Kegilaan Miranda

Lokasi yang diberikan Miranda rupanya menuju pada sebuah bangunan tua bekas pabrik yang kelihatan sudah tidak dipakai lagi. Jarak menuju ke tempat itu hanya memakan waktu kurang lebih 45 menit dari kantornya.

Biru memarkirkan mobilnya tak jauh dari bangunan tersebut. Daerah sekitar sini sepi, kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk maka sudah pasti akan sangat sulit meminta pertolongan. Beruntung, ia sudah mengirim pesan pada Raje untuk datang kemari satu jam kemudian. Berjaga-jaga jika hal buruk itu betulan terjadi.

Sepatu yang dikenakannya tak sengaja menginjak genangan air begitu keluar dari mobil. Angin yang bertiup di sela dedaunan pohon di sekitarnya entah kenapa membuat Biru merinding, suasana sepi di area ini benar-benar menciptakan tampilan yang horor meski sekarang baru memasuki jam 12 siang.

Mengabaikan kesan horor tempat ini, Biru berjalan mantap memasuki bangunan tua tersebut dan langsung disambut oleh aroma yang familiar dari dalam sana. Suara pintu yang berderit saat dibuka membuat semua orang yang ada di tempat itu menoleh bersamaan ke arahnya, termasuk Sabrina yang terduduk di sebuah kursi dengan tubuh terikat.

“Sabrina...”

Saat melihat istrinya diperlakukan demikian, Biru refleks berlari mendekatinya. Namun saat tinggal beberapa meter saja jarak mereka, tubuh Biru langsung dicekal oleh dua orang laki-laki asing bertubuh cukup besar di kanan-kirinya. Biru mencoba berontak sebisanya, menendang angin dengan kakinya, serta mulut yang tak berhenti mengeluarkan sumpah serapah pada siapapun yang ada di sana.

“Santai sedikit, Sabiru. Lo baru datang, jangan langsung bikin rusuh.”

Pandangan Biru langsung tertuju pada sosok Miranda yang duduk santai bak seorang ratu di singgasananya, meskipun tempat ini lebih terlihat seperti penjara ketimbang kerajaan.

“Lo ... udah gue bilang lo bakal habis di tangan gue kalau sampai macam-macam sama Sabrina!” Biru berteriak murka meski tubuhnya masih dicekal hingga ia kesulitan bergerak.

Miranda tersenyum geli sebagai reaksi, “Oh ya? Emang lo bakal ngapain gue sih? Mau mukul gue sekarang? Mau ngehajar gue? Atau mau nuntut gue?”

“Bahkan lebih buruk dari itu, gue nggak segan buat bunuh lo dengan tangan gue sendiri sampai lo berani nyakitin Sabrina.”

“Oh, nyakitin Sabrina ya?” Seolah merasa tertantang, Miranda bangkit dari singgasananya dan berjalan pelan mendekati Sabrina. Saat posisinya sudah lebih dekat, tanpa aba-aba Miranda langsung menjambak rambut Sabrina dengan kasar hingga membuat si empunya meringis kesakitan. “Kayak gini maksud lo, Bi?”

“Brengsek, singkirin tangan sialan lo itu sekarang juga!”

Kulit kepala Sabrina rasanya seperti ingin lepas saking kuatnya Miranda menarik rambutnya. Jika saja tubuhnya tidak terikat begini, tanpa pikir panjang Sabrina akan balik menjambak rambut Miranda hingga rontok sekalian. Benci sekali rasanya melihat Miranda masih bisa tertawa seperti sekarang setelah apa yang ia lakukan.

“Kamu curang,” desis Sabrina pelan, nyaris seperti bisikan.

“Apa?” Suara lirih Sabrina membuat Miranda menoleh dengan kening berkerut, “Lo ngomong apa barusan?”

“Kamu curang,” ulang Sabrina lagi dengan suara yang lebih keras. “Tadi katanya kamu mau main sama saya kan? Kalau gitu ayo kita main, hanya kita berdua tanpa bawa-bawa orang lain apalagi Biru. Tapi sebelum itu, lepasin saya dulu.”

Entah apa yang lucu, Miranda justru tertawa mendengar kalimat Sabrina. Wanita itu melepaskan tangannya dari rambut Sabrina dan mulai berjongkok seraya berkata, “Gue emang mau main, tapi permainan nggak akan seru kalau nggak ada yang nonton kan?”

“Di sini udah ada Evan, juga 7 orang cowok asing yang kayaknya teman kamu dan Evan. Mereka cukup jadi penonton kan? Nggak usah bawa-bawa Biru.”

“Sabrina!” Biru kelihatan kesal sekali saat mendengar istrinya berkata demikian. Seolah mendapat kekuatan lebih, cekalan dua orang tadi bahkan sampai terlepas saat ia berontak. “Kamu nggak seharusnya bilang kayak gitu di situasi sekarang!”

Miranda memberikan kode pada dua orang tadi untuk mundur dan membiarkan Biru lepas.Toh, Biru juga tidak akan mampu menyakitinya selagi ada Evan di dekatnya yang sigap melindungi. Kedua pria tadi langsung mengerti dan memilih untuk menepi.

Ucapan Biru barusan tak dipedulikan oleh Sabrina. Wanita itu lanjut bicara tanpa menoleh pada sang suami, ia hanya fokus pada Miranda untuk saat ini. “Saya tau kamu mungkin kesal sama Biru, tapi kamu jelas menyimpan dendam sama saya kan? Di mata kamu, saya mungkin terlihat seperti wanita perusak hubungan yang tidak tau malu malah menikah dengan pacarmu. Padahal kamu sama Biru sudah sejak lama menjalin hubungan, sementara saya cuma orang baru yang mendadak hadir di tengah kalian.”

“Bagus ternyata lo sadar diri,” komentar Miranda.

“Tapi kamu sadar nggak, kalau rasa cinta di antara kamu dan Biru itu udah habis? Biru udah sadar sejak lama, tapi kelihatannya kamu nggak.” Sabrina mencondongkan sedikit wajahnya agar lebih dekat dengan Miranda. “Mir, yang kamu punya sekarang itu bukan cinta melainkan obsesi. Kamu nggak terima kalau sekarang Biru cintanya sama saya, bukan sama kamu lagi. Makanya kamu melakukan berbagai cara buat dapetin Biru lagi sampai melakukan hal konyol dengan pura-pura dihamili sama dia.”

“Lo nggak usah sok tau deh tentang gue!”

“Maaf kalau kesannya kasar. Tapi saya rasa, kamu itu sakit. Bukan fisik kamu, tapi mental kamu yang bermasalah. Saran saya, coba datang ke psikiater atau psikolog buat periksa.”

PLAK

“TUTUP MULUT LO, DASAR JALANG!”

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Sabrina. Rasanya sakit juga perih, tapi dari sana ia sadar bahwa sebesar itu pula amarah Miranda terhadapnya. Meskipun tidak secara langsung, tapi Sabrina sadar bahwa salah satu penyebab Miranda jadi seperti ini tidak lain adalah karena dirinya juga. Oleh karena itu ia tidak marah saat Miranda menamparnya, beda halnya dengan Biru yang langsung emosi.

“ANJING, BERANI-BERANINYA LO NAMPAR SABRINA!”

Biru sudah maju ingin menyerang balik Miranda, namun tubuh Evan justru menghalangi langkahnya. “Minggir, biar gue kasih pelajaran tuh cewek lo!”

“Gue nggak akan biarin lo nyentuh Miranda,” ucapan Evan membuat Miranda tersenyum dibalik punggungnya.

Biru makin kesal dibuatnya, “Terus menurut lo, gue bakal terima aja saat cewek lo nyentuh istri gue?”

“Kalau lo mau nyelametin istri lo, lawan dulu sana teman-teman gue.”

Setelahnya, Evan memberikan kode pada 7 orang laki-laki yang sejak tadi berdiri tanpa bicara itu. Salah satunya bahkan tanpa aba-aba langsung menyerang perut Biru hingga membuatnya meringis kesakitan. Seolah tidak ingin memberi Biru waktu bahkan untuk sekedar berdiri dengan benar, salah satu dari pria-pria tadi lanjut memukul wajah Biru hingga ia dapat merasakan darahnya sendiri di dalam mulut.

Biru sudah lama sekali tidak berkelahi, mungkin terakhir kali itu waktu zaman kuliah ketika ia menyerang 2 orang preman yang mencegatnya di jalan karena hendak merampoknya. Karena jumlahnya hanya 2 orang, Biru bisa mengatasinya seorang diri. Namun sekarang keadaannya jelas berbeda, mau sebugar apapun kondisinya saat ini kalau yang dilawan 7 orang sekaligus ya Biru kewalahan juga. Terlebih orang-orang yang menyerangnya sekarang ketara sekali berpengalaman untuk hal-hal seperti ini.

Maka setelah kurang lebih dua puluh menit pertarungan yang lebih pantas disebut penyerangan, Biru akhirnya menyerah. Tubuhnya merosot ke lantai dengan kondisi yang memprihatinkan. Tubuhnya terasa sakit setelah dipukul di sana-sini, rambutnya yang semula tertata rapi kali ini tampak awut-awutan, dasi di lehernya sampai melonggar, dan kemeja putih yang ia kenakan kini tampak lusuh juga kotor oleh darahnya sendiri. Aroma itu, Biru bisa menciumnya dengan jelas dari posisinya sekarang.

“Kenapa diam? Serang balik dong merekanya, kenapa menyerah sekarang? Emangnya nggak mau nyelametin Sabrina?” kalimat Miranda sekilas seperti sedang menyemangati Biru, meski pada kenyataannya Miranda hanya ingin memanas-manasi pria itu saja.

Biru mengepalkan kedua tangan yang menahan tubuhnya di lantai, matanya yang lebam setelah kena pukul agak menyipit memandang ke arah Miranda. Demi Tuhan, apapun yang terjadi Biru tidak akan membiarkan wanita itu lolos setelah apa yang dia perbuat padanya juga Sabrina. Biru pastikan Miranda akan mendapatkan hukuman yang setimpal.

Sabrina yang sejak tadi hanya bisa menonton Biru dipukul oleh preman-preman itu pada akhirnya kembali buka suara, tidak tega rasanya melihat kondisi Biru saat ini. Ia bahkan berusaha keras untuk tidak menangis karena enggan menunjukkan air matanya di depan Miranda.

“Udah cukup, Miranda. Sekarang bilang apa mau kamu sampai nekat nyulik saya begini?”

“Ah iya, gue hampir lupa.” Miranda tersenyum misterius pada Sabrina sebelum kemudian berjalan mendekati Biru dan ikut berjongkok di hadapan pria itu. “Gue mau lo tanda tangani ini.”

“Apa itu?” Biru tidak mau repot membuka map tersebut, bahkan melirik saja tidak.

“Oh, ini. Cuma surat perjanjian kok.” Lagi, Miranda tersenyum misterius. Ia membuka map tersebut hingga menampilkan sebuah kertas yang berisi 3 poin perjanjian di hadapan Biru. “Poin pertama, lo berjanji untuk mencabut tuntutan lo sebelumnya. Poin kedua, lo dilarang melaporkan kejadian hari ini pada pihak kepolisian apalagi nambah tuntutan lo di pengadilan. Poin ketiga, gue minta lo buat ngirim gue dan Evan ke Aussie. Waktu itu lo emang berencana buat ngirim gue ke sana kan? Lo bahkan udah beliin unit apartemen buat gue. Jadi mari kita realisasikan itu, gue bersedia kok buat tinggal di sana. Di poin ketiga ini juga lo harus ngirim uang 300 juta ke gue secara rutin setiap bulannya. Gimana, lo setuju?”

“Kenapa gue harus ngelakuin itu?”

“Terus menurut lo, mati di tempat ini terdengar lebih baik? Sabiru, lo pikir lo dan Sabrina bisa keluar dari sini dengan selamat kalau nggak nurut apa kata gue? Kalau lo bersedia menandatangani perjanjian ini, gue bakal biarin lo dan Sabrina pergi sekarang juga.”

Sabrina yang masih bisa mendengar ucapan Miranda di kursinya langsung refleks tertawa geli, “Kamu mau membodohi Biru lagi ya? Dengan Biru bersedia menandatangani perjanjian konyol itu juga kamu nggak akan biarin kami keluar dengan selamat dari tempat ini.”

“Lo tuh cantik-cantik berisik juga ya? Apa perlu gue cium biar diam?” Evan yang berjaga di samping wanita itu turut berkomentar, tapi Sabrina tidak tampak peduli. Ia tidak takut pada Evan ataupun semua orang yang ada di sini.

“Jangan pernah tanda tangani perjanjian itu, Sabiru. Dia cuma mau menjebak kita.”

“DIAM, SIALAN!”

PLAK

Kali ini, gantian Evan yang menampar pipi Sabrina. Karena yang melakukannya barusan adalah seorang laki-laki, tak heran jika tenaganya jauh lebih kuat daripada Miranda. Sabrina bahkan bisa merasakan kepalanya mulai pusing setelah Evan menamparnya dengan kasar.

“JANGAN SENTUH ISTRI GUE, BANGSAT!” seru Biru penuh emosi. Ia bahkan mengabaikan perihnya sudut bibirnya yang terluka saat bicara, rasa sakit hatinya saat tangan kotor Evan menampar wajah sang istri lebih terasa ketimbang rasa sakit di bibirnya saat ini.

Melihat reaksi Biru yang begitu murka sampai memaksakan diri untuk bangun meski tubuhnya sakit, membuat Miranda tersenyum lebar. Ia dengan sengaja menendang kaki Biru yang kemudian membuat pria itu kembali berlutut di atas lantai, ambruk tanpa perlawanan. Tubuh Biru yang penuh luka sudah mulai melemah, bahkan untuk melihat saja rasanya sulit karena matanya membengkak dan penuh lebam.

“Nggak perlu buang-buang tenaga lo buat teriak apalagi nyerang balik Evan, karena itu percuma. Mending lo tanda tangani perjanjian ini sekarang supaya cepat kelar urusan kita.”

“Gue nggak akan pernah menandatangani itu.”

“Bahkan setelah ngeliat Sabrina terluka?”

Miranda menoleh pada Evan, memberikannya kode lewat tatapan mata setelah melihat ekspresi bingung Biru. Evan mengeluarkan sebuah pisau lipat dari sakunya tanpa pikir panjang.

“Lo mau gue ngelakuinnya di sebelah mana?” tanya Evan pada Miranda.

“Di manapun lo mau, sesuka hati lo.”

“MIRANDA, LO UDAH GILA?!” Biru berteriak saking kesalnya, kesabarannya sudah benar-benar habis sekarang.

“Ya, gue emang udah gila. Istri lo aja nyaranin gue buat datang ke psikolog atau psikiater kan tadi?”

“Kenapa lo harus berubah jadi kayak gini sih? Gue nyaris nggak ngenalin lo lagi, Mir.”

“Harusnya lo sadar kenapa gue bisa jadi kayak sekarang. Semua itu karena lo, Sabiru.”

“Mir, lo dengar suara sirine polisi nggak sih?” Salah satu preman yang berdiri di dekat mereka angkat bicara, membuat Miranda terdiam sejenak untuk membuktikan ucapan temannya itu.

Benar saja, suara sirine polisi terdengar di kejauhan. Jalanan menuju ke tempat ini cukup sepi, nyaris tak ada kendaraan lain yang berlalu-lalang. Maka wajar saja jika suara sirine itu jadi terdengar jelas meski mungkin jaraknya masih agak jauh.

“Sialan, lo manggil polisi kemari?”Tak mampu berbohong, Miranda mulai panik.

Biru melirik arloji di pergelangan tangannya, bagian kacanya tampak pecah meski jamnya masih berfungsi dengan baik. “Dasar nggak sabaran, ini bahkan belum ada sejam,” ucapnya kemudian, lebih kepada dirinya sendiri.

“Miranda, udahlah mending kita pergi aja. Gue nggak mau ngambil risiko dengan ketangkep polisi,” satu lagi dari 7 orang pria asing tadi ikut bicara, wajah-wajah panik di antara mereka entah kenapa membuat Biru sedikit terhibur.

“Arghh, bangsat! Kalian pergi duluan aja sana, nanti biar gue sama Evan nyusul.”

Setelah mendengar perintah dari bosnya, ketujuh orang tadi langsung pergi dari tempat itu dan hanya menyisakan Biru, Sabrina, Evan, dan Miranda yang masih bertahan.

“Gue nggak punya banyak waktu, cepat tanda tangani ini!”

Miranda agak terdesak, wajah paniknya tampak begitu jelas. Membuat Biru terkekeh geli saat melihatnya, “Kenapa? Panik ya?”

“Ck, dia malah bercanda.” Komentar Sabrina dari tempatnya.

Evan yang melihat itu langsung berjalan mendekati mereka dan menarik Miranda agar segera berdiri, “Percuma, udah gue bilang dia nggak akan mau. Mending sekarang kita pergi aja. Masih ada cukup waktu buat ke bandara dan pergi dari negara ini sebelum semuanya terlambat, Miranda.”

Suara sirine polisi yang makin terdengar jelas juga ditambah desakan dari Evan membuat Miranda makin terpojok. Kesal sekali rasanya saat melihat Biru tersenyum mengejek dengan wajah jeleknya itu.

“Ayo, Miranda. Lo mau ketangkep polisi?!” Evan panik, Miranda jadi ikutan panik. Pada akhirnya wanita itu ikut berlari meninggalkan tempat ini setelah diseret paksa oleh Evan.

Namum tepat saat mereka sudah berada di ambang pintu, Miranda berhenti dan berbalik badan. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan mengangkatnya ke udara.

“Hei, kalian! Sebelum gue pergi, gue mau ngasi kalian berdua permainan nih. Namanya permainan bertahan hidup. Kira-kira, apa kalian berdua bakalan selamat keluar dari tempat ini?”

“Ah, sial. Sabiru, cepat kemari dan lepasin ikatan aku dulu. Jangan bengong aja!”

Biru yang semula fokus pada Miranda kembali tersadarkan, ia buru-buru menghampiri Sabrina dan melepaskan ikatannya meski harus bersusah payah.

Sementara itu di ambang pintu, Miranda tampak tersenyum jahat dan mulai menyalakan lighter api di tangannya. Lalu tanpa rasa bersalah, ia melemparkan lighter tersebut ke tengah ruangan. Maka hanya dalam hitungan detik saja, kobaran api langsung menyambar dan memenuhi bangunan tersebut. Biru yang melihat kejadian itu tepat di depan matanya langsung shock hingga terduduk di lantai. Aroma itu, aroma familiar yang Biru cium saat memasuki tempat ini adalah aroma minyak gas.

“Lantai sama dinding bangunan ini sudah disiram minyak gas sebelum kamu datang,” ucap Sabrina yang bikin Biru langsung melotot kaget.

“Kamu tau? Kenapa nggak bilang dari tadi?!”

“Selamat bersenang-senang, kalian berdua!” Miranda berseru di luar sana, melambaikan tangannya dengan senyum lebar sebelum kemudian mengunci pintunya dari luar.

“Dia sengaja banget nyiram minyak gasnya di depan pintu biar kita sulit buat keluar,” ucap Sabrina lagi, tali yang semula mengikat tubuhnya kini sudah terlepas seluruhnya. Tubuhnya terasa sakit juga kaku, tapi ia abaikan. Bukan saatnya memikirkan kondisi tubuhnya, karena fokus utamanya sekarang adalah bagaimana caranya mereka bisa keluar dari tempat ini dengan selamat.

Biru mulai terbatuk oleh asap tebal yang dihasilkan api tersebut. Bangunan ini sudah cukup tua, bukan hal sulit bagi api menelan tempat ini hingga jadi abu.

“Kamu tau jalan keluarnya?” tanya Biru sambil menutup hidung juga mulutnya dengan lengan.

“Udah aku pikirkan,” balas sang istri sambil terbatuk di akhir kalimatnya.

Bangunan ini begitu tertutup, ventilasi pun nyaris tak ada yang kemudian menyebabkan asap banyak mengumpul di dalam bangunan dan mengurung mereka berdua. Jika tidak segera keluar, pandangan mereka pun akan segera tertutup oleh tebalnya asap.

Beruntung saat disekap di sana dan mengetahui rencana Miranda untuk membakar tempat ini, Sabrina sudah menyusun strategi untuk kabur jika hal buruk itu betulan terjadi. Oleh karenanya ia mengambil sebuah kayu yang tergeletak asal di lantai, lalu menaruh kursi di pojok dinding yang belum sempat terlalap api. Biru berusaha membaca situasi, dan saat Sabrina naik ke kursi tersebut dan mengangkat kayunya, Biru buru-buru mencegah.

“Jangan, biar aku aja,” katanya.

Pria itu berusaha berjalan meski tertatih sambil memegangi perut, keningnya yang berkerut sebab menahan sakit membuat Sabrina jadi tak tega.

“Nggak, yang ini biar aku aja. Kamu tunggu di sana.”

“Kalau kamu nekat mecahin kaca jendelanya, nanti kamu bisa terluka!”

“Tetap aja lukanya nggak sebanding sama luka punya kamu, Sabiru!”

“Tapi, Sab—–”

PRANG

Terlambat sudah, Sabrina betulan memecahkan kaca jendela tersebut dengan bantuan kayu di tangannya. Tidak cukup sekali pukulan, Sabrina memukulnya berulang kali hingga memberikan ruang yang cukup untuk mereka keluar dari tempat ini.

Sabrina membuang kayu tersebut ke lantai seraya menutup hidung dan mulutnya dengan tangan. Dadanya mulai terasa sesak saking banyaknya asap yang masuk ke paru-paru, ia terbatuk berulang kali, matanya pun tampak memerah dan kepalanya agak pusing. Biru yang menyadari hal itu langsung mendekat untuk mengecek kondisi sang istri.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Biru khawatir.

Sabrina menggeleng pelan. “Nggak apa-apa kok, mending kamu khawatirin aja kondisi kamu sekarang. Liat tuh, muka kamu jadi jelek banget gitu.”

“Nggak apa-apa, nanti kalau udah diobatin balik ganteng lagi kok.”

“Di situasi kayak gini pede kamu tetap nggak ilang ya?”

Biru tertawa menanggapinya. Meski kemudian menyesal karena tawa itu membuat perutnya terasa sakit, begitu juga dengan sudut bibirnya.

“Kamu tadi betulan bawa polisi ke sini?” tanya Sabrina sambil ancang-ancang naik ke jendela dengan bantuan kursi tersebut, Biru membantunya dengan cara menahan kursi itu agar tidak jatuh dan Sabrina bisa keluar tanpa kesulitan.

“Iya tadi aku minta tolong sama Raje.”

“Mas Raje?”

“He'em, tapi aku nggak kepikiran buat minta bawain pemadam kebakaran juga. Tau gitu sekalian aja tadi.”

“Yaa, mana kita tau juga kalau Miranda bakal senekat ini buat bakar kita hidup-hidup.”

“Hati-hati, Sabby.”

“Akh!”

Baru juga diperingatkan Biru, lengan Sabrina malah tergores pecahan kaca yang masih menempel di sela kayu jendela saat ia turun untuk keluar. Biru buru-buru melongokkan kepalanya ke bawah dan mendapati sang istri terduduk di tanah sambil memegangi bagian lengannya yang terluka.

“Lukanya parah?”

“Nggak terlalu. Buruan turun, jangan kelamaan di situ!”

Tanpa membuang waktu lagi, Biru langsung mendarat ke tanah tanpa kesulitan ataupun tambahan goresan luka di lengannya seperti Sabrina.

“Baju kamu sampai robek begitu, lukanya pasti dalam.” Biru memandangi lengan Sabrina dengan wajah khawatir.

“Aku nggak apa-apa kok.”

Tanpa diminta Biru langsung melepaskan dasi miliknya agar bisa digunakan untuk melilit lengan Sabrina yang terluka, sekaligus menghentikan aliran darahnya yang terus keluar.

“Harusnya kamu hati-hati,” kata Biru setelah luka Sabrina berhasil tertutup.

“Udah dibilang aku nggak apa-apa, cuma luka segini masih parahan luka kamu kali.”

Biru mengangguk mengerti, “Yaudah yuk, polisi udah di depan kayaknya.”

Sabrina membantu Biru untuk berdiri dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir. “Setelah ini kita bakalan sibuk berurusan sama polisi.”

“Aku nggak akan biarin Miranda sama Evan lolos, mereka harus dihukum seberat mungkin. Walau bagaimana pun juga, ini udah masuk percobaan pembunuhan!”

“Kalau gitu kita nggak boleh biarin mereka sampai kabur ke luar negeri.”

“Sabrina? Biru?”

Sosok pria tinggi dengan kemeja hitam itu berhenti dengan jarak beberapa meter di depan mereka. Biru mengangkat sedikit tangannya sebagai bentuk sapaan, sementara Sabrina tersenyum ke arah Raje yang menatapnya khawatir.

“Tapi sebelum itu, kita obatin dulu luka kamu.”