In Your Arms
“Udah enakan?”
Awan bertanya setelah Kila meminum teh hangat buatannya hingga tandas. Gadis itu mengangguk pelan, masih terlihat lemas dan tak bertenaga. Wajar saja, Kila tidak makan sampai lima hari lamanya. Sebuah keajaiban dia masih bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Saat Kila mengirim imess tadi, Awan langsung pergi ke dapur untuk mengambilkannya makan siang, yang sebenarnya sudah terlalu sore untuk disebut makan siang, kemudian menyuruh Kila makan dulu. Awan tau gadis itu terlalu lemas untuk sekedar berbicara, maka dari itu Kila perlu asupan agar lebih bertenaga.
“Sekarang mau peluk,” pinta Kila dengan pipi yang kembali merona, tidak seperti tadi yang terlihat pucat layaknya mayat hidup.
Tidak bohong, Awan sempat kaget tadi saat melihatnya. Apalagi wajah gadis itu terlihat lebih tirus dari sebelumnya, begitupula dengan tubuhnya yang kian kurus. Kantung matanya membesar, juga terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. Singkatnya, keadaan Kila bisa dibilang sangat kacau.
Awan bantu menyingkirkan meja kecil di atas kasur, juga peralatan makan di atasnya ke lantai, agar nantinya Kila bisa leluasa memeluknya. Awan yang sejak tadi sudah duduk menyandar di kepala ranjang membiarkan istrinya tersebut bersandar di dadanya, tangan si gadis melingkar erat pada pinggang Awan. Sementara itu, Awan mengecup singkat puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.
Kilanya yang manja sudah kembali.
“Aku sedih, sedih banget,” Kila mulai membuka obrolan, mengeluarkan keluh kesah yang ia pendam selama beberapa hari terakhir. “kok kayaknya Tuhan jahat banget ya sama aku? Dia nggak hanya mengambil anak kita, tapi dia juga ambil Mami dari aku.”
“Tuhan nggak jahat, Shakila. Tapi Tuhan tau kamu adalah perempuan yang kuat, makanya dia kasih cobaan itu buat kamu.”
Kila menggeleng berulang kali, kelihatan tidak setuju. “Aku nggak sekuat itu.”
“Tapi kamu punya saya,” ucapan Awan membuat gadis itu mendongak menatapnya, “kalau kita sama-sama, kamu bakal jadi lebih kuat menjalani semua ini. Jangan hadapi semuanya sendirian ya, kita hadapi bareng-bareng aja, biar bisa saling menguatkan.”
“Kak....”
“Hm?”
“Makasih.”
“Makasih buat apa?”
“Makasih karena udah biarin aku peluk kakak. Makasih karena selalu peduli sama aku. Makasih karena mencoba untuk tetap kuat, cuma buat menghibur aku kayak gini.”
Awan terkekeh pelan, yang entah kenapa justru membuat air matanya ikut menetes tanpa sadar. Buru-buru ia mengusapnya sebelum Kila sadar kalau ia baru saja menangis.
“Saya nggak mencoba buat kuat kok, saya kan emang kuat.”
“Bohong!”
“Hng?”
“Aku dengar ya kamu nangis pas aku masih di rumah sakit. Waktu kamu jagain aku malam itu, sebenarnya aku kebangun. Tapi aku pura-pura tidur aja biar kamu bisa bebas lupain emosi kamu. Karena kalau aku bangun, atau ada orang lain di dekat kamu, pasti kamu bakal pura-pura kuat lagi.”
“Shakila—–”
“Maaf ya, aku egois karena cuma mikirin perasaan aku sendiri. Di sini yang kehilangan bukan cuma aku, tapi kamu juga,” Kila mengeratkan pelukannya pada pinggang Awan, menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu sambil menghirup aroma khas tubuh Awan yang membuatnya candu. “Nyatanya kita nggak sekuat itu, Kak. Tapi aku setuju sama ucapan kamu yang bilang, 'Kalau kita sama-sama, kita bakal jadi lebih kuat'.”
Lagi, pemuda itu tersenyum lalu mengecup pelan puncak kepala istrinya. Satu tangannya yang merangkul bahu Kila, mengusap lembut lengan gadis itu. Kemudian Awan berucap dengan suara pelan,
“Kalau gitu, ayo kita sama-sama kuat. Kita hadapi ini bersama, mulai kehidupan baru kita dengan versi yang lebih baik lagi. Setuju?”
“Setuju!”
Awan senang, Kilanya sudah kembali tersenyum seperti sedia kala.