“Toleransi alkoholnya Beryl tuh rendah, minum dikit aja bisa langsung mabok. Makanya gue nggak pernah biarin dia minum sendirian, harus gue yang nemenin atau setidaknya dia ditemenin sama orang yang gue kenal. Soalnya kebiasaan maboknya dia tuh awikwok banget, bisa tiba-tiba aja meluk orang asing di dekatnya. Pokoknya dia tuh bakal berubah jadi clingy nggak jelas gitu, repot banget pokoknya kalah ngurusin dia pas lagi mabok.”

Divya pernah menjelaskan begitu saat Genta bertanya mengapa gadis itu melarang Beryl untuk minum-minuman beralkohol sewaktu mereka reuni beberapa bulan lalu. Hal itulah yang juga membuat Genta langsung panik saat mengetahui kalau Beryl pergi ke bar sendirian, ditambah lagi ini di negara orang!

Genta tidak bisa membayangkan kekacauan jenis apa yang akan Beryl perbuat di sana. Karena Beryl tidak mau memberitahu lokasinya, maka dari itu Genta mendatangi satu persatu bar yang berada di sekitaran villa. Dengan asumsi Beryl tidak mungkin pergi ke tempat yang jauh dari villa karena dia berjalan kaki, ditambah lagi Beryl juga belum hapal jalanan sini.

Beruntung setelah mendatangi kurang lebih 4 bar, akhirnya Genta bisa menemukan gadis itu di bar ke 5. Matanya agak menyipit begitu menyadari kalau Beryl tidak sedang sendiri, ada satu laki-laki berwajah bule yang kelihatan seperti sedang menggodanya saat ini. Beryl kelihatan risih, berulang kali menyingkirkan tangan laki-laki itu yang mencoba menyentuh bahunya berulang kali.

Tidak terima istrinya diperlakukan begitu, Genta berjalan cepat menghampiri keduanya dan menarik kasar bahu si laki-laki bule agar menyingkir dari Beryl.

“She's my wife,” ucap Genta penuh penekanan, sembari memamerkan cincin nikahnya dengan Beryl yang tersemat di jemari manis si gadis juga dirinya sendiri.

Beruntung laki-laki bule tadi langsung paham, kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka berdua di sana setelah sebelumnya meminta maaf.

“Bey?”

Mendengar namanya disebut, Beryl langsung mendongak. Tatapan matanya yang tidak fokus, wajahnya yang memerah, juga rambutnya yang agak berantakan langsung menyadarkan Genta betapa mabuknya gadis itu sekarang. Entah sudah berapa gelas minuman yang ia teguk sebelum dirinya datang kemari, yang jelas Beryl sudah sepenuhnya mabuk sekarang.

“Bey? Lo bisa dengar gue?” Genta melambaikan tangannya di depan wajah Beryl guna mengetes kefokusan gadis itu.

Namun di luar dugaan, Beryl justru meraih tangannya sembari cengengesan tidak jelas, “Genta ... suami gue.”

Genta tersenyum, agak salah tingkah. “Iya. Ini gue Genta, suami lo. Bisa kita pulang sekarang? Lo udah mabok banget tuh.”

Beryl menggeleng tegas, “Nggak mau.”

“Kenapa nggak mau?”

“Mau paus.”

“Hah?”

“Mau makan ikan paus.”

Belum selesai otak Genta mencerna apa maksud ucapan Beryl, dia sudah dibuat menjerit duluan karena gadis itu tiba-tiba saja menggigit lengannya dengan penuh napsu.

“Bey, ini tangan gue loh bukan ikan paus!” serunya kesal sembari mengusap bagian yang barusan digigit Beryl hingga meninggalkan bekas itu.

Si gadis langsung merengut kecewa, tatapannya berubah sedih. “Ikan paussss...”

“Beneran awikwok banget nih cewek kalau lagi mabuk,” Genta berucap pada dirinya sendiri seraya geleng-geleng kepala, tak habis pikir.

“Ini gue Genta, Bey—–”

“Ikan pausnya mana?”

“Nggak ada ikan paus, adanya cuma gue yang mau ngajakin lo pulang. Jadi ayo kita pulang.”

Masih dengan bibirnya yang mengerucut, Beryl mengulurkan kedua lengannya pada Genta yang berada di sebelah. “Gendong.”

Karena tidak ingin membuang banyak waktu dan mumpung Beryl mau diajak pulang, maka Genta iyakan saja permintaannya itu. Tadinya ia sudah berniat untuk mengangkat tubuh Beryl, namun ternyata gadis itu malah lebih dulu memeluk lehernya sebelum kemudian loncat ke tubuh Genta dan melingkarkan kakinya di pinggang si pemuda. Genta sempat shock awalnya, hampir saja kehilangan keseimbangan karena gerakan mendadak yang Beryl lakukan. Beruntung mereka tidak sampai jatuh tadi.

“Bey, kenapa lo malah cosplay jadi bayi koala begini?”

Beryl masih cemberut, makin cemberut lagi saat Genta berkata begitu. “Gue bayi paus, bukan koala!”

“Lucuan koala tau daripada paus.”

“Lebih lucu paus!”

“Hadehh, yaudah iya lucuan paus.”

Setelah membayar minuman yang diminum Beryl, Genta keluar dari bar tersebut menuju mobil sewaannya yang terparkir, masih dengan Beryl di gendongan. Gadis itu berpegang pada lehernya cukup erat, begitupula dengan lingkaran kakinya di pinggang Genta. Saking eratnya, Genta cukup kesulitan saat ingin mendudukkan gadis itu di kursi penumpang.

“Bey, turun dulu.”

Si gadis menggeleng, “Nggak mau, mau peluk!”

“Ya terus gimana caranya gue nyetir kalau lo nempel ke gue begini?”

Beryl tidak menyahut, namun cekalannya pada leher Genta makin mengerat. Gadis itu seperti tidak punya niatan untuk melepaskannya barang sedetik pun.

“Untung yang lo peluk tuh gue, Bey. Nggak kebayang kalau lo sampai meluk cowok asing kayak gini,” ucap Genta sembari duduk di jok kemudi, pasrah dengan Beryl yang masih menempel di dadanya entah sampai kapan.

Mereka tidak langsung pergi, sebab Genta tidak akan sanggup menyetir dalam keadaan seperti ini. Bagaimana tidak, posisi gadis itu yang kini berada di pangkuannya membuat Genta merasa agak kurang nyaman, hal itu karena pantat si gadis menekan miliknya di bawah sana. Mana sejak tadi Beryl duduknya tidak bisa diam pula, Genta sampai kelimpungan sendiri dibuatnya.

Tanpa sadar tangannya sampai mencengkram pinggang Beryl agar dia tidak banyak bergerak dan memunculkan sisi lain dari dirinya yang sedang coba ia tahan sejak tadi.

“Bey.”

“Hm?”

'Sial, kenapa suaranya jadi seksi begitu?'

Genta berhasil dibuat merinding hanya karena mendengar suara Beryl. Jantungnya bahkan sampai harus bekerja ekstra cepat begitu Beryl balik menatapnya dengan wajah tipsy yang terkesan lugu, gadis ini betul-betul menguji pertahanan dirinya.

“Apa?” Beryl bertanya dengan sorot matanya yang tak fokus. Keringat di keningnya itu membuat Genta refleks mengusapnya dengan ujung jari.

Sejenak, Genta terpaku pada pahatan nyaris sempurna yang Tuhan ciptakan pada Beryl. Mata yang besar, hidung mancung, bibir tipis, serta lesung pipi yang hanya akan terlihat saat ia tertawa. Beryl terlihat sangat cantik, bahkan dalam keadaan remang-remang di mobilnya saat ini.

Jemari Genta yang semula ia gunakan untuk mengusap peluh di kening Beryl justru merosot turun menyentuh bagian sisi wajah si gadis, kulitnya yang lembut serupa kulit bayi membuat Genta kecanduan ingin menyentuhnya lebih lama lagi.

Kemudian, tatapannya tertuju pada bibir tipis Beryl yang malam ini dioles lip tint berwarna peach. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, ibu jari Genta bergerak untuk menyentuhnya. Mengusap bagian daging kenyal tersebut dari ujung ke ujung dengan mata yang tak lepas dari sana.

Tak puas jika hanya menyentuhnya dengan jari, kini justru bibirnya lah yang menggantikan posisi itu. Beryl sempat kaget awalnya, bisa dilihat dari tubuhnya yang sempat menegang hingga refleks mencengkram bagian depan kaos yang Genta gunakan.

Entah setan apa yang baru saja merasuki Genta, pemuda itu malah bertindak semakin berani. Bibirnya yang semula hanya menempel kini perlahan bergerak untuk melumat bibir Beryl. Gerakannya begitu lembut, melumat bagian atas dan bawah milik Beryl seolah takut akan melukai gadis itu jika ia terlalu kasar.

Jika saja berada di keadaan normal, Beryl pasti sudah menggeplak kepala Genta karena menciumnya tanpa izin. Namun alih-alih melakukan itu, Beryl justru membalas ciuman Genta sembari melingkarkan kembali lengannya di leher si pemuda.

Napas keduanya mulai memburu, tanda bahwa permainan mereka mulai naik ke level selanjutnya. Seolah diberi 'akses' oleh Beryl dengan tidak adanya penolakan, kini Genta bergerak semakin berani. Pemuda itu menahan tengkuk Beryl guna memperdalam ciuman mereka, sementara satu tangannya yang bebas menelusup masuk di antara kaos crop top yang gadis itu kenakan.

“Eungh.”

Satu lenguhan lolos dari bibir Beryl saat merasakan milik Genta yang ia duduki semakin keras di bawah sana. Dia bergerak tidak nyaman di pangkuan pemuda itu, namun tindakannya tersebut malah membuat si empunya semakin turn on hingga berakhir menekan pinggang Beryl agar menekan miliknya di bawah sana.

Beryl melepaskan ciuman mereka untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, yang kemudian membuat tatapannya langsung bertemu dengan milik Genta yang sudah berkabut diselimuti gairah.

“Genta.”

“Hm?”

“Lo keras.”

Pemuda itu tersenyum tipis, wajahnya ia sembunyikan di antara ceruk leher Beryl yang sempat membuat si empunya berjengit. Sensasi merinding langsung menyapanya saat hangat napas Genta mengenai bagian lehernya.

“Lo bikin gue turn on, Bey. Gimana caranya lo bisa tanggung jawab?”

Alih-alih menjawab, Beryl justru berusaha keras menahan desahan agar tidak keluar dari bibirnya saat Genta mulai mencumbu bagian lehernya. Pemuda itu memberikan banyak kecupan di sana, dibarengi oleh satu tangannya yang kembali menerobos masuk ke dalam kaos bagian belakang Beryl dan memberikan usapan lembut di punggungnya.

Genta sudah sepenuhnya hilang akal, sementara Beryl yang masih berada di bawah pengaruh alkohol belum bisa berpikir jernih. Bukannya menolak perlakuan Genta, Beryl malah menikmati setiap sentuhan yang diberikannya.

“I love you, Bey.”

Di sisa kesadarannya itu, Beryl dapat mendengar Genta berucap demikian sebelum satu desahan lolos dari bibirnya begitu si pemuda meninggalkan tanda ke pemilikan di lehernya.