Playing With You

“Gen, ada hair dryer nggak?!”

Gadis itu berteriak dari dalam kamar sembari tangannya sibuk mengobrak-abrik laci meja juga lemari di kamar itu. Genta yang mendengarnya dari meja kerja kontan menghela napas berat, berusaha menyabarkan diri. Tau gitu tidak ia izinkan gadis itu datang kemari, kerjaan Genta jadi tidak selesai-selesai karena terus diinterupsi.

“Gen!”

Baiklah, Genta menyerah. Ia berjalan menghampiri Beryl yang masih sibuk mencari sesuatu di laci meja. Percuma, tidak ada apa-apa di sana.

“Nggak usah dicari, hair dryer-nya nggak ada.”

Beryl merengut kecewa, lalu menutup kembali laci itu. Terpaksa deh ia harus mengeringkan rambutnya sendiri dengan handuk, yang itu artinya bakalan lama. Karena tipe rambut Beryl itu yang tebal terus panjang, makanya dia selalu pakai hair dryer untuk mempercepat mengeringkan rambut.

Genta tak bicara apa-apa, dia masih bersandar di pinggiran pintu sembari memperhatikan istrinya tersebut. Saat ini, Beryl sedang mengenakan kemeja putihnya yang kebesaran hingga panjangnya setengah paha gadis itu. Karena Genta tidak punya stok celana di sini, terpaksa Beryl harus bertelanjang kaki dulu sampai setidaknya pakaiannya kering nanti.

“Ngeliatin apa?” tanya Beryl sambil menyipitkan mata, masalahnya sejak tadi pemuda itu terus saja menatapnya tanpa mengedip. Kan Beryl jadi ngeri-ngeri sedep.

Namun pemuda itu justru tersenyum simpul, “Barusan liat orang-orangan sawah.”

“Maksudnya?”

“Kamu, kayak orang-orangan sawah pakai kemeja aku.”

“Enak aja!”

Kali ini tawa Genta mengudara. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah Beryl, kemudian mengambil alih handuknya. “Biar aku bantu,” katanya.

Beryl sih tidak protes, dia diam saja dan membiarkan Genta mengeringkan rambutnya dengan handuk tersebut. Gerakan tangannya lembut, setengah seperti sedang dipijat, Beryl sampai terpejam saking nyamannya. Entah kenapa malah mendadak mengantuk.

Tolong kutuk mata Genta setelah ini, karena bisa-bisanya saat mengeringkan rambut Beryl ia malah salah fokus pada tulang selangka gadis itu. Beryl memang tidak mengancing kemejanya dengan benar, karena dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka dan tulang selangkanya mengintip dari sana.

Pandangan Genta kemudian turun agak ke bawah, tepatnya pada gundukan kenyal di bagian dada Beryl yang terlihat menonjol. Sepertinya gadis itu tidak mengenakan branya karena memang masih basah. Sial, Genta jadi teringat lagi bra hitam di kolam renang beberapa saat lalu. Bayangan tubuh Beryl yang basah, nyaris tanpa busana, saking transparan bajunya, membuat tubuh Genta mendadak panas.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengusir pikiran kotor itu dari otaknya. Tapi kok susah?

Matanya kini malah semakin turun ke bawah, tepatnya pada paha mulus Beryl yang terekspos di sana. Panjang kemeja itu tidak mampu menutupi seluruh bagian pahanya, dan itu bahaya bagi kewarasan Genta. Isi pikirannya makin tidak karuan. Handuk di tangannya ia cengkram kuat-kuat, berusaha keras menahan diri untuk tidak kelepasan menyentuh bagian paha gadis itu sekarang juga.

Kenapa sih seluruh jengkal tubuh Beryl harus terlihat sebegitu menawan di matanya? Bahkan kulit lehernya yang indah tak luput dari perhatian Genta, membawa serta memori lamanya di Santorini saat ia meninggalkan jejak kemerahan di sana. Genta ingin mengecup leher itu lagi, meninggalkan lebih banyak jejak di sana, kalau perlu di sekujur tubuhnya.

“Genta, kenapa berhenti?”

“Hah?”

Saking sibuknya pikirannya saat ini, Genta sampai tidak sadar tangannya berhenti bergerak. Beryl menyingkirkan handuk itu dari kepalanya dan membetulkan posisi rambutnya yang berantakan.

“Kamu ngelamunin apaan?” tanya Beryl lagi.

'Ngelamunin badan kamu.'

Tidak, kalimat itu tidak sampai keluar dari bibirnya. Bahaya, bisa dikepret Beryl pakai handuk di tangannya itu nanti.

Genta menggeleng pelan, “Nggak, bukan apa-apa.” Namun setelahnya pemuda itu justru melonggarkan dasinya serta membuka dua kancing teratasnya karena merasa mulai gerah juga sesak.

Bayangan tubuh Beryl masih belum hilang juga dari kepalanya.

“Gen?”

“Hm?”

“Kamu turn on ya?”

“Apa?!”

“Ini, kok menonjol?”

Entah terlalu polos apa gimana, Beryl malah menyentuh milik Genta yang memang kelihatan membesar di balik celana kerjanya. Didorong oleh rasa panik, Genta buru-buru mencengkram tangan gadis itu dan menjauhkannya sesegera mungkin.

“Jangan dipegang!”

Saking paniknya Genta, ia sampai tidak sadar menaikkan nada bicaranya.

Wah, keras ya?”

Beryl ini benar-benar.

Genta melepaskan cengkraman tangan Beryl dan mengeluarkan kemejanya dari celana, sengaja supaya kejantanannya yang menonjol itu jadi agak tertutup. Genta tengsin betul, wajahnya sampai memerah terlebih saat Beryl justru menertawainya.

“Kamu kenapa gampang banget sih turn on-nya?”

“Mana ada!” Genta tidak terima, “ini tuh karena dingin aja cuacanya makanya dia berdiri.”

Gadis itu hanya ber'oh' ria, tau kalau Genta hanya mencari-cari alasan saja. Oh, ayolah. Beryl sudah dewasa, ia sudah berumur 27 tahun. Dia jelas tau alasan kenapa milik Genta bisa keras begitu. Sisi jahil Beryl seketika muncul, ia tersenyum simpul.

'Ngerjain Genta enak nih.' batinnya berucap.

“Gen, boleh pegang lagi nggak?”

“Apaan?”

“Punya kamu yang keras itu.”

Beryl bisa nggak sih kalau ngomong nggak blak-blakan begitu, kan Genta malu!

“BEY!” Genta memekik kaget saat tangan Beryl sudah bermain di sana, menyentuh miliknya tanpa ragu dengan wajah penuh kagum.

“Ini kali pertama aku pegang langsung punya cowok, biasanya cuma liat doang. Ternyata lucu ya?”

APANYA YANG LUCU?!

Genta sukses dibuat sakit kepala. Ia buru-buru menyingkirkan tangan penasaran Beryl itu saat merasakan celana dalamnya semakin sesak.

“Jangan kayak gini, Bey. Aku lagi mencoba menahan diri, kamunya jangan mancing.”

“Nahan diri buat apa emang?”

“Buat nggak nyerang kamu.”

“Emang nyerangnya kayak gimana tuh?”

“Jangan mancing dibilang!” Genta berseru kesal, lalu buru-buru ngibrit keluar menghindari Beryl.

Gadis itu tertawa di dalam sana, membuat Genta yang kini sudah kembali ke mejanya mendengus keras-keras. Ia melepaskan dasi di lehernya, kemudian membuangnya ke lantai. AC di ruangan itu ia naikkan volumenya agar semakin dingin, mengingat suhu tubuhnya yang kian memanas. Saking panasnya tubuh Genta sampai berkeringat, padahal ini jam setengah dua belas malam.

Beryl betul-betul menyiksanya. Awas saja nanti, Genta tidak akan melepaskannya begitu saja.

“Udah dong kerjanya, emang nggak capek?” ucap Beryl seraya menghampirinya ke meja kerja.

Genta meliriknya sinis, “Yang bikin kerjaanku nggak selesai-selesai kan kamu.”

“Kok aku sih? Emang aku ngapain?”

“Ganggu.”

“Dih?”

“Tidur sana, atau duduk kek gitu. Jangan ganggu.”

“Oke, aku duduk.”

Saat Genta menyuruh gadis itu untuk duduk, maksudnya tuh duduk di sofa yang ada di depan meja kerjanya. Beryl malah dengan santainya duduk di pangkuan Genta, pemuda itu makin pusing dengan tingkah laku sang istri.

“Apalagi sekarang?”

“Apa? Kan tadi katanya nyuruh duduk?”

“Duduk di sofa, Bey. Bukan di pangkuan aku.”

“Sofanya jauh, enakan duduk di sini.”

Itu hanya alasan saja, aslinya Beryl sudah terkikik Geli di dalam hati karena berhasil mengerjai Genta. Untungnya pemuda itu tidak protes, mungkin juga karena sudah terlampau lelah dan ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Selagi Genta bekerja, Beryl mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja dan membuka aplikasi game. Ia tidak punya banyak game di ponsel, tapi game salon-salonan itu yang paling ia suka.

Selama beberapa saat keduanya hening, yang terdengar hanyalah suara game yang berasal dari ponsel Beryl. Genta tidak merasa penasaran dengan apa yang dilakukan gadis itu, pekerjaannya jauh lebih penting. Hanya saja tangan kirinya tanpa sadar melingkar di perut gadis itu, menjaga agar Beryl tidak sampai jatuh.

Samar-samar aroma sabun mandi yang digunakan Beryl menguar kuat di indra penciuman Genta. Aroma paling kuat berasal dari leher bagian belakangnya yang berada tepat di depan matanya saat ini. Leher Beryl yang bersih juga wangi mengundang Genta untuk terus menatapnya, juga berhasrat untuk menyentuhnya jika bisa.

Beryl masih kelihatan sibuk memilih warna softlens yang akan digunakan oleh perempuan di game tersebut. Sementara Genta sudah mendekati leher si gadis dan mengendus aromanya yang menggoda. Awalnya memang hanya mengendus saja, tapi karena tidak mendapati respon dari Beryl, Genta justru makin berani.

Kali ini ia mengecup lembut tengkuk Beryl hingga ke bagian bahunya yang terekspos. Sejenak, tangan Beryl berhenti bergerak di layar.

“Gen?” Suara Beryl terdengar bergetar saat berucap demikian.

“Main aja, nggak usah pedulikan aku.”

Tapi bagaimana bisa jika bibir Genta terus menghujani ciuman di tengkuk dan bahunya begitu. Saat Beryl berniat fokus kembali pada gamesnya, tangan kanan yang semula berada di atas keyboard MacBook-nya justru berpindah menyentuh paha si gadis. Genta mengusap paha Beryl dengan gerakan lembut, sementara tangan yang satunya lagi naik semakin ke atas menyentuh dadanya yang hanya berlapiskan kemeja tanpa bra.

Beryl mendadak pusing oleh sensasi yang diciptakan Genta, hingga tanpa sadar menggigit bibirnya sendiri agar tidak kelepasan mendesah.

Melihat Beryl yang tak memberikan penolakan atas tindakannya barusan, gerak tangan Genta semakin berani. Tangan bawahnya mengusap paha dalam gadis itu, nyaris menyentuh area kewanitaannya yang tanpa dilapisi apapun, kecupan di tengkuknya juga masih belum berhenti, sementara tangannya yang berada di atas mulai meremas payudara Beryl dan memainkan putingnya dari luar kemeja.

“Gadis nakal, berani-beraninya kamu duduk di pangkuan aku pas lagi nggak pakai daleman gini?”

Beryl tidak membalas ucapan Genta, lebih tepatnya tidak sanggup. Sebab jika ia membuka mulutnya, sudah pasti desahan lah yang akan keluar.

Tangan pemuda itu kembali menggerayangi tubuhnya. Kancing kemeja yang dikenakan Beryl sudah terlepas dua kancing lagi, memudahkan akses pemuda itu untuk menyentuh payudara si gadis secara langsung.

Genta tersenyum saat payudara itu terasa begitu pas di tangannya. Bentuknya bulat menantang, dan putingnya berwarna coklat kemerahan. Tidak membuang banyak waktu lagi, jemarinya mulai bermain di sana. Genta memilin puting si gadis, kemudian menjepitnya dengan jari telunjuk dan tengahnya, sensasi yang diciptakan berhasil membuat Beryl sepenuhnya melupakan game di ponselnya tadi.

“Gen,” Beryl memekik kaget saat tangan kiri Genta menyentuh area kewanitaannya yang super sensitif.

Relaks, sayang. Aku nggak bakal nyakitin kamu kok.”

Entah kenapa kalimat itu membuat Beryl kembali tenang. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada dada Genta, membiarkan tangan-tangan Genta bergerak liar menggerayangi tubuhnya dengan leluasa.

Selagi tangan atasnya memainkan puting Beryl, tangan bawahnya bergerak liar di kewanitaan gadis itu yang sudah mulai basah. Genta tersenyum senang, hal ini jelas semakin memudahkannya.

“Ahh.”

Satu desahan berhasil lolos dari bibirnya saat jemari Genta yang berada di bawah, menyelinap masuk di antara lipatan kewanitaannya. Genta memberikan usapan pelan di permukaannya, lalu memainkan klitoris sensitif Beryl dengan jarinya yang kasar. Gadis itu kembali mendesah, dan Genta senang tiap kali mendengar suara seksinya itu.

“Moan my name, Bey.” bisik Genta di telinga si gadis, napas hangatnya sukses membuat Beryl seketika merinding.

“Genh...”

Desahannya kembali lolos saat jari tengah Genta perlahan memasuki lubangnya yang basah, Beryl sampai membusungkan dadanya tanpa sadar saat jemari itu mulai bergerak keluar masuk dengan teratur. Perutnya terasa menggelitik seolah ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam sana.

“Sebentar, kayaknya lebih enak begini.”

Genta menghentikan permainannya sejenak. Pemuda itu menyingkirkan MacBook beserta berkas-berkasnya yang ada di atas meja, lalu menaikkan tubuh Beryl agar duduk di atas meja itu. Si gadis sempat terkejut awalnya, namun tidak protes saat Genta menaikkan satu kakinya ke atas meja. Membuat posisi Beryl jadi mengangkang di depannya.

Genta tersenyum puas, lalu kembali memasukkan jarinya pada kewanitaan Beryl. Kali ini ia mencoba masuk dua jari, makin terasa sempit dari yang pertama tadi. Jarinya terasa seperti dijepit oleh kewanitaan Beryl, dan membayangkan kejantanannya bisa masuk ke dalam sana membuat milik Genta jadi semakin keras dan sesak.

Untuk melampiaskan hasratnya tersebut, Genta memainkan lubang Beryl dengan jarinya dalam tempo yang cepat. Membuat Beryl makin tidak karuan dibuatnya. Bibir gadis itu setengah terbuka, bernapas dengan hidung tak lagi cukup untuknya.

Permandangan seksi tubuh Beryl menaikkan libido Genta, terlebih saat melihat ekspresi gadisnya yang makin terangsang seiring dengan gerakan jari Genta di dalam sana.

Ah, Genta tidak bisa menahannya lagi. Ia memaju- mundurkan jarinya semakin cepat, memastikan gadis itu berhasil menjemput kenikmatannya dengan segera. Bibirnya tidak tinggal diam, ia melumat kasar bibir Beryl dan menahan tengkuknya dengan tangan yang lain.

Genta melumat bibir itu dengan penuh napsu, dan Beryl menyambutnya dengan senang hati. Lidah keduanya beradu di dalam sana, saling bertukar saliva hingga kehabisan napas. Beryl melepaskan ciuman mereka untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Ahhsss, Genta...”

Wajah Beryl terlihat semakin memerah, sementara dadanya kian membusung saat puncaknya hampir sampai. Tangan gadis itu mencengkram ujung meja dengan kuat seiring dengan orgasme pertamanya keluar.

Tubuhnya seketika lemas.

“Kita pindah ke kamar ya?”

Tanpa menunggu persetujuan si gadis, Genta menggendong Beryl ala bridal style menuju kamarnya berada. Gadis itu tidak protes, terlalu lelah sehabis pelepasannya beberapa saat lalu. Kepalanya terkulai lemah ke dada Genta dengan napasnya yang naik turun.

“Jangan capek dulu, kita belum masuk ke permainan inti,” ucap Genta sembari membaringkan tubuh istrinya di ranjang, kemeja yang semula dipakai Beryl sudah ia lepaskan begitu saja. Kini gadis itu sudah bertelanjang bulat sementara Genta masih pakai pakaian lengkap.

“Kamu sering giniin cewek ya?” tukas Beryl selagi matanya sibuk memperhatikan Genta yang melepaskan satu persatu kancing kemejanya.

“Apanya yang sering?”

Foreplay.”

“Ya nggak lah, kamu cewek pertama.”

“Oh ya? Kok jago?”

Genta menyeringai jahil, “Kenapa? Enak ya?”

Bukannya menjawab, pipi Beryl justru bersemu merah. Ia malu sekali mengakui ini, tapi permainan tangan Genta memang betulan lihai membuatnya menggila.

“Wow,” Beryl refleks berdecak kagum saat Genta berhasil menanggalkan kemejanya hingga bertelanjang dada. Perut six pactnya kelihatan begitu seksi di mata Beryl.

Si empunya tersenyum bangga, “Suka?”

Bodohnya, Beryl justru mengangguk. Membuat Genta terkekeh geli sementara Beryl meruntuki dirinya sendiri.

Pemuda itu kemudian berjalan ke samping ranjang, mendekat pada istrinya tersebut, “Mau pegang nggak?”

“Emang boleh?”

“Boleh.”

Ia sudah lama sekali penasaran akan hal itu, menyentuh perut kotak-kotak Genta pasti menyenangkan. Oleh karenanya Beryl tidak menolak saat Genta menawarkan diri, gadis itu buru-buru bangun dan duduk di ranjang berhadapan dengan sang suami. Perut itu langsung terpampang jelas di depan matanya.

Ragu-ragu, Beryl menyentuhnya. Dari tengah, ke atas, lalu ke bawah. Mengusapnya dengan gerakan pelan namun sukses membuat napas Genta tertahan.

“Kalau ini, aku boleh pegang juga nggak?” Maksud Beryl kejantanannya.

Kali ini Genta tidak melarang, pemuda itu justru tersenyum sembari merunduk mengecup kening Beryl yang mendongak menatapnya.

“Silakan. Sekalian bukain celana aku ya?”

Dengan wajah sumringahnya itu, Beryl mengangguk polos. Membuat Genta gemas dan berujung mengusak puncak kepalanya dengan lembut.

Pertama-tama Beryl melepaskan ikat pinggang yang melingkar di celana Genta, lalu membuka kancing sekaligus resleting celana tersebut dengan mudah. Genta turut membantunya melepas celananya sendiri sebelum kemudian ia lempar ke sembarang arah. Kini pemuda itu hanya mengenakan celana dalam saja.

“Lebih besar dari dugaanku ternyata.”

Genta agak malu saat mendengar pujian itu. Namun itu tak berlangsung lama, sebab napasnya langsung tercekat saat tangan Beryl melepaskan celana dalam tersebut dan menyentuh kejantanannya secara langsung. Gadis itu kelihatan begitu senang seolah baru saja mendapat mainan baru.

“Tuh kan, lucu!” serunya dengan wajah sumringah.

“Apanya yang lucu?”

“Bentuknya lucu.”

“Kalau lucu mainin dong, emangnya kamu nggak gemas?”

Tidak butuh banyak waktu bagi Beryl untuk menyanggupi permintaan Genta barusan. Milik pemuda itu sudah teracung di hadapannya, keras juga berurat, membuat Beryl makin gemas dan mulai memainkannya dengan penuh semangat.

Ukurannya cukup besar di tangan Beryl yang kecil, namun itu tak sama sekali menyurutkan semangatnya. Beryl memberikan gerakan maju mundur layaknya mengocok pada kejantanan Genta, dan itu berhasil membuat si empunya menahan napasnya hingga tanpa sadar mencengkram salah satu bahu Beryl.

“Bey...”

“Hm?”

“Lebih cepat.”

Gadis itu menurut, ia menggerakkan tangannya lebih cepat dari sebelumnya sesuai dengan yang diminta. Tubuh Genta jadi makin panas dibuatnya, satu desahan berhasil lolos saat tangan kecil itu menyentuh ujung miliknya yang sensitif.

Saat dirasa sesuatu hendak segera keluar, Genta buru-buru menahan tangan Beryl agar berhenti menyentuhnya. “Udah cukup, aku nggak mau bikin tangan kamu kotor.”

Setelahnya, Genta berkata lagi. “Kamu tunggu di sini, kita bakal bikin permainan yang lebih seru.”

Beryl memandanginya kebingungan. Namun belum sempat bertanya, pemuda itu sudah lebih dulu keluar kamar menuju suatu tempat. Lebih tepatnya lemari pendingin. Genta tersenyum saat menemukan satu cone es krim vanilla di dalam sana, lalu membawanya satu pada Beryl.

“Buat apa?”

Genta tersenyum sok misterius, “Buat main.” Jawabannya tak sama sekali memuaskan Beryl.

“Kenapa ditutupin kayak gitu badannya?” Genta menatap heran pada tingkah Beryl yang kini justru menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut yang ada di ranjang tersebut. Aneh sekali.

“Malu, Gen.”

“Dih? Malunya baru sekarang? Daritadi kemana aja?”

Iya juga, perasaan tadi Beryl sendiri yang mancing-mancing Genta. Bahkan tanpa malu mengangkang di depan mukanya, kenapa malunya baru sekarang ya? Beryl baru sadar.

“Udah nggak usah ditutupin gitu, badan kamu bagus kok. Lebih bagus kalau tanpa baju begini.”

“Mesum!”

Tawa renyah Genta mengudara. Pemuda itu kemudian duduk menyandar di kepala ranjang sembari meluruskan kaki, tak lama setelah itu Genta menepuk pahanya memberi isyarat pada sang istri. “Duduk sini, Bey.”

“Mau ngapain?”

“Main, kan kita belum selesai. Udah dilepas aja itu selimutnya jangan kamu tutupin terus.”

Meski sebenarnya bingung apa yang akan dilakukan Genta setelah ini, juga es krim di tangannya, Beryl tetap menurut. Sebab dia juga penasaran. Kini gadis itu sudah menanggalkan kembali selimutnya dan duduk di pangkuan Genta dengan nyaman.

“Udah nih, mau apa?”

Senyum misterius itu kembali hadir. Genta mulai membuka bungkus es krim vanilla tadi, lalu melumuri jari telunjuk dan tengahnya yang bersih dari atas hingga bawah dengan es krim tersebut, sebelum kemudian mengacungkannya pada Beryl.

“Jilat coba, sampai bersih.”

Beryl tidak banyak protes, ia langsung memasukkan kedua jari tersebut ke mulutnya. Rongga mulut hangat Beryl juga sapuan lidahnya yang lembut membuat pikiran Genta jadi makin kotor. Terlebih saat melihat bagaimana gadis itu menyedot jarinya sembari menatap ke arahnya, seketika itu pula membuat kejantanannya semakin keras.

Mulut Beryl yang kecil rupanya tak sebanding dengan jari Genta yang panjang, gadis itu sampai tersedak karenanya. Genta tersenyum puas saat melihat ekspresi istrinya tersebut.

“Oke, cukup. Sekarang gantian aku.”

Berbeda dari sebelumnya, kali ini Genta mengoleskan es krim tersebut ke leher Beryl hingga ke bagian dadanya. Sensasi dingin yang diciptakan dari es krim itu membuat Beryl mendesah tanpa sadar. Gadis itu mencengkram bahu Genta saat lidah pemuda itu mula menjilat bagian lehernya yang berlumuran es krim vanilla.

Tidak hanya menjilat, pemuda itu juga menghisapnya dengan kuat untuk meninggalkan jejak kepemilikan di sana. Satu tangannya Genta gunakan untuk menahan punggung Beryl, sementara satu tangannya yang lain kembali menyentuh area kewanitaan gadis itu.

Sshhh ... Genta.”

Tubuh Beryl kembali dibuat mengejang saat jari Genta menyentuh klitorisnya, gerakannya lembut namun cukup membuat Beryl terangsang. Cengkeramannya pada bahu si pemuda terasa semakin kuat.

Puas dengan bagian leher, kini jilatan Genta berpindah pada payudara si gadis. Ia menyapu seluruh permukaannya dengan lidah hingga bersih, sebelum kemudian memasukkan satu putingnya ke dalam mulut. Genta layaknya bayi yang sedang kehausan, menyedot puting tersebut dengan penuh nafsu, sambil sesekali iseng menggigitnya karena gemas. Beryl sempat protes atas tindakannya itu, namun Genta buru-buru membungkamnya dengan ciuman panas.

Desahan Beryl tertahan saat Genta meremas payudaranya dengan kasar, menjepit putingnya dengan dua jari, hingga sesekali menariknya gemas. Rasanya sakit, namun juga menciptakan rasa nikmat yang candu. Membuat Beryl makin kehausan minta disentuh lebih jauh lagi. Seluruh tubuhnya terasa begitu sensitif, hingga bagian manapun yang disentuh Genta sanggup membuatnya terus mendesah kenikmatan.

Beryl jadi meragukan ucapan pemuda itu yang katanya baru pertama kali melakukan foreplay, sebab gerakannya begitu lihai dan terlatih.

“Gen...”

Ciuman mereka dilepas lebih dulu oleh Beryl saat Genta menambah jumlah jemarinya di bawah sana. Kini tiga jari Genta sudah keluar masuk di lubang kewanitaan si gadis, gerakannya cepat dan teratur. Membuat tubuh Beryl tersentak nikmat dan menatapnya dengan tatapan sayu.

Genta menikmati wajah terangsang itu di depan mukanya, benar-benar cantik dan seksi.

“Suka, hm?”

Beryl mengangguk tanpa malu, pikirannya sudah benar-benar kacau sekarang. Ia sudah tidak peduli lagi dengan apapun, bahkan tanpa sadar membuka kakinya sendiri agar memudahkan akses keluar masuk jari Genta di lubangnya.

Si pemuda tertawa jahil, ia suka jika Beryl sudah mulai liar begini. Gadis itu bahkan tanpa malu mendesah di depannya sambil membuka kaki lebar-lebar, hal yang mustahil akan dilakukan Beryl jika pikirannya senang normal.

“Ahh...”

Tubuh Beryl mengejang saat pelepasannya hampir sampai, miliknya yang hangat terasa berkedut menjepit jari Genta di dalam sana. Melihat itu, Genta semakin menaikkan tempo gerakannya kian cepat dan kasar. Menciptakan desahan keras dari si gadis yang kini matanya telah terpejam menikmati permainan Genta hingga orgasmenya yang kedua berhasil keluar.

Kepala gadis itu kembali terkulai lemas di bahunya, napas hangatnya sedikit menggelitik leher Genta. Tubuh Beryl terasa sangat panas meski AC di kamar ini sudah dinyalakan, itupun rasanya masih sangat kurang.

“Bey.”

“Hm?”

“Boleh ya, kalau aku masukin?”

“Emangnya muat?” tanya Beryl dengan napas terengah.

Pemuda itu terkekeh geli, “Muat kok, kalau nggak muat aku paksa biar muat.”

Kali ini gantian Beryl yang tertawa, sebelum kemudian tawanya itu berubah menjadi anggukan kepala. Genta senang, senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama menahan diri, hari ini ia bisa menunjukkan keahliannya pada gadis itu.

Namun belum sempat ia merebahkan tubuh Beryl ke ranjang, gerakan Genta terhenti saat mendengar suara ribut dari arah luar. Beryl yang semula menyandarkan kepalanya di bahu Genta seketika langsung siaga, ia menatap suaminya dengan mata membulat panik.

“Kamu nggak ngunci pintunya ya?”

Tak kalah paniknya, Genta menggeleng. “Jam segini cuma ada aku sama kamu di kantor, sama satpam di depan. Makanya nggak aku kunci.”

“Bodoh, harusnya tetap kamu kunci pintunya!”

Iya, bodoh sekali memang. Saking bodohnya bahkan pintu kamar ini saja tidak ditutup dan dibiarkan terbuka begitu saja.

Duk

“Anjing!”

Genta buru-buru meraih selimut di dekatnya lalu menutupi bagian belakang tubuh Beryl yang telanjang dengan selimut tersebut.

“LO NGAPAIN BANGSAT?!”

Biru, tamu tak diundang itu berdiri di ambang pintu sambil nyengir tidak jelas. Tatapan matanya kurang fokus, jalannya agak sempoyongan, dan bau alkohol menguar kuat di ruangan itu saat dia datang.

Singkatnya, Biru mabok!

“Kalian—–”

BRUK

Belum selesai Biru bicara, tubuhnya sudah keburu ambruk dengan posisi kepala yang menghantam lantai begitu keras. Bunyinya cukup memilukan hingga membuat Genta dan Beryl menatapnya kasihan.

Ugh, itu pasti menyakitkan.