awesomeyoit

Lokasi yang diberikan Miranda rupanya menuju pada sebuah bangunan tua bekas pabrik yang kelihatan sudah tidak dipakai lagi. Jarak menuju ke tempat itu hanya memakan waktu kurang lebih 45 menit dari kantornya.

Biru memarkirkan mobilnya tak jauh dari bangunan tersebut. Daerah sekitar sini sepi, kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk maka sudah pasti akan sangat sulit meminta pertolongan. Beruntung, ia sudah mengirim pesan pada Raje untuk datang kemari satu jam kemudian. Berjaga-jaga jika hal buruk itu betulan terjadi.

Sepatu yang dikenakannya tak sengaja menginjak genangan air begitu keluar dari mobil. Angin yang bertiup di sela dedaunan pohon di sekitarnya entah kenapa membuat Biru merinding, suasana sepi di area ini benar-benar menciptakan tampilan yang horor meski sekarang baru memasuki jam 12 siang.

Mengabaikan kesan horor tempat ini, Biru berjalan mantap memasuki bangunan tua tersebut dan langsung disambut oleh aroma yang familiar dari dalam sana. Suara pintu yang berderit saat dibuka membuat semua orang yang ada di tempat itu menoleh bersamaan ke arahnya, termasuk Sabrina yang terduduk di sebuah kursi dengan tubuh terikat.

“Sabrina...”

Saat melihat istrinya diperlakukan demikian, Biru refleks berlari mendekatinya. Namun saat tinggal beberapa meter saja jarak mereka, tubuh Biru langsung dicekal oleh dua orang laki-laki asing bertubuh cukup besar di kanan-kirinya. Biru mencoba berontak sebisanya, menendang angin dengan kakinya, serta mulut yang tak berhenti mengeluarkan sumpah serapah pada siapapun yang ada di sana.

“Santai sedikit, Sabiru. Lo baru datang, jangan langsung bikin rusuh.”

Pandangan Biru langsung tertuju pada sosok Miranda yang duduk santai bak seorang ratu di singgasananya, meskipun tempat ini lebih terlihat seperti penjara ketimbang kerajaan.

“Lo ... udah gue bilang lo bakal habis di tangan gue kalau sampai macam-macam sama Sabrina!” Biru berteriak murka meski tubuhnya masih dicekal hingga ia kesulitan bergerak.

Miranda tersenyum geli sebagai reaksi, “Oh ya? Emang lo bakal ngapain gue sih? Mau mukul gue sekarang? Mau ngehajar gue? Atau mau nuntut gue?”

“Bahkan lebih buruk dari itu, gue nggak segan buat bunuh lo dengan tangan gue sendiri sampai lo berani nyakitin Sabrina.”

“Oh, nyakitin Sabrina ya?” Seolah merasa tertantang, Miranda bangkit dari singgasananya dan berjalan pelan mendekati Sabrina. Saat posisinya sudah lebih dekat, tanpa aba-aba Miranda langsung menjambak rambut Sabrina dengan kasar hingga membuat si empunya meringis kesakitan. “Kayak gini maksud lo, Bi?”

“Brengsek, singkirin tangan sialan lo itu sekarang juga!”

Kulit kepala Sabrina rasanya seperti ingin lepas saking kuatnya Miranda menarik rambutnya. Jika saja tubuhnya tidak terikat begini, tanpa pikir panjang Sabrina akan balik menjambak rambut Miranda hingga rontok sekalian. Benci sekali rasanya melihat Miranda masih bisa tertawa seperti sekarang setelah apa yang ia lakukan.

“Kamu curang,” desis Sabrina pelan, nyaris seperti bisikan.

“Apa?” Suara lirih Sabrina membuat Miranda menoleh dengan kening berkerut, “Lo ngomong apa barusan?”

“Kamu curang,” ulang Sabrina lagi dengan suara yang lebih keras. “Tadi katanya kamu mau main sama saya kan? Kalau gitu ayo kita main, hanya kita berdua tanpa bawa-bawa orang lain apalagi Biru. Tapi sebelum itu, lepasin saya dulu.”

Entah apa yang lucu, Miranda justru tertawa mendengar kalimat Sabrina. Wanita itu melepaskan tangannya dari rambut Sabrina dan mulai berjongkok seraya berkata, “Gue emang mau main, tapi permainan nggak akan seru kalau nggak ada yang nonton kan?”

“Di sini udah ada Evan, juga 7 orang cowok asing yang kayaknya teman kamu dan Evan. Mereka cukup jadi penonton kan? Nggak usah bawa-bawa Biru.”

“Sabrina!” Biru kelihatan kesal sekali saat mendengar istrinya berkata demikian. Seolah mendapat kekuatan lebih, cekalan dua orang tadi bahkan sampai terlepas saat ia berontak. “Kamu nggak seharusnya bilang kayak gitu di situasi sekarang!”

Miranda memberikan kode pada dua orang tadi untuk mundur dan membiarkan Biru lepas.Toh, Biru juga tidak akan mampu menyakitinya selagi ada Evan di dekatnya yang sigap melindungi. Kedua pria tadi langsung mengerti dan memilih untuk menepi.

Ucapan Biru barusan tak dipedulikan oleh Sabrina. Wanita itu lanjut bicara tanpa menoleh pada sang suami, ia hanya fokus pada Miranda untuk saat ini. “Saya tau kamu mungkin kesal sama Biru, tapi kamu jelas menyimpan dendam sama saya kan? Di mata kamu, saya mungkin terlihat seperti wanita perusak hubungan yang tidak tau malu malah menikah dengan pacarmu. Padahal kamu sama Biru sudah sejak lama menjalin hubungan, sementara saya cuma orang baru yang mendadak hadir di tengah kalian.”

“Bagus ternyata lo sadar diri,” komentar Miranda.

“Tapi kamu sadar nggak, kalau rasa cinta di antara kamu dan Biru itu udah habis? Biru udah sadar sejak lama, tapi kelihatannya kamu nggak.” Sabrina mencondongkan sedikit wajahnya agar lebih dekat dengan Miranda. “Mir, yang kamu punya sekarang itu bukan cinta melainkan obsesi. Kamu nggak terima kalau sekarang Biru cintanya sama saya, bukan sama kamu lagi. Makanya kamu melakukan berbagai cara buat dapetin Biru lagi sampai melakukan hal konyol dengan pura-pura dihamili sama dia.”

“Lo nggak usah sok tau deh tentang gue!”

“Maaf kalau kesannya kasar. Tapi saya rasa, kamu itu sakit. Bukan fisik kamu, tapi mental kamu yang bermasalah. Saran saya, coba datang ke psikiater atau psikolog buat periksa.”

PLAK

“TUTUP MULUT LO, DASAR JALANG!”

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Sabrina. Rasanya sakit juga perih, tapi dari sana ia sadar bahwa sebesar itu pula amarah Miranda terhadapnya. Meskipun tidak secara langsung, tapi Sabrina sadar bahwa salah satu penyebab Miranda jadi seperti ini tidak lain adalah karena dirinya juga. Oleh karena itu ia tidak marah saat Miranda menamparnya, beda halnya dengan Biru yang langsung emosi.

“ANJING, BERANI-BERANINYA LO NAMPAR SABRINA!”

Biru sudah maju ingin menyerang balik Miranda, namun tubuh Evan justru menghalangi langkahnya. “Minggir, biar gue kasih pelajaran tuh cewek lo!”

“Gue nggak akan biarin lo nyentuh Miranda,” ucapan Evan membuat Miranda tersenyum dibalik punggungnya.

Biru makin kesal dibuatnya, “Terus menurut lo, gue bakal terima aja saat cewek lo nyentuh istri gue?”

“Kalau lo mau nyelametin istri lo, lawan dulu sana teman-teman gue.”

Setelahnya, Evan memberikan kode pada 7 orang laki-laki yang sejak tadi berdiri tanpa bicara itu. Salah satunya bahkan tanpa aba-aba langsung menyerang perut Biru hingga membuatnya meringis kesakitan. Seolah tidak ingin memberi Biru waktu bahkan untuk sekedar berdiri dengan benar, salah satu dari pria-pria tadi lanjut memukul wajah Biru hingga ia dapat merasakan darahnya sendiri di dalam mulut.

Biru sudah lama sekali tidak berkelahi, mungkin terakhir kali itu waktu zaman kuliah ketika ia menyerang 2 orang preman yang mencegatnya di jalan karena hendak merampoknya. Karena jumlahnya hanya 2 orang, Biru bisa mengatasinya seorang diri. Namun sekarang keadaannya jelas berbeda, mau sebugar apapun kondisinya saat ini kalau yang dilawan 7 orang sekaligus ya Biru kewalahan juga. Terlebih orang-orang yang menyerangnya sekarang ketara sekali berpengalaman untuk hal-hal seperti ini.

Maka setelah kurang lebih dua puluh menit pertarungan yang lebih pantas disebut penyerangan, Biru akhirnya menyerah. Tubuhnya merosot ke lantai dengan kondisi yang memprihatinkan. Tubuhnya terasa sakit setelah dipukul di sana-sini, rambutnya yang semula tertata rapi kali ini tampak awut-awutan, dasi di lehernya sampai melonggar, dan kemeja putih yang ia kenakan kini tampak lusuh juga kotor oleh darahnya sendiri. Aroma itu, Biru bisa menciumnya dengan jelas dari posisinya sekarang.

“Kenapa diam? Serang balik dong merekanya, kenapa menyerah sekarang? Emangnya nggak mau nyelametin Sabrina?” kalimat Miranda sekilas seperti sedang menyemangati Biru, meski pada kenyataannya Miranda hanya ingin memanas-manasi pria itu saja.

Biru mengepalkan kedua tangan yang menahan tubuhnya di lantai, matanya yang lebam setelah kena pukul agak menyipit memandang ke arah Miranda. Demi Tuhan, apapun yang terjadi Biru tidak akan membiarkan wanita itu lolos setelah apa yang dia perbuat padanya juga Sabrina. Biru pastikan Miranda akan mendapatkan hukuman yang setimpal.

Sabrina yang sejak tadi hanya bisa menonton Biru dipukul oleh preman-preman itu pada akhirnya kembali buka suara, tidak tega rasanya melihat kondisi Biru saat ini. Ia bahkan berusaha keras untuk tidak menangis karena enggan menunjukkan air matanya di depan Miranda.

“Udah cukup, Miranda. Sekarang bilang apa mau kamu sampai nekat nyulik saya begini?”

“Ah iya, gue hampir lupa.” Miranda tersenyum misterius pada Sabrina sebelum kemudian berjalan mendekati Biru dan ikut berjongkok di hadapan pria itu. “Gue mau lo tanda tangani ini.”

“Apa itu?” Biru tidak mau repot membuka map tersebut, bahkan melirik saja tidak.

“Oh, ini. Cuma surat perjanjian kok.” Lagi, Miranda tersenyum misterius. Ia membuka map tersebut hingga menampilkan sebuah kertas yang berisi 3 poin perjanjian di hadapan Biru. “Poin pertama, lo berjanji untuk mencabut tuntutan lo sebelumnya. Poin kedua, lo dilarang melaporkan kejadian hari ini pada pihak kepolisian apalagi nambah tuntutan lo di pengadilan. Poin ketiga, gue minta lo buat ngirim gue dan Evan ke Aussie. Waktu itu lo emang berencana buat ngirim gue ke sana kan? Lo bahkan udah beliin unit apartemen buat gue. Jadi mari kita realisasikan itu, gue bersedia kok buat tinggal di sana. Di poin ketiga ini juga lo harus ngirim uang 300 juta ke gue secara rutin setiap bulannya. Gimana, lo setuju?”

“Kenapa gue harus ngelakuin itu?”

“Terus menurut lo, mati di tempat ini terdengar lebih baik? Sabiru, lo pikir lo dan Sabrina bisa keluar dari sini dengan selamat kalau nggak nurut apa kata gue? Kalau lo bersedia menandatangani perjanjian ini, gue bakal biarin lo dan Sabrina pergi sekarang juga.”

Sabrina yang masih bisa mendengar ucapan Miranda di kursinya langsung refleks tertawa geli, “Kamu mau membodohi Biru lagi ya? Dengan Biru bersedia menandatangani perjanjian konyol itu juga kamu nggak akan biarin kami keluar dengan selamat dari tempat ini.”

“Lo tuh cantik-cantik berisik juga ya? Apa perlu gue cium biar diam?” Evan yang berjaga di samping wanita itu turut berkomentar, tapi Sabrina tidak tampak peduli. Ia tidak takut pada Evan ataupun semua orang yang ada di sini.

“Jangan pernah tanda tangani perjanjian itu, Sabiru. Dia cuma mau menjebak kita.”

“DIAM, SIALAN!”

PLAK

Kali ini, gantian Evan yang menampar pipi Sabrina. Karena yang melakukannya barusan adalah seorang laki-laki, tak heran jika tenaganya jauh lebih kuat daripada Miranda. Sabrina bahkan bisa merasakan kepalanya mulai pusing setelah Evan menamparnya dengan kasar.

“JANGAN SENTUH ISTRI GUE, BANGSAT!” seru Biru penuh emosi. Ia bahkan mengabaikan perihnya sudut bibirnya yang terluka saat bicara, rasa sakit hatinya saat tangan kotor Evan menampar wajah sang istri lebih terasa ketimbang rasa sakit di bibirnya saat ini.

Melihat reaksi Biru yang begitu murka sampai memaksakan diri untuk bangun meski tubuhnya sakit, membuat Miranda tersenyum lebar. Ia dengan sengaja menendang kaki Biru yang kemudian membuat pria itu kembali berlutut di atas lantai, ambruk tanpa perlawanan. Tubuh Biru yang penuh luka sudah mulai melemah, bahkan untuk melihat saja rasanya sulit karena matanya membengkak dan penuh lebam.

“Nggak perlu buang-buang tenaga lo buat teriak apalagi nyerang balik Evan, karena itu percuma. Mending lo tanda tangani perjanjian ini sekarang supaya cepat kelar urusan kita.”

“Gue nggak akan pernah menandatangani itu.”

“Bahkan setelah ngeliat Sabrina terluka?”

Miranda menoleh pada Evan, memberikannya kode lewat tatapan mata setelah melihat ekspresi bingung Biru. Evan mengeluarkan sebuah pisau lipat dari sakunya tanpa pikir panjang.

“Lo mau gue ngelakuinnya di sebelah mana?” tanya Evan pada Miranda.

“Di manapun lo mau, sesuka hati lo.”

“MIRANDA, LO UDAH GILA?!” Biru berteriak saking kesalnya, kesabarannya sudah benar-benar habis sekarang.

“Ya, gue emang udah gila. Istri lo aja nyaranin gue buat datang ke psikolog atau psikiater kan tadi?”

“Kenapa lo harus berubah jadi kayak gini sih? Gue nyaris nggak ngenalin lo lagi, Mir.”

“Harusnya lo sadar kenapa gue bisa jadi kayak sekarang. Semua itu karena lo, Sabiru.”

“Mir, lo dengar suara sirine polisi nggak sih?” Salah satu preman yang berdiri di dekat mereka angkat bicara, membuat Miranda terdiam sejenak untuk membuktikan ucapan temannya itu.

Benar saja, suara sirine polisi terdengar di kejauhan. Jalanan menuju ke tempat ini cukup sepi, nyaris tak ada kendaraan lain yang berlalu-lalang. Maka wajar saja jika suara sirine itu jadi terdengar jelas meski mungkin jaraknya masih agak jauh.

“Sialan, lo manggil polisi kemari?”Tak mampu berbohong, Miranda mulai panik.

Biru melirik arloji di pergelangan tangannya, bagian kacanya tampak pecah meski jamnya masih berfungsi dengan baik. “Dasar nggak sabaran, ini bahkan belum ada sejam,” ucapnya kemudian, lebih kepada dirinya sendiri.

“Miranda, udahlah mending kita pergi aja. Gue nggak mau ngambil risiko dengan ketangkep polisi,” satu lagi dari 7 orang pria asing tadi ikut bicara, wajah-wajah panik di antara mereka entah kenapa membuat Biru sedikit terhibur.

“Arghh, bangsat! Kalian pergi duluan aja sana, nanti biar gue sama Evan nyusul.”

Setelah mendengar perintah dari bosnya, ketujuh orang tadi langsung pergi dari tempat itu dan hanya menyisakan Biru, Sabrina, Evan, dan Miranda yang masih bertahan.

“Gue nggak punya banyak waktu, cepat tanda tangani ini!”

Miranda agak terdesak, wajah paniknya tampak begitu jelas. Membuat Biru terkekeh geli saat melihatnya, “Kenapa? Panik ya?”

“Ck, dia malah bercanda.” Komentar Sabrina dari tempatnya.

Evan yang melihat itu langsung berjalan mendekati mereka dan menarik Miranda agar segera berdiri, “Percuma, udah gue bilang dia nggak akan mau. Mending sekarang kita pergi aja. Masih ada cukup waktu buat ke bandara dan pergi dari negara ini sebelum semuanya terlambat, Miranda.”

Suara sirine polisi yang makin terdengar jelas juga ditambah desakan dari Evan membuat Miranda makin terpojok. Kesal sekali rasanya saat melihat Biru tersenyum mengejek dengan wajah jeleknya itu.

“Ayo, Miranda. Lo mau ketangkep polisi?!” Evan panik, Miranda jadi ikutan panik. Pada akhirnya wanita itu ikut berlari meninggalkan tempat ini setelah diseret paksa oleh Evan.

Namum tepat saat mereka sudah berada di ambang pintu, Miranda berhenti dan berbalik badan. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan mengangkatnya ke udara.

“Hei, kalian! Sebelum gue pergi, gue mau ngasi kalian berdua permainan nih. Namanya permainan bertahan hidup. Kira-kira, apa kalian berdua bakalan selamat keluar dari tempat ini?”

“Ah, sial. Sabiru, cepat kemari dan lepasin ikatan aku dulu. Jangan bengong aja!”

Biru yang semula fokus pada Miranda kembali tersadarkan, ia buru-buru menghampiri Sabrina dan melepaskan ikatannya meski harus bersusah payah.

Sementara itu di ambang pintu, Miranda tampak tersenyum jahat dan mulai menyalakan lighter api di tangannya. Lalu tanpa rasa bersalah, ia melemparkan lighter tersebut ke tengah ruangan. Maka hanya dalam hitungan detik saja, kobaran api langsung menyambar dan memenuhi bangunan tersebut. Biru yang melihat kejadian itu tepat di depan matanya langsung shock hingga terduduk di lantai. Aroma itu, aroma familiar yang Biru cium saat memasuki tempat ini adalah aroma minyak gas.

“Lantai sama dinding bangunan ini sudah disiram minyak gas sebelum kamu datang,” ucap Sabrina yang bikin Biru langsung melotot kaget.

“Kamu tau? Kenapa nggak bilang dari tadi?!”

“Selamat bersenang-senang, kalian berdua!” Miranda berseru di luar sana, melambaikan tangannya dengan senyum lebar sebelum kemudian mengunci pintunya dari luar.

“Dia sengaja banget nyiram minyak gasnya di depan pintu biar kita sulit buat keluar,” ucap Sabrina lagi, tali yang semula mengikat tubuhnya kini sudah terlepas seluruhnya. Tubuhnya terasa sakit juga kaku, tapi ia abaikan. Bukan saatnya memikirkan kondisi tubuhnya, karena fokus utamanya sekarang adalah bagaimana caranya mereka bisa keluar dari tempat ini dengan selamat.

Biru mulai terbatuk oleh asap tebal yang dihasilkan api tersebut. Bangunan ini sudah cukup tua, bukan hal sulit bagi api menelan tempat ini hingga jadi abu.

“Kamu tau jalan keluarnya?” tanya Biru sambil menutup hidung juga mulutnya dengan lengan.

“Udah aku pikirkan,” balas sang istri sambil terbatuk di akhir kalimatnya.

Bangunan ini begitu tertutup, ventilasi pun nyaris tak ada yang kemudian menyebabkan asap banyak mengumpul di dalam bangunan dan mengurung mereka berdua. Jika tidak segera keluar, pandangan mereka pun akan segera tertutup oleh tebalnya asap.

Beruntung saat disekap di sana dan mengetahui rencana Miranda untuk membakar tempat ini, Sabrina sudah menyusun strategi untuk kabur jika hal buruk itu betulan terjadi. Oleh karenanya ia mengambil sebuah kayu yang tergeletak asal di lantai, lalu menaruh kursi di pojok dinding yang belum sempat terlalap api. Biru berusaha membaca situasi, dan saat Sabrina naik ke kursi tersebut dan mengangkat kayunya, Biru buru-buru mencegah.

“Jangan, biar aku aja,” katanya.

Pria itu berusaha berjalan meski tertatih sambil memegangi perut, keningnya yang berkerut sebab menahan sakit membuat Sabrina jadi tak tega.

“Nggak, yang ini biar aku aja. Kamu tunggu di sana.”

“Kalau kamu nekat mecahin kaca jendelanya, nanti kamu bisa terluka!”

“Tetap aja lukanya nggak sebanding sama luka punya kamu, Sabiru!”

“Tapi, Sab—–”

PRANG

Terlambat sudah, Sabrina betulan memecahkan kaca jendela tersebut dengan bantuan kayu di tangannya. Tidak cukup sekali pukulan, Sabrina memukulnya berulang kali hingga memberikan ruang yang cukup untuk mereka keluar dari tempat ini.

Sabrina membuang kayu tersebut ke lantai seraya menutup hidung dan mulutnya dengan tangan. Dadanya mulai terasa sesak saking banyaknya asap yang masuk ke paru-paru, ia terbatuk berulang kali, matanya pun tampak memerah dan kepalanya agak pusing. Biru yang menyadari hal itu langsung mendekat untuk mengecek kondisi sang istri.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Biru khawatir.

Sabrina menggeleng pelan. “Nggak apa-apa kok, mending kamu khawatirin aja kondisi kamu sekarang. Liat tuh, muka kamu jadi jelek banget gitu.”

“Nggak apa-apa, nanti kalau udah diobatin balik ganteng lagi kok.”

“Di situasi kayak gini pede kamu tetap nggak ilang ya?”

Biru tertawa menanggapinya. Meski kemudian menyesal karena tawa itu membuat perutnya terasa sakit, begitu juga dengan sudut bibirnya.

“Kamu tadi betulan bawa polisi ke sini?” tanya Sabrina sambil ancang-ancang naik ke jendela dengan bantuan kursi tersebut, Biru membantunya dengan cara menahan kursi itu agar tidak jatuh dan Sabrina bisa keluar tanpa kesulitan.

“Iya tadi aku minta tolong sama Raje.”

“Mas Raje?”

“He'em, tapi aku nggak kepikiran buat minta bawain pemadam kebakaran juga. Tau gitu sekalian aja tadi.”

“Yaa, mana kita tau juga kalau Miranda bakal senekat ini buat bakar kita hidup-hidup.”

“Hati-hati, Sabby.”

“Akh!”

Baru juga diperingatkan Biru, lengan Sabrina malah tergores pecahan kaca yang masih menempel di sela kayu jendela saat ia turun untuk keluar. Biru buru-buru melongokkan kepalanya ke bawah dan mendapati sang istri terduduk di tanah sambil memegangi bagian lengannya yang terluka.

“Lukanya parah?”

“Nggak terlalu. Buruan turun, jangan kelamaan di situ!”

Tanpa membuang waktu lagi, Biru langsung mendarat ke tanah tanpa kesulitan ataupun tambahan goresan luka di lengannya seperti Sabrina.

“Baju kamu sampai robek begitu, lukanya pasti dalam.” Biru memandangi lengan Sabrina dengan wajah khawatir.

“Aku nggak apa-apa kok.”

Tanpa diminta Biru langsung melepaskan dasi miliknya agar bisa digunakan untuk melilit lengan Sabrina yang terluka, sekaligus menghentikan aliran darahnya yang terus keluar.

“Harusnya kamu hati-hati,” kata Biru setelah luka Sabrina berhasil tertutup.

“Udah dibilang aku nggak apa-apa, cuma luka segini masih parahan luka kamu kali.”

Biru mengangguk mengerti, “Yaudah yuk, polisi udah di depan kayaknya.”

Sabrina membantu Biru untuk berdiri dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir. “Setelah ini kita bakalan sibuk berurusan sama polisi.”

“Aku nggak akan biarin Miranda sama Evan lolos, mereka harus dihukum seberat mungkin. Walau bagaimana pun juga, ini udah masuk percobaan pembunuhan!”

“Kalau gitu kita nggak boleh biarin mereka sampai kabur ke luar negeri.”

“Sabrina? Biru?”

Sosok pria tinggi dengan kemeja hitam itu berhenti dengan jarak beberapa meter di depan mereka. Biru mengangkat sedikit tangannya sebagai bentuk sapaan, sementara Sabrina tersenyum ke arah Raje yang menatapnya khawatir.

“Tapi sebelum itu, kita obatin dulu luka kamu.”

Beryl mendaratkan bibirnya lebih dulu pada Genta, dan pemuda itu menyambut ciumannya dengan gerak cepat. Seolah tidak memberikan kesempatan bagi sang istri untuk berubah pikiran dan melepas lumatan bibir mereka.

Seperti biasa, selagi dirinya melumat habis bibir sang istri, tangan Genta tidak mau tinggal diam. Tangan itu sibuk bergerilya menyentuh tubuh Beryl, entah di manapun bagian yang bisa ia sentuh. Kali ini paha Beryl yang terbuka adalah sasarannya. Genta tersenyum senang karena membelikan gadis itu sebuah dress dengan belahan panjang di bagian paha, niat awalnya memang agar memudahkan gadis itu saat berjalan. Namun niat terselubungnya adalah agar bagian tersebut bisa dengan mudah ia sentuh jika ada kesempatan, seperti saat ini.

Beryl melenguh di sela ciuman mereka saat tangan Genta mengusap paha dalamnya dengan gerakan lembut. Kebetulan Beryl juga tidak menggunakan lapisan celana lagi di balik dress tersebut selain celana dalamnya, dan hal itu tentunya membuat si pemuda tersenyum senang.

Merasa bahwa napas istrinya hampir habis, Genta melepas tautan bibir mereka dan beralih untuk menciumi leher sang istri. Tidak, bukan hanya mencium. Namun juga menghisapnya dengan kuat hingga meninggalkan bekas. Beryl sudah akan protes sebenarnya, namun protesannya tertahan oleh desahan saat tangan Genta menyentuh miliknya di bawah sana.

Sial, Genta paling tau cara membuat Beryl menjadi tidak berdaya seperti ini.

Puas dengan bagian leher, bibir Genta kemudian berpindah pada telinga si gadis. Ia memberikan kecupan lembut di sana, menggigit daun telinga itu karena gemas, dan menghembuskan napas hangatnya dengan sengaja. Tindakannya barusan membuat Beryl meremas bahu kemeja Genta tanpa sadar, gadis itu sampai harus menggigit bibir bawahnya sendiri agar tidak kelepasan mendesah lagi. Sebab telinga adalah salah satu bagian sensitif di tubuhnya, Beryl seketika merinding saat suaminya kembali menghembuskan napas hangat itu di sana.

“Aku lagi kepengen, Bey. Boleh ya?” bisik Genta di telinga Beryl. Suaranya terdengar parau, dan kejantanannya yang ditekan oleh pantat Beryl terasa semakin keras.

Beryl bisa merasakan itu, dan ia bisa melihat adanya kabut gairah di mata Genta saat mata mereka bertemu. Awalnya ia ingin sekali menolak, sebab beberapa jam lagi mereka ada acara dinner dan Genta bilang dia tidak ingin sampai datang terlambat. Namun jika sekarang mereka melakukan 'itu', Beryl tidak yakin akan selesai dalam waktu singkat.

Namun, bagaimana caranya ia bisa menolak di saat jemari Genta mengusap kewanitaannya dari luar celana dalamnya. Beryl kesulitan berpikir jernih, isi kepalanya mendadak kotor. Ia hanya menatap Genta dengan tatapan sayu, sementara pemuda itu kembali menyerang bibirnya dengan terburu. Kali ini lebih kasar dan menuntut dari yang sebelumnya, Genta seolah tidak menunggu persetujuan dari Beryl untuk melakukannya.

Pemuda itu menggigit bibir bawah sang istri secara tiba-tiba. Beryl yang terkejut kontan membuka mulut, dan hal tersebut dimanfaatkan Genta untuk mengeksplor rongga mulut sang istri. Lidahnya bertemu dengan milik Beryl, saling bergulat dan membelit di dalam sana, tak lupa mengabsen satu persatu deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

Ciuman itu membuat Beryl kewalahan, ia melepaskan tautan bibir mereka lebih dulu untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sementara itu bibir Genta berpindah ke tempat lain, kali ini bahu telanjang Beryl yang jadi sasarannya. Satu tangannya yang semula melingkar di pinggang sang gadis kini beralih untuk menurunkan resleting dress di bagian punggung. Karena memang dress-nya masih baru, resletingnya bisa dengan mudah diturunkan, dan dress itu seketika merosot turun hingga ke perut Beryl.

Semula gadis itu tidak sadar atas apa yang dilakukan Genta, sebab terlalu pusing oleh sensasi ciuman pemuda itu di bahu dan telinganya, juga usapan lembutnya di bawah sana. Sampai kemudian bunyi 'ctak' dari kaitan bra tanpa lengannya yang terlepas, membuat Beryl seketika menahan lengan Genta.

“Jangan sekarang, kita ada dinner abis ini.”

Genta menatapnya dengan wajah memelas, “Aku maunya sekarang, Bey. Udah nggak tahan lagi.”

“Tapi—–”

Please, kamu nggak kasihan sama dia?” Genta menuntun tangan Beryl ke arah kejantanannya yang makin mengeras, seolah berteriak minta dibebaskan sesegera mungkin. “Sesak, Bey.”

Beryl menggigit kulit pipi bagian dalamnya, ia jelas bisa merasakan betapa 'siap'nya Genta sekarang. Ditambah lagi wajah melasnya bikin Beryl jadi tidak tega. Selama ini Genta sudah cukup lama menahan diri, jadi Beryl pikir tidak ada salahnya jika mereka berdua melakukan hal itu sekarang.

Akhirnya, Beryl memberikan anggukan pertanda izin pada pemuda itu. Genta kelihatan senang sekali, ekspresi wajahnya bercampur lega. Pemuda itu kembali menyerang bibir Beryl yang mulai membengkak akibat ciuman panas mereka sebelumnya, tapi Genta tidak peduli. Setan-setan di kepalanya sedang bersorak -sorai di dalam sana, membuat Genta seketika tuli bahkan saat Beryl memintanya untuk tidak kasar sebelum bibir si gadis ia bungkam dengan ciuman panas untuk yang kesekian kali.

Genta kalau sudah mode 'serang' begini cukup sulit untuk dikendalikan, alhasil Beryl sendiri yang kewalahan mengimbanginya. Merasa kalau posisinya mulai tidak nyaman, Genta mengangkat tubuh sang istri untuk dibaringkan di atas ranjang. Dress hitam Beryl sudah lenyap entah sejak kapan, bahan dress-nya yang licin memang mudah sekali untuk dilepaskan. Sekarang, gadis itu hanya mengenakan celana dalam sementara Genta masih berpakaian lengkap.

Ciuman mereka masih terus berlanjut bahkan saat satu tangan Genta sibuk membuka kancing kemejanya. Agak kesulitan memang, sebab satu tangannya yang lain ia gunakan untuk menyangga tubuh agar tidak sampai menindih Beryl di bawahnya.

Mengerti akan kesulitan suaminya, Beryl berinisiatif sendiri membantu melepaskan kancing kemeja itu. Begitupula dengan dasi yang melingkar longgar di leher Genta.

“Ahh...” desahan Beryl kembali lolos saat Genta memasukkan putingnya ke dalam mulut, menyusu layaknya seorang bayi yang kehausan. Satu tangannya yang bebas Genta gunakan untuk memainkan puting yang satunya dengan gemas.

Mulut hangat Genta yang dipadukan dengan remasan kuat pada payudaranya yang lain menciptakan sensasi yang memabukkan, membuat Beryl seketika kehilangan kendali tubuhnya sendiri. Tangannya bahkan bergerak sendiri tanpa diperintah untuk menekan kepala Genta di dadanya, seolah meminta pemuda itu untuk menghisapnya lebih kuat lagi dan membuat celana dalamnya semakin basah di bawah sana.

“Genh, jangan digigithh...”

Bibirnya boleh saja berkata begitu, namun tangannya masih saja menekan kepala Genta ke dada bahkan ketika mulut sang suami berpindah untuk mengulum puting yang satunya. Rasa sakit bercampur nikmat yang candu membuat perut Beryl seperti digelitik, ia kembali mendesah entah untuk yang keberapa kali.

Beryl sempat berjengit kaget saat tangan Genta diam-diam menelusup masuk ke balik celana dalamnya. Pemuda itu tersenyum di sela kegiatan menyusunya pada Beryl, senang rasanya melihat gadis itu 'basah' karena perbuatannya.

Semakin basah kewanitaan itu, semakin sensitif pula dia pada sentuhan. Bahkan meskipun baru sentuhan kecil, tetap tak gagal membuat si empunya mendesah kenikmatan. Genta melepas lumatannya pada puting merah Beryl untuk melihat ekspresi wajah gadis itu saat miliknya Genta sentuh. Tidak hanya menyentuh permukaannya, tapi ia mulai memasukkan satu jarinya di dalam sana dan membuat gerakan maju mundur dengan teratur.

Seperti yang bisa diduga, Beryl luar biasa seksi di saat-saat seperti ini. Wajahnya memerah dengan keringat di keningnya, suhu tubuhnya panas, tatapan matanya sayu, dengan bibir setengah terbuka. Tatapan mereka bertemu, dan Genta bisa langsung tau betapa menikmatinya gadis itu sekarang dengan jarinya di dalam sana.

“Kamu suka, hm?” goda Genta dengan senyum evilnya.

Jari pemuda itu panjang dan berukuran cukup besar, bagaimana mungkin Beryl bisa tidak suka?

Alhasil, gadis itu mengangguk tanpa rasa malu.

Genta tersenyum senang, kemudian bantu melepaskan celana dalam milik Beryl yang mulai dirasa mengganggu, lalu melemparnya ke sembarang arah. Kini gadis itu sudah tidak memakai sehelai benangpun.

“Buka kaki kamu.”

Beryl menurut, ia membuka kedua kakinya lebar-lebar sesuai permintaan Genta. Pemuda itu kembali menambah jumlah jarinya di dalam sana, rasanya jadi makin sempit. Jika dua jarinya saja sudah sesempit ini, bagaimana dengan kejantanannya? Genta sudah tidak sabar ingin mencobanya.

“Gen, aku ... mau keluar.”

Paham akan maksud istrinya, Genta mengangguk singkat seraya mempercepat gerak jarinya di kewanitaan Beryl. Milik gadis itu sudah mulai berkedut, dan jari Genta seperti sedang diremas kuat oleh dinding vaginanya. Beryl meremas sprei di sisi kepalanya saat orgasme pertamanya berhasil keluar, ia tersenyum puas.

“Kali ini biarin aku masuk ya?” pinta Genta, wajahnya berada tepat di atas Beryl dengan posisi setengah menindih tubuh si gadis.

Beryl yang masih agak lelah setelah pelepasannya tadi menjawab dengan suara super pelan, “Jam berapa sekarang?”

“Nggak tau, aku nggak peduli.”

“Terus dinner-nya?”

“Aku nggak peduli, Berrylia. Dinner itu nggak penting, aku bisa batalin itu kapan aja. Tapi nggak dengan kegiatan kita sekarang.”

Beryl terkekeh geli seraya menepuk pelan pipi Genta dengan jarinya, “Dasar mesum nggak sabaran.”

“Ayolah, aku udah menahan diri selama empat bulan ini. Aku nggak yakin masih bisa menahan diri lebih lama lagi.” Genta mulai merengek, frustasi juga dia.

“Kasian, dia pasti udah bosan di dalam sana.”

Entah dapat keberanian dari mana, tau-tau tangan Beryl sudah mendarat pada milik Genta yang menonjol dari balik celana kerjanya. Ia meremasnya kuat-kuat, membuat napas Genta seketika tercekat dan mencengkram sprei di sisi kepala Beryl tanpa sadar.

Napas Genta mulai memburu, gairah di tubuhnya tak lagi bisa dibendung. Matanya berkabut gairah dan kejantanannya makin keras di tangan Beryl.

“Jangan mempermainkan aku, Bey.” Genta menjatuhkan kepalanya di antara ceruk leher gadis itu saat tangan nakal Beryl makin meremas miliknya di bawah sana.

Genta sudah lebih dari kata siap, si gadis kemudian tersenyum.

“Yaudah boleh, tapi jangan kasar. Aku masih harus berangkat kerja besok pagi, jangan bikin aku kesulitan berjalan.”

Ucapannya itu seketika membuat Genta mengangkat kepala, senang sekali dia mendengarnya.

“Aku janji!”

Lalu tanpa membuang banyak waktu, Genta segera melepas celana kerjanya begitu juga dengan celana dalam. Kini, terpampang lah miliknya yang sudah tegak berdiri dan siap untuk menyerang itu.

Beryl meneguk ludah, mulai khawatir dengan keputusannya sendiri. Melihat milik Genta sekarang bikin dia jadi ketar-ketir.

'Gimana kalau nggak muat?' Itu yang dia pikirkan saat ini. Rasa-rasanya miliknya tidak selebar itu untuk ukuran Genta yang sebesar itu.

Namun belum sempat ia berubah pikiran, Genta sudah kembali mengurungnya di bawah. Satu kaki Beryl ditekuk agar memudahkan milik Genta untuk masuk, kejantanan pemuda itu sudah berada di bibir kewanitaannya.

Beryl kembali meneguk ludah, kedua tangannya berpegang pada bahu Genta yang kokoh. Tidak bohong, ia takut. Luar biasa takut.

“Genta,” cicitnya super pelan.

Pemuda itu menatapnya, “Hm?”

“Tolong pelan-pelan.”

Satu kecupan mendarat di keningnya, Genta tersenyum pada Beryl guna meyakinkan kalau gadis itu akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi ditakutkan.

“Percaya sama aku.”

Satu kalimat itu berhasil merilekskan tubuh Beryl yang semula tegang, senyum hangat Genta turut menjadi alasan. Sejak tadi pemuda itu terus saja tersenyum dengan tatapan intens ke arah sang istri, satu tangannya mengusap lembut puncak kepala Beryl, sementara yang satunya lagi mencoba mengarahkan miliknya untuk mulai masuk pada liang kewanitaan gadis itu.

“Tahan sedikit ya, ini bakalan sakit. Cakar aja badan aku buat ngelampiasin rasa sakitnya.”

Perkataan Genta bukan sekedar omong kosong, karena ternyata rasanya betulan sakit. Padahal baru bagian kepalanya saja yang masuk, itu bahkan belum ada setengah!

Genta tidak tega sebenarnya, ekspresi gadis itu betul-betul kesakitan. Kuku jari Beryl yang belum sempat dipotong menancap kuat pada bahu telanjang Genta. Rasanya sakit, tapi ia tau tidak lebih sakit dengan apa yang dirasakan gadis itu sekarang.

“Gen,” ringis Beryl nyaris menangis, Genta kembali mengecup keningnya penuh kasih sayang.

“Belum masuk setengahnya, Bey. Tahan sedikit lagi ya? Aku janji setelah ini kamu cuma bakal ngerasain enak.”

Mau tau rasanya? Sakit, itu sudah pasti. Badannya serasa dibelah dua,dan ada sesuatu yang robek di dalam sana. Beryl sudah ingin menjerit, namun bibirnya lebih dulu dibungkam oleh ciuman lembut dari Genta. Setetes air mata Beryl meluncur turun yang kemudian langsung Genta usap dengan ibu jari, bibir pemuda itu melumat milik Beryl untuk mengalihkan rasa sakitnya. Kuku jarinya bahkan semakin menancap di punggung Genta saat kejantanan pemuda itu berhasil masuk sepenuhnya ke dalam lubang kewanitaan Beryl.

Napas gadis itu memburu. Entah karena rasa sakit di selangkangannya, atau justru karena ciuman panasnya dengan Genta. Bisa jadi malah perpaduan dari keduanya.

Genta sengaja tidak langsung bergerak, ia ingin membuat Beryl terbiasa dulu dengan miliknya di dalam sana. Rasanya pasti asing dan penuh, juga sakit jika Genta memaksa untuk langsung menggerakkannya. Makanya Genta diam dulu untuk beberapa saat.

Setelah dirasa gadis itu sedikit lebih tenang, dan air matanya berhenti menetes, Genta menyudahi ciuman mereka. Dia memandang lekat pada wajah sang istri yang memerah setelah ciuman panas itu, sibuk mengisi paru-parunya dengan oksigen.

“Boleh aku gerakkin?” tanya Genta. Nada bicaranya lembut, sementara satu tangannya mengusap sisi wajah Beryl yang hangat.

Gadis itu mengangguk kemudian, “Ingat, jangan kasar.”

Genta bukanlah tipe laki-laki yang akan mengingkari janjinya, oleh karenanya ia mengangguk. Tubuh Beryl sudah lebih rileks dari sebelumnya, meskipun satu tangannya berpegang erat pada lengan Genta yang menyangga tubuhnya di atas kasur. Satu tangan yang lain Beryl gunakan untuk mencengkram sprei di sisi tubuhnya saat perlahan Genta mulai menggerakkan kejantanannya di bawah sana.

Aneh, perlahan rasa sakit yang menyiksa tadi kini mulai menghilang. Ia tidak lagi merasakan apapun selain rasa penuh juga nikmat pada bagian kewanitaannya. Beryl bahkan bisa dengan percaya diri meminta Genta untuk mempercepat gerakannya yang tentu saja langsung disanggupi pemuda itu.

Tadinya Beryl pikir milik Genta tidak akan muat di dalam miliknya yang sempit. Namun ia salah, kejantanan besar dan berurat yang tadi dilihatnya ternyata bisa masuk sepenuhnya di dalam sana. Meskipun rasanya begitu sesak, tapi Beryl menyukainya.

Fuck. Kamu sempit banget, Bey.” Genta kelepasan mengumpat disela hentakkannya pada kewanitaan sang istri.

Ternyata begini rasanya setelah miliknya berhasil masuk ke dalam sana, rasanya luar biasa nikmat dari yang sempat Genta bayangkan. Kejantanannya serasa dipijat kuat oleh dinding kewanitaan Beryl, dan rasa hangat di dalam sana membuat Genta pening akan sensasi gilanya. Sekarang Genta mengerti mengapa bercinta sering disebut sebagai surga dunia oleh kebanyakan orang, karena rasanya benar-benar luar biasa.

Bisa tidak sih dia melakukan kegiatan ini setiap hari dengan Beryl? Baru pertama kali saja Genta sudah terancam ketagihan.

“Genh...” sebuah desahan lolos dari bibir Beryl saat Genta memasukkan miliknya terlampau dalam, bahkan berhasil menyentuh G spot miliknya.

Beryl kembali merasakan geli, sensasi layaknya kupu-kupu berterbangan di perutnya kembali hadir. Oh, ini nikmat sekali. Beryl menyesal kenapa dia tidak melakukan hal ini lebih awal dengan Genta.

AC di kamar itu seolah tak berfungsi lagi, tubuh keduanya sudah banjir oleh keringat. Suara decitan ranjang seolah jadi backsound kegiatan mereka sore itu, dan pakaian yang berceceran di lantai seolah jadi hiasan yang menambah kesan panas suasana hari ini. Bahkan dress seharga puluhan juta yang tadi dikenakan Beryl teronggok tak berdaya di lantai kamar, acara dinner yang semula ingin dihadiri pun otomatis terlupakan begitu saja.

Desahan keduanya beradu, diikuti oleh keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Hentakkan pinggul Genta semakin menggila, payudara sang gadis ikut terguncang karenanya, suara khas kulit yang beradu dengan kulit juga turut mendominasi suara di kamar itu. Ah, ini benar-benar gila. Genta bahkan tidak peduli jika suara desahan mereka sampai terdengar ke luar. Namun, semoga saja tidak.

“Gen, aku mau keluar,” ucap Beryl disela desahan seksinya itu.

Genta tersenyum, merunduk sejenak untuk mengecup kening sang istri dengan penuh kasih sayang. “Bareng, Bey.”

Setelahnya, Genta mempercepat kembali hentakkannya pada milik Beryl. Memastikan miliknya masuk sedalam-dalamnya ke lubang kewanitaan gadis itu.

Milik Beryl terasa semakin panas, dinding vaginanya turut mengetat, meremas kuat milik Genta di dalam sana. Pemuda itu menggigit pipi dalamnya dengan mata terpejam, menikmati sensasi memabukkan ini dan merekamnya dengan jelas di ingatan. Genta tidak akan pernah melupakan pengalaman pertamanya ini dengan istri tercintanya.

“Gen...” punggung Beryl melengkung, membuat dadanya naik hingga menyentuh dada Genta yang telanjang begitu pelepasannya keluar.

Tidak lama kemudian pemuda itu menyusul. Dia memeluk tubuh Beryl erat-erat, lalu memperdalam hentakkannya pada kewanitaan gadis itu untuk memastikan spermanya menyembur habis di dalam sana. Namun ternyata cairan miliknya terlampau banyak, saking banyaknya hingga meluber keluar di lubang kewanitaan Beryl.

Tubuh Genta ambruk ke ranjang, bersebelahan dengan Beryl yang masih sibuk mengatur napasnya dengan susah payah setelah permainan panas mereka. Pemuda itu tersenyum dan memeluk tubuh sang istri setelah sebelumnya mendaratkan satu kecupan di bibir.

I love you, Bey. Juga terima kasih buat semuanya.”

Beryl ikut tersenyum, menoleh pada Genta dan balas mencium bibirnya. “I love you too, Gen. Makasih juga buat semuanya, kamu luar biasa.”

Genta agak tersipu dipuji begitu. Oleh karenanya ia menutupi rasa malunya dengan melumat bibir Beryl sekali lagi, kali ini bukan sekedar kecupan karena lidahnya kembali bermain di rongga mulut gadis itu. Tindakannya tersebut terancam akan berlanjut ke ronde kedua seandainya saja Beryl tidak lebih dulu menghentikannya.

“Udah cukup buat hari ini, aku capek.”

Pemuda itu tertawa, sebab salah fokus dengan bibir istrinya. “Sejak kapan bibir kamu jadi sebesar ini, Bey?”

Ck, gara-gara kamu hisap terus jadi bengkak kan!”

“Siapa suruh kamu punya bibir candu banget.”

Beryl merotasikan bola matanya jengah. Ini sih jelas cuma alasan Genta saja, pemuda itu kan memang suka mesum kalau lagi sama dia. Beryl sudah paham di luar kepala. Gadis itu mendorong dada Genta agar menjauh. Namun pemuda itu terus saja menempelinya karena tidak rela untuk melepas. Pelukannya erat sekali, Beryl sampai sesak.

“Gen, sanaan ah. Badan kamu tuh berat, tau?”

“Masa sih? Perasaan aku ringan deh, kan masih bayi.”

Belum sempat Beryl memahami apa maksudnya, Genta sudah keburu mengulum putingnya sambil cengengesan. Tingkahnya barusan betulan mirip seperti bayi. Iya, bayi besarnya Beryl.

Gadis itu terkekeh geli sembari mengusap rambut halus Genta dengan penuh sayang, tindakannya itu membuat si pemuda tersenyum senang dan makin semangat menyusunya meski ia tau tidak akan ada apa-apa yang keluar dari sana. Genta tidak peduli, ia hanya terlanjur suka memainkan puting payudara Beryl dengan lidahnya. Menurutnya itu menyenangkan, ditambah lagi hal itu bisa membuat Beryl mendesah. Genta jadi makin suka, saking sukanya dia sampai gemas sendiri dan berujung menggigit puting di mulutnya itu hingga membuat si empunya menjerit tertahan.

“Jangan digigit aku bilang!” protes Beryl kesal sendiri.

Namun pemuda itu justru menatapnya dengan wajah memelas, “Bey, mau lagi ya?”

“Apanya?”

“Kamu.”

“Hah?”

Ck, lanjut ke ronde kedua maksud aku.”

Astaga, Genta ini apa tidak punya rasa lelah? Padahal belum ada lima belas menit sejak ronde pertama mereka selesai, sekarang dia malah minta lanjut ke ronde kedua. Beryl saja masih agak ngos-ngosan.

Namun meskipun begitu, tetap saja Beryl tidak tega untuk menolak. Gimana ya, masalahnya dia juga suka dengan permainan Genta. Mau ditolak ya dia juga yang rugi, lebih baik diiyakan saja.

Senang karena ajakannya diterima, Genta kembali mengurung Beryl di antara kedua lengannya yang menyangga tubuh. Pemuda itu merunduk untuk mengecup singkat kening sang istri seraya berkata, “Kali ini aku mainnya agak kasar boleh ya? Lagi bersemangat soalnya.”

Si gadis langsung mendelik tidak terima, “Ya jangan dong! Nanti kalau besok pagi aku nggak bisa jalan gimana?”

“Justru itu, aku bakal bikin kamu nggak bisa jalan dan terus menempel sama aku besok pagi.”

“Gentala!”

Si pemuda tertawa puas, lalu berujung membungkam kembali bibir Beryl dengan bibirnya sendiri. Si gadis kembali dibuat kewalahan oleh semangat Genta. Dijamin, besok pagi bibirnya pasti bakalan makin bengkak.

Kemudian ronde kedua itu pun dimulai, masih dengan Genta yang mendominasi permainan. Kali ini, ia jamin permainannya akan lebih panas dan kasar dari sebelumnya.

Beryl mendaratkan bibirnya lebih dulu pada Genta, dan pemuda itu menyambut ciumannya dengan gerak cepat. Seolah tidak memberikam kesempatan bagi sang istri untuk berubah pikiran dan melepas lumatan bibir mereka.

Seperti biasa, selagi bibirnya melumat habis bibir sang istri, tangan Genta tidak tinggal diam. Tangan itu sibuk bergerilya menyentuh tubuh Beryl, di manapun bagian yang bisa ia sentuh. Kali ini paha Beryl yang terbuka adalah sasarannya, Genta tersenyum senang karena membelikan gadis itu sebuah dress dengan belahan panjang di bagian paha, niat awalnya memang agar memudahkan gadis itu saat berjalan. Namun niat terselubungnya adalah agar bagian tersebut bisa dengan mudah ia sentuh jika ada kesempatan, seperti saat ini.

Beryl melenguh di sela ciuman mereka saat tangan Genta mengusap paha dalamnya dengan gerakan lembut. Kebetulan Beryl juga tidak menggunakan lapisan celana lagi di balik dress tersebut selain celana dalamnya, dan hal tersebut tentu saja membuat si pemuda tersenyum senang.

Merasa bahwa napas istrinya nyaris habis, Genta melepas tautan bibir mereka dan beralih untuk menciumi leher sang istri. Tidak, bukan hanya mencium. Namun juga menghisapnya dengan kuat hingga meninggalkan bekas. Beryl sudah akan protes sebenarnya, namun protesannya tertahan oleh desahan saat tangan Genta menyentuh miliknya di bawah sana.

Sial, Genta paling tau cara membuat Beryl menjadi tidak berdaya seperti ini.

Puas dengan bagian leher, bibir Genta kemudian berpindah pada telinga si gadis. Ia memberikan kecupan lembut, menggigit daun telinga itu karena gemas, dan menghembuskan napas hangatnya dengan sengaja di sana. Tindakannya barusan membuat Beryl meremas bahu kemeja Genta tanpa sadar, gadis itu sampai harus menggigit bibir bawahnya sendiri agar tidak kelepasan mendesah. Sebab telinga adalah salah satu bagian sensitif di tubuhnya, Beryl seketika merinding saat suaminya kembali menghembuskan napas hangat itu di sana.

“Aku lagi pengen, Bey. Boleh ya?” bisik Genta di telinga Beryl. Suaranya terdengar parau, dan kejantanannya yang ditekan oleh pantat Beryl terasa semakin keras.

Beryl bisa merasakan itu, dan ia bisa melihat adanya kabut gairah di mata Genta saat mata mereka bertemu. Sebenarnya Beryl ingin menolak, sebab beberapa jam lagi mereka ada acara dinner jam 7 malam. Genta bilang dia tidak ingin sampai datang terlambat. Namun jika sekarang mereka melakukan 'itu' sekarang, Beryl tidak yakin akan selesai dalam waktu singkat.

Namun, bagaimana caranya ia bisa menolak di saat jemari Genta mengusap kewanitaannya dari luar celana dalamnya yang mulai basah. Beryl kesulitan berpikir jernih, isi kepalanya mendadak kotor. Ia hanya menatap Genta dengan tatapan sayu, sementara pemuda itu kembali menyerang bibirnya. Kali ini lebih kasar dan menuntut dari yang sebelumnya, Genta seolah tidak menunggu persetujuan dari Beryl untuk melakukannya.

Pemuda itu menggigit bibir bawah sang istri secara tiba-tiba. Beryl yang terkejut kontan membuka mulut, dan hal tersebut dimanfaatkan Genta untuk mengeksplor rongga mulut sang istri. Lidahnya bertemu dengan milik Beryl, saling bergulat dan membelit di dalam sana, tak lupa mengabsen satu persatu deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

Ciuman itu membuat Beryl kewalahan, ia melepaskan tautan bibir mereka lebih dulu untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sementara itu bibir Genta berpindah ke tempat lain, kali ini bahu telanjang Beryl yang jadi sasarannya. Satu tangannya yang semula melingkar di pinggang sang gadis kini beralih untuk menurunkan resleting dress di bagian punggung. Karena memang dressnya masih baru, resletingnya bisa dengan mudah diturunkan, dan dress iru seketika merosot turun hingga ke perut Beryl.

Semula gadis itu tidak sadar atas apa yang dilakukan Genta, sebab terlalu pusing oleh sensasi ciuman pemuda itu di bahu dan telinganya, juga usapan lembutnya di selangkangannya. Sampai kemudian bunyi 'ctak' dari kaitan bra tanpa lengannya yang terlepas, membuat Beryl seketika menahan lengan sang suami.

“Jangan sekarang, kita ada dinner abis ini.”

Genta menatapnya dengan wajah memelas, “Aku maunya sekarang, Bey. Udah nggak tahan lagi.”

“Tapi—–”

“Please, kamu nggak kasihan sama dia?” Genta menuntun tangan Beryl ke arah kejantanannya yang makin mengeras, seolah berteriak minta dibebaskan sesegara mungkin. “Sesak, Bey.”

Beryl menggigit kulit pipi bagian dalamnya, ia jelas bisa merasakan betapa 'siap'nya Genta sekarang. Ditambah lagi wajah melasnya bikin Beryl jadi tidak tega. Selama ini Genta sudah cukup lama menahan diri, jadi Beryl pikir tidak ada salahnya jika mereka berdua melakukan hal itu sekarang.

Akhirnya Beryl memberikan anggukan sekaligus izin pada pemuda itu. Genta kelihatan senang sekali, ekspresi wajahnya bercampur lega. Pemuda itu kembali menyeramg bibir Beryl yang mulai membengkak akibat ciuman panas mereka sebelumnya, tapi Genta tidak peduli. Setan-setan di kepalanya sedang bersorak sorai di dalam sana, membuat Genta seketika tuli bahkan saat Beryl memintanya untuk tidak kasar sebelum bibir si gadis ia bungkam dengan ciuman panas untuk yang kesekian kali.

Genta kalau sudah mode 'serang' begini cukup sulit untuk dikendalikan, alhasil Beryl sendiri yang jadi kewalahan mengimbanginya. Merasa kalau posisinya mulai tidak nyaman, Genta mengangkat tubuh sang istri untuk dibaringkan di atas ranjang. Dress hitam Beryl sudah lenyap entah sejak kapan, bahan dressnya yang licin memang mudah sekali untuk dilepaskan. Sekarang, gadis itu hanya mengenakan celana dalam sementara Genta masih berpakaian lengkap.

Ciuman mereka masih terus berlanjut bahkan saat satu tangan Genta sibuk membuka kancing kemejanya. Agak kesulitan memang, sebab satu tangannya yang lain ia gunakan untuk menyangga tubuh agar tidak sampai mejindih Beryl di bawahnya.

Mengerti akan kesulitan suaminya, Beryl berinisiatif membantu melepaskan kancing kemeja itu. Begitupula dengan dasi yang melingkar longgar di lehernya.

“Ahh...” desahan Beryl lolos saat Genta memasukkan putingnya ke dalam mulut, menyusu layaknya seorang bayi yang kehausan. Satu tangannya yang bebas Genta gunakan untuk memainkan puting yang satunya dengan gemas.

Mulut hangat Genta yang dipadukan dengan remasan kuat pada payudaranya yang lain menciptakan sensasi yang memabukkan, seketika Beryl kehilangan kendali tubuhnya. Tangannya bergerak sendiri tanpa diperintah unruk menekan kepala Genta di payudaranya, seolah meminta pemuda itu untuk menghisapnya lebih kuat lagi dan membuat celana dalamnya semakin basah di dalam sana.

“Genh, jangan digigithh...”

Bibirnya boleh saja berkata begitu, namun nyatanya tangannya masih menekan kepala Genta di dadanya bahkan ketika mulut sang suami berpindah untuk mengulum puting yang satunya. Rasa sakit bercampur nikmat yang candu membuat perut Beryl seperti dikelitik, ia kembali mendesah entah untuk yang keberapa kali.

Beryl sempat berjengit kaget saat tangan Genta diam-diam menelusup masuk ke balik celana dalamnya. Pemuda itu tersenyum di sela kegiatan menyusunya pada Beryl, senang rasanya melihat gadis itu 'basah' karenanya.

Semakin basah kewanitaan itu, semakin sensitif pula dia pada sentuhan. Bahkan meskipun baru sentuhan kecil, tetap tak gagal membuat si empunya mendesah kenikmatan. Genta melepas lumatannya pada puting merah menantang milik Beryl untuk melihat ekspresi wajah gadis itu saat miliknya Genta sentuh. Tidak hanya menyentuh permukaannya, tapi ia mulai memasukkan satu jarinya di dalam sana dan membuat gerakan maju mundur dengan teratur.

Seperti yang bisa diduga, Beryl luar biasa seksi di saat-saat seperti ini. Wajahnya memerah dengan keringat di keningnya, suhu tubuhnya panas, tatapan matanya sayu, dengan bibir setengah terbuka. Tatapan mereka bertemu, dan Genta bisa langsung tau betapa menikmatinya gadis itu sekarang dengan jarinya di dalam sana.

“Kamu suka, hm?” goda Genta dengan senyum evilnya.

Jari pemuda itu panjang dan berykuran cukup besar, bagaimana mungkin Beryl bisa tidak suka?

Alhasil gadis itu mengangguk tanpa rasa malu.

Genta tersenyum senang, kemudian bantu melepaskan celana dalam milik Beryl yang mulai dirasa menganggu lalu melemparnya ke sembarang arah. Kini gadis itu sudah tidak memakai sehelai benangpun.

“Buka kaki kamu.”

Beryl menurut, ia membuka kedua kakinya lebar-lebar sesuai permintaan Genta. Pemuda itu kembali menambah jumlah jarinya di dalam sana, rasanya jadi makin sempit. Jika dua jarinya saja sudah sesempit ini, bagaimana dengan kejantannya? Genta sudah tidak sabar ingin mencobanya.

“Gen, aku ... mau keluar.”

Paham akan maksud istrinya, Genta mengangguk singkat seraya mempercepat gerak jarinya di kewanitaan Beryl. Milik gadis itu sudah mulai berkedut, dan jari Genta seperti sedang diremas kuat oleh dinding vaginanya. Beryl meremas sprei di sisi kepalanya saat orgasme pertamanya berhasil keluar, ia tersenyum puas.

“Kali ini biarin aku masuk ya?” pinta Genta, wajahnya berada tepat di atas Beryl dengan posisi setengah menindih tubuh si gadis.

Beryl yang masih agak lelah setelah pelepasannya tadi menjawab dengan suara super pelan, “Jam berapa sekarang?”

“Nggak tau, aku nggak peduli.”

“Terus dinner-nya?”

“Aku nggak peduli, Berrylia. Dinner itu nggak penting, aku bisa batalin itu kapan aja. Tapi nggak dengan kegiatan kita sekarang.”

Beryl terkekeh geli seraya menepuk pelan pipi Genta dengan jarinya, “Dasar mesum nggak sabaran.”

“Ayolah, aku udah menahan diri selama empat bulan ini. Aku nggak yakin masih bisa menahan lebih lama lagi” Genta mulai merengek, frustasi juga dia.

“Kasian dia, pasti udah bosan di dalam sana.”

Entah dapat keberanian dari mana, tau-tau tangan Beryl sudah mendarat pada milik Genta yang menonjol dari balik celana kerjanya. Ia meremasnya dengan kuat, membuat napas Genta seketika tercekat dan mencengkram sprei di sisi kepala Beryl tanpa sadar.

Napas Genta mulai memburu, gairah di tubuhnya tak lagi bisa dibendung. Matanya berkabut gairah dan kejantanannya makin keras di tangan Beryl.

“Jangan mempermainkan aku, Bey.” Genta menjatuhkan kepalanya di antara ceruk leher gadis itu saat tangan nakal Beryl meremas kuat miliknya di bawah sana.

Genta sudah lebih dari kata siap, si gadis kemudian tersenyum.

“Yaudah boleh, tapi jangan kasar. Aku masih harus berangkat kerja besok pagi, jangan bikin aku kesulitan berjalan.”

Ucapannya itu seketika membuat Genta mengangkat kepala, senang sekali dia mendengarnya.

“Aku janji!”

Lalu tanpa membuang banyak waktu, Genta segera melepas celana kerjanya begitujuga dengan celana dalam. Kini, terpampanglah miliknya yang sudah tegak berdiri dan siap untuk menyerang itu.

Beryl meneguk ludah, mulai khawatir dengan keputusannya sendiri. Melihat milik Genta sekarang bikin dia jadi ketar-ketir.

'Gimana kalau nggak muat?' Itu yang dia pikirkan saat ini. Rasa-rasanya miliknya tidak selebar itu untuk ukuran Genta yang sebesar itu.

Namun, belum sempat ia berubah pikiran Genta kembali mengurungnya di bawah. Satu kaki Beryl ditekuk agar memudahkan milik Genta untuk masuk, kejantanan pemuda itu sudah berada di bibir kewanitaannya.

Beryl kembali meneguk ludah, kedua tangannya berpegang pada bahu Genta yang kokoh. Tidak bohong, ia takut. Luar biasa takut.

“Genta,” cicitnya

Pemuda itu menatapnya, “Hm?”

“Tolong pelan-pelan.”

Satu kecupan mendarat di keningnya, Genta tersenyum pada Beryl guna meyakinkam kalau gadis iru akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi ditakutkan.

“Percaya sama aku.”

Satu kalimat itu berhasil merilekskan tubuh Beryl yang semula tegang, senyum hangat Genta turut menjadi alasan. Sejak tadi pemuda itu terus saja tersenyum dengan tatapan intens ke arah sang istri, satu tangannya mengusap lembut puncak kepala Beryl, sementara yang satunya lagi mencoba mengarahkan miliknya untuk mulai masuk pada liang kewanitaan Beryl.

“Tahan sedikit ya, ini bakalan sakit. Cakar aja badan aku buat ngelampiasin rasa sakitnya.”

Perkataan Genta bukan omong kosong swmata, karena ternyata rasanya betulan sakit. Padahal baru kepalanya saja yang masuk, itu belum ada setengah!

Genta tidak tega sebenarnya, ekspresi gadis itu betul-betul kesakitan. Kuku jari Beryl yang belum sempat dipotong menancap kuat pada bahu telanjang Genta. Rasaaya sakit, tapi ia tau tidak lebih sakit dengan apa yang dirasakan gadis itu sekarang.

“Gen,” ringis Beryl nyaris menangis, Genta kembali mengecup keningnya penuh kasih sayang.

“Belum masuk setengahnya, Bey. Tahan sedikit lagi ya? Aku janjinsetelah ini kamu cuma bakal mgerasain enak.”

Mau tau rasanya? Sakit, itu sudah pasti. Badannya serasa terbelah dua,dan ada sesuatu yang robek di dalam sana. Beryl ingin menjerit awalnya, namun bibirnya lebih dulu dibungkam oleh ciuman lembut dari Genta. Setetes air mata Beryl meluncur turun yang kemudian langsung suaminya usap dengan ibu jari, bibir pemuda itu melumat milik Beryl untuk mengalihkan rasa sakitnya. Kuku jari gadis iru semakin menancap kuat saat kejantannnya berhasil masuk seluruhnya ke dalam lubang kewanitaan Beryl.

Napas gadis itu memburu. Entah karena rasa sakit di selangkangannya, atau iustru karena ciumam panasnya dengan Genta. Bisa jadi malah perpaduan keduanya.

Genta sengaja tidak langsung nergerak, ia ingin membuat Beryl terbiasa dulu dengan miliknua di dalam sana. Rasanya pasti asing dan penuh, juga sakit jika Genta memaksa unruk lamgsung menggerakannya. Makanya Genta diam dulu untuk beberapa saat.

Setelah dirasa gadis itu sedikit lebih tenang, dan air matanyabberhrnti menetes, Genta meeyudahi ciuman mereka. Dia memanndang lekat pada wajah sang istri yang memerah setelaj ciuman panas mereka, sibuk mengisi paru-parunya dengan oksigen.

“Boleh aku gerakin?” tanya Genta. Nada bicaranya lembut, sementara satu tangannya mengusap sisi wajah Beryl yang hangat.

Gadis itu mengangguk kemudian, “Ingat, jangan kasar.”

Genta bukanlah tipe laki-laki yang akan mengingkari janjinya, oleh karenanya ia mengangguk. Tubuh Beryl sudah lebih rileks dari sebelumnya, meskipun satu tangannya berpegangan pada lengan Genta yang menyangga tubuhnya di atas kasur. Satu tangan yang lain Beryl gunakan untuk mencengkram sprei di sisi tubuhnya saat perlahan Genta mulai menggerakkan kejantannya du bawah sana.

Aneh, perlahan rasa sakit yang menyiksa tadi justru menghilang. Ia tidak merasakan apapun lagi selain rasa penuh juga nikmat di kewanitaannnya. Ia bahkan bisa dengan pervaya diri meminta Genta untuk mempercepat gerakanya yang tentu saja lngsung disanggupi pemuda itu.

Tadinya Beryl pikir milik Genta tidak akan muat di dalam kewanitaannya yang sempit. Namun ia salah, kejantanan besar dan berurat yang tadi diluhatnya ternyata bisa massk sepenuhnya di dalam sana. Meskipun rasanya begitu sempit dan penuh, tapi Beryl menyukainya.

“Fuck. Kamu sempit banget, Bey.” Genta kelepasan mengumpat disela hentakkannya pada kewaniataan sang istri.

Ternyata begini rasanya setelah miliknya berhasil masuk ke dalam sana, rasanya luar biasa nikmat dari yang sempat ia biarkan. Kejantanannya serasa dipijat kuat oleh dinding kewanitaan Beryl, dan rasa hangat di dalam sana memnuat Genta pening oleh sensasinya. Sekarang Genta mengerti mengapa bercinta sering disebut senagai surga dunia oleh kebnayakan orang, rasanya benar-benar luar biasa. Bisa tidak sih ia melakukan kegiatan ini setiap hari dengan Beryl? Baru pertama kali melakukannya saja Genta sudah kecanduan.

“Genh...” sebuah desahan lolos dari bibir Beryl saat Genta memasukkan miliknya terlampau dalam, bahkan berhasil menyentuh G spot miliknya.

Ia kembali merasa geli, sensasi layaknya kupu-kupu berterbangan di perutmya kembali hadir. Oh, ini nikmat sekali. Beryl menyesal kenapa tidak melakukan hal ini lebih awal dengan Genta.

AC di kamar ini seolah tak berguna, tubuh keduanya sudah banjir oleh keringat. Suara decitan ranjang seolah jadi backsound kegiatan mereka sore itu, dan pakaian yang berceceran di lantai seolah jadi hiasan yang menambah panas suasana hari ini. Bahkan dress seharga puluhan juta yang tadi dikenakan Beryl teronggok tak berdaya di lantai kamar ini, acara dinner yang semula ingin dilakukan pun dilupakan negitu saja.

Desahan keduanya beradu, diikuti oleh keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Hentakkan Genta semakin menggila, payudara sang gadis ikut terguncang karenanya, suara khas kulit yang beradu dengan kulit juga turut mendominasi suara di kamar itu. Ah, ini benar-benar gila. Genta bahkan tidak peduli jika suara desahan mereka sampai terdengar dari luar. Namun, semoga saja tidak.

“Gen, aku mau keluar,” ucap Beryl disela desahannya seksinya itu.

Genta tersenyum, merunduk sejenak untuk mengecup kening sang istri dengan penuh kasih sayang. “Bareng, Bey.”

Setelahnya, Genta mempercepat kembali hentakkan pada milik Beryl. Memastikan miliknya masuk sedalam-dalamnya ke lubang kewanitaan gadis itu.

Milik Beryl terasa semakin panas, dinding vaginanya turut mengetat, meremas kuat milik Genta di dalam sana. Pemuda itu menggigit pipi dalamnya dengan nata terprjam, menikmati sensasi memabukkan ini dan merekamnya dengan jelas di ingatan. Genta tidak akam pernah melupakan pengalaman pertamanya ini dengan istri tercintanya.

“Gen...” punggung Beryl melengkung, membuat dadanya naik hingga menyentuh dada Genta yang telanjang begitu pelepasannya selesai.

Tidak lama kemudian oemuda itu menyusul. Ia memeluk Beryl erat-erat, memperdalam hentakkannya di kewanitaan gadis itu untuk memastikan spermanya menyembur habis di dalam sana. Namun ternyata miliknya keluar terlalu banyak, saking banyaknya hingga meluber keluar di lubang kewanitaan Beryl.

Tubuh Genta ambruk ke ranjang, bersebelahan dengan Beryl yang masih mengatur napasnya dengan susah payah setelah permainan panas mereka. Pemuda itu tersenyum dan memeluk tubuh saag istri setelah sebelumnya mendaratkan satu kecupan di bibir.

“I love you, Bey. Juga terima kasih buat semuanya.”

Beryl ikut tersenyum, menoleh pada Geta dan balas mencium bibirnya. “Love you too, Gen. Makasih juga buat semuanya, kamu luar biasa.”

Genta agak tersipu dipuji begitu. Oleh karenanya ia menutupi rasa malunya dengan melumat bibir Beryl sekali lagi, kali ini bukan sekesar kecupan karenan lidahnya kembali bermain di rongga mukut gadis iru. Tindakannya itu terancam akan berlanjut ke ronde kedua senadainya saja Beryl tidak lebih dulu menghentikannua.

“Udah cukup buat hari ini, aku capek.”

Pemuda iru tertawa, sebab salah fokus deng bibir istrinya. “Sejak kapan bibir kamu jado sebesar itu, Bry?”

“Ck, gara-gara kamu hisap terus jadi bengkak kan!”

“Siapa suruh punya bibir candu banget.”

Beryl merotasiman bola matanya jengah, ini sih jelas cuma alasan Genta saja. Pemuda itu kan memang suka mesum kalau lagi sama dia, Beryl sudah paham di luar kepala. Gadis itu mendorong dada Genta agar menjauh, namun pemuda itu terus menempelinya seperti baru saja diberi lem takbterlihat. Erat sekali, Beryl sampao sesak.

“Gen, sanaan ah. Badan kamu berat tau?”

“Masa sih? Perasaan aku ringan deh, kan masih bayi.”

Belum sempat Beryl memahami apa maksudnya, Genta sudah keburu mengulum putingnya sambil cengengesan. Tingkahnya barusan betulam seperti bayi, iya bayi besarnya Beryl.

Gadis itu terkekeh geli sembari mengusap rambut halus Genta dengan penuh sayang, tindakannya itu membuat si pemuda tersenyum senang dan makin semangat menyusunya meski ia tau tidak akn ada apa-apa yang keluar dari sana. Genta tidak peduli, ia hanua suka memainkan puting payudara Beryl dengan lidahnya. Menurutnya itu mengasyikkan, ditambah lagi tindakannya itu bisa membuat Beryk mendesah. Genta jadi makin suka, saking sukanya dia sampai gemas sendiri dan berujung menggigit puting di mulutnya itu hingga membuat si empunya menjerit tertahan.

“Jangan digigit aku bilang, sakit tau?!” Protes Beryl kesal sendiri.

Namun pemuda itu justru menatapnya dengaj wajah memelas, “Bey, mau lagi.”

“Apanya?”

“Kamunya.”

“Hah?”

“Ck, lnjut ke ronde yang kedua maksudku.”

Astaga, Genta ini apa tidak punya rasa lelah? Pafahao belul ada lima belas menit sejak ronde pertama mereka seleaai, sekarang dia malah minta lanjut ke ronde ke dua. Beryl saja masih agak ngos-ngosan.

Namun meskipun begitu, tetao saja Beryl tidak tega untuk mnolak. Gimana ya, masalahnya dia juga suka dengan permainan Genta. Mau ditolak ya dia juga yang rugi, lebih baik diiyakan saja.

Senang karena ajakannya diterima, Genta kembali mengurung Beryl di antara kedua kengannya yang menyangga tubuh. Pemuda itu merunduk untuk mengecup singkat kening sang istri seraya berkata,

“kali ini aku minnya agak kasar boleh ya? Lagi bersemangat soalnya.”

Si gadis lamgsung mendelik tidak terima, “Ya jangan dong! Nanti kalau besok pagi aku nggak nisa jalan gimana?”

“Justru itu, aku bakal bikin kamu nggak bisa jalan dan terus menempel sama aku besok pagi.”

“Gentala!”

Si pemuda tertawa puas, lalu berujung membungkam bibir Beryl dengan bibirnya sendiri. Si gadis kembali dibuat kewalahan oleh swmangat Genta. Radanya, bibirnya seperti dihisap habis oleh pemuda itu. Dijamin besok pagi pasti bakalan makin vengkak.

Kemudian ronde kedua itu dimulai, masih dengan Genta yang mendominasi permainan. Kali ini, ia jamin permainannya akan lebih panas dan kasar sari sebelumnya.

“Gen, ada hair dryer nggak?!”

Gadis itu berteriak dari dalam kamar sembari tangannya sibuk mengobrak-abrik laci meja juga lemari di kamar itu. Genta yang mendengarnya dari meja kerja kontan menghela napas berat, berusaha menyabarkan diri. Tau gitu tidak ia izinkan gadis itu datang kemari, kerjaan Genta jadi tidak selesai-selesai karena terus diinterupsi.

“Gen!”

Baiklah, Genta menyerah. Ia berjalan menghampiri Beryl yang masih sibuk mencari sesuatu di laci meja. Percuma, tidak ada apa-apa di sana.

“Nggak usah dicari, hair dryer-nya nggak ada.”

Beryl merengut kecewa, lalu menutup kembali laci itu. Terpaksa deh ia harus mengeringkan rambutnya sendiri dengan handuk, yang itu artinya bakalan lama. Karena tipe rambut Beryl itu yang tebal terus panjang, makanya dia selalu pakai hair dryer untuk mempercepat mengeringkan rambut.

Genta tak bicara apa-apa, dia masih bersandar di pinggiran pintu sembari memperhatikan istrinya tersebut. Saat ini, Beryl sedang mengenakan kemeja putihnya yang kebesaran hingga panjangnya setengah paha gadis itu. Karena Genta tidak punya stok celana di sini, terpaksa Beryl harus bertelanjang kaki dulu sampai setidaknya pakaiannya kering nanti.

“Ngeliatin apa?” tanya Beryl sambil menyipitkan mata, masalahnya sejak tadi pemuda itu terus saja menatapnya tanpa mengedip. Kan Beryl jadi ngeri-ngeri sedep.

Namun pemuda itu justru tersenyum simpul, “Barusan liat orang-orangan sawah.”

“Maksudnya?”

“Kamu, kayak orang-orangan sawah pakai kemeja aku.”

“Enak aja!”

Kali ini tawa Genta mengudara. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah Beryl, kemudian mengambil alih handuknya. “Biar aku bantu,” katanya.

Beryl sih tidak protes, dia diam saja dan membiarkan Genta mengeringkan rambutnya dengan handuk tersebut. Gerakan tangannya lembut, setengah seperti sedang dipijat, Beryl sampai terpejam saking nyamannya. Entah kenapa malah mendadak mengantuk.

Tolong kutuk mata Genta setelah ini, karena bisa-bisanya saat mengeringkan rambut Beryl ia malah salah fokus pada tulang selangka gadis itu. Beryl memang tidak mengancing kemejanya dengan benar, karena dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka dan tulang selangkanya mengintip dari sana.

Pandangan Genta kemudian turun agak ke bawah, tepatnya pada gundukan kenyal di bagian dada Beryl yang terlihat menonjol. Sepertinya gadis itu tidak mengenakan branya karena memang masih basah. Sial, Genta jadi teringat lagi bra hitam di kolam renang beberapa saat lalu. Bayangan tubuh Beryl yang basah, nyaris tanpa busana, saking transparan bajunya, membuat tubuh Genta mendadak panas.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengusir pikiran kotor itu dari otaknya. Tapi kok susah?

Matanya kini malah semakin turun ke bawah, tepatnya pada paha mulus Beryl yang terekspos di sana. Panjang kemeja itu tidak mampu menutupi seluruh bagian pahanya, dan itu bahaya bagi kewarasan Genta. Isi pikirannya makin tidak karuan. Handuk di tangannya ia cengkram kuat-kuat, berusaha keras menahan diri untuk tidak kelepasan menyentuh bagian paha gadis itu sekarang juga.

Kenapa sih seluruh jengkal tubuh Beryl harus terlihat sebegitu menawan di matanya? Bahkan kulit lehernya yang indah tak luput dari perhatian Genta, membawa serta memori lamanya di Santorini saat ia meninggalkan jejak kemerahan di sana. Genta ingin mengecup leher itu lagi, meninggalkan lebih banyak jejak di sana, kalau perlu di sekujur tubuhnya.

“Genta, kenapa berhenti?”

“Hah?”

Saking sibuknya pikirannya saat ini, Genta sampai tidak sadar tangannya berhenti bergerak. Beryl menyingkirkan handuk itu dari kepalanya dan membetulkan posisi rambutnya yang berantakan.

“Kamu ngelamunin apaan?” tanya Beryl lagi.

'Ngelamunin badan kamu.'

Tidak, kalimat itu tidak sampai keluar dari bibirnya. Bahaya, bisa dikepret Beryl pakai handuk di tangannya itu nanti.

Genta menggeleng pelan, “Nggak, bukan apa-apa.” Namun setelahnya pemuda itu justru melonggarkan dasinya serta membuka dua kancing teratasnya karena merasa mulai gerah juga sesak.

Bayangan tubuh Beryl masih belum hilang juga dari kepalanya.

“Gen?”

“Hm?”

“Kamu turn on ya?”

“Apa?!”

“Ini, kok menonjol?”

Entah terlalu polos apa gimana, Beryl malah menyentuh milik Genta yang memang kelihatan membesar di balik celana kerjanya. Didorong oleh rasa panik, Genta buru-buru mencengkram tangan gadis itu dan menjauhkannya sesegera mungkin.

“Jangan dipegang!”

Saking paniknya Genta, ia sampai tidak sadar menaikkan nada bicaranya.

Wah, keras ya?”

Beryl ini benar-benar.

Genta melepaskan cengkraman tangan Beryl dan mengeluarkan kemejanya dari celana, sengaja supaya kejantanannya yang menonjol itu jadi agak tertutup. Genta tengsin betul, wajahnya sampai memerah terlebih saat Beryl justru menertawainya.

“Kamu kenapa gampang banget sih turn on-nya?”

“Mana ada!” Genta tidak terima, “ini tuh karena dingin aja cuacanya makanya dia berdiri.”

Gadis itu hanya ber'oh' ria, tau kalau Genta hanya mencari-cari alasan saja. Oh, ayolah. Beryl sudah dewasa, ia sudah berumur 27 tahun. Dia jelas tau alasan kenapa milik Genta bisa keras begitu. Sisi jahil Beryl seketika muncul, ia tersenyum simpul.

'Ngerjain Genta enak nih.' batinnya berucap.

“Gen, boleh pegang lagi nggak?”

“Apaan?”

“Punya kamu yang keras itu.”

Beryl bisa nggak sih kalau ngomong nggak blak-blakan begitu, kan Genta malu!

“BEY!” Genta memekik kaget saat tangan Beryl sudah bermain di sana, menyentuh miliknya tanpa ragu dengan wajah penuh kagum.

“Ini kali pertama aku pegang langsung punya cowok, biasanya cuma liat doang. Ternyata lucu ya?”

APANYA YANG LUCU?!

Genta sukses dibuat sakit kepala. Ia buru-buru menyingkirkan tangan penasaran Beryl itu saat merasakan celana dalamnya semakin sesak.

“Jangan kayak gini, Bey. Aku lagi mencoba menahan diri, kamunya jangan mancing.”

“Nahan diri buat apa emang?”

“Buat nggak nyerang kamu.”

“Emang nyerangnya kayak gimana tuh?”

“Jangan mancing dibilang!” Genta berseru kesal, lalu buru-buru ngibrit keluar menghindari Beryl.

Gadis itu tertawa di dalam sana, membuat Genta yang kini sudah kembali ke mejanya mendengus keras-keras. Ia melepaskan dasi di lehernya, kemudian membuangnya ke lantai. AC di ruangan itu ia naikkan volumenya agar semakin dingin, mengingat suhu tubuhnya yang kian memanas. Saking panasnya tubuh Genta sampai berkeringat, padahal ini jam setengah dua belas malam.

Beryl betul-betul menyiksanya. Awas saja nanti, Genta tidak akan melepaskannya begitu saja.

“Udah dong kerjanya, emang nggak capek?” ucap Beryl seraya menghampirinya ke meja kerja.

Genta meliriknya sinis, “Yang bikin kerjaanku nggak selesai-selesai kan kamu.”

“Kok aku sih? Emang aku ngapain?”

“Ganggu.”

“Dih?”

“Tidur sana, atau duduk kek gitu. Jangan ganggu.”

“Oke, aku duduk.”

Saat Genta menyuruh gadis itu untuk duduk, maksudnya tuh duduk di sofa yang ada di depan meja kerjanya. Beryl malah dengan santainya duduk di pangkuan Genta, pemuda itu makin pusing dengan tingkah laku sang istri.

“Apalagi sekarang?”

“Apa? Kan tadi katanya nyuruh duduk?”

“Duduk di sofa, Bey. Bukan di pangkuan aku.”

“Sofanya jauh, enakan duduk di sini.”

Itu hanya alasan saja, aslinya Beryl sudah terkikik Geli di dalam hati karena berhasil mengerjai Genta. Untungnya pemuda itu tidak protes, mungkin juga karena sudah terlampau lelah dan ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Selagi Genta bekerja, Beryl mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja dan membuka aplikasi game. Ia tidak punya banyak game di ponsel, tapi game salon-salonan itu yang paling ia suka.

Selama beberapa saat keduanya hening, yang terdengar hanyalah suara game yang berasal dari ponsel Beryl. Genta tidak merasa penasaran dengan apa yang dilakukan gadis itu, pekerjaannya jauh lebih penting. Hanya saja tangan kirinya tanpa sadar melingkar di perut gadis itu, menjaga agar Beryl tidak sampai jatuh.

Samar-samar aroma sabun mandi yang digunakan Beryl menguar kuat di indra penciuman Genta. Aroma paling kuat berasal dari leher bagian belakangnya yang berada tepat di depan matanya saat ini. Leher Beryl yang bersih juga wangi mengundang Genta untuk terus menatapnya, juga berhasrat untuk menyentuhnya jika bisa.

Beryl masih kelihatan sibuk memilih warna softlens yang akan digunakan oleh perempuan di game tersebut. Sementara Genta sudah mendekati leher si gadis dan mengendus aromanya yang menggoda. Awalnya memang hanya mengendus saja, tapi karena tidak mendapati respon dari Beryl, Genta justru makin berani.

Kali ini ia mengecup lembut tengkuk Beryl hingga ke bagian bahunya yang terekspos. Sejenak, tangan Beryl berhenti bergerak di layar.

“Gen?” Suara Beryl terdengar bergetar saat berucap demikian.

“Main aja, nggak usah pedulikan aku.”

Tapi bagaimana bisa jika bibir Genta terus menghujani ciuman di tengkuk dan bahunya begitu. Saat Beryl berniat fokus kembali pada gamesnya, tangan kanan yang semula berada di atas keyboard MacBook-nya justru berpindah menyentuh paha si gadis. Genta mengusap paha Beryl dengan gerakan lembut, sementara tangan yang satunya lagi naik semakin ke atas menyentuh dadanya yang hanya berlapiskan kemeja tanpa bra.

Beryl mendadak pusing oleh sensasi yang diciptakan Genta, hingga tanpa sadar menggigit bibirnya sendiri agar tidak kelepasan mendesah.

Melihat Beryl yang tak memberikan penolakan atas tindakannya barusan, gerak tangan Genta semakin berani. Tangan bawahnya mengusap paha dalam gadis itu, nyaris menyentuh area kewanitaannya yang tanpa dilapisi apapun, kecupan di tengkuknya juga masih belum berhenti, sementara tangannya yang berada di atas mulai meremas payudara Beryl dan memainkan putingnya dari luar kemeja.

“Gadis nakal, berani-beraninya kamu duduk di pangkuan aku pas lagi nggak pakai daleman gini?”

Beryl tidak membalas ucapan Genta, lebih tepatnya tidak sanggup. Sebab jika ia membuka mulutnya, sudah pasti desahan lah yang akan keluar.

Tangan pemuda itu kembali menggerayangi tubuhnya. Kancing kemeja yang dikenakan Beryl sudah terlepas dua kancing lagi, memudahkan akses pemuda itu untuk menyentuh payudara si gadis secara langsung.

Genta tersenyum saat payudara itu terasa begitu pas di tangannya. Bentuknya bulat menantang, dan putingnya berwarna coklat kemerahan. Tidak membuang banyak waktu lagi, jemarinya mulai bermain di sana. Genta memilin puting si gadis, kemudian menjepitnya dengan jari telunjuk dan tengahnya, sensasi yang diciptakan berhasil membuat Beryl sepenuhnya melupakan game di ponselnya tadi.

“Gen,” Beryl memekik kaget saat tangan kiri Genta menyentuh area kewanitaannya yang super sensitif.

Relaks, sayang. Aku nggak bakal nyakitin kamu kok.”

Entah kenapa kalimat itu membuat Beryl kembali tenang. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada dada Genta, membiarkan tangan-tangan Genta bergerak liar menggerayangi tubuhnya dengan leluasa.

Selagi tangan atasnya memainkan puting Beryl, tangan bawahnya bergerak liar di kewanitaan gadis itu yang sudah mulai basah. Genta tersenyum senang, hal ini jelas semakin memudahkannya.

“Ahh.”

Satu desahan berhasil lolos dari bibirnya saat jemari Genta yang berada di bawah, menyelinap masuk di antara lipatan kewanitaannya. Genta memberikan usapan pelan di permukaannya, lalu memainkan klitoris sensitif Beryl dengan jarinya yang kasar. Gadis itu kembali mendesah, dan Genta senang tiap kali mendengar suara seksinya itu.

“Moan my name, Bey.” bisik Genta di telinga si gadis, napas hangatnya sukses membuat Beryl seketika merinding.

“Genh...”

Desahannya kembali lolos saat jari tengah Genta perlahan memasuki lubangnya yang basah, Beryl sampai membusungkan dadanya tanpa sadar saat jemari itu mulai bergerak keluar masuk dengan teratur. Perutnya terasa menggelitik seolah ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam sana.

“Sebentar, kayaknya lebih enak begini.”

Genta menghentikan permainannya sejenak. Pemuda itu menyingkirkan MacBook beserta berkas-berkasnya yang ada di atas meja, lalu menaikkan tubuh Beryl agar duduk di atas meja itu. Si gadis sempat terkejut awalnya, namun tidak protes saat Genta menaikkan satu kakinya ke atas meja. Membuat posisi Beryl jadi mengangkang di depannya.

Genta tersenyum puas, lalu kembali memasukkan jarinya pada kewanitaan Beryl. Kali ini ia mencoba masuk dua jari, makin terasa sempit dari yang pertama tadi. Jarinya terasa seperti dijepit oleh kewanitaan Beryl, dan membayangkan kejantanannya bisa masuk ke dalam sana membuat milik Genta jadi semakin keras dan sesak.

Untuk melampiaskan hasratnya tersebut, Genta memainkan lubang Beryl dengan jarinya dalam tempo yang cepat. Membuat Beryl makin tidak karuan dibuatnya. Bibir gadis itu setengah terbuka, bernapas dengan hidung tak lagi cukup untuknya.

Permandangan seksi tubuh Beryl menaikkan libido Genta, terlebih saat melihat ekspresi gadisnya yang makin terangsang seiring dengan gerakan jari Genta di dalam sana.

Ah, Genta tidak bisa menahannya lagi. Ia memaju- mundurkan jarinya semakin cepat, memastikan gadis itu berhasil menjemput kenikmatannya dengan segera. Bibirnya tidak tinggal diam, ia melumat kasar bibir Beryl dan menahan tengkuknya dengan tangan yang lain.

Genta melumat bibir itu dengan penuh napsu, dan Beryl menyambutnya dengan senang hati. Lidah keduanya beradu di dalam sana, saling bertukar saliva hingga kehabisan napas. Beryl melepaskan ciuman mereka untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Ahhsss, Genta...”

Wajah Beryl terlihat semakin memerah, sementara dadanya kian membusung saat puncaknya hampir sampai. Tangan gadis itu mencengkram ujung meja dengan kuat seiring dengan orgasme pertamanya keluar.

Tubuhnya seketika lemas.

“Kita pindah ke kamar ya?”

Tanpa menunggu persetujuan si gadis, Genta menggendong Beryl ala bridal style menuju kamarnya berada. Gadis itu tidak protes, terlalu lelah sehabis pelepasannya beberapa saat lalu. Kepalanya terkulai lemah ke dada Genta dengan napasnya yang naik turun.

“Jangan capek dulu, kita belum masuk ke permainan inti,” ucap Genta sembari membaringkan tubuh istrinya di ranjang, kemeja yang semula dipakai Beryl sudah ia lepaskan begitu saja. Kini gadis itu sudah bertelanjang bulat sementara Genta masih pakai pakaian lengkap.

“Kamu sering giniin cewek ya?” tukas Beryl selagi matanya sibuk memperhatikan Genta yang melepaskan satu persatu kancing kemejanya.

“Apanya yang sering?”

Foreplay.”

“Ya nggak lah, kamu cewek pertama.”

“Oh ya? Kok jago?”

Genta menyeringai jahil, “Kenapa? Enak ya?”

Bukannya menjawab, pipi Beryl justru bersemu merah. Ia malu sekali mengakui ini, tapi permainan tangan Genta memang betulan lihai membuatnya menggila.

“Wow,” Beryl refleks berdecak kagum saat Genta berhasil menanggalkan kemejanya hingga bertelanjang dada. Perut six pactnya kelihatan begitu seksi di mata Beryl.

Si empunya tersenyum bangga, “Suka?”

Bodohnya, Beryl justru mengangguk. Membuat Genta terkekeh geli sementara Beryl meruntuki dirinya sendiri.

Pemuda itu kemudian berjalan ke samping ranjang, mendekat pada istrinya tersebut, “Mau pegang nggak?”

“Emang boleh?”

“Boleh.”

Ia sudah lama sekali penasaran akan hal itu, menyentuh perut kotak-kotak Genta pasti menyenangkan. Oleh karenanya Beryl tidak menolak saat Genta menawarkan diri, gadis itu buru-buru bangun dan duduk di ranjang berhadapan dengan sang suami. Perut itu langsung terpampang jelas di depan matanya.

Ragu-ragu, Beryl menyentuhnya. Dari tengah, ke atas, lalu ke bawah. Mengusapnya dengan gerakan pelan namun sukses membuat napas Genta tertahan.

“Kalau ini, aku boleh pegang juga nggak?” Maksud Beryl kejantanannya.

Kali ini Genta tidak melarang, pemuda itu justru tersenyum sembari merunduk mengecup kening Beryl yang mendongak menatapnya.

“Silakan. Sekalian bukain celana aku ya?”

Dengan wajah sumringahnya itu, Beryl mengangguk polos. Membuat Genta gemas dan berujung mengusak puncak kepalanya dengan lembut.

Pertama-tama Beryl melepaskan ikat pinggang yang melingkar di celana Genta, lalu membuka kancing sekaligus resleting celana tersebut dengan mudah. Genta turut membantunya melepas celananya sendiri sebelum kemudian ia lempar ke sembarang arah. Kini pemuda itu hanya mengenakan celana dalam saja.

“Lebih besar dari dugaanku ternyata.”

Genta agak malu saat mendengar pujian itu. Namun itu tak berlangsung lama, sebab napasnya langsung tercekat saat tangan Beryl melepaskan celana dalam tersebut dan menyentuh kejantanannya secara langsung. Gadis itu kelihatan begitu senang seolah baru saja mendapat mainan baru.

“Tuh kan, lucu!” serunya dengan wajah sumringah.

“Apanya yang lucu?”

“Bentuknya lucu.”

“Kalau lucu mainin dong, emangnya kamu nggak gemas?”

Tidak butuh banyak waktu bagi Beryl untuk menyanggupi permintaan Genta barusan. Milik pemuda itu sudah teracung di hadapannya, keras juga berurat, membuat Beryl makin gemas dan mulai memainkannya dengan penuh semangat.

Ukurannya cukup besar di tangan Beryl yang kecil, namun itu tak sama sekali menyurutkan semangatnya. Beryl memberikan gerakan maju mundur layaknya mengocok pada kejantanan Genta, dan itu berhasil membuat si empunya menahan napasnya hingga tanpa sadar mencengkram salah satu bahu Beryl.

“Bey...”

“Hm?”

“Lebih cepat.”

Gadis itu menurut, ia menggerakkan tangannya lebih cepat dari sebelumnya sesuai dengan yang diminta. Tubuh Genta jadi makin panas dibuatnya, satu desahan berhasil lolos saat tangan kecil itu menyentuh ujung miliknya yang sensitif.

Saat dirasa sesuatu hendak segera keluar, Genta buru-buru menahan tangan Beryl agar berhenti menyentuhnya. “Udah cukup, aku nggak mau bikin tangan kamu kotor.”

Setelahnya, Genta berkata lagi. “Kamu tunggu di sini, kita bakal bikin permainan yang lebih seru.”

Beryl memandanginya kebingungan. Namun belum sempat bertanya, pemuda itu sudah lebih dulu keluar kamar menuju suatu tempat. Lebih tepatnya lemari pendingin. Genta tersenyum saat menemukan satu cone es krim vanilla di dalam sana, lalu membawanya satu pada Beryl.

“Buat apa?”

Genta tersenyum sok misterius, “Buat main.” Jawabannya tak sama sekali memuaskan Beryl.

“Kenapa ditutupin kayak gitu badannya?” Genta menatap heran pada tingkah Beryl yang kini justru menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut yang ada di ranjang tersebut. Aneh sekali.

“Malu, Gen.”

“Dih? Malunya baru sekarang? Daritadi kemana aja?”

Iya juga, perasaan tadi Beryl sendiri yang mancing-mancing Genta. Bahkan tanpa malu mengangkang di depan mukanya, kenapa malunya baru sekarang ya? Beryl baru sadar.

“Udah nggak usah ditutupin gitu, badan kamu bagus kok. Lebih bagus kalau tanpa baju begini.”

“Mesum!”

Tawa renyah Genta mengudara. Pemuda itu kemudian duduk menyandar di kepala ranjang sembari meluruskan kaki, tak lama setelah itu Genta menepuk pahanya memberi isyarat pada sang istri. “Duduk sini, Bey.”

“Mau ngapain?”

“Main, kan kita belum selesai. Udah dilepas aja itu selimutnya jangan kamu tutupin terus.”

Meski sebenarnya bingung apa yang akan dilakukan Genta setelah ini, juga es krim di tangannya, Beryl tetap menurut. Sebab dia juga penasaran. Kini gadis itu sudah menanggalkan kembali selimutnya dan duduk di pangkuan Genta dengan nyaman.

“Udah nih, mau apa?”

Senyum misterius itu kembali hadir. Genta mulai membuka bungkus es krim vanilla tadi, lalu melumuri jari telunjuk dan tengahnya yang bersih dari atas hingga bawah dengan es krim tersebut, sebelum kemudian mengacungkannya pada Beryl.

“Jilat coba, sampai bersih.”

Beryl tidak banyak protes, ia langsung memasukkan kedua jari tersebut ke mulutnya. Rongga mulut hangat Beryl juga sapuan lidahnya yang lembut membuat pikiran Genta jadi makin kotor. Terlebih saat melihat bagaimana gadis itu menyedot jarinya sembari menatap ke arahnya, seketika itu pula membuat kejantanannya semakin keras.

Mulut Beryl yang kecil rupanya tak sebanding dengan jari Genta yang panjang, gadis itu sampai tersedak karenanya. Genta tersenyum puas saat melihat ekspresi istrinya tersebut.

“Oke, cukup. Sekarang gantian aku.”

Berbeda dari sebelumnya, kali ini Genta mengoleskan es krim tersebut ke leher Beryl hingga ke bagian dadanya. Sensasi dingin yang diciptakan dari es krim itu membuat Beryl mendesah tanpa sadar. Gadis itu mencengkram bahu Genta saat lidah pemuda itu mula menjilat bagian lehernya yang berlumuran es krim vanilla.

Tidak hanya menjilat, pemuda itu juga menghisapnya dengan kuat untuk meninggalkan jejak kepemilikan di sana. Satu tangannya Genta gunakan untuk menahan punggung Beryl, sementara satu tangannya yang lain kembali menyentuh area kewanitaan gadis itu.

Sshhh ... Genta.”

Tubuh Beryl kembali dibuat mengejang saat jari Genta menyentuh klitorisnya, gerakannya lembut namun cukup membuat Beryl terangsang. Cengkeramannya pada bahu si pemuda terasa semakin kuat.

Puas dengan bagian leher, kini jilatan Genta berpindah pada payudara si gadis. Ia menyapu seluruh permukaannya dengan lidah hingga bersih, sebelum kemudian memasukkan satu putingnya ke dalam mulut. Genta layaknya bayi yang sedang kehausan, menyedot puting tersebut dengan penuh nafsu, sambil sesekali iseng menggigitnya karena gemas. Beryl sempat protes atas tindakannya itu, namun Genta buru-buru membungkamnya dengan ciuman panas.

Desahan Beryl tertahan saat Genta meremas payudaranya dengan kasar, menjepit putingnya dengan dua jari, hingga sesekali menariknya gemas. Rasanya sakit, namun juga menciptakan rasa nikmat yang candu. Membuat Beryl makin kehausan minta disentuh lebih jauh lagi. Seluruh tubuhnya terasa begitu sensitif, hingga bagian manapun yang disentuh Genta sanggup membuatnya terus mendesah kenikmatan.

Beryl jadi meragukan ucapan pemuda itu yang katanya baru pertama kali melakukan foreplay, sebab gerakannya begitu lihai dan terlatih.

“Gen...”

Ciuman mereka dilepas lebih dulu oleh Beryl saat Genta menambah jumlah jemarinya di bawah sana. Kini tiga jari Genta sudah keluar masuk di lubang kewanitaan si gadis, gerakannya cepat dan teratur. Membuat tubuh Beryl tersentak nikmat dan menatapnya dengan tatapan sayu.

Genta menikmati wajah terangsang itu di depan mukanya, benar-benar cantik dan seksi.

“Suka, hm?”

Beryl mengangguk tanpa malu, pikirannya sudah benar-benar kacau sekarang. Ia sudah tidak peduli lagi dengan apapun, bahkan tanpa sadar membuka kakinya sendiri agar memudahkan akses keluar masuk jari Genta di lubangnya.

Si pemuda tertawa jahil, ia suka jika Beryl sudah mulai liar begini. Gadis itu bahkan tanpa malu mendesah di depannya sambil membuka kaki lebar-lebar, hal yang mustahil akan dilakukan Beryl jika pikirannya senang normal.

“Ahh...”

Tubuh Beryl mengejang saat pelepasannya hampir sampai, miliknya yang hangat terasa berkedut menjepit jari Genta di dalam sana. Melihat itu, Genta semakin menaikkan tempo gerakannya kian cepat dan kasar. Menciptakan desahan keras dari si gadis yang kini matanya telah terpejam menikmati permainan Genta hingga orgasmenya yang kedua berhasil keluar.

Kepala gadis itu kembali terkulai lemas di bahunya, napas hangatnya sedikit menggelitik leher Genta. Tubuh Beryl terasa sangat panas meski AC di kamar ini sudah dinyalakan, itupun rasanya masih sangat kurang.

“Bey.”

“Hm?”

“Boleh ya, kalau aku masukin?”

“Emangnya muat?” tanya Beryl dengan napas terengah.

Pemuda itu terkekeh geli, “Muat kok, kalau nggak muat aku paksa biar muat.”

Kali ini gantian Beryl yang tertawa, sebelum kemudian tawanya itu berubah menjadi anggukan kepala. Genta senang, senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama menahan diri, hari ini ia bisa menunjukkan keahliannya pada gadis itu.

Namun belum sempat ia merebahkan tubuh Beryl ke ranjang, gerakan Genta terhenti saat mendengar suara ribut dari arah luar. Beryl yang semula menyandarkan kepalanya di bahu Genta seketika langsung siaga, ia menatap suaminya dengan mata membulat panik.

“Kamu nggak ngunci pintunya ya?”

Tak kalah paniknya, Genta menggeleng. “Jam segini cuma ada aku sama kamu di kantor, sama satpam di depan. Makanya nggak aku kunci.”

“Bodoh, harusnya tetap kamu kunci pintunya!”

Iya, bodoh sekali memang. Saking bodohnya bahkan pintu kamar ini saja tidak ditutup dan dibiarkan terbuka begitu saja.

Duk

“Anjing!”

Genta buru-buru meraih selimut di dekatnya lalu menutupi bagian belakang tubuh Beryl yang telanjang dengan selimut tersebut.

“LO NGAPAIN BANGSAT?!”

Biru, tamu tak diundang itu berdiri di ambang pintu sambil nyengir tidak jelas. Tatapan matanya kurang fokus, jalannya agak sempoyongan, dan bau alkohol menguar kuat di ruangan itu saat dia datang.

Singkatnya, Biru mabok!

“Kalian—–”

BRUK

Belum selesai Biru bicara, tubuhnya sudah keburu ambruk dengan posisi kepala yang menghantam lantai begitu keras. Bunyinya cukup memilukan hingga membuat Genta dan Beryl menatapnya kasihan.

Ugh, itu pasti menyakitkan.

“Toleransi alkoholnya Beryl tuh rendah, minum dikit aja bisa langsung mabok. Makanya gue nggak pernah biarin dia minum sendirian, harus gue yang nemenin atau setidaknya dia ditemenin sama orang yang gue kenal. Soalnya kebiasaan maboknya dia tuh awikwok banget, bisa tiba-tiba aja meluk orang asing di dekatnya. Pokoknya dia tuh bakal berubah jadi clingy nggak jelas gitulah, repot banget pokoknya kalau ngurusin dia pas lagi mabok.”

Divya pernah menjelaskan begitu saat Genta bertanya mengapa gadis itu melarang Beryl untuk minum-minuman beralkohol sewaktu menghadiri acara reuni beberapa bulan lalu. Hal itulah yang juga membuat Genta langsung panik saat mengetahui kalau Beryl pergi ke bar sendirian, ditambah lagi ini di negara orang. Genta tidak bisa membayangkan kekacauan jenis apa yang akan Beryl perbuat di sana.

Berhubung Beryl sendiri juga tidak mau memberitahu di mana lokasinya, oleh karenanya Genta tidak punya pilihan lain selain mendatangi satu persatu bar yang ada di sekitaran villa. Itu dengan asumsi kalau Beryl tidak mungkin pergi ke tempat yang jauh dari villa dengan berjalan kaki, ditambah lagi Beryl juga belum hapal jalanan sini.

Beruntung setelah mendatangi kurang lebih 4 bar, akhirnya Genta bisa menemukan gadis itu di bar ke-5. Matanya agak menyipit begitu menyadari kalau Beryl tidak sedang sendiri, ada satu laki-laki berwajah bule yang kelihatan seperti sedang menggodanya saat ini. Beryl kelihatan risih, berulang kali menyingkirkan tangan laki-laki itu yang mencoba menyentuh bahunya dan mengajaknya pergi.

Tidak terima istrinya diperlakukan demikian, Genta berjalan cepat menghampiri keduanya dan menarik kasar bahu si laki-laki bule agar menyingkir dari sisi Beryl.

“She's my wife,” ucap Genta penuh penekanan, sembari memamerkan cincin nikahnya dengan Beryl yang tersemat di jemari manis si gadis juga dirinya sendiri.

Beruntung laki-laki bule tadi langsung mengerti, kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka berdua setelah sebelumnya sempat meminta maaf.

“Bey?”

Mendengar namanya disebut, Beryl langsung mendongak. Tatapan matanya yang tidak fokus, wajahnya yang memerah, juga rambutnya yang agak berantakan langsung menyadarkan Genta betapa mabuknya gadis itu sekarang. Entah sudah berapa gelas minuman yang ia teguk sebelum dirinya datang kemari, yang jelas Beryl sudah sepenuhnya mabuk saat ini.

“Bey? Lo bisa dengar gue?” Genta melambaikan tangannya di depan wajah Beryl guna mengetes kefokusan gadis itu.

Namun di luar dugaan, Beryl justru meraih tangannya sembari cengengesan tidak jelas, “Genta ... suami gue.”

Genta tersenyum, agak salah tingkah. “Iya. Ini gue Genta, suami lo. Bisa kita pulang sekarang? Lo udah mabok banget tuh.”

Beryl menggeleng tegas, “Nggak mau.”

“Kenapa nggak mau?”

“Mau paus.”

“Hah?”

“Mau makan ikan paus.”

Belum selesai otak Genta mencerna apa maksud ucapan Beryl, dia sudah dibuat menjerit duluan karena gadis itu tiba-tiba saja menggigit lengannya dengan penuh napsu.

“Bey, ini tangan gue loh bukan ikan paus!” serunya kesal sembari mengusap bagian yang barusan digigit Beryl hingga meninggalkan bekas itu.

Si gadis langsung merengut kecewa, tatapannya berubah sedih. “Ikan paussss...”

“Beneran awikwok banget nih cewek kalau lagi mabuk,” Genta berucap pada dirinya sendiri seraya geleng-geleng kepala, tak habis pikir.

“Ini gue Genta, Bey—–”

“Ikan pausnya mana?”

“Nggak ada ikan paus, adanya cuma gue yang mau ngajakin lo pulang. Jadi ayo kita pulang sekarang.”

Masih dengan bibirnya yang mengerucut, Beryl mengulurkan kedua lengannya pada Genta di depannya. “Gendong.”

Karena tidak ingin membuang banyak waktu dan mumpung Beryl mau diajak pulang, maka Genta iyakan saja permintaannya tersebut. Tadinya ia sudah berniat untuk mengangkat tubuh Beryl, namun ternyata gadis itu malah lebih dulu memeluk lehernya sebelum kemudian loncat ke tubuh Genta dan melingkarkan kakinya di pinggang si pemuda. Genta sempat shock awalnya, hampir saja kehilangan keseimbangan karena gerakan mendadak yang Beryl lakukan. Beruntung mereka tidak sampai jatuh tadi.

“Bey, kenapa lo malah cosplay jadi bayi koala begini sih?”

Beryl masih cemberut, makin cemberut lagi saat Genta berkata begitu. “Gue bayi paus, bukan koala!”

“Lucuan koala tau daripada paus.”

“Lebih lucu paus!”

“Hadehh, yaudah iya lucuan paus.”

Setelah membayar minuman Beryl juga mengambil ponsel si gadis yang berada di atas meja, Genta keluar dari bar tersebut menuju mobil sewaannya yang terparkir, masih dengan Beryl di gendongan. Gadis itu berpegang pada lehernya cukup erat, begitupula dengan lingkaran kakinya di pinggang Genta. Saking eratnya, Genta cukup kesulitan saat ingin mendudukkan gadis itu di kursi penumpang.

“Bey, turun dulu.”

Si gadis menggeleng kuat-kuat, “Nggak mau, mau peluk!”

“Ya terus gimana caranya gue nyetir kalau lo nempel ke gue begini?”

Beryl tidak menyahut, namun cekalannya pada leher Genta makin mengerat. Gadis itu seperti tidak punya niatan untuk melepaskannya barang sedetik pun.

“Untung yang lo peluk tuh gue, Bey. Nggak kebayang kalau lo sampai meluk cowok asing kayak gini,” ucap Genta sembari duduk di jok kemudi dan meletakkan ponsel tadi di atas dashboard mobil.

Sekarang ia sudah pasrah dengan Beryl yang masih menempel di dadanya entah sampai kapan.

Mereka tidak langsung pergi, sebab Genta tidak akan sanggup menyetir dalam keadaan seperti ini. Bagaimana tidak, posisi gadis itu yang kini berada di pangkuannya membuat Genta merasa agak kurang nyaman, hal itu karena pantat si gadis menekan miliknya di bawah sana. Mana sejak tadi Beryl duduknya tidak bisa diam pula, Genta sampai kelimpungan sendiri dibuatnya.

Tanpa sadar tangannya sampai mencengkram pinggang Beryl agar ia tidak banyak bergerak dan memunculkan sisi lain dari dirinya yang sedang coba ia tahan sejak tadi.

“Bey.”

“Hm?”

'Sial, kenapa suaranya jadi seksi begitu?'

Genta berhasil dibuat merinding hanya karena mendengar suara gadis itu. Jantungnya bahkan sampai harus bekerja ekstra cepat begitu Beryl balik menatapnya dengan wajah tipsy yang terkesan lugu, gadis ini betul-betul sedang menguji pertahanan dirinya.

“Apa?” Beryl bertanya dengan sorot matanya yang tak fokus. Keringat di keningnya itu membuat Genta refleks mengusapnya dengan ujung jari.

Sejenak, Genta terpaku pada pahatan nyaris sempurna yang Tuhan ciptakan pada Beryl. Mata yang besar, hidung mancung, bibir tipis, serta lesung pipi yang hanya akan terlihat saat ia tertawa. Beryl terlihat sangat cantik, bahkan dalam keadaan remang-remang di mobilnya saat ini.

Jemari Genta yang semula ia gunakan untuk mengusap peluh di kening Beryl justru merosot turun menyentuh bagian sisi wajah si gadis, kulitnya yang lembut serupa kulit bayi membuat Genta kecanduan ingin menyentuhnya lebih lama lagi.

Kemudian, tatapannya tertuju pada bibir tipis Beryl yang malam ini dioles lip tint berwarna peach. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, ibu jari Genta bergerak untuk menyentuhnya. Mengusap bagian daging kenyal tersebut dari ujung ke ujung dengan mata yang tak lepas dari sana.

Tak puas jika hanya menyentuhnya dengan jari, kini justru bibirnya lah yang menggantikan posisi itu. Beryl sempat kaget awalnya, bisa dilihat dari tubuhnya yang menegang hingga refleks mencengkram bagian depan kaos yang Genta gunakan.

Entah setan apa yang baru saja merasuki Genta, pemuda itu malah bertindak semakin berani. Bibirnya yang semula hanya menempel kini perlahan bergerak untuk melumat bibir Beryl. Gerakannya begitu lembut, melumat bagian atas dan bawah milik si gadis seolah takut akan melukainya jika dirinya berlaku terlalu kasar.

Jika saja berada dalam keadaan normal, Beryl pasti sudah menggeplak kepala Genta karena menciumnya tanpa izin seperti ini. Namun alih-alih melakukan itu, Beryl justru membalas ciuman Genta sembari melingkarkan kembali lengannya di leher si pemuda.

Napas keduanya mulai memburu, tanda bahwa permainan itu mulai naik ke level selanjutnya. Seolah diberi 'akses' oleh Beryl dengan tidak adanya penolakan, kini Genta bergerak semakin berani. Pemuda itu menahan tengkuk Beryl guna memperdalam ciuman mereka, sementara satu tangannya yang bebas menelusup masuk di antara kaos crop top yang gadis itu kenakan.

“Eungh.”

Satu lenguhan lolos dari bibir Beryl saat merasakan milik Genta yang ia duduki semakin keras di bawah sana. Dia bergerak tidak nyaman di pangkuan pemuda itu, namun tindakannya tersebut malah membuat si empunya semakin turn on hingga berakhir menekan pinggang Beryl agar menekan miliknya lebih keras lagi.

Beryl melepaskan ciuman mereka untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, yang kemudian membuat tatapannya langsung bertemu dengan milik Genta yang sudah berkabut diselimuti gairah.

“Genta.”

“Hm?”

“Lo keras.”

Pemuda itu tersenyum tipis, wajahnya ia sembunyikan di antara ceruk leher Beryl yang sempat membuat si empunya berjengit. Sensasi merinding langsung menyapanya saat hangat napas Genta mengenai bagian tersebut.

“Lo yang bikin gue turn on, Bey. Gimana caranya lo bisa bertanggung jawab?”

Alih-alih menjawab, Beryl justru berusaha keras menahan desahan agar tidak keluar saat Genta mulai mencumbu bagian lehernya. Pemuda itu memberikan banyak kecupan di sana, dibarengi oleh satu tangannya yang kembali menerobos masuk ke dalam kaos Beryl dan memberikan usapan lembut di punggungnya.

Genta sudah sepenuhnya hilang akal, sementara Beryl yang masih berada di bawah pengaruh alkohol belum bisa berpikir jernih. Bukannya menolak perlakuan Genta, Beryl malah menikmati setiap sentuhan yang diberikannya.

“I love you, Bey.”

Di sisa kesadarannya itu, Beryl dapat mendengar Genta berucap demikian sebelum satu desahan lolos dari bibirnya begitu si pemuda meninggalkan tanda ke pemilikan di lehernya.

“Toleransi alkoholnya Beryl tuh rendah, minum dikit aja bisa langsung mabok. Makanya gue nggak pernah biarin dia minum sendirian, harus gue yang nemenin atau setidaknya dia ditemenin sama orang yang gue kenal. Soalnya kebiasaan maboknya dia tuh awikwok banget, bisa tiba-tiba aja meluk orang asing di dekatnya. Pokoknya dia tuh bakal berubah jadi clingy nggak jelas gitulah, repot banget pokoknya kalau ngurusin dia pas lagi mabok.”

Divya pernah menjelaskan begitu saat Genta bertanya mengapa gadis itu melarang Beryl untuk minum-minuman beralkohol sewaktu menghadiri acara reuni beberapa bulan lalu. Hal itulah yang juga membuat Genta langsung panik saat mengetahui kalau Beryl pergi ke bar sendirian, ditambah lagi ini di negara orang. Genta tidak bisa membayangkan kekacauan jenis apa yang akan Beryl perbuat di sana.

Berhubung Beryl sendiri juga tidak mau memberitahu di mana lokasinya, oleh karenanya Genta tidak punya pilihan lain selain mendatangi satu persatu bar yang ada di sekitaran villa. Itu dengan asumsi kalau Beryl tidak mungkin pergi ke tempat yang jauh dari villa dengan berjalan kaki, ditambah lagi Beryl juga belum hapal jalanan sini.

Beruntung setelah mendatangi kurang lebih 4 bar, akhirnya Genta bisa menemukan gadis itu di bar ke-5. Matanya agak menyipit begitu menyadari kalau Beryl tidak sedang sendiri, ada satu laki-laki berwajah bule yang kelihatan seperti sedang menggodanya saat ini. Beryl kelihatan risih, berulang kali menyingkirkan tangan laki-laki itu yang mencoba menyentuh bahunya dan mengajaknya pergi.

Tidak terima istrinya diperlakukan demikian, Genta berjalan cepat menghampiri keduanya dan menarik kasar bahu si laki-laki bule agar menyingkir dari sisi Beryl.

“She's my wife,” ucap Genta penuh penekanan, sembari memamerkan cincin nikahnya dengan Beryl yang tersemat di jemari manis si gadis juga dirinya sendiri.

Beruntung laki-laki bule tadi langsung paham, kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka berdua di sana setelah sebelumnya meminta maaf.

“Bey?”

Mendengar namanya disebut, Beryl langsung mendongak. Tatapan matanya yang tidak fokus, wajahnya yang memerah, juga rambutnya yang agak berantakan langsung menyadarkan Genta betapa mabuknya gadis itu sekarang. Entah sudah berapa gelas minuman yang ia teguk sebelum dirinya datang kemari, yang jelas Beryl sudah sepenuhnya mabuk sekarang.

“Bey? Lo bisa dengar gue?” Genta melambaikan tangannya di depan wajah Beryl guna mengetes kefokusan gadis itu.

Namun di luar dugaan, Beryl justru meraih tangannya sembari cengengesan tidak jelas, “Genta ... suami gue.”

Genta tersenyum, agak salah tingkah. “Iya. Ini gue Genta, suami lo. Bisa kita pulang sekarang? Lo udah mabok banget tuh.”

Beryl menggeleng tegas, “Nggak mau.”

“Kenapa nggak mau?”

“Mau paus.”

“Hah?”

“Mau makan ikan paus.”

Belum selesai otak Genta mencerna apa maksud ucapan Beryl, dia sudah dibuat menjerit duluan karena gadis itu tiba-tiba saja menggigit lengannya dengan penuh napsu.

“Bey, ini tangan gue loh bukan ikan paus!” serunya kesal sembari mengusap bagian yang barusan digigit Beryl hingga meninggalkan bekas itu.

Si gadis langsung merengut kecewa, tatapannya berubah sedih. “Ikan paussss...”

“Beneran awikwok banget nih cewek kalau lagi mabuk,” Genta berucap pada dirinya sendiri seraya geleng-geleng kepala, tak habis pikir.

“Ini gue Genta, Bey—–”

“Ikan pausnya mana?”

“Nggak ada ikan paus, adanya cuma gue yang mau ngajakin lo pulang. Jadi ayo kita pulang.”

Masih dengan bibirnya yang mengerucut, Beryl mengulurkan kedua lengannya pada Genta yang berada di sebelah. “Gendong.”

Karena tidak ingin membuang banyak waktu dan mumpung Beryl mau diajak pulang, maka Genta iyakan saja permintaannya itu. Tadinya ia sudah berniat untuk mengangkat tubuh Beryl, namun ternyata gadis itu malah lebih dulu memeluk lehernya sebelum kemudian loncat ke tubuh Genta dan melingkarkan kakinya di pinggang si pemuda. Genta sempat shock awalnya, hampir saja kehilangan keseimbangan karena gerakan mendadak yang Beryl lakukan. Beruntung mereka tidak sampai jatuh tadi.

“Bey, kenapa lo malah cosplay jadi bayi koala begini?”

Beryl masih cemberut, makin cemberut lagi saat Genta berkata begitu. “Gue bayi paus, bukan koala!”

“Lucuan koala tau daripada paus.”

“Lebih lucu paus!”

“Hadehh, yaudah iya lucuan paus.”

Setelah membayar minuman yang diminum Beryl, Genta keluar dari bar tersebut menuju mobil sewaannya yang terparkir, masih dengan Beryl di gendongan. Gadis itu berpegang pada lehernya cukup erat, begitupula dengan lingkaran kakinya di pinggang Genta. Saking eratnya, Genta cukup kesulitan saat ingin mendudukkan gadis itu di kursi penumpang.

“Bey, turun dulu.”

Si gadis menggeleng, “Nggak mau, mau peluk!”

“Ya terus gimana caranya gue nyetir kalau lo nempel ke gue begini?”

Beryl tidak menyahut, namun cekalannya pada leher Genta makin mengerat. Gadis itu seperti tidak punya niatan untuk melepaskannya barang sedetik pun.

“Untung yang lo peluk tuh gue, Bey. Nggak kebayang kalau lo sampai meluk cowok asing kayak gini,” ucap Genta sembari duduk di jok kemudi, pasrah dengan Beryl yang masih menempel di dadanya entah sampai kapan.

Mereka tidak langsung pergi, sebab Genta tidak akan sanggup menyetir dalam keadaan seperti ini. Bagaimana tidak, posisi gadis itu yang kini berada di pangkuannya membuat Genta merasa agak kurang nyaman, hal itu karena pantat si gadis menekan miliknya di bawah sana. Mana sejak tadi Beryl duduknya tidak bisa diam pula, Genta sampai kelimpungan sendiri dibuatnya.

Tanpa sadar tangannya sampai mencengkram pinggang Beryl agar dia tidak banyak bergerak dan memunculkan sisi lain dari dirinya yang sedang coba ia tahan sejak tadi.

“Bey.”

“Hm?”

'Sial, kenapa suaranya jadi seksi begitu?'

Genta berhasil dibuat merinding hanya karena mendengar suara Beryl. Jantungnya bahkan sampai harus bekerja ekstra cepat begitu Beryl balik menatapnya dengan wajah tipsy yang terkesan lugu, gadis ini betul-betul menguji pertahanan dirinya.

“Apa?” Beryl bertanya dengan sorot matanya yang tak fokus. Keringat di keningnya itu membuat Genta refleks mengusapnya dengan ujung jari.

Sejenak, Genta terpaku pada pahatan nyaris sempurna yang Tuhan ciptakan pada Beryl. Mata yang besar, hidung mancung, bibir tipis, serta lesung pipi yang hanya akan terlihat saat ia tertawa. Beryl terlihat sangat cantik, bahkan dalam keadaan remang-remang di mobilnya saat ini.

Jemari Genta yang semula ia gunakan untuk mengusap peluh di kening Beryl justru merosot turun menyentuh bagian sisi wajah si gadis, kulitnya yang lembut serupa kulit bayi membuat Genta kecanduan ingin menyentuhnya lebih lama lagi.

Kemudian, tatapannya tertuju pada bibir tipis Beryl yang malam ini dioles lip tint berwarna peach. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, ibu jari Genta bergerak untuk menyentuhnya. Mengusap bagian daging kenyal tersebut dari ujung ke ujung dengan mata yang tak lepas dari sana.

Tak puas jika hanya menyentuhnya dengan jari, kini justru bibirnya lah yang menggantikan posisi itu. Beryl sempat kaget awalnya, bisa dilihat dari tubuhnya yang sempat menegang hingga refleks mencengkram bagian depan kaos yang Genta gunakan.

Entah setan apa yang baru saja merasuki Genta, pemuda itu malah bertindak semakin berani. Bibirnya yang semula hanya menempel kini perlahan bergerak untuk melumat bibir Beryl. Gerakannya begitu lembut, melumat bagian atas dan bawah milik Beryl seolah takut akan melukai gadis itu jika ia terlalu kasar.

Jika saja berada di keadaan normal, Beryl pasti sudah menggeplak kepala Genta karena menciumnya tanpa izin. Namun alih-alih melakukan itu, Beryl justru membalas ciuman Genta sembari melingkarkan kembali lengannya di leher si pemuda.

Napas keduanya mulai memburu, tanda bahwa permainan mereka mulai naik ke level selanjutnya. Seolah diberi 'akses' oleh Beryl dengan tidak adanya penolakan, kini Genta bergerak semakin berani. Pemuda itu menahan tengkuk Beryl guna memperdalam ciuman mereka, sementara satu tangannya yang bebas menelusup masuk di antara kaos crop top yang gadis itu kenakan.

“Eungh.”

Satu lenguhan lolos dari bibir Beryl saat merasakan milik Genta yang ia duduki semakin keras di bawah sana. Dia bergerak tidak nyaman di pangkuan pemuda itu, namun tindakannya tersebut malah membuat si empunya semakin turn on hingga berakhir menekan pinggang Beryl agar menekan miliknya di bawah sana.

Beryl melepaskan ciuman mereka untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, yang kemudian membuat tatapannya langsung bertemu dengan milik Genta yang sudah berkabut diselimuti gairah.

“Genta.”

“Hm?”

“Lo keras.”

Pemuda itu tersenyum tipis, wajahnya ia sembunyikan di antara ceruk leher Beryl yang sempat membuat si empunya berjengit. Sensasi merinding langsung menyapanya saat hangat napas Genta mengenai bagian lehernya.

“Lo bikin gue turn on, Bey. Gimana caranya lo bisa tanggung jawab?”

Alih-alih menjawab, Beryl justru berusaha keras menahan desahan agar tidak keluar dari bibirnya saat Genta mulai mencumbu bagian lehernya. Pemuda itu memberikan banyak kecupan di sana, dibarengi oleh satu tangannya yang kembali menerobos masuk ke dalam kaos bagian belakang Beryl dan memberikan usapan lembut di punggungnya.

Genta sudah sepenuhnya hilang akal, sementara Beryl yang masih berada di bawah pengaruh alkohol belum bisa berpikir jernih. Bukannya menolak perlakuan Genta, Beryl malah menikmati setiap sentuhan yang diberikannya.

“I love you, Bey.”

Di sisa kesadarannya itu, Beryl dapat mendengar Genta berucap demikian sebelum satu desahan lolos dari bibirnya begitu si pemuda meninggalkan tanda ke pemilikan di lehernya.

“Toleransi alkoholnya Beryl tuh rendah, minum dikit aja bisa langsung mabok. Makanya gue nggak pernah biarin dia minum sendirian, harus gue yang nemenin atau setidaknya dia ditemenin sama orang yang gue kenal. Soalnya kebiasaan maboknya dia tuh awikwok banget, bisa tiba-tiba aja meluk orang asing di dekatnya. Pokoknya dia tuh bakal berubah jadi clingy nggak jelas gitu, repot banget pokoknya kalah ngurusin dia pas lagi mabok.”

Divya pernah menjelaskan begitu saat Genta bertanya mengapa gadis itu melarang Beryl untuk minum-minuman beralkohol sewaktu mereka reuni beberapa bulan lalu. Hal itulah yang juga membuat Genta langsung panik saat mengetahui kalau Beryl pergi ke bar sendirian, ditambah lagi ini di negara orang!

Genta tidak bisa membayangkan kekacauan jenis apa yang akan Beryl perbuat di sana. Karena Beryl tidak mau memberitahu lokasinya, maka dari itu Genta mendatangi satu persatu bar yang berada di sekitaran villa. Dengan asumsi Beryl tidak mungkin pergi ke tempat yang jauh dari villa karena dia berjalan kaki, ditambah lagi Beryl juga belum hapal jalanan sini.

Beruntung setelah mendatangi kurang lebih 4 bar, akhirnya Genta bisa menemukan gadis itu di bar ke 5. Matanya agak menyipit begitu menyadari kalau Beryl tidak sedang sendiri, ada satu laki-laki berwajah bule yang kelihatan seperti sedang menggodanya saat ini. Beryl kelihatan risih, berulang kali menyingkirkan tangan laki-laki itu yang mencoba menyentuh bahunya berulang kali.

Tidak terima istrinya diperlakukan begitu, Genta berjalan cepat menghampiri keduanya dan menarik kasar bahu si laki-laki bule agar menyingkir dari Beryl.

“She's my wife,” ucap Genta penuh penekanan, sembari memamerkan cincin nikahnya dengan Beryl yang tersemat di jemari manis si gadis juga dirinya sendiri.

Beruntung laki-laki bule tadi langsung paham, kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka berdua di sana setelah sebelumnya meminta maaf.

“Bey?”

Mendengar namanya disebut, Beryl langsung mendongak. Tatapan matanya yang tidak fokus, wajahnya yang memerah, juga rambutnya yang agak berantakan langsung menyadarkan Genta betapa mabuknya gadis itu sekarang. Entah sudah berapa gelas minuman yang ia teguk sebelum dirinya datang kemari, yang jelas Beryl sudah sepenuhnya mabuk sekarang.

“Bey? Lo bisa dengar gue?” Genta melambaikan tangannya di depan wajah Beryl guna mengetes kefokusan gadis itu.

Namun di luar dugaan, Beryl justru meraih tangannya sembari cengengesan tidak jelas, “Genta ... suami gue.”

Genta tersenyum, agak salah tingkah. “Iya. Ini gue Genta, suami lo. Bisa kita pulang sekarang? Lo udah mabok banget tuh.”

Beryl menggeleng tegas, “Nggak mau.”

“Kenapa nggak mau?”

“Mau paus.”

“Hah?”

“Mau makan ikan paus.”

Belum selesai otak Genta mencerna apa maksud ucapan Beryl, dia sudah dibuat menjerit duluan karena gadis itu tiba-tiba saja menggigit lengannya dengan penuh napsu.

“Bey, ini tangan gue loh bukan ikan paus!” serunya kesal sembari mengusap bagian yang barusan digigit Beryl hingga meninggalkan bekas itu.

Si gadis langsung merengut kecewa, tatapannya berubah sedih. “Ikan paussss...”

“Beneran awikwok banget nih cewek kalau lagi mabuk,” Genta berucap pada dirinya sendiri seraya geleng-geleng kepala, tak habis pikir.

“Ini gue Genta, Bey—–”

“Ikan pausnya mana?”

“Nggak ada ikan paus, adanya cuma gue yang mau ngajakin lo pulang. Jadi ayo kita pulang.”

Masih dengan bibirnya yang mengerucut, Beryl mengulurkan kedua lengannya pada Genta yang berada di sebelah. “Gendong.”

Karena tidak ingin membuang banyak waktu dan mumpung Beryl mau diajak pulang, maka Genta iyakan saja permintaannya itu. Tadinya ia sudah berniat untuk mengangkat tubuh Beryl, namun ternyata gadis itu malah lebih dulu memeluk lehernya sebelum kemudian loncat ke tubuh Genta dan melingkarkan kakinya di pinggang si pemuda. Genta sempat shock awalnya, hampir saja kehilangan keseimbangan karena gerakan mendadak yang Beryl lakukan. Beruntung mereka tidak sampai jatuh tadi.

“Bey, kenapa lo malah cosplay jadi bayi koala begini?”

Beryl masih cemberut, makin cemberut lagi saat Genta berkata begitu. “Gue bayi paus, bukan koala!”

“Lucuan koala tau daripada paus.”

“Lebih lucu paus!”

“Hadehh, yaudah iya lucuan paus.”

Setelah membayar minuman yang diminum Beryl, Genta keluar dari bar tersebut menuju mobil sewaannya yang terparkir, masih dengan Beryl di gendongan. Gadis itu berpegang pada lehernya cukup erat, begitupula dengan lingkaran kakinya di pinggang Genta. Saking eratnya, Genta cukup kesulitan saat ingin mendudukkan gadis itu di kursi penumpang.

“Bey, turun dulu.”

Si gadis menggeleng, “Nggak mau, mau peluk!”

“Ya terus gimana caranya gue nyetir kalau lo nempel ke gue begini?”

Beryl tidak menyahut, namun cekalannya pada leher Genta makin mengerat. Gadis itu seperti tidak punya niatan untuk melepaskannya barang sedetik pun.

“Untung yang lo peluk tuh gue, Bey. Nggak kebayang kalau lo sampai meluk cowok asing kayak gini,” ucap Genta sembari duduk di jok kemudi, pasrah dengan Beryl yang masih menempel di dadanya entah sampai kapan.

Mereka tidak langsung pergi, sebab Genta tidak akan sanggup menyetir dalam keadaan seperti ini. Bagaimana tidak, posisi gadis itu yang kini berada di pangkuannya membuat Genta merasa agak kurang nyaman, hal itu karena pantat si gadis menekan miliknya di bawah sana. Mana sejak tadi Beryl duduknya tidak bisa diam pula, Genta sampai kelimpungan sendiri dibuatnya.

Tanpa sadar tangannya sampai mencengkram pinggang Beryl agar dia tidak banyak bergerak dan memunculkan sisi lain dari dirinya yang sedang coba ia tahan sejak tadi.

“Bey.”

“Hm?”

'Sial, kenapa suaranya jadi seksi begitu?'

Genta berhasil dibuat merinding hanya karena mendengar suara Beryl. Jantungnya bahkan sampai harus bekerja ekstra cepat begitu Beryl balik menatapnya dengan wajah tipsy yang terkesan lugu, gadis ini betul-betul menguji pertahanan dirinya.

“Apa?” Beryl bertanya dengan sorot matanya yang tak fokus. Keringat di keningnya itu membuat Genta refleks mengusapnya dengan ujung jari.

Sejenak, Genta terpaku pada pahatan nyaris sempurna yang Tuhan ciptakan pada Beryl. Mata yang besar, hidung mancung, bibir tipis, serta lesung pipi yang hanya akan terlihat saat ia tertawa. Beryl terlihat sangat cantik, bahkan dalam keadaan remang-remang di mobilnya saat ini.

Jemari Genta yang semula ia gunakan untuk mengusap peluh di kening Beryl justru merosot turun menyentuh bagian sisi wajah si gadis, kulitnya yang lembut serupa kulit bayi membuat Genta kecanduan ingin menyentuhnya lebih lama lagi.

Kemudian, tatapannya tertuju pada bibir tipis Beryl yang malam ini dioles lip tint berwarna peach. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, ibu jari Genta bergerak untuk menyentuhnya. Mengusap bagian daging kenyal tersebut dari ujung ke ujung dengan mata yang tak lepas dari sana.

Tak puas jika hanya menyentuhnya dengan jari, kini justru bibirnya lah yang menggantikan posisi itu. Beryl sempat kaget awalnya, bisa dilihat dari tubuhnya yang sempat menegang hingga refleks mencengkram bagian depan kaos yang Genta gunakan.

Entah setan apa yang baru saja merasuki Genta, pemuda itu malah bertindak semakin berani. Bibirnya yang semula hanya menempel kini perlahan bergerak untuk melumat bibir Beryl. Gerakannya begitu lembut, melumat bagian atas dan bawah milik Beryl seolah takut akan melukai gadis itu jika ia terlalu kasar.

Jika saja berada di keadaan normal, Beryl pasti sudah menggeplak kepala Genta karena menciumnya tanpa izin. Namun alih-alih melakukan itu, Beryl justru membalas ciuman Genta sembari melingkarkan kembali lengannya di leher si pemuda.

Napas keduanya mulai memburu, tanda bahwa permainan mereka mulai naik ke level selanjutnya. Seolah diberi 'akses' oleh Beryl dengan tidak adanya penolakan, kini Genta bergerak semakin berani. Pemuda itu menahan tengkuk Beryl guna memperdalam ciuman mereka, sementara satu tangannya yang bebas menelusup masuk di antara kaos crop top yang gadis itu kenakan.

“Eungh.”

Satu lenguhan lolos dari bibir Beryl saat merasakan milik Genta yang ia duduki semakin keras di bawah sana. Dia bergerak tidak nyaman di pangkuan pemuda itu, namun tindakannya tersebut malah membuat si empunya semakin turn on hingga berakhir menekan pinggang Beryl agar menekan miliknya di bawah sana.

Beryl melepaskan ciuman mereka untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, yang kemudian membuat tatapannya langsung bertemu dengan milik Genta yang sudah berkabut diselimuti gairah.

“Genta.”

“Hm?”

“Lo keras.”

Pemuda itu tersenyum tipis, wajahnya ia sembunyikan di antara ceruk leher Beryl yang sempat membuat si empunya berjengit. Sensasi merinding langsung menyapanya saat hangat napas Genta mengenai bagian lehernya.

“Lo bikin gue turn on, Bey. Gimana caranya lo bisa tanggung jawab?”

Alih-alih menjawab, Beryl justru berusaha keras menahan desahan agar tidak keluar dari bibirnya saat Genta mulai mencumbu bagian lehernya. Pemuda itu memberikan banyak kecupan di sana, dibarengi oleh satu tangannya yang kembali menerobos masuk ke dalam kaos bagian belakang Beryl dan memberikan usapan lembut di punggungnya.

Genta sudah sepenuhnya hilang akal, sementara Beryl yang masih berada di bawah pengaruh alkohol belum bisa berpikir jernih. Bukannya menolak perlakuan Genta, Beryl malah menikmati setiap sentuhan yang diberikannya.

“I love you, Bey.”

Di sisa kesadarannya itu, Beryl dapat mendengar Genta berucap demikian sebelum satu desahan lolos dari bibirnya begitu si pemuda meninggalkan tanda ke pemilikan di lehernya.

“Toleransi alkoholnya Beryl tuh rendah, minum dikit aja bisa langsung mabok. Makanya gue nggak pernah biarin dia minum sendirian, harus gue yang nemenin atau setidaknya dia ditemenin sama orang yang gue kenal. Soalnya kebiasaan maboknya dia tuh awikwok banget, bisa tiba-tiba aja meluk orang asing di dekatnya. Pokoknya dia tuh bakal berubah jadi clingy nggak jelas gitu, repot banget pokoknya kalah ngurusin dia pas lagi mabok.”

Divya pernah menjelaskan begitu saat Genta bertanya mengapa gadis itu melarang Beryl untuk minum-minuman beralkohol sewaktu mereka reuni beberapa bulan lalu. Hal itulah yang juga membuat Genta langsung panik saat mengetahui kalau Beryl pergi ke bar sendirian, ditambah lagi ini di negara orang!

Genta tidak bisa membayangkan kekacauan jenis apa yang akan Beryl perbuat di sana. Karena Beryl tidak mau memberitahu lokasinya, maka dari itu Genta mendatangi satu persatu bar yang berada di sekitaran villa. Dengan asumsi Beryl tidak mungkin pergi ke tempat yang jauh dari villa karena dia berjalan kaki, ditambah lagi Beryl juga belum hapal jalanan sini.

Beruntung setelah mendatangi kurang lebih 4 bar, akhirnya Genta bisa menemukan gadis itu di bar ke 5. Matanya agak menyipit begitu menyadari kalau Beryl tidak sedang sendiri, ada satu laki-laki berwajah bule yang kelihatan seperti sedang menggodanya saat ini. Beryl kelihatan risih, berulang kali menyingkirkan tangan laki-laki itu yang mencoba menyentuh bahunya berulang kali.

Tidak terima istrinya diperlakukan begitu, Genta berjalan cepat menghampiri keduanya dan menarik kasar bahu si laki-laki bule agar menyingkir dari Beryl.

“She's my wife,” ucap Genta penuh penekanan, sembari memamerkan cincin nikahnya dengan Beryl yang tersemat di jemari manis si gadis juga dirinya sendiri.

Beruntung laki-laki bule tadi langsung paham, kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka berdua di sana setelah sebelumnya meminta maaf.

“Bey?”

Mendengar namanya disebut, Beryl langsung mendongak. Tatapan matanya yang tidak fokus, wajahnya yang memerah, juga rambutnya yang agak berantakan langsung menyadarkan Genta betapa mabuknya gadis itu sekarang. Entah sudah berapa gelas minuman yang ia teguk sebelum dirinya datang kemari, yang jelas Beryl sudah sepenuhnya mabuk sekarang.

“Bey? Lo bisa dengar gue?” Genta melambaikan tangannya di depan wajah Beryl guna mengetes kefokusan gadis itu.

Namun di luar dugaan, Beryl justru meraih tangannya sembari cengengesan tidak jelas, “Genta ... suami gue.”

Genta tersenyum, agak salah tingkah. “Iya. Ini gue Genta, suami lo. Bisa kita pulang sekarang? Lo udah mabok banget tuh.”

Beryl menggeleng tegas, “Nggak mau.”

“Kenapa nggak mau?”

“Mau paus.”

“Hah?”

“Mau makan ikan paus.”

Belum selesai otak Genta mencerna apa maksud ucapan Beryl, dia sudah dibuat menjerit duluan karena gadis itu tiba-tiba saja menggigit lengannya dengan penuh napsu.

“Bey, ini tangan gue loh bukan ikan paus!” serunya kesal sembari mengusap bagian yang barusan digigit Beryl hingga meninggalkan bekas itu.

Si gadis langsung merengut kecewa, tatapannya berubah sedih. “Ikan paussss...”

“Beneran awikwok banget nih cewek kalau lagi mabuk,” Genta berucap pada dirinya sendiri seraya geleng-geleng kepala, tak habis pikir.

“Ini gue Genta, Bey—–”

“Ikan pausnya mana?”

“Nggak ada ikan paus, adanya cuma gue yang mau ngajakin lo pulang. Jadi ayo kita pulang.”

Masih dengan bibirnya yang mengerucut, Beryl mengulurkan kedua lengannya pada Genta yang berada di sebelah. “Gendong.”

Karena tidak ingin membuang banyak waktu dan mumpung Beryl mau diajak pulang, maka Genta iyakan saja permintaannya itu. Tadinya ia sudah berniat untuk mengangkat tubuh Beryl, namun ternyata gadis itu malah lebih dulu memeluk lehernya sebelum kemudian loncat ke tubuh Genta dan melingkarkan kakinya di pinggang si pemuda. Genta sempat shock awalnya, hampir saja kehilangan keseimbangan karena gerakan mendadak yang Beryl lakukan. Beruntung mereka tidak sampai jatuh tadi.

“Bey, kenapa lo malah cosplay jadi bayi koala begini?”

Beryl masih cemberut, makin cemberut lagi saat Genta berkata begitu. “Gue bayi paus, bukan koala!”

“Lucuan koala tau daripada paus.”

“Lebih lucu paus!”

“Hadehh, yaudah iya lucuan paus.”

Setelah membayar minuman yang diminum Beryl, Genta keluar dari bar tersebut menuju mobil sewaannya yang terparkir, masih dengan Beryl di gendongan. Gadis itu berpegang pada lehernya cukup erat, begitupula dengan lingkaran kakinya di pinggang Genta. Saking eratnya, Genta cukup kesulitan saat ingin mendudukkan gadis itu di kursi penumpang.

“Bey, turun dulu.”

Si gadis menggeleng, “Nggak mau, mau peluk!”

“Ya terus gimana caranya gue nyetir kalau lo nempel ke gue begini?”

Beryl tidak menyahut, namun cekalannya pada leher Genta makin mengerat. Gadis itu seperti tidak punya niatan untuk melepaskannya barang sedetik pun.

“Untung yang lo peluk tuh gue, Bey. Nggak kebayang kalau lo sampai meluk cowok asing kayak gini,” ucap Genta sembari duduk di jok kemudi, pasrah dengan Beryl yang masih menempel di dadanya entah sampai kapan.

Mereka tidak langsung pergi, sebab Genta tidak akan sanggup menyetir dalam keadaan seperti ini. Bagaimana tidak, posisi gadis itu yang kini berada di pangkuannya membuat Genta merasa agak kurang nyaman, hal itu karena pantat si gadis menekan miliknya di bawah sana. Mana sejak tadi Beryl duduknya tidak bisa diam pula, Genta sampai kelimpungan sendiri dibuatnya.

Tanpa sadar tangannya sampai mencengkram pinggang Beryl agar dia tidak banyak bergerak dan memunculkan sisi lain dari dirinya yang sedang coba ia tahan sejak tadi.

“Bey.”

“Hm?”

'Sial, kenapa suaranya jadi seksi begitu?'

Genta berhasil dibuat merinding hanya karena mendengar suara Beryl. Jantungnya bahkan sampai harus bekerja ekstra cepat begitu Beryl balik menatapnya dengan wajah tipsy yang terkesan lugu, gadis ini betul-betul menguji pertahanan dirinya.

“Apa?” Beryl bertanya dengan sorot matanya yang tak fokus. Keringat di keningnya itu membuat Genta refleks mengusapnya dengan ujung jari.

Sejenak, Genta terpaku pada pahatan nyaris sempurna yang Tuhan ciptakan pada Beryl. Mata yang besar, hidung mancung, bibir tipis, serta lesung pipi yang hanya akan terlihat saat ia tertawa. Beryl terlihat sangat cantik, bahkan dalam keadaan remang-remang di mobilnya saat ini.

Jemari Genta yang semula ia gunakan untuk mengusap peluh di kening Beryl justru merosot turun menyentuh bagian sisi wajah si gadis, kulitnya yang lembut serupa kulit bayi membuat Genta kecanduan ingin menyentuhnya lebih lama lagi.

Kemudian, tatapannya tertuju pada bibir tipis Beryl yang malam ini dioles lip tint berwarna peach. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, ibu jari Genta bergerak untuk menyentuhnya. Mengusap bagian daging kenyal tersebut dari ujung ke ujung dengan mata yang tak lepas dari sana.

Tak puas jika hanya menyentuhnya dengan jari, kini justru bibirnya lah yang menggantikan posisi itu. Beryl sempat kaget awalnya, bisa dilihat dari tubuhnya yang sempat menegang hingga refleks mencengkram bagian depan kaos yang Genta gunakan.

Entah setan apa yang baru saja merasuki Genta, pemuda itu malah bertindak semakin berani. Bibirnya yang semula hanya menempel kini perlahan bergerak untuk melumat bibir Beryl. Gerakannya begitu lembut, melumat bagian atas dan bawah milik Beryl seolah takut akan melukai gadis itu jika ia terlalu kasar.

Jika saja berada di keadaan normal, Beryl pasti sudah menggeplak kepala Genta karena menciumnya tanpa izin. Namun alih-alih melakukan itu, Beryl justru membalas ciuman Genta sembari melingkarkan kembali lengannya di leher si pemuda.

Napas keduanya mulai memburu, tanda bahwa permainan mereka mulai naik ke level selanjutnya. Seolah diberi 'akses' oleh Beryl dengan tidak adanya penolakan, kini Genta bergerak semakin berani. Pemuda itu menahan tengkuk Beryl guna memperdalam ciuman mereka, sementara satu tangannya yang bebas menelusup masuk di antara kaos crop top yang gadis itu kenakan.

“Eungh.”

Satu lenguhan lolos dari bibir Beryl saat merasakan milik Genta yang ia duduki semakin keras di bawah sana. Dia bergerak tidak nyaman di pangkuan pemuda itu, namun tindakannya tersebut malah membuat si empunya semakin turn on hingga berakhir menekan pinggang Beryl agar menekan miliknya di bawah sana.

Beryl melepaskan ciuman mereka untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, yang kemudian membuat tatapannya langsung bertemu dengan milik Genta yang sudah berkabut diselimuti gairah.

“Genta.”

“Hm?”

“Lo keras.”

Pemuda itu tersenyum tipis, wajahnya ia sembunyikan di antara ceruk leher Beryl yang sempat membuat si empunya berjengit. Sensasi merinding langsung menyapanya saat hangat napas Genta mengenai bagian lehernya.

“Lo bikin gue turn on, Bey. Gimana caranya lo bisa tanggung jawab?”

Alih-alih menjawab, Beryl justru berusaha keras menahan desahan agar tidak keluar dari bibirnya saat Genta mulai mencumbu bagian lehernya. Pemuda itu memberikan banyak kecupan di sana, dibarengi oleh satu tangannya yang kembali menerobos masuk ke dalam kaos bagian belakang Beryl dan memberikan usapan lembut di punggungnya.

Genta sudah sepenuhnya hilang akal, sementara Beryl yang masih berada di bawah pengaruh alkohol belum bisa berpikir jernih. Bukannya menolak perlakuan Genta, Beryl malah menikmati setiap sentuhan yang diberikannya.

“I love you, Bey.”

Di sisa kesadarannya itu, Beryl dapat mendengar Genta berucap demikian sebelum satu desahan lolos dari bibirnya begitu si pemuda meninggalkan tanda ke pemilikan di lehernya.

Widih, cewek caper mana lagi tuh?” sindir Kila yang tidak sengaja melirik room chat suaminya dengan perempuan bernama Davina tersebut.

Awan tersenyum, merentangkan satu tangannya pada Kila dan membiarkan wanita itu bersandar di dadanya. Awan bahkan tidak ragu memberikan ponselnya pada sang istri agar Kila bisa melihat lebih banyak isi chatnya bersama Davina.

“Namanya Vina. Asisten baru saya di kantor,” jawabnya kalem.

Ketenangan di wajah Awan sangat berbeda jauh dengan ekspresi Kila yang begitu kesal sekarang. Terlebih lagi semakin di-scroll ke atas, semakin kurang ajar saja si Davina-Davina itu. Kila kesal.

“Kayaknya dia suka deh sama kamu, Kak.”

“Nggak kok. Mana mungkin, La. Dia kerja sama saya aja belum ada seminggu.”

“Ya kan jatuh cinta bisa terjadi dalam hitungan detik!” Kila mendengus sebal, kemudian meletakkan ponsel Awan dengan kasar ke atas nakas yang berada di sisi kirinya. “Lagipula ya, aku tuh sama-sama perempuan. Aku tau banget gimana ciri-ciri perempuan yang lagi naksir sama laki-laki. Ya kayak gitu tuh, caper!”

Ini mungkin aneh, tapi sejak dulu Awan selalu suka setiap kali Kila marah atau kesal. Keningnya akan berkerut, bibirnya mengerucut, kemudian disertai hembusan napas kasar. Itu terlihat begitu menggemaskan di mata Awan. Refleks pria itu mengusak pelan puncak kepala sang istri yang masih bersandar nyaman di dadanya.

“Kamu marah ya?” tanyanya iseng, meski sebenarnya ia sendiri sudah tau apa jawabannya.

Lagi, Kila mendengus kesal. “Iya sih, dikit.”

“Banyak juga nggak apa-apa kok, Kila.”

“Nggak, ah. Males!”

“Kamu nggak mau marah-marahin dia? Dimaki-maki gitu, kayak kamu biasanya kalau nemu ada cewek caper ke saya?”

Kila mendelik kesal pada sang suami, membuat Awan terkekeh geli lalu iseng mencium puncak hidungnya. Pada akhirnya Kila luluh juga, lalu memilih untuk membuang pandangannya ke arah lain.

“Untuk sekarang biarin aja dulu. Kalau dirasa udah keterlaluan, baru ntar aku labrak.”

Awan agak bergidik ngeri saat mendengar kata labrak yang keluar dari bibir wanita di dekapannya ini. Masalahnya, jauh sebelum itu, lebih tepatnya 2 tahun lalu, Kila pernah jatuh dari tangga dan berujung keguguran akibat melabrak Lian. Awan hanya takut hal yang sama akan terulang lagi suatu saat, jangan sampai.

Awan harap, hal-hal buruk seperti itu tidak akan pernah terulang lagi. Sebab, momen tersebut sudah masuk ke dalam salah satu kenangan terburuk di hidupnya.

Widih, cewek caper mana lagi tuh?” sindir Kila yang tidak sengaja melirik room chat suaminya dengan perempuan bernama Davina tersebut.

Awan tersenyum, merentangkan satu tangannya pada Kila dan membiarkan wanita itu bersandar di dadanya. Awan bahkan tidak ragu memberikan ponselnya pada sang istri agar Kila bisa melihat lebih banyak isi chatnya bersama Davina.

“Namanya Vina. Asisten baru saya di kantor,” jawabnya kalem.

Ketenangan di wajah Awan sangat berbeda jauh dengan ekspresi Kila yang begitu kesal sekarang. Terlebih lagi semakin di-scroll ke atas, semakin kurang ajar saja si Davina-Davina itu. Kila kesal.

“Kayaknya dia suka deh sama kamu, Kak.”

“Nggak kok. Mana mungkin, La. Dia kerja sama saya aja belum ada seminggu.”

“Ya kan jatuh cinta bisa terjadi dalam hitungan detik!” Kila mendengus sebal, kemudian meletakkan ponsel Awan dengan kasar ke atas nakas yang berada di sisi kirinya. “Lagipula ya, aku tuh sama-sama perempuan. Aku tau banget gimana ciri-ciri perempuan yang lagi naksir sama laki-laki. Ya kayak gitu tuh, caper!”

Ini mungkin aneh, tapi sejak dulu Awan selalu suka setiap kali Kila marah atau kesal. Keningnya akan berkerut, bibirnya mengerucut, kemudian disertai hembusan napas kasar. Itu terlihat begitu menggemaskan di mata Awan. Refleks pria itu mengusak pelan puncak kepala sang istri yang masih bersandar nyaman di dadanya.

“Kamu marah ya?” tanyanya iseng, meski sebenarnya ia sendiri sudah tau apa jawabannya.

Lagi, Kila mendengus kesal. “Iya sih, dikit.”

“Banyak juga nggak apa-apa kok, Kila.”

“Nggak, ah. Males!”

“Kamu nggak mau marah-marahin dia? Dimaki-maki gitu, kayak kamu biasanya kalau nemu ada cewek caper ke saya?”

Kila mendelik kesal pada sang suami, membuat Awan terkekeh geli lalu iseng mencium puncak hidungnya. Pada akhirnya Kila luluh juga, lalu memilih untuk membuang pandangannya ke arah lain.

“Untuk sekarang biarin aja dulu. Kalau dirasa udah keterlaluan, baru ntar aku labrak.”

Awan agak bergidik ngeri saat mendengar kata labrak yang keluar dari bibir wanita di dekapannya ini. Masalahnya, jauh sebelum itu, lebih tepatnya 2 tahun lalu, Kila pernah jatuh dari tangga dan berujung keguguran akibat melabrak Lian. Awan hanya takut hal yang sama akan terulang lagi suatu saat, jangan sampai.

Awan harap, hal-hal buruk seperti itu tidak akan pernah terulang lagi. Sebab, momen tersebut sudah masuk ke dalam salah satu kenangan terburuk di hidupnya.