kata Kila, Sarah tidak pernah baik-baik saja. Sebagai orang yang menderita penyakit jantung kronis, kondisinya semakin memburuk setiap tahunnya. Jelas sekali, beliau tidak pernah baik-baik saja selama ini.
Maka wajar jika Kila selalu bereaksi begini setiap kali mendengar kabar buruk tentang Maminya, karena tiada hari yang terlewati tanpa rasa takut kehilangan Mami. Hampir di sepanjang hidup Kila, dia mengkhawatirkan kondisi Mami dengan segala skenario terburuknya.
Kila takut jika harus kehilangan Mami dengan cara seperti ini.